Entah sudah berapa kali helaan napas kasar diselingi dengkusan kekesalan terdengar, pandangannya selalu terpaku ke luar jendela kelas—melamun. Avina bosan, kalau ada Raska pasti bisa mengganggu sekaligus mengkode agar peka. Semenjak keberadaannya lenyap, keseharian Avina di sekolah hanya berdiam diri di kelas. Kerinduannya belum bisa diluapkan, karena yang dirindukan belum ada tanda untuk kembali.
Avina sempat berpikir kalau Raska, memilih untuk tidak kembali. Pasalnya, sebelum kabur terlihat jelas Raska lelah dan bernafsu meninggalkan kehidupan rumit. Demi kehidupan yang selama ini didambakannya. Menoleh sejenak, hingga terusik sesuatu. Tepatnya, saat Reza mendatanginya.
Reza setelah berbincang dengan Nabila, sekaligus mengingat masa kecil. Saat itu juga, sudah mantap untuk memutuskan keterikatan dengan Avina. Lagi pun, semakin sadar dan yakin perempuan berharga yang bisa mengisi kekosongan hatinya dan paham perasaannya—Nabila.
“Apa?” Av
Raska sejak perlajaran pertama berlangsung, bahkan berganti pelajaran kedua. Sama sekali tidak memperhatikan, terus menopang dagu dan manik hitam yang terbingkai cermin mata bula terpaku pada luar jendela. Hingga bel istirahat bunyi, Raska enggan beranjak.“Masih kurang.” Raska mengusap kasar wajahnya. “Ah iya, masalah sudah usai.” Mendadak terkekeh, masih tidak percaya kehidupan rumitnya telah usai. Bisa memanfaatkan kehidupan barunya yang amat tenang dan sederhana.Memindai sejenak ke penjuru kelas, sempat mengerutkan kening. Setelahnya, mendengkus sembari melangkah keluar. Tidak lupa, mengeluarkan setumpuk kertas—berisi tugas tambahan pengganti seminggu tidak masuk. Risiko bolos tanpa alasan, ketika masuk diintrogasi dan beban tugas tambahan.Langkah kaki Raska terhenti, seketika berdecih karena ada yang menghalangi jalannya. Muak, karena masih saja mengusiknya. Padahal Raska berharap, kehidupannya tenang lagi. Tetapi, gangguan k
Almeira menatap benci, wajahnya amat memerah. Menangkap siluet, Avina bersama Raska. Kemudian melangkah pergi, bahkan menghentakan kakinya amat kasar guna melampiaskan emosinya. Muak, karena menurutnya, gelagat Raska berbeda sekali bila diganggu Avina.“Nggak!” Almeira tidak menerima, kalau Avina mendapatkan balasan di luar dugaannya. Selama ini selalu melihat Avina mendapat penolakan, meski tetap tidak suka karena Raska yang terus menolak berakhir membiarkan. Sedangkan dirinya—Nggak adil! Kenapa harus—arrgghh!Almeira tersenyum licik. “Berani kau!”Sementara itu, Avina masih mematung. Raska sendiri sudah melangkah pergi, meskipun tidak terima Andreas memperpanjang masa cuti dadakan yang diambilnya dan itu pun tanpa menghadap dan memberi alasan yang jelas. Pada akhirnya, Raska menikmatinya.Melirik sejenak ke arah Avina yang kembali menyamakan langkah kakinya, lambat laun membiarkan. Bahkan, dalam sekej
Raska melangkah santai menuju kos-kosan, memang agak sedikit kacau. Lebih lagi, saat tadi memenuhi permintaan Dafian. Yang sebenarnya, menyuruh pulang. tetapi, Raska hanya datang tanpa ada niat untuk masuk. Senang? Tentu saja, efek sudah lama sekali tidak berbincang dengan sosok ayah—walau dulu lebih mementingkan ego, itu membuatnya muak.Namun, naluri seorang anak yang ingin dekat atau bisa seperti sosok ayah. Pastinya, sulit dibantah. Benci, tetapi masih ingin bisa bersama layaknya keluarga harmonis lainnya. Raska juga ingin pulang, tetapi saat sampai seakan lenyap. Faktor terbiasa hidup sederhana meskipun harus kerja.“Kenapa malah bimbang?” Raska mendengkus, karena heran sendiri. Hingga terusik suara bising, tetapi bukan karena pertengkaran. Akan tetapi, bising anak panti asuhan. “Ah iya, membatalkan dan juga dibebaskan.”Sejak awal tahu, panti asuhan yang menjadi tempat tinggal sementara Raska. Sebenarnya, lebih dulu dianggap r
