Share

Titania Menunggu Braga

   Braga malam ini sedang berpacu di lintasan, dia harus tiba di garis finish lebih dulu, Braga tidak mau jika sampai dia dan teman-temannya harus bertekuk lutut di bawah naungan Roxy yang angkuh dan licik itu. 

   Dia melewatkan satu ritual penting sebelum balapan, yaitu mengecek kondisi lintasan, entah untuk sekedar melihat infrastruktur jalan, ataupun kemungkinan sabotase dari kubu lawan. Malam ini Braga tidak sempat melakukannya karena harus menjemput Titania di Bandara tadi, dia pun juga datang paling akhir ke lokasi. 

    Satu tikungan lagi dia akan tiba di garis finish, dari kejauhan Braga telah melihat lampu-lampu motor anak-anak Badblood dan juga anak-anak Enemy Coffin yang berpendar. Saat ia sedang fokus melihat kedepan, tepatnya kearah Orion dan Rigel yang sedang menyemangatinya --Alastair tidak pernah ikut diacara seperti ini dia lagi sibuk menghafal rumus-- Tiba-tiba sebuah balok kayu terbang melayang kearah tengkuknya dengan kecepatan tinggi, Braga jatuh tersungkur bersama motornya. 

   Kepalanya terasa berat dan pusing, pemandangan di sekelilingnya juga terlihat berputar-putar. Namun Braga ingat, dia masih ada kewajiban untuk menyelesaikan pertandingan, dengan langkah terseok sambil memegangi sikunya yang berdarah, ia menarik motornya yang tersungkur ke pinggir lintasan, Braga segera menyetarter motornya dan kembali melaju kencang menuju garis finish. 

   Akibat gesekan yang terjadi cukup keras antara aspal dan body motor tadi rupanya sampai menimbulkan percikan api. Braga menoleh kebelakang, meski helm fullface nya terasa berat, dari jauh ia melihat cahaya lampu dari motor Roxy, yang rupanya datang kian memangkas jarak laju motor mereka. Braga tidak ingin kehilangan moment satu detik pun, ia memutar stang motornya untuk menambah kecepatan, otaknya terus berpikir, ada yang sengaja mencelakainya, dan yang memukulnya tadi kalau bukan anak-anai Enemy Coffin ya pasti orang-orang suruhan Roxy. 

   Braga semakin optimis dengan kemenangannya malam ini, garis finish sudah terlihat di depannya, suara teriakan dari anak-anak Badblood kian terdengar, mengalahkan deru mesin motornya. Nama Braga kembali terdengar riuh malam ini. 

   CKITT! 

   Rem motor Braga putar, ia benar-benar telah melewati garis finish. Ban berdecit dan Braga segera turun dari motornya.

Lelaki itu membuka helmnya lalu melemparkan begitu saja kearah Orion. Cowok itu menangkap dengan sigap helm sultan milik Braga yang sudah dilengkapi dengan intercom senna.

    Seluruh anak-anak Badblood maupun Enemy Coffin, melihat ekspresi kemarahan dalam mata Braga. Rigel menatap kearah tangan ketua mereka yang terlihat mengepal, hingga buku-buku jarinya memutih, dia sepertinya sudah siap melayangkan tinjunya ke muka Robert. 

   Tak ada yang berani bertanya pada Braga, bagaimana bisa ia terjatuh tadi, mereka hanya bungkam, karena pertanyaan mereka akan segera terjawab. 

   Roxy turun dari motornya sambil misuh-misuh karena dia kalah lagi saat ini. Sementara Braga dengan langkah tegapnya menghampiri Roxy, sedikit angkuh mengetuk kaca helm rival terberatnya. 

    "Gue kasian sama hidup lo, sudah main curang! Kalah lagi!" ejek Braga sinis, dan ini berhasil menyulut emosi si ambisius namun pecundang itu. Roxy dengan senyum smirknya membuka helm lantas menaruhnya keatas tanki motor. 

    "Hanya anak kecil yang kalau jatuh, itu nyalahin orang lain," balas Roxy menyindir. Braga seketika menghantam muka Roxy dengan tinjunya. 

   "Gue terlahir dengan segala keberuntungan untuk gue, buktinya tadi gue jatuh dengan miring ke kiri, jadi tangan kanan gue masih bisa puas jotosin lo, pecundang berengsek!" Braga masih memukuli Roxy hingga muka nya babak belur. 

