KALAU boleh jujur, Irin lebih ingin tidur daripada pergi meninggalkan kasur. Setelah apa yang mereka lakukan sejak tadi, bahkan sampai berulang kali, dia merasa lemas dan tidak ingin melakukan apa-apa lagi. Sayangnya dia belum sarapan pagi dan perutnya kini minta untuk diisi. Sepertinya Rein pun merasakan hal yang sama, karena detik berikutnya dia bicara, "Mau makan di luar, nggak?"Irin mengerang malas, dia menarik selimut untuk menutupi kepalanya saat membalas, "Nggak bisa pesan aja gitu? Gue males keluar, Rein. Mau tidur lagi aja!""Masih lemes ya lo?" Rein tersenyum manis. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah istrinya yang tak kunjung meninggalkan bantal setelah mereka selesai bercinta. "Kalau lo terus-terusan di sini dan kayak gini, gue jamin bakal minta lagi, Rin!"Irin membuka selimut yang menutupi kepalanya dengan cepat dan membalas tatapan suaminya. "Jorok banget otak lo, Rein! Masih kurang apa dua kali di kamar mandi, satu kali di meja, masih nambah dua kali di ranjang? Gila,
SETELAH makan Irin berniat bertanya lagi. Namun, baru saja mulutnya terbuka, sosok itu lebih dulu menyapa dengan cara memanggil namanya."Hai Irina!" Seorang wanita cantik dengan body yang sanggup membuat Irin merasa iri itu kini sedang berjalan mendekati meja mereka. Irin mengernyitkan dahi, dia tidak merasa pernah mengenal wanita itu sebelumnya."Gue boleh duduk sini, kan?" tanya wanita itu, yang kini langsung menarik kursi di sebelah Rein dan duduk di sana, bahkan tanpa menunggu persetujuan dari keduanya."Gue nggak nyangka banget bisa ketemu sama kalian di sini," kata wanita itu sekali lagi.Irin menendang kaki Rein yang sejak tadi fokus pada makanannya tanpa mau menolehkan kepala untuk melihat siapa yang datang menghampiri mereka. Rein menatapnya dan Irin langsung memelototinya.Rein pun menoleh ke samping dan secara refleks dia berkata, "Freya? Ngapain lo di sini?"Dalam hati Irin mendumel sendiri. Lo dari tadi ngapain, sih? Kenapa bisa nggak sadar ada orang di samping lo?Tung
FAKTA bahwa Irin masih mengingat soal Akram membuat Rein merasa sedikit patah hati. Walaupun status mereka kini sudah menjadi pasangan suami istri, tapi tetap saja cinta masa lalu istrinya itu masih sanggup menghantui.Irin sepertinya menyadari perubahan suasana hati Rein, karena saat dalam perjalanan dia berkata, "Lo kenapa, deh? Jangan bilang lo nggak tega ninggalin Freya sendirian ketemu sama Alea tadi?"Rein melirik Irin sekilas, lalu mendengkus pelan. "Mana mungkin gue bisa nggak tega sama dia? Lagian dia bukan siapa-siapa, kenapa juga gue harus peduli banget sama dia?"Irin menatapnya dengan tatapan tidak percaya. "Ah masa cuek gitu lo ke dia? Padahal cakep gitu anaknya, apalagi itunya gede banget!""Apaan yang gede?" Rein tidak mengerti, dia melirik Irin yang langsung membuat gerakan di depan asetnya. "Oh itunya ... kan emang hasil operasi makanya bisa gede."Irin pun terkejut mendengar pengakuan suaminya. "Heh? Kok lo bisa tahu? Jangan bilang lo udah pernah megang lagi sebelum
KALAU dipikir-pikir lagi, ini memang pertama kalinya Irin pergi ke mall bersama Rein. Walaupun mereka berteman baik sejak dulu, tapi sebelumnya Rein belum pernah menemaninya belanja.Irin menarik napasnya panjang, kemudian mengembuskan napasnya secara perlahan. Dia merasa gugup, cemas, khawatir, juga takut. Rein tidak suka buang-buang waktu, tapi Irin kebalikan dari itu.Irin suka kalap dan kadang sampai lupa waktu ketika sedang belanja. Orang tuanya saja sampai marah-marah soal ini, terutama ayahnya. Ini masih belum soal tagihan kartu kredit yang akan membengkak setelah dia menggunakannya. Satu alasan lain yang membuat ayahnya semakin khawatir saja soal dirinya.Irin menggigit bibir bawahnya dan berdoa dalam hati, semoga kali ini dia bisa menahan diri atau Rein akan menyetujui rencana mereka yang akan bercerai dua bulan lagi.Rein sepertinya menyadari kecemasan istrinya itu, karena detik berikutnya dia bertanya, "Lo kenapa?" Tanpa menghentikan langkah kakinya yang sedang berjalan men
