"GIMANA sama Rein, kamu baik-baik saja, kan?" Verga bertanya begitu Rein naik ke kamar putrinya. Irin menatap ayahnya serius, lalu menganggukkan kepala. "Sekarang masih baik-baik saja, Pa." Verga menghela napas lega. "Rein sudah tahu soal itu?" Irin terdiam cukup lama, sebelum menganggukkan kepala. "Iya, Rein sudah tahu, Pa." "Syukurlah kalau dia mau mengerti. Kapan kamu mau konsultasi lagi? Kamu tidak mungkin akan terus begini setelah menikah, kan?" Irin menggigit bibirnya dengan ragu. "Aku izin sama Rein dulu, ya, Pa?" Perempuan itu menaiki tangga, meninggalkan Verga yang menatap punggungnya khawatir. Irin memasuki kamarnya, dia bisa melihat Rein sudah rebahan di ranjang seperti biasa. Tubuhnya pun mendekat, duduk di samping suaminya, lalu dengan hati-hati tubuhnya merendah dan ia menyentuh wajah tampan Rein dengan perlahan. Tidak ada keanehan apa pun. Tidak ada yang ia rasakan. Sama seperti dulu, tidak ada gejala apa pun yang ia rasakan pada Rein, teman masa kecilnya. "Mungk
SETELAH berciuman dengan Irin beberapa saat lalu, Rein mulai merasa ada yang tidak beres dengan otaknya. Pikiran-pikiran mesum terus berkeliaran, mengusik, dan meminta pelampiasan.Sebenarnya, hal itu tidaklah sulit. Rein hanya tinggal mencari jalang di luar sana, lalu menidurinya seperti biasa, maka ketenangannya akan kembali.Masalahnya, sudah sebulan lebih ia belum pernah menyalurkan hasrat. Dan Irin membuat perjanjian yang sukses membuat Rein berpikir berulang kali untuk jajan di luar.Laki-laki itu berdecak. Dia mendelik ke arah Irin yang entah sejak kapan telah bersender di bahunya sambil nonton TV di rumah papa mertua."Kenapa, sih?" tanya Irin dengan wajah tidak berdosa."Mau apa lo di sini?" tanyanya malas."Nemenin suami nonton TV."Rein mendelik. "Gue bisa sendiri.""Gue mau nemenin, nggak, boleh?"Rein mendesah kasar. Dia mendorong Irin agar menjauh darinya, kalau perempuan itu kembali dekat-dekat, entah apa yang bisa Rein perbuat padanya."Jangan deket-deket.""Kenapa?" Ir
SAAT itu dia mulai bertanya-tanya. Kenapa istrinya—yang sejak hari pernikahan mereka mengatakan tidak mau melakukan hubungan intim dan akan mengakhiri pernikahan dua bulan kemudian—tiba-tiba saja mengizinkan Rein untuk menyentuhnya? Kenapa Irin tiba-tiba mau melakukannya? Apa yang sebenarnya ada di kepala istrinya itu?Kalau Irin memang mau bercinta dengannya dan sengaja memberikan ancaman itu agar Rein tidak berselingkuh di kemudian hari. Irin hanya tinggal bicara dan Rein pasti menuruti semua kata-katanya. Irin tidak perlu mengancamnya, karena Rein tidak pernah main-main dengan pernikahan mereka. Namun, Irin telah melakukannya. Jelas ada alasan di balik semua kalimat yang pernah istrinya lontarkan.Rein menghela napas kasar. Dia menatap pintu kamar yang kemudian terbuka dan Irin muncul dengan senyuman lebar yang terlihat mencurigakan."Mampus, kan, ketahuan!" Irin terkekeh, nada suaranya tampak normal dan penuh canda. Sangat berbeda sekali dengan Irin yang menganggukkan kepala dan
HARI demi hari berlalu. Kebiasaan Irin setiap pagi adalah memandangi wajah sang suami yang masih tertidur, sebelum dia membuat sesuatu di dapur. Rein sudah berjanji mau menjadi kelinci percobaannya, jadi jangan salahkan Irin jika rasa masakannya nanti tak keruan, tapi wajib dimakan.Begitu ia puas, Irin segera memasak untuk sarapan suaminya. Ya, hanya Rein, karena Irin tidak siap mencoba masakannya sendiri, takut kalau perutnya melilit.Tak lama kemudian, Rein menghampirinya di dapur. Seperti biasa, pria itu duduk di kursi, menatap Irin yang sedang menggoreng nasi sisa semalam. Kedua tangannya menyangga dagu, menatap lurus istrinya yang kini membalas tatapannya."Kenapa, sih?""Lucu aja ngelihatnya." Rein tertawa pelan."Lucu gimana?" Irin menaruh nasi gorengnya ke piring dan menghampiri Rein."Cuma satu, Rin? Buat lo mana?" tanya Rein yang kini mengernyitkan dahi."Buat lo aja, pasti rasanya nggak enak."Rein tersedak, kemudian tertawa. "Kalau udah tahu nggak enak, kenapa masih masak
