Mag-log in“Mulai!”Pemuda berbaju merah itu tidak membuang-buang waktu. Segera setelah mendengar aba-aba, ia langsung bergerak cepat ke arah Jun. Dia mencoba menangkap Jun dengan tangannya untuk menjatuhkannya langsung ke matras. Begitulah Evan dan juga yang lainnya menyadari kalau dasar bela diri yang lebih muda adalah Judo.Evan seperti beberapa orang lainnya di situ punya pikiran yang hampir sama. Jun akan langsung kalah saat pemuda itu berhasil menangkap dan mengunci pergerakannya. Perbedaan ukuran tubuh keduanya jelas menguntungkan pemuda yang lebih muda.Namun, hal yang mengejutkan kemudian terjadi. Seakan sudah mengantisipasi gerakan itu, Jun tetap tenang saat pemuda itu mencoba menangkapnya. Ia kemudian menangkis kedua tangan pemuda itu dengan lengannya dan kemudian menendang dadanya, membuatnya terdorong ke belakang beberapa langkah sementara Jun tetap di posisinya.Pemuda itu tak menyerah. Ia sekali lagi maju dengan serius, berusaha menjepit Jun untuk melakukan lemparan. Akan tetapi,
Bunyi bel terakhir berdentang nyaring, menandai berakhirnya jam pelajaran hari itu. Siswa-siswi di Crimson Ridge Academy bergegas keluar dari kelas mereka masing-masing untuk jadwal kegiatan ekstrakurikuler mereka. Beberapa tampak langsung menuju arah lapangan atau aula tempat berbagai kegiatan ekstrakurikuler diadakan, sementara yang lain tampak berjalan ke asrama terlebih dahulu. Evan memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, lalu berdiri dan melangkah keluar kelas dengan tenang. Di tangannya tergenggam sehelai kertas berwarna krem dengan cap resmi Crimson Ridge di sudut kanannya. Tulisan "Pendaftaran Ekstrakurikuler Bela Diri" tercetak jelas di bagian atas kertas itu. Jika mengikuti ucapan Sera yang menyarankannya untuk memilih ekskul yang bisa menunjang nilai akhirnya, maka Evan akan memilih ekskul Sains atau Matematika. Namun, sejak awal prioritasnya bukanlah nilai. ‘Tempat paling tepat untuk mencari tahu tentang lawanmu adalah di sarang mereka sendiri,’ begitulah pikirnya. Dari h
Sera menyeka sudut bibirnya dengan tisu, lalu melirik ke arah jam tangan mungil di pergelangan tangan kirinya. “Sudah jam segini. Aku duluan ya. Kau juga, kalau sudah selesai cepatlah ke kelas. Jangan sampai terlambat!” ujar Sera sambil merapikan nampan sarapannya. Evan mengangguk kecil. “Oke!” balasnya. Sera berdiri, bersiap untuk pergi. Namun, sebelum itu ia menoleh kembali ke arah Evan. “Oh, satu hal lagi. Kau sudah tahu mau ikut ekstrakurikuler apa?” “Ahh... belum,” Evan berkata sedikit canggung. “Aku masih sedikit bingung ingin bergabung dengan klub mana.” Sera tersenyum maklum. “Batas pendaftarannya sampai akhir minggu ini. Sekedar saran dariku, pilih dengan baik klub yang akan kau ikuti. Bagaimanapun juga kegiatan ekstrakurikuler ini akan mempengaruhi nilai akhirmu nanti.” “Baiklah! Terima kasih untuk sarannya, Sera,” Evan membalas sambil tersenyum pada gadis itu. Sera mengangguk pelan pada Evan sebelum akhirnya beranjak pergi. Ia membawa nampan bekas sarapannya menuju
Kantin pagi itu sudah mulai dipenuhi siswa. Suara denting alat makan, obrolan ringan, dan tawa pelan bersatu dalam hiruk pikuk yang khas. Bau roti panggang dan kopi menguar di udara. Evan melangkah gontai memasuki kantin untuk sarapan. Malam sebelumnya cukup membuatnya kewalahan secara mental. Setelah mengisi nampannya dengan sepotong roti lapis, beberapa potong buah dan mengambil sekotak jus, ia berdiri sejenak di depan deretan meja. Pandangannya menyapu ke seluruh ruangan, mencari tempat duduk yang kosong. Saat itulah ia melihat sosok yang familiar. Pemuda itu melangkah mendekati meja tersebut. "Sera! keberatan kalau aku bergabung?" Sera yang tengah menusuk potongan buah di piringnya, menoleh ke arahnya. “Oh, Evan! Sama sekali tidak, duduk saja!” jawabnya dengan ramah disertai senyum tipis. Evan mengangguk singkat, lalu menarik kursi di depannya. Mereka duduk berhadapan. Ia mulai menikmati roti lapis miliknya dengan tenang sebelum suara Sera memecah keheningan. “Kau baik-baik
"Ivana..." bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.Namun, itu saja cukup untuk membuat waktu seakan berhenti bagi Evan.Mendengar nama itu, hati Evan berdegup kencang. Ia mengendurkan cengkeramannya sedikit, cukup untuk memungkinkan Rai bergerak lebih leluasa namun tetap dalam kendalinya....Kini keduanya tengah duduk di ranjang masing-masing, saling berhadapan namun sibuk dengan pikiran mereka sendiri-sendiri. Tidak ada dari mereka yang berniat memecah keheningan yang menggantung di kamar itu.Evan akhirnya berdiri, menghela napas sebelum meraih kursinya yang terjatuh akibat dorongan mendadak dari Rai tadi. Ia membetul
Saat Rai berbalik, ia menatap Evan dengan tatapan yang tidak dapat dijelaskan oleh pemuda itu. Ada kecurigaan di matanya namun ada hal lain juga yang tidak dapat ia mengerti.“Dari mana kau mendapatkan semua artikel ini?” Rai bertanya pada Evan. Suaranya terdengar penuh selidik, matanya tajam memperhatikan setiap gerak gerik Evan.“Internet,” Evan menjawab singkat dengan ekspresi datar.Rai mendengus mendengar jawaban Evan, jelas tidak percaya dengan jawabannya. “Hah... jangan bercanda! Semua artikel itu sudah dihapus dari internet. Tidak ada lagi yang bisa ditemukan,” ujarnya dengan nada keras.Evan mempertahankan ekspresi datarnya. “Temanku yang mengirimkannya saat aku bilang akan pindah ke akademi ini. Itu sudah lama, kurasa sebelum artikelnya dihapus,” jelasnya dengan tenang.Rai menyipitkan mata. “Dan kau menyimpan file-file nya selama ini? Omong kosong!” ucap Rai dengan nada sinis. Suaranya meninggi.“Aku hanya belum sempat membacanya saat itu. Jadi, aku mengunduhnya untuk dibaca







