Setahu Siena, mereka sudah berkendara lebih dari setengah jam dari pusat Kota Dubai yang mewah dan penuh gedung pencakar langit. Makin jauh dari pusat kota, suasana yang terlihat makin kontras. Bangunan pabrik dan perumahan sederhana mendominasi. Mobil Mercedes Benz hitam yang mereka tumpangi berhenti di depan bangunan luas nan tinggi, yang lebih terlihat seperti rumah susun.
"Kita sudah sampai di Rumah Aman," sang sopir sekaligus karyawan Hotel Adalfo itu memberitahu.
Siena memandang keluar. Bangunan itu jauh dari kata mewah, kondisinya hampir mirip apartemen yang sebelumnya disewa Siena, sederhana dan bersih. Hanya saja, lingkungan sekitar yang cenderung gersang, panas, dan berdebu membuatnya terlihat kusam.
Siena membuka pintu mobil. Tapi Alfonso tak bergerak sedikit pun.
"Kamu tak ikut turun?" tanya Siena.
"Aku di mobil saja. Di luar terlalu panas. Lagipula cuma
Seringai lebar muncul di wajah Alfonso, puas rasanya bisa menakut-nakuti Siena. "Gampang saja. Ikuti semua yang aku mau. Cuma itu," tandas Alfonso dengan enteng."Tapi apa yang kamu mau? Kamu tak bisa seenaknya perintah aku begitu saja!" Siena menggeram.Alfonso menyandarkan tubuhnya dengan nyaman pada jok mobil, seiring dengan mobil yang terus meluncur kembali ke pusat kota. "Mulai saja dulu dengan temani aku keliling Kota Dubai."Alfonso benar-benar serius dengan kata-katanya. Dia memerintahkan sang sopir untuk membawa mereka berkeliling pusat Kota Dubai. Menjelang petang, Alfonso minta diturunkan di sebuah pusat perbelanjaan besar yang padat pengunjung. Lalu dia mengajak Siena masuk ke sebuah butik mewah. Dalam sekejap, gadis pramuniaga butik langsung melayaninya dengan penuh semangat."Gara-gara kamu, aku tak sempat bawa pakaian ganti sama sekali. Jadi kamu yang harus bayar semua ya
Siena memilih menikmati minuman di gelasnya daripada menikmati suasana klub malam. Dia tak kenal siapa-siapa di situ, dia juga tak tertarik untuk menari atau berbaur."Apa sih enaknya datang ke klub malam? Rasanya masih banyak tempat wisata lain yang lebih bagus di Dubai," mulut Siena masih mengomel sendiri."Selamat malam…," sapa sebuah suara berat di belakangnya.Siena memutar kursinya ke belakang. Dua orang pria berumur tiga puluh tahunan tersenyum padanya. Yang satu berambut pirang dan bermata cokelat, yang satu lagi berambut cokelat dan bermata biru gelap. Mereka berdua memakai setelan jas mewah."Kamu sendirian, Nona?" tanya si rambut pirang. "Sepertinya kamu orang baru di sini. Kami sudah sering ke klub ini, tapi belum pernah lihat kamu."Siena bisa menghirup aroma alkohol yang tajam dari mulut mereka berdua. Instingnya langsung waspada. "Mmm…,
Siena masih berguling-guling di atas tempat tidurnya lama setelah dia berbaring. Matanya seperti tak mau terpejam. Pikirannya terus memutar ulang semua kejadian hari ini. Di satu sisi, dia marah sekali dengan tindakan Alfonso yang 'menculiknya', sampai-sampai dia terpaksa datang ke Dubai bersama pria itu. Padahal dia dan Damien sudah mempersiapkan semua rencana mereka. Di sisi lain, dia heran kenapa Alfonso mau menolongnya waktu di klub malam. Alfonso bahkan menghajar pria berengsek yang mengusiknya."Apa aku harus ucapkan terima kasih?" gumam Siena. Sedetik kemudian, dia menggeleng-geleng. "Enak saja, dia yang culik aku ke Dubai. Dia juga yang paksa aku ke klub malam itu!" gerutunya.Namun dalam hati, dia mengagumi gerakan bela diri yang ditunjukkan Alfonso. Waktu masih kecil dan tinggal di Jepang, kakek kandung Siena pernah mengajarinya teknik Aikido. Siena masih terus ingat teknik bela diri sederhana itu untuk melindungi dir
