Share

Bab 4 : Mengaku Pada Sean

“Se-Sean, untuk apa dia ingin bertemu?”

Tangan Zie gemetar saat membaca pesan yang dikirimkan oleh Sean. Keringat pun mulai membasahi kening karena takut. Bukannya membalas, Zie memilih mengabaikan pesan itu, dia merasa tidak perlu membalas. Hingga satu pesan kembali masuk tapi kali ini dari Marsha. Sahabatnya itu memberitahu bahwa Sean tadi meminta kontaknya.

[ Apa diam-diam kamu dekat dengan Sean? Apa yang tidak aku tahu Zie?]

Zie terdiam cukup lama, dia membaca berulang pesan yang dikirimkan oleh Marsha. Kali ini entah kenapa dia merasa sangat bersalah. Jika ke Marsha saja dia sampai merasa seperti ini, lalu bagaimana ke orangtuanya? 

Zie mencoba bersikap biasa, dia membalas pesan dari Marsha karena tahu sahabatnya itu pasti akan menerornya jika dia tidak bicara atau sekadar menjelaskan.

[ Dekat apa? jangan ngaco! Mungkin dia ada urusan dengan LPA]

[ Ayolah Zie, Sean bahkan belum punya anak, mana mungkin dia menghubungimu untuk urusan itu?]

Zie memilih untuk tidak membalas lagi pesan Marsha, hingga wanita itu kembali mengirim pesan.

[ Dia membawa sebelah anting yang aku hadiahkan untukmu, Bagaimana bisa kamu kehilangan benda itu?]

Zie tercekat, tangannya gemetar. Ia memilih mematikan ponsel dan memasukkannya ke dalam laci meja kerja. Zie sudah cukup dibuat pusing dengan berbagai kasus yang menumpuk di LPA, belum lagi masalah kehamilan dan pencalonan dirinya menjadi wali kota. Semua masalah menjadi satu dan seperti menumpuk di pundaknya. Zie juga harus mencari tahu, di antara bawahannya di LPA, siapa yang sudah memberinya obat perangsang hingga dia tidak bisa mengendalikan diri dan berakhir menyerahkan tubuhnya pada Sean.

“Ayolah Zie berpikir! Berpikir!” Zie mencoba mensugesti diri, tapi sayang berakhir dengan menangkup kepala karena dia bingung harus melakukan apa.

Sore harinya, Zie pulang paling akhir setelah kantor sepi. Ia mengayunkan langkah menuju mobil sambil menunduk, dia tidak sadar ada seorang pria yang sejak tadi duduk di dalam mobil dan menunggunya keluar.

Zie menekan kunci mobil dari jarak enam meter, hingga ayunan kakinya terhenti mendengar namanya dipanggil.

“Zie!”

Jantung Zie hampir melompat keluar, dia bahkan mengarahkan tangan ke depan badan dan mencengkeram erat kunci mobil. Zie tahu siapa pemilik suara itu. Pria yang hanya bisa dicintainya dalam hati selama ini. 

Meski dengan perasaan gugup dan jantung nyaris melompat keluar, tapi pada akhirnya Zie memutar tumit dan berpura-pura terkejut.

“Se-Se-Sean,”ucapnya. 

Zie merutuki diri sendiri, padahal dia sudah berusaha sekuat hati untuk bersikap biasa, tapi ternyata tetap saja grogi. Apa lagi saat pria tampan dengan kemeja putih yang pas di badan itu mendekat dan berdiri tepat di hadapannya.

“Kenapa kamu tidak membalas pesanku?” tanya Sean tanpa basa-basi.

“Ah … itu.”  

Zie merasa kikuk, sikap Sean masih sama, begitu dingin kepadanya. Sepupu Marsha yang satu ini sama sekali tidak pernah bersikap ramah seperti sang adik kandung – Raiga.

“Ada yang ingin aku bicarakan, ikut aku!” titah Sean. Pria itu dengan seenaknya membalik badan menuju SUV mewahnya.

Zie hanya bisa mematung kebingungan, sampai Sean yang sudah masuk ke dalam keluar dan memanggil namanya tak sabaran.

Zie pun bergegas mengunci kembali pintu mobilnya dan mendekat ke arah mobil Sean. Ia benar-benar takut, bahkan setelah duduk di sebelah Sean dia sampai lupa memasang sabuk pengaman dan berakhir dihardik oleh pria itu.