   Roxy yang limbung karena pukulan Braga, jatuh terjengkang dari atas motornya. Suara gedebug saat kepala Roxy menghantam aspal terasa membuat Rigel dan yang lainnya merasa ngilu. 

   Rigel segera memisahkan keduanya, Ia menahan Braga dan menariknya menjauh, Roxy yang bangkit dari aspal segera bergegas menghampiri Braga, namun dengan cepat pula segera di tahan oleh Noah. Tangan kanan alias anggota terpercaya Roxy di geng Enemy Coffin. 

    "Sudah Boss, jangan kaya gini, bikin nama Enemy Coffin makin jelek di mata mereka," ucap Noah memperingatkan Roxy. Sambil tangannya mencengkeram tubuh Roxy erat-erat. 

   "Bagusnya lo aja Noah! Yang jadi ketua Enemy Coffin bukan si pecundang berengsek ini." tunjuk Braga ke arah muka Roxy. 

   "Buruan! Mana duit yang lo janjikan, gue buru-buru ada urusan pentung habis ini," teriak Braga sambil mengusap darah yang mengotori jaketnya gara-gara luka tadi. Dengan dadanya naik-turun ngos-ngosan usai menghajar Roxy barusan. 

  "Kasih Noah! Dua cewek itu juga seperti perjanjian di awal," intruksi Roxy pada Noah dengan tatapan kurang suka. 

  Noah segera melemparkan uang dalam amplop coklat dari balik jaketnya pada Braga. Cowok itu menangkapnya lantas diam termangu. 

   "Ini semua duit lo?! Apa duit dari seluruh anggota Enemy coffin?!" tanya Braga lagi menatap tajam kearah Roxy. 

   "Seluruh anggota Enemy Coffin." Noah yang menyahut, karena Roxy memilih bungkam, mendengar jawaban Noah, Braga berdecih menatap Roxy remeh. 

   "Lo kalau mau taruhan, pakai duit lo sendiri! Jangan minta-minta ke anggota lo, NYUSAHIN!!" sinis Braga. 

   Braga membuka amplop yang kata Roxy isinya 40 juta itu, Braga menggambil setengahnya saja lantas melemparkan kembali amplop cokelat berisi uang tadi, ke Noah. 

   "Gue cuma ambil buat perbaikan motor gue yang lo bikin lecet tadi," ucapnya pada Roxy yang masih dalam kungkungan Noah. 

   "Juga sedikit buat anak-anak Badblood, yang menghabiskan waktunya disini, itu lo bagi kembali sama anggota lo, gue terima tantangan lo lagi kalau itu murni pakai duit lo," lanjut Braga. 

    Segenap anggota geng Enemy Coffin, merasa kagum pada kepemimpinan Braga, dia benar-benar memperhatikan dan melindungi yang namanya 'Anggota'. 

    "Jadi ketua itu, beban yang berat, lo kudu bisa melindungi dan membuat seluruh anggota lo merasa aman, bukan malah memperalat mereka," pesan Braga sambil tersenyum remeh, dan menepuk pundak Roxy lantas berlalu.

    "Cabut sekarang!!" perintah Braga menginstruksikan pada anak-anak Badblood. Orion melemparkan kembali helm Braga yang sedari tadi dibawakannya, Braga lantas memakainya dengan cepat, dan menyetir motornya. 

***

    Ini sudah lewat tengah malam, di depan unit 1084 seorang gadis sedang duduk diatas kopernya sambil bersandar di dinding. Hp nya lowbatt dan dia tidak bisa masuk ke dalam unit apartemen karena tidak mempunyai kartu akses dan juga tidak tahu kombinasi angka pada doorlock pintu tersebut.

   Titania memandangi hpnya, yang layarnya telah menghitam, padam. Seharusnya dengan gadget itu ia bisa menghubungi tante Amelnya untuk bertanya password doorlock, tapi akhirnya ia pasrah dan mau tak mau hanya menunggu saja. 

    Titania sudah hampir dua jam berdiam dengan posisi yang sama menunggu Braga yang katanya akan kembali secepatnya untuk menemuinya setelah keluar sebentar, tak banyak manusia yang berlalu lalu-lalang di lorong apartemen saat ini, karena di jam malam seperti ini pasti mereka sudah pada tidur. 

