Golden Valley adalah sebuah kota kecil dengan sekitar tiga puluh ribu penduduk yang terletak di sebuah pulau dengan dikelilingi deretan bukit di sisi barat dan timur kota. Meskipun telah terpapar oleh berbagai gaya arsitektur modern kota ini tetap menjaga keindahan bentang alamnya, menyajikan pemandangan indah dan rasa tenang bagi siapapun yang mengunjunginya.
Pada kaki bukitnya banyak didirikan pos-pos dan rumah singgah untuk turis dan pendaki yang berkunjung. Ketika matahari terbenam jika dilihat dari ketinggian, langit kota ini akan tampak diliputi oleh cahaya keemasan, mungkin karena itulah mengapa kota ini disebut sebagai golden valley.
Di sisi utara kota ini terdapat sebuah hutan yang mana penduduk lokalnya menyebutnya sebagai Golden Forrest. Tempat itu dipercaya sebagai tanah yang cocok bagi tumbuhnya bunga berwarna keemasan yang dapat mengabulkan segala permohonan. Orang-orang pun menyebut bunga itu sebagai golden flower.
Dikisahkan bahwa golden flower pertama kali di bawakan oleh seorang petani dan dengan disaksikan oleh banyak orang, bunga itu memancarkan sinarnya kemudian memberkati tanah dan seisi kota.
Pada masa itu, karena kemarau yang berkepanjangan membuat tanah kering dan tidak memungkinkan untuk di tanami.Dengan demikian, keadaan ekonomi di waktu itu benar-benar buruk. Namun, berkat golden flower tanah menjadi subur meskipun kekurangan air dan pupuk. Berangsur-angsur kota ini berkembang menjadi lebih baik sampai seperti sekarang ini.
Sejak saat itu, orang-orang percaya bahwa bunga itu akan mendatangkan hal baik bagi yang memetiknya. Namun, berapa kalipun warga mencari dan menelusuri hutan itu, mereka tak pernah menemukannya lagi.***
Suatu malam di hari Minggu pada bulan Maret, seorang pemuda memasuki hutan dengan niat untuk mendapatkan golden flower. Sudah hampir satu tahun ini ia mencari bunga itu tetapi tak kunjung mendapatkannya. Ia juga sudah memetakan hutan itu dan hampir menjelajahi seluruh wilayahnya.
“Lagi-lagi aku tak mendapatkannya hari ini,” keluh pemuda itu seraya mengusap dahinya yang berkeringat. Ia duduk bersandar di bawah sebuah pohon dengan senter besar di tangannya.
”Legenda itu baru berusia enam puluh tahun, dan aku yakin pasti ada lebih dari satu golden flower. Aku harus segera menemukannya secepatnya, aku tak punya banyak waktu lagi,” seketika itu juga pemuda itu bangkit dari posisi duduknya, meregangkan kedua tangannya dan bersiap untuk melanjutkan petualangannya.
Pemuda itu sengaja mencari di malam hari, karena menurut pandangannya jika legenda itu benar bahwa bunga itu berwarna keemasan dan berkilauan akan lebih mudah mencarinya ketika sinar mentari tak menghalangi. Setidaknya, selain bunga itu, hanya kunang-kunanglah yang dapat bersinar di malam hari dan karena itu pula ia sering salah sangka.
Ketika sibuk mengais semak-semak, ia melihat berkas cahaya lain dan mendengar langkah kaki mendekatinya. Langkah kaki itu terdengar lemah dan sepertinya bukanlah langkah kaki dari orang dewasa. Ia pun membalikkan badannya dan mendapati seorang anak perempuan dengan membawa lentera berdiri di hadapannya.
Anak itu kira-kira berusia delapan tahun tahun, kulitnya putih pucat, matanya berwarna kecoklatan dengan rambut hitam setinggi bahu. Ia mengenakan pakaian serba hitam baik baju maupun roknya yang menjulur hampir menyentuh tanah.
“Apa yang kakak lakukan di sini?” tanya anak perempuan itu.
“Ka-kamu sendiri ... apa yang kamu lakukan di sini ? “ pemuda itu balik bertanya.
“Aku hanya berkeliling, dan menemukan kakak sedang mengais semak-semak di sini.Lantas apa yang sedang kakak cari?”
“Aku sedang mencari golden flower, sudah setahun ini aku mencarinya.Na-namaku Rafael, panggil saja kak Rafael. Kalau kamu sendiri?” kata pemuda itu dengan pandangan curiga pada anak perempuan yang bekeliling di hutan pada malam hari.
