"Ada apa?"Aruna tersentak, baru sadar beberapa jam kepergiaan Arsen bersama Daffa. Mendadak melamun, padahal masih berada di acara pernikahan Tania dan Devan.Brian mendengkus kesal, karena diabaikan. Melirik sekitar sejenak, kemudian mencuri kesempatan dengan mengecup bibir Aruna."Kau ini!" Aruna mendelik, Brian lancang di muka umum."Habisnya kau mengabaikanku!" desisnya, tepat di telinga Aruna dan sengaja ditiup.Aruna mendadak merinding, refleks mendorong Brian agar menjauhkan wajahnya. "A-aku tidak bermaksud mengabaikanmu!"Brian menaikkan satu alis. "Yakin?" Sembari menyesap perlahan minuman yang diambilnya. "Asal kau tau ya? Tatapanmu sama lagi." Kemudian melangkah pergi.Meski sudah berusaha untuk tidak cemburu, atau berlebihan sampai melarang Aruna untuk tidak berdekatan dengan lelaki manapun. Tetap saja, sulit.Bagi Brian, Aruna berbeda dari yang lain. Jauh sebelum mengenal Aruna, sadar diri sudah terhitung banyak perempuan yang dekat. Tetapi, tidak lama. Entah tidak cocok,
Arsen mendengkus kesal, sembari terus melangkah ke ruang kerja. Raut wajahnya kusut dan masam sekali, pekerjaan ditambah permasalahan pribadi begitu rumit. Membuat pusing.Langkah kakinya terhenti sejenak di ambang pintu, melirik ke arah Aruna asik di sofa bersama Daffa. Langsung beralih ke meja kerjanya, teringat pekerjaan belum selesai, mengira Aruna tidak mengerjakannya.Nyatanya, dikerjakan."Istirahat nanti kau ajak Daffa." Arsen benar-benar pusing, langsung masuk ke ruangan pribadi. Untuk saat ini, ingin mengistirahatkan diri.Aruna melirik heran, tetapi tidak ada niat untuk bertanya. Lebih memilih asik dengan Daffa, hingga tak terasa sudah waktunya istirahat."Papa sakit lagi?" Daffa sedari tadi bingung, saat kembali Arsen malah ke ruang pribadi."Kelelahan. Kan kerja terus." Aruna menjawab seadanya, sembari menarik Daffa untuk ikut ke kafetaria.****Seseorang melangkah sendirian, setelah keluar dari lift. Nyatanya itu Desty, benar-benar bebal. Padahal tadi sudah diturunkan di
Sinar matahari menembus dari celah gorden yang menutupi jendela kamar, membuat seseorang yang masih terlelap akhirnya terusik dan mau membuka matanya.Aruna melirik sejenak, ke arah jam dinding ternyata sudah pukul delapan pagi. "Sial! Kesiangan!"Langsung melompat dari ranjang, hendak bergegas membersihkan diri. Seketika diurungkan, kala menyadari kalau ini bukan di kamar penginapannya."Ah iya, ini penginapan Arsen." Aruna kesal sendiri, lupa tadi malam meluapkan semua rasa lelahnya pada Arsen.Akhirnya, Aruna membasuh wajahnya saja dan keluar untuk kembali ke penginapannya. Agak heran melihat Arsen berpakaian santai, dan Daffa juga seakan memang tidak sekolah."Apa?" Arsen terusik."Cuti lagi kah?"Arsen beranjak setelah menyuruh Daffa melanjutkan makannya, tanpa disuapi. Kemudian menjentikkan jari tepat di kening Aruna."Libur. Atau kau memang mau terus kerja kah?" Arsen tersenyum aneh. "Semalam kau merepotkan."Aruna refleks mendorong Arsen agar menyingkir, kemudian pergi."Mau ik
Brian setelah mengirimkan gambar disertai pesan singkat, kini terdiam. Bisa dikatakan bimbang, antara muak dan merasa bersalah. Seakan semua ini berlebihan."Kau aneh!" sindir seorang wanita, sedari tadi terusik dengan kelakuan Brian.Brian hanya mendengkus, tanpa ada niatan membalas. Lagi juga, kenapa mantan kekasihnya dulu harus muncul lagi?"Kudengar kau udah ada tunangan juga, tapi aneh!" Kembali melirik angkuh. "Liburan sendiri, atau hubunganmu kacau kah?" Seketika matanya menyipit. "Ah iya! Kau kan sangat cemburuan dan posesif. Mana ada yang mau tahan lama denganmu!" Santai sekali berkata, bahkan sengaja tertawa kencang.Brian berdecih. "Pergi!""Kau geer ya? Siapa juga yang mau menemani kesendirianmu yang mendadak eh?" gerutunya, lagi pun kebetulan sedang menunggu calon suaminya dan, tidak sengaja melihat si mantan. Wajar bukan? Kalau mendadak gatal untuk usil?Intinya sih, wujud balas dendam. Mau memanas-manasi si mantan. Agar mau mengubah sifat. Jangan terus cemburu bahkan be
