Alina menikah dengan Yusuf, pria yang dicintainya. Ia memilih berbakti kepada suaminya dengan menuruti keinginan Yusuf untuk tinggal di rumahnya. Hidup bersama dengan mertua dan saudara perempuan Yusuf. Apapun yang Alina lakukan, selalu salah dimata mertuanya, namun Alina tetap memilih bertahan untuk berbakti kepada suaminya meskipun kondisinya membuat hati Alina kian pilu. Akankah Alina sanggup bertahan? Akankah Yusuf terus menyalahkan Alina saat terjadi pergesekan antara keduanya?
Lihat lebih banyakBab 1
"Seperti ada suara motor Mas Yusuf, Bu," ucapku panik."Kamu ngga pamitan?" tanya Ibu kaget.Aku menggeleng lemah."Tumben?"Aku diam saja, tak berani menjawab.Mata Ibu menatapku dalam. Seperti ia sedang mencari sesuatu dalam kelopak mataku."Kalian ada masalah? Jangan menghindar, temui dia, bicarakan baik-baik," ujar Ibu menebak-nebak."Tidak, Bu. Biar Mas Yusuf menemuiku di kamar saja," elakku seraya berdiri dari tempatku duduk. Aku mengintip dari balik tirai jendela yang tertutup kelambu putih."Iya, benar, itu Mas Yusuf."Dengan cepat aku berjalan menuju kamar tidur agar ia tak melihat bahwa aku sengaja menghindarinya.Aku enggan menemuinya di hadapan ibuku, biarlah kami berbicara di dalam kamar saja agar masalah ini tidak melebar kemana-mana.Kupasang telingaku agar bisa mendengar dengan jelas apa yang akan diucapkan Mas Yusuf pada Ibu. Tak lagi dapat kubendung rasa kesalku padanya. Terlebih pada Ibunya yang selalu semaunya sendiri."Waalaikum salam, Suf," jawab ibuku pada Mas Yusuf yang baru datang setelah mengucapkan salam.Ucapan salam Mas Yusuf terdengar dingin. Tidak ada kelembutan yang kudengar dari ucapan salam itu."Alina mana, Bu?" tanya Mas Yusuf.Entah, ia menyalami ibu atau tidak. Aku khawatir Mas Yusuf abai pada ibuku. Tapi, semoga ibuku maklum atas sikap Mas Yusuf saat ini."Ada di kamarnya, masuklah, Nak," jawab ibu terdengar ramah. Tanpa Mas Yusuf menjelaskan, Ibu paham apa yang sedang terjadi antara kami berdua.Samar aku mendengar suara ibu dari dalam kamar, tetapi aku tak bergeming. Biarlah ia yang menghampiriku saja."Rumi mau es krim? Yuk beli," ujar Ibu setelah menjawab pertanyaan Mas Yusuf."Mau, Nek! Aku suka es krim," jawab Rumi senang.Sepertinya Ibu sengaja mengajak Rumi keluar untuk memberikan kami waktu berbicara berdua tanpa ada gangguan Rumi. Terlebih mungkin agar tidak mendengar suara bernada tinggi milik ayahnya yang mungkin akan terdengar menggema.Kemudian terdengar langkah kaki mendekat ke arah kamarku. Sejurus kemudian gagang pintu bergerak, setelah pintu terbuka tampak wajah Mas Yusuf muncul dari balik pintu."Ayo pulang! Minta maaf sama ibu! Jangan kebiasaan ada masalah lari ke rumah orang tua!" ucap mas Yusuf kepadaku yang sedang duduk di bibir ranjang tanpa permisi. Ia meraih tanganku yang tengah memilin ujung pakaian yang kukenakan."Tidak, Mas! Aku tidak salah! Aku ngga mau minta maaf!" elakku keras."Kalau ngga salah, bagaimana mungkin ibu sampai nangis nelangsa begitu!?" sela Mas Yusuf cepat. Tangis ibu mertua sepertinya sudah berhasil membuat api dalam dada Mas Yusuf berkobar hebat."Mas, tadi itu aku-""Sudahlah! Jangan membela diri! Minta maaf dulu sama ibu!" sela Mas Yusuf lagi.Mataku terperanjat mendengar teriakan Mas Yusuf yang begitu keras. Debaran dalam dadaku seketika membuat darahku mengalir cepat. Aku tak menyangka jika Mas Yusuf sedemikian membela ibunya."Ayo, pulang!" ajaknya lagi. Tanpa aba-aba ia kembali menarik tanganku agar mengikuti langkahnya yang lebar.Aku membuang napas kasar. Menjelaskan titik permasalahan sepertinya tidak akan bisa merubah keadaan jika kondisi emosinya sedang