“Maaf jika tidak sopan, namaku Claudia. Aku tinggal di hutan ini”
“E-eh? tinggal di sini? Aku baru pertama kali mendengarnya. Apa kamu anak dari seorang tukang kayu atau pemburu?“
“Anggap saja begitu. Lebih baik kakak urungkan saja niat kakak untuk mencari golden flower, ada banyak bunga lainnya yang lebih indah di toko bunga di kota.”
“Tidak! Aku harus mencarinya, aku ingin memberinya pada seseorang sebelum kami berpisah. Dengan memberinya golden flower aku yakin dia pasti akan selalu mengingatku dan tak akan melupakanku.” pemuda itu bersikeras untuk mencarinya.
“Jika hanya hadiah perpisahan mungkin aku punya sesuatu yang menarik untuk kakak,” Claudia membalikkan badannya, “ Ayo ikut aku,kak,” katanya sambil menoleh sesaat kepada Rafael. Rafael pun mengikutinya berjalan masuk lebih dalam ke hutan.
“Claudia, aku sudah pernah menjelajahi tempat ini dan tidak ada apapun di sini kecuali pepohonan,” ujar Rafael.
“Tetap tenang dan ikuti saja aku, Kak! “ balas Claudia sambil tetap mengarahkan pandangannya ke depan, bergerak maju dan hampir meninggalkan Rafael di belakangnya.
Setelah lima menit berjalan, akhirnya mereka sampai di semak belukar yang tinggi.Claudia membuka semak itu dan masuk ke dalamnya, begitu juga dengan Rafael.Ketika mereka tiba di sana, yang terlihat hanyalah lahan kosong yang ditumbuhi oleh rerumputan pendek.
“Kukira kau akan menunjukkan sesuatu yang hebat, tapi ternyata hanya lahan kosong ini?” Rafael meghadapkan wajahnya pada Claudia dengan sedikit mengejek.
“Masuklah, di luar sini dingin, kita bicarakan di dalam rumah.” Claudia tidak menghiraukan Rafael dan bergerak maju.
“Rumah apa? itu hanya lahan kos—“ Perkataan Rafael terhenti, ketika ia melihat sebuah rumah kayu yang sederhana berdiri di hadapanya. Ia sangat yakin sekali tidak melihat apapun beberapa saat lalu dan secara tiba-tiba rumah itu muncul di hadapannya. Ia menggosok kedua matanya, mengedipkannya beberapa kali untuk memastikan dia tidak salah lihat. Namun, rumah itu benar-benar ada di sana. Mereka berdua pun memasuki rumah itu, sementara Rafael masih tetap berada dalam kebingungan, “Apa aku bermimpi?” gumam Rafael sambil menampar pipinya sendiri beberapa kali hingga kemerahan.
“Duduklah, Kak, aku akan membuat teh.“ Claudia berjalan ke ruangan kecil lain di seberang ruangan yang terpisah oleh dinding kayu, Rafael hanya mengangguk kecil menanggapinya.
Kemudian Ia memandangi sekeliling ruangan itu dan tampak seperti rumah biasa dengan gaya lama. Ia melihat langit-langit dan menemukan benda bulat bersinar seperti lampu yang menerangi ruangan itu. Ruagan tersebut cukup luas, namun tidak banyak perabotan yang ada dalamnya. Setidaknya, dalam ruangan yang ditempati oleh Rafael saat ini, hanya ada sebuah meja bundar dengan empat kursi serta beberapa tempayan dan sebuah rak setinggi tubuh Rafael yang berdiri di salah satu sudut ruangan. Di rak tersebut terdapat benda-benda kecil seperti payung, sepatu, sandal, jam saku, dan lainnya.
Beberapa menit berlalu, Claudia datang dengan membawa nampan berisi poci, cangkir keramik, dan kue kering.Rafael yang melihat Claudia bergerak dengan bawaan di tangannya berdiri dari tempat duduknya hendak memberikan bantuan.
“Apa kamu perlu bantuan?”
“Tidak perlu, aku tidak selemah yang kelihatannya,” ujar Claudia.
Bau harum memenuhi ruangan sampai akhirnya nampan itu diletakan di atas meja. Claudia menuangkan teh untuk mereka berdua. Dengan sedikit ragu Rafael meraih cangkir di depanya ,ia memperhatikan dengan baik cangkir dan poci itu.“Poci dan cangkir ini?” gumam Rafael yang cukup keras sampai dapat terdengar oleh Claudia.
“Ada masalah dengan itu?” tanya Claudia pada Rafael yang memperhatikan dengan serius poci dan cangkir itu.