    Ada yang berseliweran namun itu hanyalah makhluk tembus pandang yang oleh Titania berusaha tidak dipedulikan, ya, Titania adalah gadis indigo, tapi itu tidak penting, saat ini yang paling penting adalah, dia ingin merebahkan punggungnya di ranjang empuk barang semenit saja, demi meredakan rasa lelahnya usai penerbangan.

   Saat ia merosotkan dirinya kelantai karena kelelahan, saat itulah ia mendengar derap sepatu dari ujung lorong, yang terdengar berlari terburu-buru mendekat kearahnya. 

    Braga datang dengan penuh luka, dan tampak sedikit cemas berlari menemui Titania. 

   Tanpa banyak bicara dia segera menekan kombinasi angka pada doorlock di belakang Titania. 

   Cewek itu dengan raut bahagia segera menyeret kopernya masuk ke dalam unit, mengikuti Braga yang telah masuk duluan. 

  "Sorry gue agak lama tadi, ada beberapa kejadian tidak terduga yang harus gue selesaikan, sorry gue juga nggak tahu nomor hp lo, jadi nggak bisa ngabarin," ucapnya mengantisipasi jika tamu Mamanya itu akan marah padanya. Padahal dia saja yang lupa ngabarin, karena Mamanya telah memberikan nomor Starla padanya saat memintanya menjemput di Bandara. 

   "Lo pasti kesel kan?" lanjut Braga. 

   "Iya nggak apa-apa kok, aku nggak kesel cuma agak mengantuk dan sedikit lapar," ucap Titania sambil membuka kopernya dan mengambil dua bungkus pie susu khas Bali, yang satunya ia berikan pada Keenan. Begitu mereka tiba di ruang tengah.

   "Lo nggak marah?" tanya Braga keheranan. Sambil menerima Pie susu yang Titania sodorkan padanya. 

   "Jadi, aku seharusnya marah?" Titania balik bertanya. 

   "Nggak juga sih, gue kira lo bakalan marah," ucap Braga melahap Pie susu itu dalam sekali gigitan. 

   "Lo kok nggak ke lobi aja? minta dibantu ke petugas buat masuk ke unit gue," tanya Braga. 

   "Nggak kepikiran," jawab Titania enteng. Braga sejenak memperhatikan cewek yang duduk tak jauh darinya ini. Jika yang dalam kondisi menunggu selama itu adalah Dipsha, pasti Dipsha sudah akan meledak-ledak sedari tadi. 

   Tunggu! Kenapa Braga jadi membanding-bandingkan Dipsha dengan Titania. Dipsha adalah sosok cewek yang selalu mengisi hatinya, sedangkan Titania, siapa dia? cuma cewek polos yang datang dari luar kota dan langsung menyusahkannya untuk menjemput ke Bandara.

   "Kamu kenapa bisa luka-luka begini?" tanya Titania begitu tatapan matanya tertuju pada luka Braga akibat jatuh dari motor tadi. 

    "Jatuh!" jawab Braga singkat. 

    "Mau aku bantu obatin?" tanya Titania. 

    "Kalo nggak ikhlas nggak usah!" tukas Braga. 

    "Gue nggak bisa pulang dengan kondisi penuh luka kaya gini, gue nggak mau bikin mama sedih," ungkap Braga, melepaskan jaket hitam bertuliskan Badblood itu dan melemparkan ke sofa seberang. Saat itu terlihat luka memar dan robek di lengan kiri Braga. 

   "Jadi kamu mau nginep disini? Trus kamu mau tidur dimana?" tanya Titania lagi. Sambil membuka kopernya untuk mengambil kotak obatnya. Yang sudah disiapkan oleh Mama.

    "Gue numpang disini malam ini aja, lo bisa kunci kamar lo, kalau lo merasa keadaan gue membahayakan lo," ujar Braga merebahkan diri di sofa, sambil menekan remote tv.

    "Memangnya kamu orang yang berbahaya?" tanya Titania beringsut menjaga jaraknya dengan Braga. 

   "Menurut lo?!" ucap Braga ketus. Matanya sibuk menonton acara TV malam. 

   "Jadi obatin gue nggak?!" tanya Braga lagi. 

   "Jadi... jadi... jadi..." ucap Titania tergagap. 