memuncak. Aku pun menurut saja."Langsung balik?" tanya Ibu yang baru saja kembali dari toko dekat rumah saat melihat Mas Yusuf menarik tanganku."Kita pulang, Ma?" tanya Rumi. Ia menatapku dan ayahnya bergantian."Iya, kita pulang dulu ya? Lusa main lagi ke sini." Aku menyela ketika Mas Yusuf hanya diam saja mendengar pertanyaan putrinya.Ibu menatapku dan Mas Yusuf bergantian. Lalu berjongkok di depan Rumi dan memegang kedua pangkal lengannya.Mendapati pandangan ibu yang hangat, mataku pun terasa panas. Lalu kabut tebal menyelimutinya hingga berubah menjadi bulir-bulir air yang siap meluncur bebas."Ngga apa-apa pulang dulu. Ini es krimnya dimakan di rumah ya?""Iya, Nek. Nanti kalau aku ke sini lagi, belikan es krim ini lagi ya?" balas Rumi sambil menunjukkan sekantong plastik yang berisi dua cup es krim vanila yang baru saja diberikan oleh neneknya."Yuk," ajak Mas Yusuf setelah ibu berdiri dan melepas pegangan tangannya pada bahu Rumi."Iya Mas," jawabku pasrah. Linangan air mata segera kuusap, lalu berjalan mengambil tas yang ada di atas kursi ruang tamu.Sadar jika suamiku sedang marah, tak bisa dibantah. Bahkan tak segan memukul jika aku, sebagai istri berani melawan. Makanya aku memilih berbicara di dalam kamar, takut jika ibuku melihat wajah Mas Yusuf kala emosi."Rumi balik dulu, ya, Nek?" pamit Rumi. Ia mengulurkan tangannya pada ibu lalu menciumnya dengan takdzim."Iya. Hati-hati ya, Nak?" jawab Ibu sambil memasang wajah sumringah.Aku pun mengikuti apa yang Rumi lakukan. Lalu, aku membalas tatapan ibu dengan senyum yang kupaksakan.Pandangan mata ibu tak lepas dari wajahku, yang sedang tertekan. Aku faham jika ibu mengerti kondisiku, tetapi tak berani berbuat apa-apa. Mungkin dalam hatinya sedang berdoa untukku.Sayang di sebelahku sudah ada mas Yusuf, membuat ibu tak berani berbicara banyak kepadaku. Hanya usapan tangannya pada bahuku, yang membuat dadaku makin terasa nyerinya.Aku membuang napas kasar agar nyeri dalam dada ini tak berubah menjadi isakan yang bisa memporak-porandakan suasana ini."Pulang dulu Bu," ucap mas Yusuf setelah mencium punggung tangan ibuku, mertuanya."Iya Nak, hati-hati di jalan." Lagi, ibu berucap.Kami bertiga lantas menaiki motor butut mas Yusuf. Tak lupa juga Rumi melambaikan tangan pada sang nenek sebelum motor ayahnya melaju membelah jalan.Pandangan mata ibu terus tertuju padaku sampai mataku tak bisa lagi melihat tubuhnya melalui kaca spion.Aku faham, ibu mengerti keadaanku yang sedang dalam masalah. Tetapi aku tak serta merta menceritakan semua yang telah terjadi agar tak semakin menjadikannya beban pikiran. Nasi sudah menjadi bubur, Mas Yusuf sudah menjadi suamiku, apapun keadaannya harus kuhadapi.Bismillah, ucapku dalam hati."Ayo cepat minta maaf sama ibu!" ucap mas Yusuf setelah kami turun dari motornya. Ia lalu membawaku ke hadapan orang yang tadi berbicara kasar denganku dan anakku, seperti kesetanan menyuruhku meminta maaf pada ibunya, mertuaku.Tak menjawab ucapan mas Yusuf, aku lantas menunduk, meraih tangan ibu mertua. "Alina minta maaf ya, Bu?""Iya, jangan diulangi lagi membantah sama orang tua. Ibu ini sudah tua, nggak bisa dengar kata-kata kasar, juga nggak bisa dibentak-bentak," ucap bu Rohaya, mertuaku. Wajahnya seolah sedang diliputi kesedihan, matanya bengkak karena terlalu banyak menangis.Mendengar ucapan ibu, aku lantas berpikir keras. Siapa yang membantah? Bukannya tadi saat pertengkaran itu terjadi aku hanya diam tak membantah sedikitpun?Pertengkaran batin terjadi dalam hatiku. Bagaimana mungkin Bu Rohaya bisa berucap demikian padahal aku faham kejadian dari awal sampai akhir.Ucapan