Share

Fading Light

Author: ruruna
last update Last Updated: 2025-01-03 08:00:16

“Evan!” Suara seorang gadis menghentikan langkah Evan yang hampir sampai di ruang makan. Ia menoleh dan mendapati Sasha melambaikan tangan ke arahnya.

“Sasha.” Evan menyapa singkat sambil menunggu gadis itu menyusulnya.

"Mau makan malam ya?" tanya Sasha setelah mendekat, senyum ramah menghiasi wajahnya.

"Iya," jawab Evan sambil mengangguk.

"Boleh aku bergabung?" tanyanya lagi dengan nada ceria.

"Tentu saja, kenapa tidak?"

"Siapa tahu sudah ada teman. Oh ya, kau sekamar dengan siapa?" Keduanya kini sudah masuk dan tengah berjalan ke stand makanan.

“Dengan Rai,” Evan menjawab singkat tanpa berpikir.

Mendengar itu, Sasha mengangkat alisnya, wajahnya sedikit terkejut. “Ohh wow, bagaimana keadaannya?” Sasha bertanya. Evan memikirkan kembali interaksinya sore tadi dengan Rai. Mereka tidak banyak berinteraksi. Pemuda sibuk dengan hal lain selama Evan membongkar barang-barangnya. Kemudian tidak lama setelah itu ia keluar tanpa mengucapkan sepatah katapun pada Evan.

“Sejauh ini baik-baik saja kurasa..”

“Benarkah? Dia tidak mengganggumu kan?” Sasha lanjut bertanya penasaran.

“Tidak, kenapa?”

Sasha menarik napas pelan, lalu menunduk sedikit, seperti berpikir bagaimana menyusun kata-katanya. “Rai itu.. agak temperamental, jadi saranku hati-hati saja. Apalagi kau sadar kan kalau dia anggota Wolves,” ujarnya kemudian.

“Hmm begitu ya, Wolves itu..apa mereka jahat?” Evan bertanya penasaran.

Sasha terdiam sejenak sebelum menjawab. “Bagaimana ya..dibilang jahat juga tidak, tapi mereka itu suka sekali bertarung dan setiap ada masalah pasti diselesaikan dengan berkelahi.” Sasha menjawab dengan sedikit berbisik pada Evan karena saat ini mereka sedang berada di antrean makanan dan Sasha tidak mau ambil risiko ketahuan oleh anggota Wolves.

Sasha kemudian lanjut berbicara. “Berurusan dengan kelompok seperti Wolves itu berbahaya kalau kau salah langkah. Jadi lebih baik hati-hati saja.”

Namun, sebelum Evan sempat merespons, sebuah suara tenang tapi menusuk memecah obrolan mereka. "Kami memang tidak terlalu pandai menggunakan otak, jadi biasanya memang pakai tangan saja."

Evan dan Sasha segera menoleh. Di belakang mereka, Kael berdiri dengan sikap santai sambil memegang nampan di tangannya dan senyuman tipis di wajahnya. Mata tajamnya menatap bergantian ke arah Evan dan Sasha.

"K—Kael, aku hanya—" Sasha mencoba menjelaskan, sedikit merasa terpojok.

Kael mengangkat satu tangan, memotong ucapan Sasha dengan tenang. "Kalau kau punya sesuatu untuk didiskusikan atau penasaran tentang Wolves, kenapa tidak langsung bertanya ke sumbernya saja?" katanya sambil menatap Evan. “Aku akan dengan senang hati menjawab semua pertanyaanmu,” lanjut Kael dengan seringai di wajahnya.

Evan tidak mengalihkan pandangan. Dengan senyum tipis, ia merespons pendek. "Terima kasih atas tawarannya. Kalau ada yang perlu kutanyakan, aku pasti akan melakukannya."

Kael menahan tawa kecil, tampak terhibur oleh jawaban Evan. "Bagus." Ia melirik kembali ke arah Sasha yang terlihat sedikit canggung, "Sasha, jangan terlalu keras pada kami. Wolves mungkin suka sedikit kekacauan, tapi kami tahu batasan."

