Bekerja sebagai pembantu baru di rumah seorang pengusaha terkenal, Ardha memiliki tujuan menggoda suami majikannya. Siapa sangka, rencananya malah mendapat dukungan dari sang nyonya rumah. Apa sebenarnya tujuan si nyonya rumah meminta Ardha merayu suaminya? Lalu, apa tujuan Ardha sampai dia mau berpihak pada Harsa?
View MoreHappy Reading
***** "Selamat sore, Pak Harsa. Selamat datang di rumah," sapa Ardha ramah sambil membungkukkan badan. "Siapa kamu?" Lelaki yang baru masuk itu memandang Ardha dari ujung kaki hingga rambut. Rok pendek di atas lutut dengan kaos ketat mencetak jelas setiap lekukan tubuh molek perempuan itu. Tatapan tajam Harsa berakhir tepat di belahan tengah di antara dua bukit kembar Ardha. Alih-alih risih, Ardha malah menaikkan garis bibirnya. "Bapak pasti capek. Sini, saya bawakan tasnya," katanya, langsung mengambil alih tas jinjing berisi laptop yang ada di tangan kiri Harsa. Lelaki berumur 35 tahun itu dengan gerakan cepat memerangkap tubuh Ardha. Memelintir tangan kanan si perempuan dan menaruhnya di belakang punggung. Tangan kiri si lelaki menarik pinggang Ardha hingga menyentuh dadanya. "Jangan menggoda! Katakan siapa kamu dan apa tujuanmu di rumah ini." Bibir Harsa menyentuh cuping Ardha. "Sa-saya pembantu baru, Pak," ucap Ardha terbata. Bukannya melepas tangan sang pembantu, Harsa malah merapatkan tangannya di pinggang perempuan tersebut. "Bekerja dengan baik jika kamu memang seorang pembantu. Gunakan pakaian yang pantas. Jika pakaianmu seperti ini, bukan tidak mungkin kamu akan mendapat pelecehan. Mengerti?" bisik si lelaki yang dengan sengaja meniup tengkuk Ardha setelah berbicara. "Ma-maaf, Pak," sahut Ardha. Namun, tindakan Harsa berbanding terbalik dengan tingkahnya saat ini. Lelaki itu membalikkan tubuh Ardha dan mendekatkan wajahnya. Kini, keduanya nyaris tanpa jarak. Bergerak sedikit saja, maka bibir mereka akan saling menempel. Degup jantung Ardha berdetak cepat. Sama sekali tidak bisa bergerak untuk melepaskan diri dari Harsa. Ia memang sudah mengantisipasi hal ini, tapi tak menyangka akan terjadi begitu cepat. Ardha lantas memejamkan mata, tampak pasrah. Di saat deru napas sang majikan menerpa hangat wajahnya dan hampir menempel pada bibir, suara seseorang menginterupsi. "Apa yang kalian lakukan?!" teriak seorang wanita dengan pakaian ketat membungkus setiap lekukan tubuhnya. Harsa melepaskan tangannya dari tubuh Ardha. Lalu, sedikit mendorong sang pembantu baru supaya menjauh. Walau kesakitan, si pembantu baru tersebut menarik garis bibir pada nyonya rumah. "Selamat datang di rumah, Bu," sapa Ardha disertai punggung yang membungkuk tanda hormat. "Siapkan makanan untuk kami. Satu jam lagi, kami makan malam," perintah sang nyonya rumah dengan nama Jenni. Menggandeng tangan suaminya, perempuan dengan pakaian seksi itu meninggalkan Ardha. "Huh ... Untung saja, Ibu nggak marah." Ardha merapikan pakaian yang kusut akibat ulah majikan lelakinya tadi. Sesampainya di dapur, dia mulai menyiapkan makan malam untuk kedua atasan barunya. Sementara di dalam kamar, Harsa yang terlanjur bergairah kerena pembantunya tadi, langsung menerkam istrinya. Pasangan itu saling memuaskan satu sama lain hingga keduanya berakhir lemas di atas pembaringan. "Sayang, apa kamu yang mempekerjakan perempuan tadi di rumah kita?" tanya Harsa sebelum matanya