Share

After

Selamat Kak Gavin. Batin Laura pilu. Selamat karena Kakak sudah menghancurkan hidupku.

Mata Laura memberat. Laura tak lagi mempedulikan Gavin yang sepertinya belum puas menghancurkan Laura. Laura memejamkan matanya. Dia berharap ini hanyalah mimpi. Jika ini bukan mimpi, Laura berharap saat bangun nanti sudah ada malaikat pencabut nyawa yang menantinya. Toh, dia sudah hancur, untuk apa lagi dia hidup?

"Tidur dan selamat menikmati hidupmu yang baru, Cewek Bekas." Ucap Gavin sebelum tidur di sampingnya.

Air mata Laura mengalir. Dia belum sepenuhnya tidur dan masih bisa mendengarkan ucapan tajam Gavin. Batin dan fisik Laura benar-benar sakit. Dia butuh istirahat dan akhirnya dia benar-benar tertidur. Beristirahat sejenak sebelum memulai hidup yang berbeda.

Tuhan, tolong cabut nyawaku sedetik sebelum aku terbangun dari mimpi buruk ini. Batin Laura sebelum alam mimpi menjemputnya.

***

Laura menggerakkan tubuhnya yang terasa remuk. Dia merasakan pergerakan kecil di sisi yang lain ranjang. Langsung terjaga. Dia menolehkan kepalanya ke samping.

Air mata Laura menetes begitu mengingat apa yang telah terjadi padanya beberapa jam lalu. Laura memalingkan mukanya saat bertatapan dengan mata elang Gavin. Laura mencengkram erat selimut saat Gavin lewat di hadapannya dengan memegangi kepalanya.

Gavin melirik Laura tajam sebelum masuk kamar mandi. Laura menunduk, menghindari tatapan Gavin. Setelah Gavin memasuki kamar mandi, Laura kembali meneteskan air matanya.

Di dalam kamar mandi Gavin memukuli kepalanya. Merutuki kebodohannya. Bagainama bisa dia kalap seperti itu tadi. Dia merasa sangat bersalah dan menyesal. Tidak harusnya Gavin merusak Laura hanya karena dendamnya pada ibu Bagas.

Alkohol sialan. Umpat Gavin.

Setelah ini apa? Gavin tidak tahu apa yang akan dilakukannya setelah ini. Bodoh! Dia kembali memukul kepalanya.

Laura beranjak dari ranjang, memunguti pakaiannya yang sudah sedikit koyak. Dengan cepat Laura mengancingi blousenya. Laura meringis menahan perih di pangkal pahanya. Laura tidak kuat menahan perih saat memakai celana jeansnya.

Laura menarik nafas dalam-dalam. Dengan hati-hati dia memakai celananya. Laura berdiri dengan bertumpu pada nakas di samping ranjang.

Dia berjalan dengan tertatih dan bertopang pada tembok. Sekilas dia menatap ranjang. Di sana ada bercak darah. Bukti nyata dia bukan lagi wanita sempurna.

Jangan cengeng, Ra. Semuanya udah terjadi. Laura mencoba menguatkan dirinya.

Omong kosong! Kamu sekarang wanita kotor, Ra. Ingat itu. Sebagian lain dari dirinya mencemooh dirinya sendiri.

Gavin yang sudah selesai membersihkan dirinya masih setia berdiri di depan pintu kamar mandi. Tangannya bersidekap memandangi Laura yang kesusahan berjalan menuju pintu, dengan sesekali mengelap air matanya. Dia bingung harus memperlakukan Laura seperti apa.

Setelah perjuangan yang melelahkan, akhirnya Laura sampai di pintu kamar Gavin. Laura menurunkan handle pintu. Mata Laura memanas saat dia tidak bisa membuka pintu. Dengan kasar dia menaikturunkan handle pintu. Dia ingin segera keluar dari kamar laknat ini.

Laura yang lelah dan kesakitan mendudukkan tubuhnya di sofa dekat pintu kamar Gavin. Mata Laura melotot melihat Gavin mendekat ke arahnya. Laura memojokkan dirinya di sofa. Air matanya menetes kembali.

Ingin sekali Laura tidak menangis, tapi saat menatap wajah itu, hati Laura hancur. Hatinya menjadi was-was dan waspada jika ada Gavin. Dia takut Gavin akan kembali melecehkannya.

Gavin menatapnya datar. Tanpa bersalah dia duduk di ujung sofa dan tidak menghiraukan Laura yang tengah ketakutan di ujung sofa lainnya. Gavin melirik Laura yang memeluk tubuhnya sendiri. Melindungi tubuhnya dari Gavin.

"A... Aku mau pulang." Ucap Laura dengan lirih.

Gavin melirik Laura sebentar. Setelah itu mengambil ponselnya yang ada di meja depannya. Lalu matanya terfokus pada ponsel. Tak menghiraukan Laura seolah Laura memang tak ada di sampingnya.