Sasha hanya membalas dengan tersenyum canggung. Kael kemudian melangkah pergi dengan santai, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan.

.

.

.

Evan dan Sasha duduk di meja yang terletak di sudut ruang makan, agak jauh dari keramaian. Ruang makan itu dihiasi dengan lampu gantung besar yang cahayanya hangat, memberikan kesan nyaman. Meja-meja berjejer rapi. Aroma makanan menguar di udara, membuat perut Evan merasa sedikit lebih lapar.

Sasha tampak masih sedikit tegang setelah insiden dengan Kael, sementara Evan terlihat lebih santai.

"Maaf soal tadi," kata Sasha sambil menyesap minuman miliknya. "Aku tidak bermaksud membuat situasi jadi tidak nyaman."

Evan hanya mengangkat bahu sambil menyantap makanannya. "Tidak masalah. Toh aku juga yang bertanya." Sasha tersenyum kecil sebagai tanggapan. Keduanya kemudian melanjutkan makan sampai Evan kembali berbicara. “Tapi akademi ini menarik ya,” katanya. Sasha menatap bingung ke arah Evan.

Evan tersenyum samar, tapi tidak memberikan tanggapan lebih malah lanjut menyantap makan malamnya, membiarkan Sasha menerka sendiri maksud ucapannya.

.

.

.

.

.

Evan kini tengah melangkah pelan di sepanjang koridor asrama. Setelah berpisah dengan Sasha, yang katanya sudah mengantuk dan ingin langsung tidur, ia memutuskan untuk tidak langsung kembali ke kamarnya. Langit malam itu terlalu cerah untuk diabaikan, bertabur bintang yang bersinar seolah berlomba-lomba menarik perhatian.

Evan berhenti di halaman kecil di dekat asrama. Halaman itu diterangi lampu taman dengan cahaya remang-remang. Aroma segar dari rumput basah setelah embun turun juga suara jangkrik yang terdengar menambah suasana tenang. Ia menengadah menatap langit. Kilauan bintang-bintang itu memicu kenangan lama. Ivana. Sosok gadis itu muncul di pikirannya dengan begitu nyata, seolah-olah ia berdiri di sisinya sekarang.

Ivana selalu mencintai bintang. Dia bisa menghabiskan berjam-jam hanya untuk duduk di teras rumah mereka, menatap langit dengan tatapan kagum yang tidak pernah pudar. Evan tersenyum kecil mengingat bagaimana ia sering menemukan gadis itu tertidur di teras dengan tubuhnya melingkar di atas kursi rotan yang dingin.

"Ivana, masuk ke dalam. Kamu bisa masuk angin kalau begini terus," ia sering menggerutu, tapi Ivana hanya akan menjawab dengan senyum polosnya.

Dan pada akhirnya, Evan yang menyerah. Ia akan bergabung di samping gadis itu ikut menatap langit penuh bintang hingga kadang Ivana akan tertidur sehingga Evan-lah yang bertanggung jawab mengangkat tubuh gadis itu dan membawanya masuk ke dalam rumah. Itu sudah menjadi rutinitas kecil mereka, sesuatu yang begitu sederhana, tapi kini tidak akan terulang lagi.

Udara malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, menggigit kulitnya, namun Evan tidak bergerak. Kenangan itu menempel erat seperti bayangan, dan ia membiarkan dirinya larut sejenak.

"Kamu bilang orang mati akan jadi bintang di langit, kan? Jadi apakah sekarang kamu ada di sana, di antara bintang-bintang itu,” bisiknya pelan, suara itu nyaris tenggelam oleh desiran angin malam.

"Apakah kamu melihat aku, Ivana? Melihat apa yang aku lakukan sekarang?" Evan melanjutkan, matanya kini sedikit berkaca-kaca.

Evan menutup mata sejenak, membiarkan angin malam berhembus lembut, seolah membawa harapan yang tersembunyi di dalam setiap hembusannya. Ia lalu kembali membuka matanya, memandang bintang yang paling terang di atas sana. “Aku harap kamu akan memperhatikan dan menjagaku dari sana..”