“Tidak, hanya saja sepertinya aku pernah melihat set seperti ini sebelumnya. Gaya yang digunakan dalam pembuatannya pun tidak asing bagiku. Selain itu nilai jual set ini begitu mahal, bagaimana bisa kamu mendapatkannya?” tanya pemuda itu, meragukan kondisi keuangan claudia melihat dari rumahnya.
“Jangan khawatir, aku tidak mencurinya kok,” jawab Claudia dengan santai tanpa menunjukkan ekspresi tersinggung sama sekali.
Pemuda itu menyipitkan matanya masih mengamati cangkir itu sebelum menyereput teh miliknya, perlahan cairan itu mengalir masuk ke mulutnya, “Wah, ini enak sekali. Sebenarnya aku tidak terlalu suka teh, tapi harus kuakui ini memang enak."
“Terima kasih banyak, jadi aku langsung ke intinya saja.“ Claudia beranjak dari kursinya lalu menuju rak di sudut ruangan. Ia mengambil sebuah payung berwarna putih dengan ulir berwarna emas mengitari sisi payung itu. Dengan tubuh mungilnya ia memeluk payung itu dan membawanya ke meja. Ia meletakkan payung itu dan menggesernya ke sisi meja dekat dengan Rafael.
“Hmm? Apa ini sesuatu yang lebih menarik dari golden flower? Kuakui motif dan gaya payung ini sangat unik dan menarik tapi ini tidak ada apa-apanya ketimbang golden flower, meskipun aku belum pernah melihatnya sih.“ Rafael meletakkan kembali payung itu ke meja setelah mengamatinya.
“Memangnya seyakin apa Kakak, dia akan senang jika menerima golden flower?” tanya Claudia dengan pandangan skeptis yang tercermin jelas di wajahnya.
“Sangat yakin, seluruh orang di kota menginginkannya tak terkecuali dia," jawab Rafael dengan percaya diri berusaha mematahkan pertanyaan skeptis Claudia.
“Kalau begitu, aku ganti pertanyaanku.Dari mana Kakak tahu dia menginginkan golden flower? Apakah kakak pernah bertanya atau mungkin dia sendiri yang mengatakannya?”
“Ka-kalau soal itu.”
Rafael kini tampak bingung dan ragu dengan keyakinannya sendiri. Pertanyaan tersebut berhasil mematahkan kepercayaan dirinya, karena sepertinya dia sama sekali belum pernah menanyakannya.
“Hfff, “ Rafael menghela nafas. “Untuk menjelaskannya, maukah kau mendengar ceritaku?” tanya Rafael.
“Tentu saja,” jawab Claudia santai, sambil mengisi kembali cangkir teh yang hampir kosong di atas meja.
Halo, Terima kasih untuk kalian yang masih setia membaca kisah ini. Berhubung kesibukan author yang tak terelakan di kehidupan nyata, dan lagi cerita seperti ini sepertinya kurang diminati disini, dengan berat hati author menghentikan pengerjaan novel ini. Kisah ini memang belum berakhir dan Masih banyak misteri yang belum terpecahkan, dan mungkin selamanya akan menjadi misteri bahkan bagi author sendiri. Pengerjaan novel ini benar-benar author hentikan, dan sejenak berisitirahat dari kesibukan dunia tulis menulis ini. Ya, meskipun author bisa dibilang awam dalam dunia kepenulisan ini, namun setidaknya author telah belajar banyak hal dan mendapatkan banyak pengalaman. Kedepannya jika memungkinkan, author akan kembali dengan membawa kisah baru lainnya yang jauh lebih baik dari ini. Sekali lagi author mengucapkan terima kasih banyak, terutama buat kalian yang mendukung novel ini melalui vote gem, juga kepada Editor yang senantiasa memberikan ilmunya kepada author
Dari atas tebing yang tak jauh dari istana pasir itu, Claudia dan Jack duduk di atas sebuah batu memperhatikan mereka dari kejauhan. Jack mengalihkan pandangannya dan menunjuk ke arah sebuah menara yang tinggi, berdiri tidak jauh dari sana. Menara itu tingginya sekitar 48 meter, dan merupakan bangunan tertinggi di Distrik Selatan.“Claudia, lihatlah menara itu, seingatku sewaktu kunjungan terakhir kita, menara itu masih dalam tahap pembangunan,”“Ah, menara itu sudah selesai di bangun?” tanya Claudia.“Tentu saja, karena menggunakan biaya yang besar pembangunan menara tersebut bisa dilakukan dengan cepat dan selesai tiga tahun lalu,” ujar Jack.“Maafkan aku, karena fokus pada istana pasirku aku tidak memerhatikan menara itu,” kata Claudia melayangkan pandangannya ke arah menara yang ditunjuk Jack,” kata Claudia.“Menara itu dibangun karena impian seseorang, karena itu pula menara itu dinam