"Tolong bukain pintunya." Ucap Laura pelan.

"Nggak." Ucap Gavin singkat tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel. Laura menatap Gavin tak percaya. Dia tak habis pikir dengan jalan pikiran Gavin.

"Ka... Kamu mau apa lagi?" Tanya Laura takut-takut. Gavin menatap Laura dalam dan menyimpan ponselnya di meja. Laura semakin menempelkan tubuhnya di pinggiran sofa. Menatap waspada pada Gavin.

"Bersihin diri lo." Ucap Gavin.

"Aku mau pulang." Ulang Laura.

"Bersihin diri lo. Besok gue anter pulang."

Laura menggeleng. Dia tak setuju dengan ucapan Gavin. "A... Aku mau pulang sekarang."

Gavin menghembuskan nafasnya kesal. "Oke. Lo pulang sekarang. Gue bakal minta Bagas nganter lo."

Laura menggeleng. Dia tidak mau Bagas tau keadaannya seperti ini. Dia tidak mau ada yang mengetahui bahwa dia sudah jadi wanita kotor. Cukup dia, Gavin dan Tuhan yang tahu.

"Jangan! Aku mohon lupain kejadian tadi. A... Aku gak bakal laporin Kakak ke polisi. Tapi jangan bilang siapa-siapa." Pinta Laura. "Sekarang biarin aku pergi, Kak. Aku mohon."

Gavin menyeringai, dia sudah memiliki kartu Laura. Dia akan membuat Laura menuruti keinginannya. "Pulang besok."

Bukan apa-apa, dia tidak ingin Laura melakukan hal yang nekat jika dia pulang sekarang. Gavin sama sekali tidak tahu ketakutan Laura saat ini. Jika saja Gavin tahu, dia akan mengantar pulang sekarang. Rasanya Laura ingin meninggal karena tidak kuat menahan rasa takut ini. Anggaplah Laura berlebihan, namun memang itu yang dirasakan Laura. 

"Nggak, Kak. Aku mau pulang sekarang. Please, Kak." Laura menangkupkan tangannya di depan dada dan menunduk.

Gavin menatap Laura sebentar. Setelah itu mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. Gavin menekan tombol loadspeaker. [Halo, Vin. Ada apa?]

Mata Laura berkabut. Dia sangat hafal dengan suara itu. Laura menggeleng. Jantung Laura berdegup kencang.

Gavin menunjukkan smirk evil. "Gue denger lo lagi deket sama Laura, anak sekretaris." Ucap Gavin dengan menatap lurus Laura. Terdengar kekehan Bagas.

Dia masih menggeleng. Memohon pada Gavin untuk memutuskan panggilannya tanpa suara. Gavin menyeringai.

[Tumbenan lo ngurusin kayak gini.]

"Soalnya gue udah-" ucapan Gavin terhenti karena mulutnya dibekap Laura. Laura menggeleng dengan tatapan memohon.

Tangan Gavin terangkat, menuntun tangan Laura yang membekap mulutnya untuk menutup speaker ponselnya. "Jadi?" Tanya Gavin memastikan.

Dengan terpaksa Laura mengangguk. "Aku pulang besok." Ucap Laura lirih.

Gavin tersenyum puas. Dia membebaskan ponselnya dari tangan Laura. Mematikan loudspeaker dan mendekatkannya pada telinganya.

[Lo udah apa?] Tanya Bagas mendesak.

"Oh itu, gue udah nunggu laporan LPJnya." Ucap Gavin dengan menyeringai. Setelah basa basi sedikit Gavin mengakhiri panggilannya.

Sebetulnya Gavin benar-benar malas menghubungi Bagas. Tapi demi melancarkan misinya, dia menurunkan sedikit egonya untuk menghubungi Bagas.

"Bersihin diri lo." Gavin menatap Laura tajam. Laura menurut. Pelan-pelan dia menjalankan tubuhnya. Karena masih sakit di pangkal pahanya membuatnya harus bertumpu pada dinding. Gavin menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. Memperhatikan Laura yang sedang kesusahan berjalan tanpa niat membantunya.

Setelah Laura memasuki kamar mandi, Gavin keluar kamar. Dengan cepat dia mengemudikan motornya ke salah satu butik terdekat. Gavin membeli beberapa baju dengan acak dan segera kembali ke rumah.

Saat sampai rumah, kamar mandi masih tertutup. Tanda bahwa Laura masih belum keluar dari kamar mandi. Gavin melirik jam di tangannya.

Udah setengah jam lebih. Batin Gavin.

***

Di dalam kamar mandi, Laura mendudukkan dirinya di bawah guyuran shower. Laura menggosok-gosokkan tubuhnya dengan sabun. Dia benar-benar ingin menghilangkan bekas Gavin di tubuhnya. Dia merasa benar-benar kotor. Walaupun dia telah menghabiskan separuh botol sabun, tetap saja Laura merasa kotor. Laura menangis di bawah shower. Lagi-lagi dia meratapi nasibnya yang menjijikkan.