Evan menarik napas dalam-dalam, setelah dirasa lebih tenang ia lalu berbalik dan melangkah kembali ke asrama, tidak menyadari di balik bayangan pohon besar di halaman kecil itu, seseorang tengah memperhatikannya. Sosok itu berdiri diam, matanya terpaku pada Evan, mengamati setiap gerak-gerik Evan dari kejauhan. Ada senyum kecil yang muncul di wajahnya.

_____

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Crimson League: Pakta Dendam di Puncak Kekuasaan   The Deal (2)

    Sera menyeka sudut bibirnya dengan tisu, lalu melirik ke arah jam tangan mungil di pergelangan tangan kirinya. “Sudah jam segini. Aku duluan ya. Kau juga, kalau sudah selesai cepatlah ke kelas. Jangan sampai terlambat!” ujar Sera sambil merapikan nampan sarapannya. Evan mengangguk kecil. “Oke!” balasnya. Sera berdiri, bersiap untuk pergi. Namun, sebelum itu ia menoleh kembali ke arah Evan. “Oh, satu hal lagi. Kau sudah tahu mau ikut ekstrakurikuler apa?” “Ahh... belum,” Evan berkata sedikit canggung. “Aku masih sedikit bingung ingin bergabung dengan klub mana.” Sera tersenyum maklum. “Batas pendaftarannya sampai akhir minggu ini. Sekedar saran dariku, pilih dengan baik klub yang akan kau ikuti. Bagaimanapun juga kegiatan ekstrakurikuler ini akan mempengaruhi nilai akhirmu nanti.” “Baiklah! Terima kasih untuk sarannya, Sera,” Evan membalas sambil tersenyum pada gadis itu. Sera mengangguk pelan pada Evan sebelum akhirnya beranjak pergi. Ia membawa nampan bekas sarapannya menuju

  • Crimson League: Pakta Dendam di Puncak Kekuasaan   The Deal (1)

    Kantin pagi itu sudah mulai dipenuhi siswa. Suara denting alat makan, obrolan ringan, dan tawa pelan bersatu dalam hiruk pikuk yang khas. Bau roti panggang dan kopi menguar di udara. Evan melangkah gontai memasuki kantin untuk sarapan. Malam sebelumnya cukup membuatnya kewalahan secara mental. Setelah mengisi nampannya dengan sepotong roti lapis, beberapa potong buah dan mengambil sekotak jus, ia berdiri sejenak di depan deretan meja. Pandangannya menyapu ke seluruh ruangan, mencari tempat duduk yang kosong. Saat itulah ia melihat sosok yang familiar. Pemuda itu melangkah mendekati meja tersebut. "Sera! keberatan kalau aku bergabung?" Sera yang tengah menusuk potongan buah di piringnya, menoleh ke arahnya. “Oh, Evan! Sama sekali tidak, duduk saja!” jawabnya dengan ramah disertai senyum tipis. Evan mengangguk singkat, lalu menarik kursi di depannya. Mereka duduk berhadapan. Ia mulai menikmati roti lapis miliknya dengan tenang sebelum suara Sera memecah keheningan. “Kau baik-baik

  • Crimson League: Pakta Dendam di Puncak Kekuasaan   A Chance (3)

    "Ivana..." bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.Namun, itu saja cukup untuk membuat waktu seakan berhenti bagi Evan.Mendengar nama itu, hati Evan berdegup kencang. Ia mengendurkan cengkeramannya sedikit, cukup untuk memungkinkan Rai bergerak lebih leluasa namun tetap dalam kendalinya....Kini keduanya tengah duduk di ranjang masing-masing, saling berhadapan namun sibuk dengan pikiran mereka sendiri-sendiri. Tidak ada dari mereka yang berniat memecah keheningan yang menggantung di kamar itu.Evan akhirnya berdiri, menghela napas sebelum meraih kursinya yang terjatuh akibat dorongan mendadak dari Rai tadi. Ia membetul