Dari apartemen itu mereka langsung bertolak ke Pantai Golden Valley di Distrik Selatan. Claudia melepas kemampuan iblisnya, merubah matanya menjadi merah menyala.“Aku tidak bisa berlama-lama menggunakan kemampuan ini, jadi semua berpegangan tangan, kita akan langsung berteleportasi ke Pantai Golden Valley,” ujar Claudia.“Tapi Claudia, apa kamu sudah pernah pergi ke sana?” tanya Frieda.Jack tersenyum. “ Tentu saja, aku pernah membawanya satu kali ke sana, melihat sebuah menara tinggi,” ujar Jack.“Ah, menara itu ya,” kata Frieda.“Sudah cukup ngobrolnya, ayo kita bergegas, cepat berpengangan tangan lalu lompat dalam hitungan ketiga,” ujar Claudia.Tarisa tampak bingung. “Eh, apa kita harus melom–““Satu, dua, tiga, lompat!” seru Claudia.Ketika mereka melompat mereka dapat merasakan sensasi perlambatan di udara, dan saat kaki mereka kemb
Melihat ketegangan yang mulai muncul sebelum mereka memulai rencana mereka, Jack mencoba menenangkan mereka.“Tarisa, apa yang terjadi pada Rin tidak ada hubungannya dengan Claudia, kita hanya mengikuti panduan kita, apa yang telah tertulis di sana adalah keputusan mutlak dan bukan disebabkan oleh siapapun,” kata Jack.“Panduan apa? Aku bahkan tidak memilikinya, yang aku tahu penyebab kematian Rin secara tidak langsung disebabkan oleh kutukan itu, dan iblis dihadapan kita ini adalah dalang di balik itu semua,” ujar Tarisa.“Tentu saja kamu tidak punya, karena kamu belum menyelesaikan ujianmu. Dengar Tarisa, menurutku sekarang ini kita sudah terlalu jauh mengusik manusia. Sebenarnya tidak semestinya kita tidak terlibat langsung dalam urusan ini, tapi mengingat kamu yang tidak bisa keluar dari masalah ini sendiri, membuatku turut ikut turun tangan,” ujar Jack.“Aku sudah terlalu lama menunggu dan sekarang ada kesemp
Di waktu sekarang di kamar apartemen Tarisa. “Aku ingin mendirikan sebuah istana pasir yang sangat megah, yang tingginya kira-kira sepuluh meter,” ucap Rin. Seketika itu juga, seisi ruangan menjadi hening. Claudia mengusap dahinya perlahan, Tarisa hanya tersenyum melihat ekspresi mereka. Sedangkan Jack, sepertinya menyadari bahwa permintaan Rin bukan hanya sekadar membangun istana pasir, namun lebih berat yang bahkan membuat Tarisa tidak dapat menyelesaikannya selama hampir sembilan tahun. “Mungkin kalian mengira ini adalah permintaan yang mudah, namun hal tersulitnya adalah membuat keluarganya dapat melihatnya dalam wujud roh tidak bisa kulakukan sampai sekarang,” kata Tarisa. “Soal itu, aku yakin Claudia bisa melakukannya,” ucap Frieda. “Terima kasih Frieda,” balas Tarisa. “Jika ingin membuat keluarganya bisa melihat Rin, kenapa kamu tidak mencoba mengalirkan energe supernaturalmua kepada Rin?” kata Claudia. Tarisa menghela n
Hampir dua tahun bermain sendirian di bak pasir taman itu, tidak membuat Rin menyerah, ia terus menunggu kedatangan Frieda dan datang ke tempat itu setiap hari. Sementara itu, Tarisa masih melanjutkan penyelidikannya meski tidak ada kemajuan yang berarti. Hari-hari mereka berlangsung damai, kekhawatiran Tarisa akan malaikat lain yang mengejar mereka sepertinya hampir hilang dan dengan demikian ia telah menurunkan kewaspadaannya. Meskipun demikian ia yakin, mereka hanya membiarkan dirinya untuk sementara waktu, dan sebuah hukuman besar telah disiapkan untuknya. Karena itu, sebelum hukumannya tiba, ia bertekad untuk dapat segera mewujudkan keinginan Rin. Suatu hari ketika mencoba berkeliling kota sendirian, Tarisa melihat anak-anak perempuan dengan seragam sekolah pulang bersama dengan teman-temannya. Ia melihat mereka tampak bahagia, bersenda gurau dan sibuk membicarakan soal kegiatan liburan mereka. Melihat itu, terbesit rasa penasaran dalam diri Tarisa, ingin mencob