Alfonso berdiri di depan pintu sebuah unit apartemen. Apartemen ini tidak mewah seperti apartemen yang ditempatinya. Lorongnya sempit, jarak antar unit berdekatan, sehingga terkesan sesak. Kenapa Gloria memilih apartemen seperti ini untuk tempat tinggal? Padahal dia tahu betul bagaimana selera Gloria terhadap hal-hal yang mewah.
Alfonso mengetuk pintu unit milik Gloria. Sesaat kemudian, wajah Gloria muncul di balik pintu.
"Honey Bear! Ayo masuk, aku sudah menunggu dari tadi." Suara Gloria terdengar ceria, wajahnya tersenyum.
Alfonso melangkah masuk. Ruangan apartemen itu juga kecil sesuai dugaannya. Cuma ada satu kamar tidur dan kamar mandi di sisi kanan. Selebihnya adalah ruang tamu menyambung dengan dapur kecil yang langsung terlihat begitu masuk.
"Duduklah, Honey Bear. Aku sudah siapkan makanan dan red wine kesukaanmu," kata Gloria sambil menunjuk ke sofa dengan dua dudukan
Alfonso memarkir mobilnya di halaman depan rumah Adalfo. Jarak rumah ini dengan apartemen Gloria cuma 15 menit, dia langsung kemari begitu meninggalkan Gloria. Alfonso memegang leher dan keningnya. Kenapa mendadak dia merasa tubuhnya jadi hangat? Ia terus melangkah masuk ke dalam rumah. Siena memintanya untuk datang setelah Damien pergi, khusus untuk mencicipi Paella yang dimasak Siena. Hmm..., perutnya jadi lapar membayangkan makanan khas Spanyol yang disukainya itu. Alfonso melihat Siena berdiri di dapur di depan kitchen island dengan dress hijaunya. Rambut Siena diikat tinggi, memamerkan kulit leher dan bahunya yang putih. Ah, tubuh Alfonso seketika makin hangat melihat Siena yang tampak sangat menggoda baginya. Ingin sekali rasanya ia mencium kulit Siena yang mulus dan bibirnya yang merah merekah. "Cherry…." "Hai, Alf…. Ayo duduk, aku sudah siapkan Paella untukmu." Bahkan s
"Apa kamu bersedia puaskan aku malam ini, Cherry?" tanya Alfonso dengan seringai nakal menghiasi wajahnya. "Alf, tidak lucu…!" keluh Siena. Dia langsung mundur beberapa langkah dari Alfonso, sambil melipat tangan di depan dadanya, memasang wajah kesal. Alfonso tertawa, tapi segera menyesalinya. Oh, dia harusnya tak menggoda Siena, karena itu malah membuat tubuhnya makin terangsang! Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, berupaya mengusir bayangan tubuh Siena dari pikirannya. Siena sadar Alfonso sepertinya sedang melawan dirinya sendiri. "Alf, kurasa lebih baik kamu menginap di sini malam ini. Ada banyak kamar yang bisa kamu pakai. Aku akan minta Lucio siapkan kamar untuk kamu." Lalu dia buru-buru memanggil Lucio. Lucio langsung menunjukkan sebuah kamar untuk Alfonso. Sebagai kepala pelayan pribadi Adalfo yang sudah bekerja puluhan tahun, tentu saja Lucio tahu segala sesua
"Siena Chan…!" Siena mendongakkan wajahnya. Imelda berlari ke arahnya dengan wajah berseri-seri. Mereka sudah membuat janji untuk bertemu di sebuah kafe hari Minggu siang ini, yang pastinya bukan Cheers Cafe. Siena merasa ada hal penting yang ingin dibicarakannya dengan Imelda, sahabatnya. "Aku tak bisa hubungi Brian, sudah tiga hari ini. Dia juga tak masuk kerja. Kata manajernya di Cheers Cafe, dia sakit. Tapi anehnya, dia juga tak ada di apartemennya." Imelda langsung mencerocos begitu duduk di samping Siena. Justru hal itulah yang sedang dirisaukan oleh Siena. "Benarkah?" Wajah Siena terlihat khawatir. "Ada apa sebenarnya? Waktu kamu telepon aku, kamu berkata mau bicara tentang Brian." Siena menarik napas dalam-dalam. Akhirnya ia memutuskan untuk menceritakan semua yang terjadi hari itu, ketika Brian datang ke rumahnya, menyatakan perasaan padanya, dan
