Share

Bab 6 : Klinik Aborsi

“Dok, Anda dicari – “

Raiga sedang membaca rekam medis salah satu pasien siang itu, saat seorang perawat masuk ke ruangannya. Pria itu melepas kacamata dan bertanya siapa yang mencari dirinya sampai ke rumah sakit. 

Namun, belum juga si perawat menjawab, dua orang berbadan tegap dengan kemeja warna gelap masuk ke dalam.

“Dokter, kami butuh bantuan Anda,” ucap salah satunya

“Bantuan, apa masalah yang sama lagi? klinik aborsi?” 

Tebakan Raiga diamini dengan anggukan kepala dua orang itu.

_

_

Sementara di tempat lain, Zie tengah harap-harap cemas. Menggunakan baju kasual, topi dan masker. Wanita itu benar-benar mendatangi klinik yang dia temukan di internet kemarin. Ia duduk di selasar menunggu antrian seperti beberapa pengunjung yang lain. 

Zie menoleh ke kanan dan kiri, setan sudah merasuki nuraninya hingga bertindak sampai sejauh ini. Ia merasa tidak bisa mempertahankan bayinya, tidak. Ini terlalu sulit untuk dihadapi seorang diri. Zie mencoba bersikap tenang, meyakinkan diri bahwa semua ini adalah keputusan yang paling baik. Perbuatannya malam itu bersama Sean adalah sebuah kesalahan. Ia tidak mau menanggung akibatnya sendiri. Zie berjanji setelah ini dia akan bertaubat. Ia tidak akan mengulangi kesalahan lagi. 

Namun, baru saja pasien ke dua keluar dari ruang praktik dokter. Seorang pria berlari menerobos masuk ke sana.

“Pak, ada petugas!”

Ucapan pria yang masuk terdengar oleh semua orang. Zie pun terkejut bukan kepalang, mereka seketika panik karena tempat itu digerebek polisi.

“Diam di tempat!” suara petugas terdengar sangat lantang.

Zie benar-benar syok, dia tidak percaya dengan apa yang terjadi. Tangannya gemetar, dia merasa limbung, sampai terduduk lagi di kursi. Ia semakin tak bisa berkata-kata karena melihat Raiga di sana.

“Ra-Ra-Rai,” ucapnya terbata-bata.

Mereka semua dikumpulkan dalam satu ruangan, Zie bahkan diminta untuk melepas masker dan topi, membuat orang-orang kaget karena calon wali kota mereka ada di sana juga.

“Nona Zie!” 

Seorang polisi wanita menyebut namanya dengan bola mata nyaris keluar. Begitu juga dengan Raiga yang menoleh saat mendengar nama yang tak asing di telinganya disebut. Putra bungsu Daniel Tyaga itu kaget mendapati teman SMA sekaligus sahabat baik sang sepupu berada di sana.

Namun, karena tahu siapa Zie. Mereka tidak curiga dengan niat asli gadis itu mendatangi klinik aborsi tersebut. Hal ini pun dimanfaatkan oleh Zie untuk berbohong.

“Aku ke sini karena adanya laporan ke LPA, aku sedang menyelidiki satu kasus.”

Alasan Zie terdengar sangat masuk akal, tapi nahas ini tetap tak bisa membuatnya lolos dari pemeriksaan. Zie diminta melakukan uji kehamilan untu membuktikan kebenaran atas ucapannya barusan. Beruntung, tidak ada media yang meliput penggerebekan itu, sehingga Zie masih bisa sedikit tenang.

_

Satu persatu wanita yang sudah selesai melakukan uji urine masuk ke ruangan, di mana Raiga sudah menunggu untuk melihat hasilnya. Hingga tiba giliran Zie, dia berjalan pelan lalu duduk di depan dokter tampan itu.

“Kamu benar-benar, kalau ingin melakukan misi ajak staff atau minta saja staffmu, kenapa menyulitkan diri seperti ini?” cerocos Raiga. 

Ia dan Zie memang kenal dekat. Gadis itu dan Marsha sering meminjam pekerjaan rumah miliknya saat masih sekolah dulu. Raiga yang sangat pintar terkadang sampai harus mengajari mereka layaknya guru pribadi.

Zie hanya tesenyum tipis menanggapi, kemudian mengulurkan alat uji kehamilan yang baru saja digunakannya ke Raiga, hidup dan matinya kini berada di tangan pria ini.

Raiga terdiam, nampak jelas pria itu menelan saliva saat melihat hasil uji kehamilan milik Zie. Ia buru-buru menindih hasil tes dengan kertas, saat polisi yang berdiri tepat di sebelahnya menoleh. 