benar-benar tertutup. Napas yang masih tersengal-sengal akibat pergulatannya dengan sang suami, Jenni cuma bisa mengangguk. "Apa kamu tidak suka?" "Walau cuma kita berdua, rumah ini terasa damai. Tidak perlu ada pembantu yang akan mengganggu aktivitas kita nantinya. Aku mau selalu bermesraan di mana pun dan kapan pun tanpa gangguan." "Tapi, aku tidak tega setiap kali pulang, rumah masih berantakan. Terkadang sarapan pun, aku tidak bisa menyiapkannya. Akhir-akhir ini, toko pakaian yang aku buka selalu ramai, jadi aku semakin sibuk mengurusnya. Tidak banyak waktu yang aku miliki untuk berduaan denganmu. Jika harus beres-beres rumah, maka waktu bermesraan kita akan semakin sedikit." Tangan Harsa menarik tubuh sang istri supaya mendekat, lalu lelaki itu mencium kepalanya. "Asal kamu tidak melupakan kewajibanmu yang satu itu, aku akan selalu memakluminya. Tidak perlu repot-repot mencari pembantu. Berikan aku servis terbaik di ranjang, semua itu sudah lebih dari cukup." "Oke, suamiku, Sayang." Jenni berusaha melepaskan pelukan suaminya, lalu beranjak turun dari pembaringan. "Aku mandi dulu. Setelahnya, kita makan malam." Melihat lenggak-lenggok istrinya menuju kamar mandi, Harsa kembali didera hasrat. Namun, dia memutuskan keluar kamar karena haus melanda. Kebetulan air minum di kamarnya habis. Cuma mengenakan celana pendek di atas lutut, lelaki itu menuju dapur untuk mengambil air minum di kulkas. Namun, langkahnya terpaksa berhenti ketika melihat bongkahan sintal tubuh pembantu barunya. Ardha yang begitu asyik mendengarkan musik sambil memasak tidak menyadari kehadiran tuan rumahnya. Dia malah bergoyang mengikuti irama lagu yang sedang diputar. Harsa menelan ludahnya susah payah. Walau sudah bermain dengan sang istri, nyatanya dia masih menginginkan adegan panas itu apalagi setelah melihat kemolekan sang pembantu baru. "Fokus kerja, tidak perlu menggoda seperti itu," ucap Harsa setengah membentak pembantunya. Padahal niat sang lelaki tidak ingin membentak, hanya saja karena dia tidak bisa menyalurkan hasratnya. Maka, kemarahan itu muncul. "Eh, Bapak," sahut Ardha. Perempuan bertubuh molek itu membalik badannya. "Ini juga salah satu upaya saya, supaya fokus bekerja, Pak. Mendengarkan musik sambil bergoyang." Suaranya sengaja dibuat mendayu-dayu membuat pikiran Harsa makin keruh dan hasratnya makin meningkat. "Kalau kamu seperti ini terus, maka jangan salahkan jika saya meminta istri untuk memecatmu sesegera mungkin," ancam lelaki yang makin tergoda dengan tingkah pembantu barunya itu. "Jangan, dong, Pak. Saya sangat membutuhkan pekerjaan ini untuk biaya hidup selanjutnya. Saya hidup sebatang kara di dunia ini. Apa Bapak nggak kasihan jika memecat saya?" Ardha memasang tatapan melas untuk menarik simpati majikannya. "Saya bukan Ibu yang memiliki suami seperti Bapak yang bisa menafkahi dan mencukupi semua kebutuhan hidup. Cuma tinggal ngasih service di ranjang aja." Harsa terdiam, pandangannya terhenti pada sorot mata melas penuh permohonan dari sang pembantu. Kenapa rasanya tatapan mata itu tidak asing? Ia seperti pernah melihatnya … entah di mana. Ardha tidak menyia-nyiakan sikap diam lelaki di depannya. Dia mendekat disertai tangan yang meraba pundak Harsa. "Saya bisa melakukan apa pun yang Bapak inginkan dan perintahkan. Asalkan Bapak nggak memecat saya," bisik