Siena dan Alfonso sudah berada di dalam jet pribadi yang akan membawa mereka menuju Spanyol. Mereka duduk di kursi yang saling berhadapan. Pesawat sedang menunggu giliran lepas landas.Terdengar bunyi dering. Alfonso menjawab panggilan di ponselnya."Hai, Cutie Pie… Ya, baik-baik saja, kami sedang siap-siap terbang ke Spanyol…."Siena memutar bola matanya. Cutie Pie, kata pria itu? Itu pasti kekasih Alfonso yang menelepon, wanita berambut pirang yang mirip aktris Hollywood itu. Kenapa nama panggilan yang diberikan harus norak begitu? Sama sekali tak cocok dengan kesan sombong pria itu! Siena menutup mulutnya, berusaha menyembunyikan tawanya.Alfonso sekilas melirik ke arah Siena. Kenapa gadis itu tertawa, apa yang lucu?"Sudah dulu ya, nanti aku kabari lagi…." Alfonso memutuskan sambungan telepon."Apa ada yang lucu?" tanya
Siena berdiri di depan Alfonso, menghalanginya berjalan ke arah Carla. Mata Alfonso masih menyala penuh amarah saat menatap Siena. Sebenarnya ada kegentaran dalam hati Siena, tapi dia harus tetap memberanikan diri menghadapi pria yang emosinya sulit ditebak ini."Apa katamu?" tanya Alfonso."Jangan buat keributan di sini…," ucap Siena dengan pandangan memohon."Bukan, tadi kamu katakan, kamu akan ikut denganku ke mana pun?" Alfonso menaikkan alisnya.Siena menelan ludah. Dia sudah telanjur mengucapkannya. "Ya, asal kamu tidak buat keributan. Kamu mau kita pergi ke Castell de Bellver bukan?"Alfonso tampaknya sedang mempertimbangkan sesuatu. "Baik, aku pegang kata-katamu. Masuk ke mobil," perintah Alfonso, tapi kali ini suaranya terdengar jauh lebih lunak.Alfonso melayangkan pandangannya sekilas ke arah Carla, tapi akhirnya pria itu berja
Alfonso dan Siena masih sama-sama berdiri diam di atas menara kastel. Seperti ada beban yang terlepas dari hati Alfonso. Kenapa dia ingin menceritakan semua kisah masa lalunya pada Siena, Alfonso juga tak mengerti. Namun kata-kata Siena benar, setelah bercerita, rasanya memang jauh lebih lega. "Jadi itu sebabnya kamu marah-marah sejak kita sampai di kota ini? Karena ada kenangan buruk yang buat kamu sakit hati?" celetuk Siena setelah hening agak lama. Alfonso menoleh memandang Siena. "Ya, sebagian karena itu. Sebagian lagi aku marah kenapa Kakek harus memilih tempat ini untuk lokasi aset warisannya. Tempat yang jadi awal mula semua permusuhan Kakek dengan Ayah dan aku." "Mungkin bagi Grandpa justru sebaliknya. Mungkin yang diingatnya dari tempat ini adalah kenangan indah waktu dia berlibur bersamamu," tutur Siena dengan suara pelan. Alfonso mengerutkan dahinya. "Kamu tak perlu
Alfonso dan Siena memandangi pohon sycamore besar di hadapan mereka."Apakah kamu atau Grandpa yang buat tulisan itu?" tanya Siena.Alfonso menggeleng. "Setahuku tulisan itu sudah ada sejak pertama kali aku ke sini. Kakek juga tak tahu siapa yang membuatnya. Tapi menurut Kakek, pesan itu untuk mengingatkan manusia pada sifatnya yang cenderung sombong.""Jadi kenapa kamu ajak aku ke sini?""Karena tadi kamu katakan menggali lantai kapel. Aku teringat, dulu aku dan Kakek sering bermain menggali dan menyembunyikan sesuatu di sini, tanah di bawah pohon ini," ungkap Alfonso.Siena terperangah. "Kenapa tidak? Kita harus coba! Siapa tahu Grandpa sembunyikan pesan di bawah sini!" sambut Siena dengan semangat.Alfonso menolehkan kepalanya ke sana kemari, mencari-cari. Ia kembali dengan ranting kayu yang agak besar di tangannya. Lalu dia mulai menggali ta
"Siena, buka matamu!"Panik sekejap melanda pikiran Alfonso. Mungkinkah kepala Siena terbentur batu saat meluncur jatuh tadi? Apa yang harus dia lakukan?Alfonso melongok ke bawah, lereng bukit itu masih tinggi, tak mungkin mereka melompat turun ke dasar. Untuk memanjat ke atas juga tak mungkin. Tanah di lereng bukit ini terlalu licin, mudah longsor, dan tak ada bebatuan atau tanaman untuk tempat berpegangan. Apalagi jika dia harus membopong tubuh Siena bersamanya.Baru saja Alfonso berniat untuk meraih ponselnya, mendadak kelopak mata gadis itu bergerak."Siena…!""A-alf…? Apa ---""Oh, syukurlah kamu sudah sadar…." Alfonso menarik napas lega. "Jangan takuti aku seperti tadi lagi. Kamu bisa bergerak?"Siena berusaha menggerakkan anggota tubuhnya. Ia meringis waktu merasakan sakit yang menusuk di pergela