“Sebaiknya jangan melakukan hal seperti ini lagi, bahaya! Kamu tidak tahu orang bisa berpikir buruk tentangmu.” Raiga mengucapkan kalimat itu dengan tegas, lalu mendongak menatap polisi yang ada di sebelahnya. “Hasilnya negatif.”

Zie tersentak, dia tak menyangka Raiga akan berbohong demi dirinya. Pria itu kini menatapnya dengan kening berkerut. Zie jelas melihat dua garis merah tercetak tebal di sana. Ia bingung, kenapa Raiga melakukan ini. Padahal dia sudah siap untuk menerima semua konsekuensi.

“Apa sudah selesai, Pak?” tanya Raiga ke polisi. Sedangkan Zie, nampak berjalan di belakangnya dan terus menundukkan kepala.

“Sepertinya sudah, Dok. Terima kasih atas bantuan Anda.” 

Polisi itu menjabat tangan Raiga, lalu menunduk memberikan salam ke Zie yang berdiri di dekat dokter kandungan itu. Raiga menoleh, banyak pertanyaan yang berputar di kepala. Meski tak seharusnya mencecar Zie, tapi gadis itu seharusnya sadar bahwa dia baru saja berhutang budi.

“Kamu naik apa ke sini?”

“Taksi,” jawab Zie sambil terus menunduk, dia tidak berani menatap wajah adik kandung pria yang sangat disukainya itu.

“Ayo pulang bersamaku!” ajak Raiga.

“Tidak perlu! aku …. “

“Aku ingin bicara banyak denganmu!” potong Raiga cepat. Hal ini membuat Zie kembali menunduk karena takut.

***

Zie mimilih diam dan terus menekuri jemari sepanjang perjalanan pulang bersama Raiga. Ia berdoa semoga pria di sebelahnya tidak menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi. Namun, harapan Zie jelas mustahil untuk dipenuhi, karena saat mobil berhenti di lampu merah, Raiga menoleh dan mulai bertanya.

“Kamu sudah hamil berapa bulan?”

DEG

Meski seharusnya tak lagi terkejut, tapi Zie merasa jantungnya hampir melompat keluar. Dia menggeleng pelan karena memang tidak tahu berapa usia kandungannya.

“Apa? tidak tahu?” 

Raiga membentak dan sebuah pukulan melayang dari Zie ke lengannya. Gadis itu memegangi dadanya sendiri.

“Bisa tidak jangan membuatku kaget? Aku sudah takut setengah mati sejak kemarin Rai. Apa kamu tahu apa yang aku pikirkan dan rasakan? Aku takut orangtuaku kecewa, karirku hancur, aku dibenci semua orang dan harus membesarkan anak ini sendirian.”

Raiga hanya bisa mengedipkan mata, kini giliran dia yang terkejut karena Zie bersikap sangat emosional. Raiga semakin bingung karena Zie menangis, yang bisa dia lakukan hanya menyambar kotak tisu lalu memberikannya ke gadis itu.

“Kamu pasti ingin tahu alasanku sampai datang ke sana,” lirih Zie setelah bisa meredam emosi. Ia merasa sedikit lega karena akhirnya bisa menumpahkan tangis dan perasaan di depan orang lain.

“Ayah bayi ini tidak menginginkannya, dia bahkan tidak tahu bahwa aku sedang nengandung anaknya. Semua ini kesalahanku. Aku dengan sadar membiarkan dia melakukan perbuatan itu, bahkan aku menikmatinya,” ucap Zie, setelah itu meraung sambil menghapus lelehan air mata di pipi.

Raiga melongo, dia tak paham dengan maksud ucapan Zie. Bagaimana dia tahu kalau pria itu tidak menginginkan bayinya, sedangkan dia saja tidak memberitahu tentang kehamilannya.

“Zie, kamu itu lucu,” kata Raiga.

“Apa? apa sekarang kamu menganggapku dakocan?”

“Hei, kamu bilang tidak memberitahu pria itu kalau kamu hamil, lalu kenapa memutuskan dia tidak menginginkan anak itu?” tanya Raiga dengan alis tertarik ke atas.

“Karena dia manusia gelato,” jawab Zie dengan suara tercekat karena sesenggukan.

“Sean?”

Tangisan Zie seketika berhenti, dia menoleh Raiga yang juga sedang menatapnya. Zie mengangguk sekali, kemudian menggeleng berkali-kali. 

Komen (14)
goodnovel comment avatar
Ria Rifantiani
manusia gelato bisa bikin orang hamil hahahaa
goodnovel comment avatar
~kho~
hahaha manusia gelato....saking cooL nya..
goodnovel comment avatar
Sari 💚
Manusia gelato, gelato apa ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status