BIARPUN diminta untuk tidak jelalatan, tapi kalau tempatnya seperti ini sudah pasti tatapan matanya bakal jalan-jalan. Apalagi saat Rein melihat Irin mengambil beberapa potong pakaian dalam di depan matanya, dia bisa langsung membayangkan Irin dengan semua pakaian-pakaian dalam itu membungkus tubuhnya.Rein menarik napas panjang, lalu mengembuskan napasnya secara perlahan. Berusaha menenangkan diri juga menenangkan isi pikirannya yang mulai tak keruan."Hei, Rein! Bagusan yang mana? Gue suka warna ungu, tapi warna pink juga lucu," kata Irin sembari menyodorkan dua pasang pakaian dalam itu ke depan wajahnya.Dengan sebuah senyum cerah ditambah wajah tanpa dosa, Irin menggoyang-goyangkan pakaian dalam yang masih berada dalam gantungan itu di depan wajahnya.Rein merasa wajahnya panas hingga merasa ada sesuatu yang meledak di atas kepalanya. Irin pasti sudah gila, kenapa dia malah memamerkan hal seperti ini tepat di depan wajahnya?!Dia memang pernah melihatnya. Berulang kali dia melihat
REIN terpaksa harus membuang rasa malu saat mengambil beberapa pakaian dalam yang ada di jejeran rak gantung di samping tubuhnya. Berani sumpah, dia tidak semesum itu. Rein bukan Jake yang memang terkenal playboy dan berengsek. Dia termasuk kategori pria yang biasa saja, tidak alim tidak juga bajingan.Namun, demi istrinya dan demi kesehatan mentalnya, dia harus segera mengakhiri sesi belanja ini secepatnya.Rein mulai merasa tidak nyaman saat melihat orang-orang di sana sedang melirik mereka berdua dengan wajah penasaran.Ayolah! Dia bukan aktor tampan negeri ini seperti Jake, tapi kenapa mereka melihatnya layaknya Rein seorang aktor terkenal yang sudah biasa menjadi pusat perhatian media?Irin keluar dari ruang ganti dengan pakaiannya sebelum ini. Jangan kira Irin keluar dari sana hanya menggunakan pakaian dalam saja, karena perempuan itu jelas masih tahu malu saat mau melakukannya.Apalagi ada beberapa pria lain yang sedang menemani istri atau pacarnya belanja, kini sedang menatap
"RIN, lo mau bulan madu, nggak?"Irin yang berniat memejamkan mata dan beristirahat begitu mereka sampai apartemen pun sontak membuka kembali matanya lebar-lebar. Irin menatap Rein.Rein sedang duduk di lantai menggunakan kaki sebagai tumpuan, sambil menyangga kepala menggunakan kedua tangan yang berada di atas ranjang, dan menatap Irin dengan tatapan menghanyutkan.Rein tersenyum manis. Senyuman yang malah membuatnya terlihat layaknya sedang mengejek Irin yang gagal beristirahat lagi hari ini."Harus gitu lo nanyanya sekarang? Kenapa nggak besok-besok aja? Kenapa harus sekarang coba?" tanyanya dengan rasa kesal menggerogoti hatinya.Irin lelah. Dia cape luar biasa setelah semua yang mereka lakukan hari ini. Sejak pagi sampai siang, Rein terus mengajaknya bercinta. Lalu setelah itu, dia mengajak Irin pergi, masuk mall, belanja, makan siang, dan mereka tak kunjung kembali hingga petang.Irin hanya ingin merebahkan badannya, memejamkan matanya, dan mengistirahatkan tubuhnya sebelum Rein
"EMANGNYA lo cinta sama gue?" Detik pertama, Rein mengerjap. Dia bisa saja jujur dan mengiyakannya. Namun, taruhannya terlalu besar. Jika Irin setuju mereka benar-benar akan hidup bahagia, tapi jika tidak ... hubungan mereka akan berubah menjadi canggung dan itu sangat berbahaya. Rein pun berpikir untuk mengiyakan sekaligus menyerang balik istrinya. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah Irin yang kini sedang duduk di depannya. "Emangnya lo nggak?" Irin tampak terkejut mendengar pertanyaan yang balik menyerangnya itu. Wajahnya dengan perlahan mulai memerah, tapi hanya sebentar karena detik berikutnya dia mulai menggelengkan kepala dan menatap Rein tajam. "Alah, lo bilang kayak gitu paling karena mau minta jatah lagi dari gue, kan?" Irin menebak, langsung tepat sasaran dan menusuk Rein yang diam-diam ingin mencuri sebuah ciuman. Rein tersenyum masam. Dia langsung menjauhkan wajahnya dan menatap Irin dengan tatap putus asa. Padahal dia sangat berharap ini adalah sebuah kesempatan yang se