   Titania mengoleskan alkohol cair untuk meredam luka Braga, setelah itu ia meneteskan cairan antiseptik agar luka-luka itu tidak infeksi. Titania melakukannya dengan hati-hati, tidak ingin menambah rasa sakit Braga

   Braga memperhatikan cewek di depannya ini, mengamatinya lekat-lekat, kalau tidak salah dia pernah bertemu dengan cewek ini, sewaktu kecil. Namun kronologisnya bagaimana dia lupa. Yang dia ingat adalah anak kecil itu memakai kalung serupa dengan yang tengah dipakai oleh Titania saat ini, kalung besi berwarna silver dan berukir nama Titania. 

   Kini Titania berpindah mengobati luka di bahu Braga, cewek tersebut menyingsingkan kaos hitam polos yang tengah di pakai oleh Braga dengan hati-hati. Agar lebih leluasa mengobati lukanya.

   Braga merasakan nafas Titania menyapu wajahnya. Wajah Titania kian mendekat karena cewek itu harus meniup-niup luka Braga. Dengan jarak sedekat itu Braga semakin yakin bahwa dia pernah bertemu cewek ini. 

    "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Braga tiba-tiba, saking penasarannya. 

   "Aku rasa pernah, dulu sewaktu Papa aku nganterin Om Rama dan Tante Amel balik berlibur dari Bali," jawab Titania yang juga terlihat sedang memutar memory nya. 

   "Tuh kan! Pantes gue kaya nggak ngerasa asing gitu sama lo!" seru Braga. 

   "Kamu yang dorong aku sampai jatuh dan menabrak tempat sampah, cuma gara-gara mau minjem boneka Barbie milik Sasha, anak nya temen Papa juga, Om Romy itu, tapi Sasha bilang katanya aku mau rebut bonekanya trus kamu dorong aku." kenang Titania sambil mengoleskan antiseptik ke bahu Braga.

   Braga meneguk salivanya kasar, dia tidak mengira kenangan buruk itu yang dikenang oleh Titania. Dan dia juga merasa bersalah kenapa waktu mereka kecil Braga bisa sekasar itu sama cewek. 

    "Sasha? Dipsha maksud lo?!" Braga mengkoreksi penyebutan nama Dipsha yang salah sebut oleh Titania. 

   "Oh iya Dipsha apa Shasha gitu lupa," ucap Titania tertawa geli. 

   "Sorry ya, waktu itu gue masih kecil, nggak tahu kalo nggak boleh main fisik sama cewek," ucap Braga gengsi, dia seperti tidak tulus saaat meminta maaf pada Titania. 

   "Tapi makasih ya, kamu juga yang tolongin aku pas aku lihat hantu di toilet," ucap Titania kemudian. 

   "A... apa hantu?!" desis Braga dengan mata membulat. 

   "Iya waktu habis, nangis aku cuci muka ke toilet, sama Mama, tapi Mama keluar sebentar buat beliin aku jajan, biar nggak nangis lagi, trus aku yang melihat ada hantu bergantungan di lampu toilet menangis heboh, dan tiba-tiba kamu datang dan menuntun aku keluar dari toilet." kenang Titania sekali lagi. 

   "Naah seperti nya kalo ini gue inget, meski ga semuanya!" seru Braga. 

   "Gue inget waktu mau pipis di toilet pria ada suara teriakan dari toilet cewek, gue pikir lo nyari mama lo, makanya gue ajak lo keluar, sampe segitu aja ingetan gue," ucap Braga. 

   "Lo serius bisa lihat hantu?" bisik Braga. 

   "Seribu rius," jawab Titania tanpa menoleh. 

   "Ehmmm, lo bisa lihat nggak di unit ini ada 'itu' nya?" tanya Braga was-was sambil mengedarkan pandangannya kesekeliling. 

    "Iya tentu adalah," jawab Titania enteng. mendengar jawaban Titania barusan, wajah Braga berubah pias. Cowok garang itu kelemahannya adalah pada film horor dan cerita horor lainnya, dia paling tidak suka dengan yang berbau horor. 

   "Yakin lo?" Braga memastikan.

   "Gue nanti tidur di kamar bareng lo ya." Braga berdehem tidak ingin terlihat takut. 

    "ENGGAK MAU! MAMA BILANG BERDUAAN SAMA COWOK ITU BISA BIKIN MASUK NERAKA." tolak Titania mentah-mentah. 

   

    

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status