Dinda termenung mendengar ucapan Wira. Serasa dihipnotis Dinda bahkan merasa saran Wira adalah sebuah ide yang cemerlang. Lagi pula semua orang sudah tahu foto-foto dirinya bersama Danang yang sengaja ia kirimkan ke grup-grup WA perusahaan."Tapi saat ini kan Danang sedang diskorsing, Mas. Gajinya juga dipotong. Aku nggak mau ya hidup dengan lelaki miskin. Kebutuhanku banyak." Dinda menyampaikan uneg-uneg yang mengganjal di hatinya.Bagaimanapun Dinda tak ingin hidup susah bersama lelaki yang memang disukainya. Ia khawatir selamanya gaji Danang akan dipotong. Sementara jika kehamilannya terus membesar akan butuh biaya yang lebih banyak.Wira tertawa mendengar ucapan Dinda. Perempuan matre seperti Dinda tak pernah ada tempat di hatinya. Apa lagi selama ini Dinda hanya lah sebuah mainan baginya."Nggak selamanya gaji Danang akan dipotong. Kalau pimpinan cabang bank dimana kamu bekerja tahu bahwa lelaki itu bertanggung jawab padamu, bisa jadi malah dia akan naik posisi." Wira mempermain
Danang menghindari Dinda dan menjauh menuju meja makan. Sementara Dinda yang kesal dengan sikap Danang terus mengekori lelaki itu. Dengan kasar Dinda menarik kursi di samping Danang yang duduk dekat meja makan."Mas, ini anakmu. Masa kamu lupa kalau sudah meniduriku malam itu?" Dinda memaksa meraih tangan Danang yang terlipat di atas meja makan.Danang bergeming. Dia diam sambil kembali berusaha mengingat kejadian malam itu. Namun tak satu pun potongan ingatan meniduri Dinda terlintas dalam benaknya. Dengan kesal Danang menggebrak meja makan."Jangn membodohiku, Dind. Malam itu tidak terjadi apa-apa di antara kita!" Danang mengepalkan kedua tangan dengan marah hingga buku jari-jarinya memutih."Lalu bagaiman aku bisa hamil kalau kamu nggak meniduriku, Mas? Ini anakmu! Jangan jadi pengecut kamu!" Amarah Dinda terpancing hingga berteriak memaki DanangDinda sama sekali tak menduga jika ternyata Danang sulit ditekan. Pria yang tampak baik dan santun itu nyatanya keras keapla dan tak mau
Dengan frustrasi Danang meninggalkan ruang perawatan saat Dinda terlelap sebagai reaksi obat bius yang disuntikkan. Manager marketing itu menyusuri koridor klinik bersalin dengan keresahan yang pekat. Dia sama sekali tak menyangka acara gathering yang diadakan oleh bank tempatnya bekerja menjadi awal masalah.Mendengar ancaman Dinda tadi, dia merasa seolah langit runtuh di atas kepalanya. Entah bagaimana cara mencari bukti-bukti yang dia butuhkan. Untuk saat ini Danang hanya meyakini perasaan dan analisa berpikirnya bahwa dia tak bersalah.Danang hanya ingat merasa ngantuk setelah makan malam bersama Dinda. Bahkan dia tak sanggup untuk menyetir mobil dan membiarkan Dinda mengambil alih kemudi. Setelah itu dia tak ingat apa pun lagi yang diperbuatnya."Aaarrgh ... sial banget siih! Bisa-bisanya perempuan itu mengancam untuk melaporkan ke polisi atas tindakan yang tidak pernah kulakukan! Hiiih!" Danang berteriak dengan rasa sesal dan kesal saat tiba di taman depan klinik sambil bergumam
Danang duduk dengan tegak di ruang tamu kediaman kekasihnya Ayu. Kedua telapak tangannya terasa dingin, dan jantungnya berdegup kencang. Sesekali kakinya bergerak naik turun seperti mengoperasikan mesin jahit.Ayu yang duduk di sebelahnya pun melirik kekasihnya, ini kedua kalinya Danang terlihat sangat gugup. Pertama saat kekasihnya maju untuk sidang skripsi beberapa tahun lalu. Kedua adalah hari ini, saat sang kekasih berniat menyampaikan niat baik untuk meminangnya.Sebelumnya Ayu menyemangati Danang dengan mengusap lengannya lembut. Namun hal itu tak mungkin dilakukan saat ini karena kedua orang tuanya duduk berseberangan dengannya.Sepasang kekasih ini sudah cukup lama menjalin hubungan, tepatnya saat mereka masih kuliah dulu, tapi hubungan itu sempat kandas lantaran Danang diterima kerja di luar kota. Mereka berdua tidak setuju dengan hubungan jarak jauh, dan sepakat jika bertemu lagi dan masih ada rasa sebaiknya me