mertuaku lantas menjadi suatu pertanyaan untukku. Pantas saja Mas Yusuf sampai sedemikian emosi, ibu sudah membalik fakta yang telah terjadi."Iya Bu, sekali lagi Alina minta maaf," ucapku mengalah. Aku lantas berdiri dari hadapan mertuaku, meraih tangan Rumi untuk kugandeng menuju kamarku.Kemudian mas Yusuf mengikutiku dari belakang. Kami sama-sama masuk ke dalam kamar.Aku lantas duduk di bibir ranjang bersama Rumi, sedang Mas Yusuf berdiri di hadapanku."Mas, aku tadi nggak ngelawan," ucapku berusaha menjelaskan."Kalau nggak ngelawan nggak mungkin ibu sampai nangis kayak gitu!" sahut mas Yusuf tak terima.Kutatap wajah mas Yusuf yang wajahnya sudah agak berbeda dari saat kami datang. Meskipun begitu, ucapannya masih sedikit ketus."Sudahlah apa sih salahnya minta maaf sama ibuku?!" cecarnya.Merasa sudah terpojokkan, sebaiknya aku diam. Menjelaskan juga tak mungkin diterima jika hal itu menyangkut soal ibunya. Salahku memang dulu sudah tahu ibunya tak suka denganku, aku tetap saja mau menerima pinangan mas Yusuf.Bersambung 🌸🌸🌸Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 83"Untuk apa Ayah kesini? Ayah kan sudah punya adik baru?" Rumi melanjutkan ucapannya. Matanya menatap sang ayah dengan tatapan tajam. "Nak, Ayah sayang sama Kakak. Ayah mau kita hidup bersama lagi seperti dulu. Kakak mau kan ya?" Mas Yusuf berdiri dengan semangatnya lalu berjalan mendekat ke arah Rumi. Ia mencoba memegang tangan gadis kecilku itu. Tapi Rumi segera menepisnya. "Pergi Ayah! Aku benci sama Ayah!" teriak Rumi keras. Ia lantas berlari ke dalam rumah menuju kamar tidurnya. Aku kaget melihat sikap Rumi yang sedemikian kerasnya. Sebenarnya ada apa yang membuat gadis polos itu tiba-tiba saja berani membentak Ayahnya dengan keras. Aku mengabaikan Mas Yusuf yang sedang terisak. Ini bukan masalah sepele. Aku harus mencari tahu penyebab Rumi sampai sedemikian keras menolak ayahnya. Saat kakiku hendak melangkah, Mas Azam memegang pergelangan tanganku. "Biar aku saja. Kamu urus masalahmu dengan ayahnya."Mas Yusuf melihat kedekatanku dengan Mas
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 82"Ketika kamu sakit, Bapak melihat kepedulian dari sikapnya padamu dan Rumi. Begitu perhatian, berbeda dengan Yusuf dulu." Telingaku kembali terngiang kata-kata Ibu saat bersama tadi. Benar saja, lelaki di depanku ini lebih peduli dan peka terhadap keadaan yang menimpaku. Tanpa kukabari dan kuminta kehadirannya ia sudah datang dan lebih dulu berjibaku dengan masalah yang sedang menempaku. Masihkah aku butuh bukti lagi untuk menerima cintanya padaku?Badan Mas Azam sudah basah oleh cipratan air. Kaos dalam berwarna putih yang dikenakannya sudah tak lagi berwarna putih. Baju itu sudah bercampur tanah dan kotor. Sesekali ia gunakan lengannya untuk mengusap peluh di keningnya dan membuat warna lengan kaos itu tak lagi putih. Wajahnya menyiratkan rasa cemas dan sikapnya sungguh cekatan menyelamatkan apapun yang bisa diselamatkan. Ia berlari kesana-kemari mengangkat barang-barang yang masih bisa ditolong. Hatiku berdenyut nyeri bak ditampar kenyataan yan
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 81"Aku mau pulang saja!""Rumi di sini dulu sama Tante," sergah Mas Yusuf. Ia berusaha menarik lengan Rumi tapi segera ditepis dengan kasar oleh Rumi. "Nggak mau! Rumi mau pulang saja!" Rumi memberengut. "Maaf ya, Nak. Ayah harus bantu Bundamu yang mau melahirkan," lirih Mas Yusuf. Wajahnya memelas di sisi kanan Rumi. Aku mendekat ke tubuh Rumi. Ia langsung saja memelukku saat aku berada di dekatnya. "Maafkan aku, Dek. Aini mau melahirkan, jadi aku ngga bisa fokus sama Rumi," jelasnya saat aku berusaha menenangkan Rumi yang bersedih. Aku hanya tersenyum. "Nggak apa-apa, Mas." "Anakmu aja yang manja! Orang bapaknya lagi sibuk urus istrinya mau lahiran, dianya nempel aja!" hardik Ibu Mas Yusuf tiba-tiba. Ia baru saja keluar dari ruang tamu dan turut berdiri di depan di dekat Mas Yusuf. "Bu! Jangan ikut campur!" hardik Mas Yusuf cepat. Ibu pun berjingkat kaget mendapati teriakan Mas Yusuf yang sedikit keras itu. "Kamu itu! Dibela malah Ibu dibentak