Sepanjang perjalanan, Sean hanya diam. Begitu juga dengan Zie yang tak tahu ke mana pria di sampingnya ini akan membawanya. Hingga beberapa menit kemudian, Sean membelokkan mobil ke parkiran sebuah restoran mewah, pria itu berjalan masuk tanpa mengajak Zie turun. Gadis itu hanya bisa menelan kekecewaan, Sean memang tidak pernah bisa bersikap manis padanya, entah apa kesalahan yang dia buat sehingga pria itu teramat kaku, meski Sean bersikap seperti ini bukan hanya ke dirinya, tapi tetap saja Zie terbawa perasaan. Direktur Lembaga Perlindungan Anak itu menyusul dengan langkah kecil, dia lalu duduk di depan Sean yang sudah sibuk membolak-balik buku menu.

“Pilihlah apa yang mau kamu makan !” titah Sean tanpa memandang wajah Zie.

Zie merasa dadanya ngilu. Hal yang paling menyakitkan baginya di dunia ini adalah cinta yang bertepuk sebelah tangan, dan cinta buta yang membuatnya dengan sadar melakukan perbuatan dosa. Zie hanya menatap Sean datar, tanpa sadar tangan gadis itu mengusap bagian perut yang masih rata. Sean menutup buku menu, dan tanpa sengaja melihat apa yang baru saja dilakukan oleh Zie. Putra sulung Daniel Tyaga itu mengira gadis di depannya ini sedang kelaparan.

“Apa kamu ingin langsung menyantap hidangan utama?” tanya Sean yang terdengar cukup ramah.

Sayangnya ini bukan bentuk perhatian. Sean mengangkat tangan dan langsung memesan makanan tanpa menanyakan hidangan jenis apa yang diinginkan oleh Zie. Menurut Sean menunggu Zie memilih akan memakan waktu lama, dia menemui gadis itu bukan untuk sebuah makan malam romantis, tapi untuk memuaskan rasa penasarannya.

“Aku akan memesankan makanan yang sama, tidak apa-apa ‘kan?” tanya Sean. Pertanyaannya itu diiyakan oleh Zie dengan anggukan kepala.

Sadar bahwa pertemuannya dan Sean bukan untuk sesuatu yang spesial, Zie pun memberanikan diri bertanya setelah pelayan pergi, kenapa Sean mengajaknya ke sana, dan apakah ada hal penting yang ingin dibahas pria itu dengannya.

Sean menduga, Zie sepertinya enggan berlama-lama bertemu dengannya. Ia lantas mengeluarkan anting dari kantung baju dan meletakkannya di bagian tengah meja. 

Meskipun Marsha sudah memberitahunya, tapi Zie masih saja terkejut melihat anting itu. Sebisa mungkin dia menyembunyikan perasaannya dan menatap wajah Sean. 

“Ini antingmu ‘kan? anting ini kusus dipesan di RM Jewelry, ini hadiah dari Marsha untukmu, designnya Marsha sendiri yang membuat,”ujar Sean.

Zie terdiam, dia tidak bisa menghindar karena asal-usul anting itu disebutkan Sean dengan sangat jelas. Mustahil baginya untuk mengelak. 

“Iya, itu milikku,” aku Zie.

“Kenapa anting ini bisa berada di kamar hotel tempatku menginap, dan …. “

“Sean apa pun yang terjadi hari itu semuanya adalah salahku,” potong Zie cepat. Ia tak sanggup mendengar kalimat hinaan atau cacian dari mulut pria yang sangat dicintainya ini.

“Aku melihatmu keluar dari kamar dalam kondisi mabuk lalu ambruk di depan pintu, aku hanya berniat membantumu untuk masuk kembali ke dalam tapi …. “ Zie menjeda kata, dia memejamkan matanya sejenak sebelum menarik napas dan berucap kembali,”Aku tidak bisa mengendalikan diri.”

Sean tak bisa berkata-kata, dia tak menyangka alih-alih berbohong dan mengelak, Zie malah jujur bahwa telah melakukan cinta satu malam dengannya.

“Sean, kita sudah sama-sama dewasa. Ayolah! Aku yakin kamu juga sudah sering melakukan itu, jadi menurutku tidak perlu dipermasalahkan.”

Entah apa yang ada di otak Zie saat ini, dia seolah memposisikan diri sebagai jalang yang dengan mudahnya melakukan hubungan tanpa dilandasi cinta dan menentang norma.

Sementara itu, Sean masih tak bersuara. Pria itu bermonolog di dalam hati sambil mengingat ucapan Marsha kepada Zie, yang dulu tanpa sengaja pernah didengarnya saat masih remaja.

“Aku akan memberitahu Sean kalau kamu sudah tidak perawan agar dia menolakmu.”

Comments (11)
goodnovel comment avatar
Ria Rifantiani
yaaahhh marsha and the bear
goodnovel comment avatar
~kho~
oalah...akhirnya membuktikan sendiri kan Sean, kamu yg buka segelnyaa
goodnovel comment avatar
Sari 💚
wkwkwk salah paham ternyata. Sean menganggap Zie ga perawan lagi, trus Zie menganggap Sean udah biasa melakukan hal itu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status