REIN langsung mengejar Irin yang memasuki kamar mereka. Begitu membuka pintu kamar, dia mendapati Irin yang tengah tiduran di atas ranjang dengan posisi meringkuk miring memunggungi pintu. Pria itu lantas terdiam cukup lama, merenung bersama isi pikirannya.Apakah dia marah?Ataukah dia sakit hati karena kata-kata dan perlakuan tadi?Mana pun yang benar, Rein tetaplah menjadi tersangka utama atas apa yang tengah terjadi pada Irin sekarang.Rein menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Dia melakukan hal itu berulang-ulang, sebelum mendekati ranjang dan duduk di samping Irin yang hanya diam di posisinya semula."Rin!" panggilnya pelan. Tangannya terulur menyentuh bahu istrinya yang lantas ditepis dengan kasar. "Lo marah sama gue, ya?"Ngapain masih nanya bego, kan emang lo yang salah di sini?! omel Rein di dalam hati.Rein menarik napas panjang, lalu mengembuskannya sekali lagi. "Gue minta maaf, karena udah ngegas dan jitak lo tadi. Masih sakit?" Rein menjulurkan tangannya
REIN sebenarnya bukan orang yang suka mendendam. Dia melakukannya murni, karena dia ingin menegaskan jarak di antara hubungan mereka. Menarik garis tegas hubungan tanpa memberikan harapan apa-apa.Dia tahu Freya menyukainya sejak lama. Dia juga tahu wanita itulah yang membuat Irin perlahan menjauhinya di masa SMA.Rein pernah marah dan ingin melakukan hal yang jahat padanya, tapi dia tidak sampai tega melakukannya. Selain karena Freya adalah wanita, dia juga tidak sanggup mendapat amukan dari keluarganya jika mereka sampai tahu kelakuannya yang telah melakukan sesuatu yang buruk pada seorang wanita di masa remajanya.Rein hanya bisa mendesah kasar saat melihat Freya mendekatinya dengan wajah memerah penuh amarah. "Kenapa lo nggak mau jemput gue? Lo tadi pasti belum berangkat kerja juga, kan? Padahal tempatnya nggak jauh dari apartemen lo tadi——""Itu bukan urusan gue, Frey." Rein membalasnya dingin.Freya menatapnya dengan tatapan tidak percaya. "Rein!""Frey, gue laki-laki yang udah
SUDAH berulang kali dia datang ke restoran Nayla, sampai semua pelayan dan pekerja di dapurnya mengenal baik seorang Irin. Apalagi, Syila kerap membawanya masuk ke dapur dan meminjam salah satu tempat untuk digunakan sebagai tempat belajar memasak.Awalnya, tentu saja Irin menolak, karena takut mengganggu pekerjaan yang lainnya di dapur. Namun, ternyata tidak seperti itu. Nayla memang memiliki satu tempat khusus untuk calon koki baru belajar masak di restorannya. Entah apa tujuan dia melakukannya, Irin tidak tahu pasti.Saat Syila mengajarinya, terkadang koki lain pun mendekati mereka dan turut membantu Syila memberikan saran padanya. Seperti Nando juga keponakannya Naga yang membantu mereka tanpa diminta, "Kasihan juga si Rein kalau terus-terusan lo jadiin kelinci percobaan kayak gitu!" dalih kompak mereka berdua.Irin sedang menunggu kedatangan Syila, duduk diam di salah satu kursi pelanggan sambil memesan sesuatu untuk dimakan. Saat dia melihat seorang gadis muda datang bersama Nay
REIN terpaksa harus pulang malam, karena ada pekerjaan yang harus dia selesaikan hari itu juga. Begitu dia sampai apartemennya, ia bisa melihat Irin sedang menunggu kedatangannya.Rein terdiam, lalu menelan ludah dengan susah payah. Apakah memang begini rasanya bila sudah menikah? Ada seseorang yang siap menunggumu pulang dan menyambut lelahmu setelah seharian mencari nafkah?Rein merasa hatinya menghangat. Bibirnya tertarik pelan dan membentuk seutas senyuman. Dia mendekati Irin yang tak menyadari kedatangannya, lantaran sejak tadi perempuan itu fokus menonton televisi di depannya. Dengan wajah lelah dan setengah mengantuk, dia memaksakan diri untuk tetap terjaga dan menantikan kedatangannya. Rein menyentuh bahu Irin pelan dan membuat perempuan itu terlonjak dan menoleh ke arahnya. "Lo udah pulang? Sejak kapan?" Irin menatapnya penasaran."Baru aja sampai, terus langsung nyamperin lo yang lagi nonton tv sendirian. Kesepian, Rin?" tanyanya balik."Iyalah, nggak ada temennya. Di sini s