Ardha tepat di cuping lelaki itu. Mulai terpengaruh dengan permainan Ardha, Harsa merengkuh pinggang si pembantu ke pelukan. "Yakin kamu akan memenuhi semua perintah dan permintaan saya?" tanya Harsa mengulang kalimat yang terlontar dari bibir Ardha. Mengangguk mantap, Ardha membelai wajah majikannya. "Untuk saat ini, apa yang Bapak inginkan? Saya pasti akan mengabulkannya." Harsa melepas tangannya dari pinggang si pembantu baru. Tatapan matanya penuh kabut, menelanjangi setiap inci tubuh Ardha. Lalu, senyum licik itu terbit. "Bagaimana jika aku memintamu untuk telanjang di depanku saat ini juga? Apakah kamu bersedia?"Happy Reading*****Setelah berhasil mencekal pergelangan tangan Yeni, Ardha menatap aneh. "Maksudmu apa? Kenapa mukamu langsung berubah pucat? Aku cuma pengen nyimpen nomor HP-mu saja. Kenapa kamu malah ketakutan seperti ini?""Maafkan saya, Bu Zika. Saya benar-benar terpaksa melakukannya," ucap sang pelayan tergagap. Padahal wanita yang ada di hadapannya kini adalah Ardha. Pembantu baru di rumah Harsa tersebut, menatap aneh dan tajam ke arah si pelayan. Semakin tidak mengerti sama sekali dengan perkataan yang diucapkan Yeni tadi."Apa yang telah kamu lakukan pada Bu Zika?" tuntut Ardha. Sorot matanya berubah, benar-benar menakutkan perempuan yang berada di depannya. "Kamu pasti mengetahui sesuatu yang terjadi pada istri pertama Pak Harsa. Ceritakan cepat!"Yeni meluruh ke lantai dengan linangan air mata. Ardha terus menatapnya dengan tajam bahkan tanpa rasa belas kasihan sama sekali. "Jangan laporkan saya ke polisi Bu Zika," ucap Yeni dengan kedua tangan menyatu di depan. Tatapan
Happy Reading*****"Mbak, jangan sembarangan kalau ngomong. Maksudnya apa, kok, saya dikira seperti istrinya Pak Harsa?" sahut Ardha dengan cepat. Entah mengapa si pembantu tidak menyukai jika dirinya dibanding-bandingkan dengan orang lain apalagi perempuan itu adalah istri pertama majikannya.Sementara itu, Harsa cuma bisa diam dan mendengarkan semua obrolan dua perempuan di depannya. Mulai mengamati sang pembantu dari ujung rambut sampai kaki. Sekarang, dia mulai menyadari jika perkataan sang pelayan restoran ada benarnya. Sorot mata Ardha memang sama seperti istri pertamanya walau wajah mereka berbeda. Pantas jika selama ini, Harsa selalu merasa familiar dengan Ardha. Namun, Harsa segera membuang jauh semua pemikiran tentang perempuan yang sudah meninggal tersebut. "Nggak mungkin orang mati bisa hidup lagi," ucap Harsa dalam hati. "Aku sudah menguburkan jasadnya dengan tanganku sendiri, jadi mana mungkin dia berada di hadapanku kini.""Maaf, jika saya salah, Bu," ucap sang pelaya
Happy Reading*****Ardha memukul-mukul dada sang majikan karena panggilan serta ketukan di kaca mobil semakin nyaring terdengar. Harsa pun terpaksa melepaskan pagutannya, lalu membuka setengah kaca mobil."Ada apa, Pak?" tanya sang direktur sekaligus owner perusahaan Catradanta."Sebaiknya, Bapak segera keluar. Jangan sampai berbuat mesum di sini," peringat sang penjaga parkiran.Harsa menampilkan deretan giginya. Dia baru menyadari jika kaca mobil yang dia pakai sangat terang, jadi apa yang dilakukannya tadi dengan Ardha bisa terlihat dari luar. "Maaf, Pak. Saya tidak akan melakukannya lagi.""Nggak papa, Pak. Pria memang suka khilaf kalau di dekat perempuan cantik," ucap si tukang parkir. Harsa pun membalasnya dengan tawa lirih tak lupa menyelipkan uang kertas senilai lima puluh ribu padanya. "Terima kasih, Pak. Maaf tentang yang tadi, saya cuma menjalankan tugas.""Santai, Pak," jawab Harsa, "Ayo, Sayang, turun," ajaknya pada sang pembantu yang membuat perempuan di sebelahnya memb