Laura tersentak saat mendengar pintu kamar mandi digedor dari luar. "Laura! Keluar atau gue masuk!" Teriak orang yang sudah menjadikan dirinya wanita kotor.

***

Seharian Laura hanya dikurung di kamar. Dan seharian itu pula Laura hanya diam dan sesekali menangis meratapi nasibnya. Padahal Laura tahu dia jarang sekali menangis. Namun untuk sekarang, entah lah, air matanya seolah tak mau berhenti mengalir. Laura ingin menghubungi Mella atau siapapun, tapi ponselnya sudah rusak dibanting Gavin kemarin. Lagi pula, apa yang harus dibicarakannya pada Mella? Tidak mungkin dia mengatakan pada Mella bahwa dia sudah kotor. Dia tak ingin Mella menjauhinya.

Laura beranjak dari sofa dan menuju cermin. Dia melihat pantulan dirinya. Mengerikan. Batinnya. Mata sembab sebab terlalu banyak menangis. Bibir kering. Tubuh penuh bekas merah akibat cakarannya pada tubuhnya. Dia mengamati lehernya. Terlihat ada beberapa kissmark yang sudah samar di lehernya. Air matanya menetes lagi.

Laura ingin segera keluar dari sini. Namun setiap Gavin keluar kamar dia akan selalu menguncinya. Entah apa yang dipikirkannya. Laura masih belum bisa menebak.

Terdengar suara kunci diputar, lalu Gavin masuk kamar dan kembali mengunci pintu kamar. Gavin memberikan ponsel Laura yang sepertinya sudah diservis. Dia juga meletakkan sekotak pizza di meja. Laura berdiri kaku di pojok kamar. Dia takut Gavin melecehkannya lagi seperti kemarin.

"Makan." Titah Gavin.

Laura diam. Dia menatap Gavin dengan penuh waspada. Dia benar-benar tak ingin mendekati Gavin. Dia takut.

"Nurut atau gue ulangi kejadian kemaren?"

"Brengsek!" Umpat Laura pelan. Seumur-umur dia tak pernah mengumpat. Inilah pertama kalinya.

"I heard." Ucap Gavin dingin.

***

Semenjak Gavin mengantar Laura menuju rumahnya, Laura hanya bergelung di ranjang kasurnya. Menangis terisak dengan wajah dia benamkan ke bantal. Beruntung orang tuanya bekerja di luar kota. Dia tak perlu mengarang alasan.

Laura bahkan mematikan ponselnya. Dia tak ingin ada seorangpun yang mengganggunya. Laura hanya ingin menangisi hidupnya hingga dia tertidur dan kalau bisa tidak pernah terbangun.

Tok tok tok

Laura mengangkat kepalanya mendengar pintunya digedor paksa. "Ra, buka pintunya!" Terdengar teriakan Mella di luar. "Ra!" Pintu kembali digedor.

"Ra, buka atau gue dobrak!" Laura membelalakkan matanya. Itu suara Kak Bagas. Air mata Laura kembali menetes. Seandainya kemarin Bagas lebih cepat mengangkat panggilannya, mungkin tidak mungkin menjadi seperti ini. "Ra, gue bakal beneran dobrak pintu lo!" Ucapan Bagas membuat Laura semakin panik.

Laura memutar otaknya cepat. Dia harus mencari alasan atas mata sembabnya. Dengan cepat Laura menyalakan laptopnya. Dia memilih secara acak drama korea yang ada di sana. Jaga-jaga jika Mella memasuki kamarnya.

"Eh iya, Mell, Kak Bagas. Bentar!" Teriakku. Setelah menata laptop dan cemilan, dia membukakan pintu rumah.

"Ngapain?" Tanya Laura gugup. Dia mempersilahkan Mella dan Bagas untuk masuk.

"Lo abis nangis?" Tanya Mella curiga. Bagas pun menatap Laura dengan tatapan curiga.

"Eh, iya. Nggak. Eh." Laura kelabakan menjawabnya. Mata Mella dan Bagas semakin memincing.

"Itu... Aku abis maraton. Iya maraton drakor." Ucap Laura. Mella dan Bagas hanya mengangguk mencoba percaya. "Eh mending aku ke minimarket dulu. Beli cemilan." Mereka mengangguk. Laura berjuang menormalkan cara jalannya. Sedikit sulit. Pangkal pahanya masih terasa sedikit nyeri, walau tak senyeri kemarin.

Laura bernafas lega begitu sudah keluar dari gerbang sederhana. Dengan langkah pelan dia berjalan menuju minimarket yang ada di ujung gangnya. Setelah membeli beberapa cemilan, Laura keluar dari mini market.

Tubuh Laura menegang. Wajah Laura berubah pias. Air mata sudah memupuk di kelopak matanya.

"Hai."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status