Bu Ratmi dan Pak Suryo masih saja bicara panjang lebar mengenai perhitungan weton yang tidak boleh dilanggar oleh keluarga mereka. Sementara Ayu dan Danang hanya bisa menunduk lesu.Tak usah ditanya bagaimana perasaan Danang saat ini, terpukul, sakit itu jelas. Jika penolakan ini dikarenakan masalah lain seperti ekonomi ia masih bisa mengerti. Namun ini karena hitungan weton yang menurutnya sangat aneh.Danang sendiri juga berasal dari Jawa sama seperti Ayu, tapi keluarganya tidak pernah mempermasalahkan weton seperti keluarga kekasihnya. Kedua orang tua Danang menganggap Ayu sebagai calon menantu yang pas lantaran sopan santun dan sikapnya yang mandiri.“Seberapa pentingkah weton itu dalam kehidupan berumah tangga nanti? Apakah benar hitungan weton akan menyebabkan ketidakbahagiaan?” pikir Danang sambil melirik Ayu yang cemberut.“Hmm gimana, apa yang Bapak dan Ibu sampaikan sudah
Ayu berjalan dengan langkah yang lebar menuju ke kamar tidurnya. Ia tak peduli akan kedua orang tuanya yang masih duduk di ruang tamu.“Ayu!” panggil sang Ibu, tapi perempuan berambut sebahu ini berpura-pura untuk tidak mendengarnya.“Yu, nduk sini sebentar Ibu dan Bapak mau bicara sama kamu,” panggil Ibunya sekali lagi.Ayu berhenti dan langsung berbalik ke arah kedua orang tuanya.“Ayu nggak mau ngomong apa-apa lagi sama Bapak dan Ibu kecuali kalau kalian merubah keputusan untuk menerima lamaran Mas Danang,” balas Ayu yang masih tidak bisa menerima keputusan Ayah dan Ibunya.“Ayu!” seru sang Ibu dengan nada tinggi dan mampu membuat putrinya tersentak.Pak Suryo yang masih di situ pun menyentuh pundak mantan istrinya dan memintanya untuk tidak memperpanjang urusan kali ini.“Beri dia
Pengunjung hik semakin lama semakin ramai. Entah sudah berapa lama dua sejoli itu berada di sana. Es teh yang dipesan oleh Ayu sudah mencair, merubah minuman pekat itu menjadi dua warna, bening dan merah kecokelatan di bagian bawah.Ayu mendongak dan memperhatikan mata kekasihnya yang teduh. Kedua mata yang selalu memberinya ketenangan.“Jadi kita akan mencoba kembali, Mas?”Danang mengangguk penuh percaya diri. Lelaki yang bekerja di bank swasta ini menganggap penolakan itu sebagai bentuk ujian cintanya terhadap Ayu. Bisa jadi calon mertuanya itu ingin melihat bagaimana keteguhan hati laki-laki yang memberanikan diri untuk mempersunting putri mereka.“Insya Allah Yu, kita usaha dulu, selebihnya biar jadi urusan Sang Pemberi Hidup.”Ayu pun terdiam lagi, kali ini bukan karena memikirkan cara apa yang harus ditempuh agar keluarganya bisa menerima kehadiran
“Mas, Ibu makin kekeh dengan keputusannya,” tulis Ayu melalui layanan pesan berlogo warna hijau.Tadi hatinya sempat berbunga-bunga lantaran pertemuan dengan Danang yang begitu sederhana. Namun kedatangan Budhe Ning telah merubah semuanya. Tak ada lagi senyuman yang menghiasi wajah kalemnya.“Kamu kok belum tidur to Yu? Mikirin Mas ya?” balas Danang tanpa perlu menunggu lama.Melihat sang kekasih masih terjaga, Ayu pun langsung menceritakan kejadian yang baru saja dialami olehnya saat kedatangan Budhe Ning.“Ibumu tetap bersikeras Yu, sampai meminta Budhemu untuk menasihati?” tulis Danang tidak percaya.“Iya Mas.”Sementara itu di kamar Danang ….Lelaki muda itu duduk di tepi ranjangnya sambil memegangi kepala. Kabar yang baru saja diterima dari Ayu benar-benar mengacak-ngacak perasaa