Happy Reading*****Harsa diam, dia juga tidak taahu mengapa hatinya begitu mudah luluh pada pembantu barunya itu. Setiap melihat sorot mata Ardha, lelaki berambut lurus dengan rahang tegas tersebut merasakan jantungnya berdebar keras."Sa, kamu sudah berusaha sejauh ini bahkan kamu mendapatkan semua harta ini dengan susah payah. Begitu mudahnya kamu memberikan harta itu pada orang lain yang kemungkinan besar punya niat buruk mendekatimu," nasihat sang pengacara dengan pemilik nama Yandra"Aku juga tidak tahu mengapa, Yan. Yang jelas, aku melihat ketulusan di matanya saat membantuku menangani Jenni."Yandra mendengkus. "Sadar, Sa. Dulu, kamu juga pernah mengatakan jika Jenni adalah orang paling tulus padamu, tapi kenyataannya. Dia tidak lebih baik dari baik dari Zika. Terkadang, aku merasa kamu salah menilai Zika.""Apa maksudmu? Zika itu cuma memanfaatkan aku saja karena kemiskinan. Semua keluarganya keluarganya menjadikanku sapi perah. Bangsat!" umpat Harsa dengan mata merah dan mel
Happy Reading*****Jenni tak menjawab malah tertawa lebar. Sementara itu, sang pembantu mulai resah. Ardha menggedor pintu kamarnya, berharap sang majikan akan membuka kunci dan membiarkan dia keluar. Perilaku Harsa saat ini sangat menakutkan."Pak, Anda sebenarnya kenapa?" tanya Ardha setelah mendengar langkah kaki Jenni menjauh.Menatap pembantunya lekat dari ujung rambut hingga kaki, Harsa menarik pinggang Ardha hingga keduanya kini menempel erat. "Aku cuma mengimbangi permainan Jenni. Dia sengaja mengurung kita di sini. Membiarkan aku melampiaskan semua hasrat padamu. Jadi, mari sukseskan apa yang sudah dia rencanakan," katanya.Harsa mulai mendekatkan bibirnya, sedangkan Ardha berusaha menjauhkan diri agar tidak larut dalam permainan sang majikan."Pak, jangan begini. Artinya, kita sama saja kalah dalam permainan Bu Jenni," ucap Ardha agar sang majikan tidak menodainya. Walau selama ini si perempuan sering menggoda Harsa, tetapi jika sampai tidur dan berhubungan intim, jelas Ard
Happy Reading*****Jenni menatap sang pembantu tajam. Menempelkan jari telunjuk ke bibirnya sendiri. "Ssstt, diam!" bentaknya.Ardha bungkam, menggigit bibir bawahnya disertai meremas kedua tangannya. "Bu ... Bapak nggak akan mati, kan?""Saya bilang diam," bentak Jenni. Perempuan itu mulai sibuk menegakkan badan Harsa setelah memeriksa tubuh yang lemah tersebut. "Bantu saya angkat.""Ba-baik." Ardha mulai mendekati tubuh majikan lelakinya. Meletakkan tangan kanan Harsa ke pundaknya, sedangkan tangan kiri, berada di pundak Jenni.Sang nyonya rumah memberi perintah masuk ke ruang kerja. Harsa didudukkan pada kursi kebesaran yang sering dipakai Jenni untuk mendesain gaun dan pakaian."Bu, Bapak mau diapain ini?" tanya Ardha, sekali lagi. Rasa penasaran membuatnya terus mengejar jawaban pada sang nyonya rumah."Jangan banyak tanya." Jenni mendelik, mulai emosi karena Ardha yang terlalu banyak bertanya. "Jaga dia sampai saya kembali lagi."Ardha mengangguk walau masih ketakutan jika m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments