“Sean, menurutku kamu tidak rugi.”
Zie berucap lagi, berusaha membuat pria di depannya ini untuk tidak memikirkan atau merasa bertanggungjawab dengan apa yang terjadi di antara mereka.
“Apa kamu memang seperti ini, Zie? Sejak dulu?” Sean membalas ucapan Zie kemudian menarik sudut bibir.“A-a-pa?” Zie kehilangan kata sejenak sebelum berhasil menguasai pikirannya kembali. “Ah … ya, aku memang begini.”
“Apapun yang kamu pikirkan tentangku, pikirkan saja terus seperti itu. Aku tahu bahwa aku sama sekali tidak baik di matamu,” gumam Zie di dalam hati.
“Baiklah! aku hanya ingin mendengar ini darimu. Jadi mari kita tutupi semua yang terjadi hari itu. Anggap saja hanya sebuah mimpi buruk yang tidak perlu diingat kembali,” ucap Sean.
Pria itu berdiri lalu merogoh kantung celana. Sean mengeluarkan sejumlah uang lalu meninggalkannya di meja.
“Nikmati makanmu! Aku masih banyak urusan.”
Setelah berucap seperti itu, Sean pergi meninggalkan Zie seorang diri di restoran. Mata gadis itu mulai berair. Zie nampak mengangguk kecil untuk mengendalikan rasa nyeri yang tiba-tiba menyergap di dada. Ia sama sekali tidak tahu apa kesalahan yang telah diperbuatnya sampai Sean begitu dingin.
Sejak dia menyatakan cinta dan ditolak, Zie memang memilih untuk menghindari sepupu sahabatnya itu. Bukan tanpa alasan, selain malu dia juga tidak ingin terlihat seperti gadis gatal yang tak tahu diri di depan Sean.
Zie menghapus buliran kristal bening yang membasahi pipi, apa yang dia takutkan selama ini malah terjadi. Sean pasti akan semakin membencinya karena ini. Zie masih duduk diam di kursi, hingga memilih bangkit dan meraih antingnya yang tergeletak di tengah meja, saat pelayan datang mengantarkan makanan ke mejanya dan Sean tadi.
“Pria jahat itu, dia bahkan melupakan bahwa aku datang bersamanya ke sini tadi,” gumam Zie sambil berjalan keluar untuk mencari taksi.
***
Sepanjang perjalanan kembali ke LPA, Zie membuang tatapan ke luar jendela. Ia melihat baliho bergambar dirinya terpampang di beberapa titik di jalan. Sopir taksi yang sadar bahwa dia adalah Ananta Queenzie sang calon walikota idaman seluruh pemuda negeri pun terus mengamati dari kaca spion tengah. Pria paruh baya itu memilih mencoba membuka percakapan di antara mereka.
“Bagaimana perasaan Anda melihat wajah sendiri terpampang di setiap jalan yang dilewati?”
“Aneh, Pak,” jawab Zie.
“Aneh bagaimana?” Sopir taksi itu tersenyum. Ia merasa senang karena Zie mau meresponnya.
“Menjadi seorang pemimpin adalah cita-cita saya sejak kecil, tapi saya juga masih tidak menyangka bisa sampai di titik ini, ” jawab Zie yang masih memandang ke luar jendela.
“Anda hebat sekali, semua kandidat wali kota pasti dikawal saat pergi ke mana-mana, tapi Anda bisa dengan santai pergi ke restoran dan naik taksi seorang diri,” puji sang sopir.
“Biarlah Tuhan dan masyarakat yang mengawal saya, Pak.”
Sopir itu tersenyum mendengar kalimat Zie yang dirasa meneduhkan hati, dia mengangguk-angguk lalu kembali fokus ke jalan untuk mengantarkan penumpangnya itu sampai ke tujuan.
Semua orang di negara ini tahu, sebagai calon wali kota yang akan maju melalui jalur independent, Zie mendapat banyak cinta dan perhatian dari masyarakat. Bahkan saat dia terlihat bersama Sean di restoran tadi, pihak restoran langsung menolak reservasi berikutnya sampai Zie pergi dari sana.
“Tidak ada yang mengambil gambar ‘kan?” tanya seorang pria dengan kemeja putih dan jas hitam ke pelayan restoran yang tadi didatangi oleh Zie dan Sean.
“Tidak ada, Pak!” jawab pelayan dengan sopan. Mereka bercerita kalau Zie dan pria tadi sama sekali belum menyentuh makanan.
Pria berjas itu nampak curiga, hingga berpikir mungkinkah ada hubungan spesial di antara Zie dan pria yang tak lain adalah Sean.
***
Setelah menemui Zie, Sean memilih kembali ke kantor. Semua orang yang bekerja di perusahaan milik keluarga Tyaga itu, sama sekali tidak ada yang berani meragukan kemampuan Sean sebagai putra pertama sang pemilik. Pria yang digadang-gadang akan menggantikan posisi papanya itu, memang terkenal pekerja keras dan bertangan dingin. Beberapa prestasi sudah T Group dapat setelah Sean menjadi pucuk pimpinannya. Hal ini membuat posisi keluarga Tyaga menjadi di urutan nomor satu sebagai keluarga terkaya di negara ini.
Sean diam tapi mengumpat beberapa kali di dalam hati. Ia menduga Zie pasti salah sangka terhadapnya. Sean yakin wanita itu pasti berpikir dirinya menuruni sifat sang papa yang pernah menjadi seorang casanova. Padahal, apa yang dia perbuat dengan Zie malam itu adalah hal yang juga baru pertama kali dia lakukan di dalam hidup.
“Sial! aku bahkan tidak ingat bagaimana rasanya, dan bagaimana bisa,” umpat Sean. Ia menyanggah kepala, menunduk dengan ke dua siku tertumpu pada meja.
Cukup lama Sean diam seperti itu, sampai dia menegakkan badan dan berkata pada dirinya sendiri,” Ok, dia bilang akan melupakan kejadian itu. Jadi aku akan percaya. Dan seperti ucapanku, semua itu hanya mimpi buruk. Sean, lupakan!”
***
Sementara itu, Zie memilih mengurung diri di dalam kamar setelah sampai rumah. Gadis itu menatap layar ponsel dengan wajah cemas, entah apa yang ada di dalam benak Zie sampai dia dengan sadar mencari artikel tentang makanan yang bisa menggugurkan kandungan.
Zie menalan saliva lalu menyentuh permukaan perutnya yang masih rata. Di bawah artikel yang dia baca, ada sebuah tulisan besar layaknya iklan yang berbunyi-
‘Anda terlambat datang bulan, konsultasikan pada kami’.
Zie terlalu pandai untuk tidak tahu apa arti dari tulisan itu. Ia pun mencoba mengirim pesan berisi pertanyaan bagaimana jika sudah terlambat haid, apa yang harus dilakukan.
[ Datang saja langsung ke kami ]
Nomor yang dihubungi Zie membalas sambil mengirimkan sebuah alamat bertuliskan klinik. Tangan gadis itu gemetaran, kini dia mendapat bukti nyata kalau klinik aborsi seperti ini memang eksis di negaranya. Zie menggenggam erat ponsel di tangan, dia berniat mendatangi klinik itu untuk mengakhiri kegundahan hati.
“Masa depan, karir dan kehormatan keluarga berada di tanganku. Aku tidak bisa melepaskan semua ini hanya karena kebodohan atas tindakanku sendiri. Sean juga sangat membenciku, aku tidak mungkin datang dan berkata padanya kalau aku sedang hamil anaknya. Ya, Zie ini benar. Lakukan dan kembali jalani hidup dengan normal.”
Sisi hati Zie yang dirundung pikiran jahat menyarankan hal semacam itu. Sedangkan sisi yang lain memintanya untuk bertanggungjawab dengan apa yang sudah terjadi.
“Zie, kamu bekerja melindungi anak di LPA. Bagaimana bisa kamu malah ingin membunuh calon anakmu sendiri? dia tidak berdosa, kenapa kamu punya pikiran sejahat itu. Bertanggungjawab Zie, kamu bukan remaja belasan tahun. Kamu bahkan ingin menjadi seorang wali kota. Apa kamu tidak malu? Kamu ingin melindungi orang lain tapi membunuh bayimu?”
Zie membuang ponselnya lantas menutup muka dengan ke dua tangan. Ia lagi-lagi menangis karena bingung harus berbuat apa. Untuk beberapa menit gadis itu terus melakukan hal yang sama, hingga akhirnya memutuskan.
“Aku harus melakukan hal itu, harus!”
Hari itu Sean dan Zie menemani Lea bermain bersama Keenan di taman. Putra dan putri mereka itu tampak bermain prosotan juga ayunan bersama. Zie duduk tidak jauh dari mereka, dia sangat bahagia melihat Keenan dan Lea yang begitu akur. “Yura masih bersikeras tidak mau melihat kondisi ayahnya. Dia tampaknya sekarang benar-benar tidak peduli,” ucap Zie dengan tatapan tertuju ke Keenan dan Lea. Sean menghela napas kasar, hingga kemudian membalas, “Yura masih menganggap kalau kecelakaan yang menimpanya dulu memang disengaja. Sampai sekarang Yura juga sangat yakin jika pak Aris memang dalangnya, padahal yang sebenarnya itu murni kecelakaan. Kakaknya saja yang sengaja membuat isu itu agar Yura membenci papanya, kemudian pergi dan tidak mengharapkan warisan karena terlanjur benci.” Sean menjelaskan panjang lebar akan fakta yang memang diketahuinya. “Hem … tapi Yura sebenarnya juga sudah tahu, dan dia bilang tidak butuh warisan. Buatnya yang terpenting bisa hidup tenang dan Raiga terus mencin
Setelah perbincangan malam itu, hari berikutnya Yura dan Raiga pun menemui Mita yang sudah kembali masuk penjara. Di sana mereka bicara di ruang khusus yang memang disediakan untuk menjenguk narapidana.“Kami sengaja ke sini karena ingin meminta izin darimu. Kami berniat mengadopsi bayimu,” ujar Yura menyampaikan maksud kedatangannya dan sang suami, sesuai dengan apa yang sudah mereka sepakati.Mita terkejut mendengar ucapan Yura, bahkan menatap mantan teman kuliahnya itu seolah tidak percaya.“Aku akan meminta pengacara untuk menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan. Kami juga akan memberimu sejumlah uang, agar nanti saat kamu keluar dari penjara, kamu bisa memulai hidup baru yang lebih baik,” ucap Raiga.“Kamu harus berjanji, tidak akan pernah bertanya, mendekati, atau berpikir untuk melihat anak itu lagi, setelah kamu setuju untuk melimpahkan hak asuhnya kepada kami.”Raiga sengaja menegaskan agar Mita tidak sembrono dan dikemudian hari mengakui anak itu sebagai anaknya.Mita hany
“Tapi memangnya Lea boleh punya adik?” tanya Lea ke Yura, dia menatap wanita itu penuh harap.Yura menoleh Ghea, hingga kemudian mencoba memanfaatkan keinginan Lea untuk membujuk Raiga.“Kalau gitu ngomong ke papa, bilang Lea mau bayi ini jadi adik Lea. Gimana?” Yura mencoba memprovokasi karena mungkin jika Lea yang meminta hasilnya akan berbeda.Lea terlihat senang, hingga kemudian kembali menatap bayi Mita.Raiga baru saja selesai menangani pasien, dia cukup terkejut melihat Yura, Ghea, dan Lea di sana, karena mereka tidak mengatakan jika akan berkunjung ke klinik.“Papa.” Lea langsung berlari ke arah Raiga, kemudian meminta gendong.Raiga pun senang, dia menggendong Lea bahkan mencium pipi bocah itu penuh kasih sayang.“Kenapa kalian tidak memberi tahu kalau mau ke sini?” tanya Raiga sambil menggendong Lea. “Hanya kebetulan mampir, sekalian mau melihat bayinya Mita, katanya ada di sini,” jawab Ghea.Raiga menoleh ke bayi Mita yang tampak menggeliat di dalam box, kemudian kembali me