Raska membuka mata dan memindai sejenak sekitar, baru ingat kalau tadi sakitnya terasa. Kemudian berlaih ke jam dinding, ternyata Raska melewatkan pelajaran di jam pertama. Beberapa menit lagi, akan masuk jam kedua. Terdiam sejenak di tepi brankar, sembari mengambil kacamata bulat yang tergeletak di nakas dan memakainya. Raska menghela napas sejenak, kemudian mulai melangkah. Ya, sudah lumayan hilang. Meskipun, masih agak lemas. Tidak disangka, keluar dari UKS bertepatan dengan guru kelas mata pelajaran keduanya melintas. “Sakit?” Pak Toni, tidak menyangka akan bertemu satu murid dari kelas yang akan diajarnya. Raska berdeham sejenak. “Ya, tapi sudah enakkan.” Pak Toni terdiam, sembari menatap intens Raska. Memang sudah terlihat baik, tetapi masih agak pucat. Mendadak ragu membiarkan Raska kembali ke kelas, tetapi sebelum mengatakan keringanannya agar Raska istirahat saja di UKS. Raska lebih dulu pergi, tepatnya ke toilet untuk membasuh wajah
Avina melangkah dalam diam, sesekali memandangi Raska berjalan di hadapannya. Setelah pulang dari rumah sakit, kembali bimbang. Meskipun, tadi sudah menetapkan keputusan terakhir. Dengan menerima tawaran Dehan, tetapi Raska juga masih tidak rela bila kehilangan adik pertama. Memang belum lama mengenal. Wajar bukan? Sulit untuk bagi Raska.Tanpa sadar, mereka berdua telah sampai. Tepatnya, Raska mengantar Avina sampai rumah. Kalau sebelumnya, memilih sampai depan perumahan atau depan rumah lain yang kebetulan hanya beberapa jarak dari rumah Avina. Saat itu, Raska masih enggan bertegur sapa dengan siapa pun.“Kau ikut denganku, pasti bisa memicu masalah ‘kan?” Raska baru ingat.Avina mengangguk. “Ya, kau tidak mengajak juga tetep aja.” Yakin sekali, karena ada pemicu lain. “Kau masih bimbang?”Raska hanya mendengkus kemudian melangkah pergi, seketika terhenti saat Avina bertanya hal yang saat ini malas untuk dipikir
Raska masih berada di rumah mewah—rumah asli, bukan berarti benar-benar akan menetap bersama lagi. Sebenarnya, pagi buta tadi ingin kembali ke kos. Namun, terpaksa diurungkan karena mereka—terutama Ariska menahannya. Juga, memaksa untuk pulang.Pada akhirnya menerima, tetapi kali ini yang mengusik pikirannya—hal lain. Bukan mengusik, tepatnya aneh karena sudah lama tidak pernah dialami. Ya, Raska tiba di sekolah bersama dengan Reza. Alasannya, Dafian mengantar.Dalam perjalanan tadi, Raska masih canggung dalam merespon pertanyaan. Juga, agak sebal karena membicarakan hal itu lagi.“Aku hanya penasaran. Nggak boleh kah?” Reza senang karena Raska tidak benci atau apapun dengan kelakuannya, yang mau mengikuti rencana David. Di satu sisi, Reza juga ingin akur sebagai saudara—angkat terasa kandung. Bukan merebut posisi lagi, melainkan menumbuhkan ikatan persaudaraan.Raska mendengkus, dan melirik bosan. “Masih belum je
Raska berdecih, lagi-lagi naluri anak kembali menguasainya. Terbukti, niat awal pulang ke kos-kosan malah ke rumah sebenarnya. Pada akhirnya, masuk karena sudah lelah untuk berkeliaran di luar atau sekadar mewujudkan niatnya kembali ke kos. Kini melangkah gontai menuju kamar. Raska tidak menyangka, kamarnya masih sama seperti dulu—sebelum memutuskan kabur. Hampir mengira kamarnya akan menjadi gudang yang tidak terawat.“Kau sama sekali nggak mau tinggal di sini kah?” Dafian yang akhir-akhir ini memiliki waktu luang. Lebih lagi melihat Raska kembali, langsung dimanfaatkan untuk memperbaiki hubungan ayah dan anak. Meski tahu, masih sulit bagi Raska.“Entahlah.” Raska benar-benar bingung, sembari melangkah dan merebahkan diri di ranjang. Lagi-lagi, lelah dan sakit. Padahal, tidak melakukan hal berat. Raska benci dalam kondisi seperti ini.Dafian hanya bisa pasrah, melirik Raska yang terpejam dan berusaha tenang. Tahu, pasti terasa lagi
Raska melangkah pergi, tidak menyangka benar-benar terjadi. Berhasil menyelamatkan, tidak dengan batin. Avina kacau dan menyedihkan sekali, terlebih lagi mengalami syok berat dan membuatnya—bisu. Takut pada siapa pun yang mendekati, terutama laki-laki.Tanpa mempedulikan orang sekitar, Raska mendudukkan diri di pinggir jalan. Napasnya kembali tersendat, akibat kalap tadi. Manik hitamnya terpaku pada telapak tangan, baru sadar ada lumuran darah.Tadi itu, ada satu warga yang melihat kejadian—tanpa pikir panjang menghubungi polisi dan Raska ikutan terseret untuk interogasi. Raska baru ingat, kalap menyerang segerombolan lelaki yang disuruh Almeira untuk melakukan hal tidak senonoh pada Avina, hampir meregang nyawa.“Tau, yang kulakukan amat berlebihan. Kalo nggak seperti itu pasti akan terlambat. Lagi pula, mereka tidak tewas.”Raska yakin mereka dengan cepat dibawa ke rumah sakit, sebelum ditangkap. Memang berimbas padanya juga, ter