  • Crimson League: Pakta Dendam di Puncak Kekuasaan   A Chance (2)

    Saat Rai berbalik, ia menatap Evan dengan tatapan yang tidak dapat dijelaskan oleh pemuda itu. Ada kecurigaan di matanya namun ada hal lain juga yang tidak dapat ia mengerti.“Dari mana kau mendapatkan semua artikel ini?” Rai bertanya pada Evan. Suaranya terdengar penuh selidik, matanya tajam memperhatikan setiap gerak gerik Evan.“Internet,” Evan menjawab singkat dengan ekspresi datar.Rai mendengus mendengar jawaban Evan, jelas tidak percaya dengan jawabannya. “Hah... jangan bercanda! Semua artikel itu sudah dihapus dari internet. Tidak ada lagi yang bisa ditemukan,” ujarnya dengan nada keras.Evan mempertahankan ekspresi datarnya. “Temanku yang mengirimkannya saat aku bilang akan pindah ke akademi ini. Itu sudah lama, kurasa sebelum artikelnya dihapus,” jelasnya dengan tenang.Rai menyipitkan mata. “Dan kau menyimpan file-file nya selama ini? Omong kosong!” ucap Rai dengan nada sinis. Suaranya meninggi.“Aku hanya belum sempat membacanya saat itu. Jadi, aku mengunduhnya untuk dibaca

  • Crimson League: Pakta Dendam di Puncak Kekuasaan   A Chance (1)

    Matahari mulai tenggelam di balik gedung Akademi Crimson, mewarnai langit dengan semburat jingga dan ungu. Evan, yang baru saja menyelesaikan kelas terakhirnya hari ini, sedang dalam perjalanan menuju asrama saat ia kemudian berhenti sebentar di lapangan olahraga akademi. Ia memutuskan untuk duduk di salah satu kursi di pinggir lapangan. Terlihat beberapa siswa sedang bermain baseball. Kegiatan klub sepertinya. Namun, yang mengalihkan perhatian Evan adalah pemandangan matahari yang perlahan terbenam di sore itu dan semilir angin lembut yang menyentuh wajahnya, memberikan sedikit ketenangan pada pemuda itu.Sejak kematian Ivana pikiran dan hatinya tidak lagi menemukan kedamaian, selalu dihantui oleh kegelisahan. Setiap malam, mimpi-mimpi buruk menyergap tanpa ampun, membangunkannya dalam kegelapan dan keputusasaan. Pil tidur yang ia konsumsi, meskipun hanya memberikan ketenangan sementara, adalah satu-satunya pelarian dari badai emosi yang terus menyerbu pikirannya, mengusir sejenak ba

  • Crimson League: Pakta Dendam di Puncak Kekuasaan   Crimson Royal (4)

    Saat ini jam pelajaran terakhir. Kelas terakhir untuk hari ini adalah Kelas Seni. Evan sudah duduk dengan rapi di kelas lima belas menit sebelum jam pelajaran dimulai. Di sampingnya ada Sasha. Gadis itu sedang sibuk dengan ponselnya, ia bilang sedang mengabari Sera yang juga mengambil kelas ini. Evan merasa beruntung ada orang yang dikenalnya di kelas ini.Pemuda itu memperhatikan sekitar. Sebelumnya, ia hanya sempat melihat dari luar. Ruangan ini memiliki desain yang klasik. Lantai dan dindingnya dilapisi marmer, memberikan kesan mewah dan elegan. Tempat duduk disusun setengah melingkari ruangan itu dengan kanvas dan peralatan seni disisinya. Kemudian ada sebuah jendela besar menghadap ke arah taman akademi, membiarkan cahaya matahari masuk dan menciptakan nuansa lembut. Beberapa karya seni dipajang di dinding ruangan untuk menambah estetika.“Sera! Di sini!” suara Sasha yang duduk di sampingnya mengalihkan perhatian Evan.Gadis yang dipanggil oleh Sasha itu melangkah menuju tempat du

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status