“Harusnya kita makan siang bukan makan sore seperti ini.” Raiga tampaknya merasa kasihan ke Yura yang harus menunggu dia membantu persalinan Mita tadi. “Tidak apa-apa, aku masih bisa menahan rasa lapar, lagipula aku senang melihat kakak bisa membantu persalinan ibu hamil dengan selamat.” Yura tersenyum lebar. Ia bahkan menyodorkan sendok ke depan mulut Raiga, dan pria itu tanpa ragu menerima suapannya. “Polisi tadi datang ‘kan?” Tanya Raiga. Masalah Mita sepertinya menjadi topik yang menarik untuk mereka bahas. Baik Raiga dan Yura tak menyangka kalau Mita berujung menjadi PSK dan hamil anak salah satu pelanggannya. Karena membahas soal bayi yang baru saja dilahirkan wanita itu, Yura pun memberanikan diri untuk bertanya bagaimana kalau mereka mengadopsi seorang bayi. Bukankah banyak anak yang butuh orangtua asuh di luaran sana. “Bagaimana menurut kakak? Apa kita harus mengadopsi anak?” Mendengar pertanyaan itu, pikiran Raiga pun langsung tertuju ke Mita. Mungkinkah Yura ingin men
Enam Bulan KemudianHari itu Yura baru saja mengantar Lea yang kemarin menginap bersamanya ke rumah Zie. Dia berada di mobil dan kini sedang menelepon Raiga. Setelah masalah Lea selesai hubungan mereka masih sangat harmonis. Riaga sendiri kini sudah tidak bekerja di rumah sakit karena fokus mengurus klinik bersalin miliknya sendiri.“Apa kakak sibuk? Aku sudah mengantar Lea ke apartemen kak Zie. Bagaimana kalau kita keluar untuk makan siang bersama?” tanya Yura.Dia seberang sana, Raiga tampak memulas senyum bahagia sambil membubuhkan tanda tangan ke berkas yang dipegang oleh perawat.“Tentu, aku tidak mungkin menolak ajakan makan siang dari wanita —yang selalu bisa membuatku merasa menjadi pria paling beruntung di dunia," jawabnya merayu.Yura pun tertawa mendengar ucapan Raiga, pria itu senang sekali menggombal dan membuat hatinya berbunga-bunga. Jika dipikir lagi, mungkin ini adalah hikmah dari kejadian yang menimpa rumah tangga mereka. Bukannya renggang hubungan keduanya malah ber
Hari berikutnya, baik Yura dan Zie terlihat sudah bisa menjaga perasaan dan sikap masing-masing. Keduanya bertatap muka meski tidak saling sapa, tapi tidak seemosi semalam. “Mama.” Lea langsung mendekat ke Yura, bahkan langsung memeluk wanita itu. Zie sedikit iri melihat hal itu, tapi dia mencoba menahan diri meski ada rasa sesak yang tak terelakkan melihat Lea yang memeluk Yura penuh kasih sayang. “Lea mau mandi, sambil main busa,” celoteh anak itu. Yura pun mengangguk sambil tersenyum, dia kemudian menggandeng Lea untuk pergi mandi, sedangkan Zie hanya bisa memandangi keduanya, tanpa bisa berbuat apa-apa karena takut membuat Lea sedih. Saat sudah berkumpul untuk sarapan bersama, mereka bersikap wajar meski wajah mereka terlihat begitu tegang. “Aku minta izin untuk bermain dengan Lea sebentar, Kak. Setelah itu baru kita bicara,” ujar Yura ke Zie. Ia memulas senyum tipis saat sang kakak ipar menganggukkan kepala tanda setuju. Yura pun mengajak Lea ke halaman samping. Dia sama se