Pemakaman itu terletak di pinggir Kota Los Angeles. Makam marmer putih Adalfo tampak bersih terawat. Siena memang selalu menugaskan salah seorang asisten Adalfo untuk memastikan ada petugas penjaga makam yang membersihkan dan merawat makam Adalfo secara rutin. Alfonso meletakkan sebuket bunga lily putih yang dibawanya di atas makam Adalfo. Matanya terus menatap makam itu tanpa bicara. Siena hanya bisa menebak perasaan apa saja yang berkecamuk di dalam hati Alfonso. Apakah rasa rindu, sedih, atau bersalah? "Nenekku bernama Lily. Itu sebabnya salah satu bunga kesukaan Kakek adalah lily," cerita Alfonso dengan suara pelan. Ia menunjuk sebuah makam putih lainnya, persis di samping kanan makam Adalfo. "Nenek sudah meninggal waktu aku baru berumur tiga tahun. Tak banyak yang bisa aku ingat tentang Nenekku." Ucapan Alfonso membangkitkan ingatan Siena tentang teka-teki pertama dari Adalfo. "Grandpa memang be
Tiga hari kemudian.Alfonso dan Siena duduk di dalam pesawat pribadi Adalfo yang membawa mereka terbang ke Melbourne, Australia. Namun masalahnya, perjalanan mereka kali ini tanpa petunjuk. Mereka belum berhasil menemukan satu pun penginapan yang dimiliki oleh Adalfo di kota itu. Asisten Alfonso sudah membongkar data seluruh penginapan di kota itu, tapi hasilnya nihil."Aku yakin aset terakhir Grandpa ada di Melbourne, Alf…. Mungkin saja itu cuma penginapan kecil yang tak terdaftar namanya. Atau mungkin nama pemiliknya memang dirahasiakan. Pokoknya kita tetap harus ke sana untuk mencari. Karena itu kota kelahiranmu yang pasti menyimpan cerita tentang kamu." Di dalam pesawat pun, Siena masih berusaha meyakinkan Alfonso.Alfonso tak dapat menahan senyum gelinya. Alfonso yang dulu adalah orang yang selalu penuh dengan rencana. Dia tak akan pernah melakukan suatu pekerjaan yang tanpa kep
"Asrama dan apartemen?" Alfonso terpaku memandang Siena, seperti baru saja menyadari fakta yang terlewatkan. "Aku tahu kalau Grandpa memang pengusaha perhotelan. Dia selalu bangun hotel, resort, atau villa. Tapi kalau semua penginapan itu sudah dicari tanpa hasil, kenapa kita tidak coba cari properti lain, seperti apartemen atau asrama?" cetus Siena, wajahnya terlihat bersemangat. "Oh, astaga, Cherry…! Kamu memang luar biasa cerdas!" puji Alfonso setengah berteriak. Tangannya langsung bergerak mengambil ponselnya dan mengaktifkannya lagi. Lalu dia mulai menelepon asistennya, memberi perintah supaya asistennya mencari informasi tentang seluruh properti tempat tinggal sejenis apartemen yang ada di Melbourne. "Ya, James, cari yang teliti kali ini! Waktumu dua belas jam!" perintah Alfonso, suaranya terdengar tegas. Siena menyembunyikan tawa di balik tangannya
Sesaat hanya ada keheningan. Nama Apartemen Alberto seolah bergema di dalam kepala Alfonso. Apakah mungkin itu tempat yang mereka cari? Adalfo menamai properti miliknya dengan nama putranya, Alberto Garcia? "Tuan…?" panggil James. Nada suaranya terdengar bingung karena Alfonso terdiam cukup lama. "Oh, eh… Ya, James, kirimkan alamatnya padaku. Kami akan ke sana untuk mencari tahu," sahut Alfonso sedikit tergagap. "Baik, Tuan, saya kirimkan lewat chat," tanggap James. Alfonso memutuskan teleponnya. Saat mengangkat wajahnya, dia melihat Siena sedang memandanginya dengan wajah penuh tanya. "Bagaimana, Alf…?" Pada saat bersamaan, chat dari James muncul di ponselnya, bertuliskan alamat Apartemen Alberto. Alfonso mengangkat ponselnya, dan menunjukkannya pada Siena. "Kata James, tak ada properti atas nama Kakek di Mel
"Anda yakin ini tempatnya, Nyonya Dayton?" Siena nyaris tak percaya ketika Mona mengatakan mereka sudah sampai di tempat mereka bisa bertemu dengan Nyonya Belova. Karena tempat itu adalah sebuah bar! "Yah…, Nyonya Belova memang orangnya selalu bebas dan menikmati hidupnya. Walaupun usianya sudah tak muda lagi, tapi jiwanya selalu muda. Dia orang yang sangat suka bersenang-senang. Mungkin itu sebabnya sampai sekarang dia masih tak mau menikah," Mona menanggapi dengan santai. Oh, Siena rasanya ingin membungkam mulut Mona supaya tak mengucapkan kata-kata itu! Bagaimana perasaan Alfonso sekarang setelah mendengarnya? Apakah Alfonso akan berpikir buruk tentang ibunya? Alfonso berubah jadi sangat diam, mengingatkan Siena pada saat mereka pergi ke Palma. Waktu itu Alfonso sangat murka karena kenangan buruknya akan Kota Palma. Apa itu artinya sekarang Alfonso juga sedang marah?