Berusaha bertahan, tetapi wajar bukan kalau rasa lelah yang ditepis kembali menyerang dan kini, semakin meluap begitu besar.Setelah menempuh perjalanan lumayan lama, Aruna sampai di kota kelahiran Brian. Tadi, menyempatkan diri berkeliling guna melenyapkan rasa penasaran.Ketika sampai di rumah lama Brian sebelum pindah, Aruna terpaku sejenak melihat Brian yang ada di teras rumah."Sepertinya, kau sudah terlihat lebih tenang. Buktinya betah banget, walau masih belum sebulan sih." Aruna sengaja berkata begitu. "Ganggu ya?" Tanpa menunggu jawaban, Aruna memilih berkeliaran lagi.Tidak menyangka, rasa sakit persis dulu ketika Arsen terus bersama Desty, nyatanya terpaksa. Kali ini terjadi, meskipun berbeda.Entah siapa wanita yang bersama Brian, tetapi terlihat seolah sudah mengenal lama. Mantan atau teman kecil?Aruna tidak tahu, tetap mencoba mengerti dan berusaha bersikap biasa. Jujur, cemburu itu melelahkan.Brian sendiri ikut mematung sejenak, tidak percaya kalau Aruna menyusulnya. D
"Papa ke mana?" Daffa menatap bingung Pak Nuga—paman Arsen, alias kakak dari ibu kandung.Pak Nuga berdeham sejenak, kemudian tersenyum setidaknya agar Daffa percaya penjelasannya."Urusan mendadak, dalam waktu beberapa hari.""Kok nggak diajak!" rengek Daffa, benar-benar sulit dipisahkan lama dari Arsen. Padahal, tidak selamanya hanya beberapa hari atau mungkin seminggu.Daffa memberengut kesal, berhasil membuat Pak Nuga tertawa lucu. Sesekali mengecup pipi tembem Daffa. Bahkan, sengaja menggelitik dengan hidungnya.Setidaknya, Daffa bisa melupakan sejenak. Sedari tadi, terus bertanya di mana Arsen. "Coba mandiri dong.""Nggak mau! Takut!" Daffa masih tremor, efek korban penculikan."Kalo nggak dilawan, kapan beraninya? Laki-laki nggak boleh takut atau mengalah dalam melawan atau hal apapun. Meski begitu, bukan berarti laki-laki nggak bisa lemah alias menangis."Daffa hanya mengangguk, kemudian menguap. Rasa kantuk, mulai menyerang dan benar saja langsung pulas."Harus diselesaikan."
Arga mendekap erat Aruna, ya sudah sadar tetapi mendadak tremor. Namun, tidak berlangsung lama. Selebihnya bingung akan sesuatu hal. Ya, Arga yakin Aruna bingung dengan apa yang ditakutkannya.Amnesia, memang benar. Tetapi, Aruna melupakan kalau sebenarnya situasi sudah berbeda. Misalnya, hanya menganggap Brian sebagai teman akrab, di kala kesepian dan kesal dengan kelakuan Arsen. Nyatanya, adalah mantan tunangan.Brian pertama yang menjenguk Aruna, reaksi setelah tahu akan hal itu. Hanya mematung, dan berusaha menerima. Bahkan, saat mengatakan maaf. Berhasil membuat Aruna heran, tetapi karena tidak mau memperparah. Brian pamit."Istirahat aja." Arga masih mendekap, sesekali mengelus lembut pucuk kepala anaknya ini."Ayah, aku merasa aneh. Melihat reaksinya terkejut gitu." Aruna mendongak. "Perkataanku salah kah? Bukannya bener ya? Aku hanya berteman dekat dengannya?"Aruna melupakan ingatan penting, atau yang menurutnya cukup berefek rasa tertekan. Yang diingat Aruna, itu yang lama ke
Dua minggu, Aruna izin untuk pemulihan. Kini sudah masu kerja, walau sempat kikuk. Ya, efek lupa meski tidak total. Tetap saja, terkesan karyawan baru yang hari ini diterima kerja."Jadi, aku sekretarismu?"Arsen yang ingin masuk ke ruangannya, terpaksa berhenti dan melirik datar Aruna."Ayolah! Aku cuma nanya!" Aruna sebal."Nanya, tapi beruntun dan terus nggak berenti!" Arsen ikutan kesal, langsung melengos tanpa menjawab pertanyaan retoris Aruna."Dih! Ngeselin!" Hendak berbalik ke meja kerjanya, seketika terusik kala muncul anak kecil berlarian dan sedikit menyenggolnya. "Siapa?"Terus mengamati, hingga melihat anak kecil tadi masuk ke ruangan Arsen. Juga, terdengar panggilan cukup kencang."Pa-papa?" Aruna bertemu lagi dengan Daffa, tetapi dengan kondisi berbeda. Yaitu, lupa sejenak dengan ingatan baru di mana perseteruan dengan Brian terjadi dan menyebabkannya kecelakaan.Ketika Arsen keluar bersama Daffa dalam gendongannya, terus mengamati. Anehnya sudah tidak ada rasa cemburu,