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 80"Aku harus cepat ke butik, Mas. Tapi," ucapku sambil melirik jam di pergelangan tangan. Sebentar lagi jam jemput Rumi juga. Aku bingung. "Kenapa?""Harus jemput Rumi kan sebentar lagi, semoga aja perempuan itu mau nunggu. Siapa ya kira-kira?" tanyaku bingung. "Biar kamu aku antar ke butik, terus aku yang jemput Rumi. Gimana?" tawarnya seraya menatapku dalam. "Apa ngga ngerepotin Mas Azam?" sungkanku. Sejak kemarin lagi-lagi aku merepotkannya. Ini semakin membuatku tak enak hati. "Enggak lah, aku ngga repot. Kamu tenang aja." Mas Azam memanggil satu pelayan hanya dengan satu ayunan tangan dan tak butuh waktu lama pelayan datang menghampiri kami. Kami segera pergi setelah Mas Azam membayar bill yang diberikan oleh pelayan tersebut. Kali ini aku berjalan mendahului Mas Azam karena tak mau kejadian seperti tadi terulang kembali. Selama dalam perjalanan Mas Azam hanya diam saja. Tak seperti ketika berangkat yang tak henti mengajakku bicara. "Mas ngg
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 79Suasana rumah sunyi senyap. Tak ada penghuni selain aku sendiri dalam rumah. Zahra sudah berangkat ke butik satu jam yang lalu. Hanya ada aku yang sedang sibuk melihat tingkah ikan dalam kolam yang tampak lucu. Mataku sibuk mengikuti gerak ikan mengitari tiap sudut kolam. Sesekali ikan yang lebih besar itu menerobos kolong jembatan yang sengaja dipasang di tengah kolam. Dan ikan yang kecil terus saja mengikutinya. Saling mengejar satu sama lain. Meskipun sedikit adu kekuatan tapi ikan yang lainnya masih terus saja saling mengikuti. Gelombang air tercipta saat aku melempar sejumput makanan ikan dalam kolam. Langsung saja ikan-ikan itu saling berebut mendahului ikan yang lainnya agar bisa mendapatkan jatah. Seketika bibirku tersungging melihat tingkah mereka yang aktiv. Mataku nanar menikmati pemandangan di hadapanku karena mengingat kembali cerita Zahra soal masa lalunya. Sungguh aku tak ingin menjadikan Rumi sebagai korban keegoisan kedua orangtuan
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 78Aku menatap nanar plafon kamar tidur yang bercat putih. Lampu yang sudah berganti temaram tak kunjung membuat mataku memejamkan mata. Pikiranku terus kembali mengingat apa yang Ibu sampaikan tadi sore selepas Bapak menggendongku ke kamar. "Perceraian seharusnya tak membuatmu menjadi trauma. Hidup terus berlanjut. Masa depanmu masih panjang. Rumi juga masih kecil. Jangan kerdilkan pikiranmu dengan rasa trauma." Ibu menatap mataku dalam. Aku merasakan ketulusan dalam ucapannya. "Alina belum sanggup, Bu." Kepalaku menunduk, mataku nanar menatap ujung kuku yang kumainkan. "Belum sanggup bukan berarti tidak mau. Hanya saja kamu butuh waktu untuk menyembuhkan luka itu. Lihatlah bagaimana Azam menantimu hingga ia rela melepas gadis yang baru saja dijodohkan dengannya."Pikiranku kembali mengingat apa yang pernah Adelia tanyakan dulu. Juga keputusan Mas Azam untuk membatalkan pertunangannya dengan Adel setelah rumah tanggaku diterpa badai. Jadi semuanya ka
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen