Laura yang mendengar suara Gavin segera melangkahkan tubuhnya pelan menuju tempat di mana Gavin berada. Laura melihat Gavin berdiri di depan pintu. Laura menghampiri Gavin. Laura berdiri di depan Gavin dan mengulurkan laporan yang diminta Gavin.
Laura mendongakkan kepalanya saat merasa ada jemari yang menyentuh dagunya. Laura terkesiap. Saat kesadaran Laura datang, Laura segera memberontak. Dia dapat merasakan bau alkohol dari mulut Gavin. Laura tahu dirinya sekarang berada dalam bahaya. Gavin segera mendekatkan wajahnya. Laura menggelengkan kepalanya. Otaknya tahu apa yang akan terjadi. Dan tebakannya benar.
Gavin menciummya.
***
Laura memberontak. Ciuman itu akhirnya terlepas. Air mata Laura mengalir. Ciuman pertamanya telah hilang. Laura menggosok kasar bibirnya. Seolah hendak menghilangkan bekas Gavin di bibirnya.
Laura hendak berlari, namun Gavin lebih gesit. Gavin menarik Laura dan membenturkannya ke dinding. Gavin meletakkan tangannya di samping kepala Laura. Tubuh Gavin menghimpit Laura. Gavin menunduk hendak mencium Laura. Laura memalingkan kepalanya. Alhasil, bibir Gavin mendarat di pipi Laura.
"Kak sadar, Kak." Pinta Kaura
Gavin menggeram, tangan kirinya digunakannya untuk mencengkram rahang Laura. Gavin membenturkan bibirnya ke bibir Laura. Laura merasakan rasa asin yang Laura duga darah dari bibirnya yang sobek.
"Kak, cukup." Laura memukul-mukul dada Gavin sekuat yang dia bisa. Air mata Laura mengalir tanpa henti. Gavin masih tak menghiraukannya.
"Berhenti, Kak. Aku mohon." Ujar Laura saat Gavin melepaskan ciumannya.
Laura menyesal telah meninggalkan ponselnya di ruang tamu tadi.
Tangan Laura semakin brutal memukul Gavin saat bibir Gavin menelusuri rahang hingga lehernya. Gavin yang kesal dengan tangan nakal Laura menangkup kedua tangannya dan dia lingkarkan pada tubuhnya. Tangan kirinya menahan kedua tangan Laura di belakang punggung Laura. Posisi itu semakin membuat mereka menempel.
Laura meliukkan tubuhnya menghindari bibir Gavin. Tangan kananya ia gunakan untuk membuka kancing baju Laura. Tubuh Laura semakin memberontak. Air matanya mengalir.
"Kak, cukup." Ucap Laura disela isakannya. "Tolong lepasin aku." Mohon Laura. "Kakak mau apa? Tolong lepasin, Kak."
Gavin menatap Laura dengan mata tak fokusnya. Tangan kiri Gavin melepaskan kedua tangan Laura yang tadi ditahannya di balik punggung tegapnya. Kedua tangannya kini fokus melepas kancing depan Laura. Tangan Laura yang terbebas berusaha menggagalkan usahanya.
Laura menggeleng. Laura benar-benar dalam bahaya. Dia panik. Tak bisa berpikir apapun. Otaknya kosong. Dia ingin melarikan diri, tapi tidak tahu caranya. Otaknya tidak bisa diajak bekerja sama.
Kini semua kancing blouse Laura sudah terlepas. Tangan Gavin kembali ke bahu Laura. Gavin hendak memisahkan blouse itu dari tubuh Laura.
Plakkk
Laura melebarkan matanya. Matanya menatap tangan kanannya dan pipi Gavin yang memerah secara bergantian. Tangan kiri Gavin terangkat. Dia menyentuh pipinya yang sedikit perih. Gavin tersenyum, bukan senyum manis. Tapi senyum evil yang benar-benar menakutkan.
"Maaf,” cicit Laura.
"Mau main kasar?" Tanya Gavin dengan smirk evil yang masih melekat di bibirnya.
Mendengar hal itu Laura langsung menggeleng. Dia benar-benar takut dengan Gavin sekarang. Dia lebih suka melihat Gavin yang dingin dan kaku daripada Gavin dengan senyum evil seperti ini.
"Maaf... Tolong lepasin aku, Kak." Ucap Laura.
"Gue bakal lepasin lo." Ucap Gavin. Laura menatap Gavin dengan lega. "Setelah kita main." Ucapan Gavin membuat otak Laura terpaksa bekerja cepat.
Laura menginjak kaki Gavin dan lari menuju ruang tamu. Dia segera mengambil ponsel dan menghubungi seseorang. Dia menekan nama teratas di history callnya dan segera keluar.
Selangkah sebelum Laura mencapai pintu, Gavin mencekal tangan Laura dan kembali menghimpit Laura di pintu. Tangan kiri Gavin merebut ponsel Laura dan melihat layar ponsel tersebut. Mata Gavin berkilat marah begitu melihat nama Bagas terpampang di layar tersebut. Sebelum panggilan diangkat, Gavin membanting ponsel Laura hingga pecah.
"Jangan bikin gue marah, Laura!" Bentakan Gavin membuat Laura menciut.
"Lepasin aku, Kak! Aku punya salah apa?" Ucap Laura dengan berani. Namun, begitu melihat mata Gavin yang berkilat karena marah dan gairah, nyali Laura kembali menciut.
"Nggak akan. Lo tanya salah lo? Salah lo disukai Bagas." Ucap Gavin sebelum menyeret Laura menuju kamarnya. Laura memberontak dan meronta. Gavin yang sudah habis kesabaran segera memanggul Laura di pundak seperti membopong karung beras. Laura memukuli punggung Gavin. Walaupun Gavin berjalan dengan sedikit sempoyongan, tapi dia masih bisa menahan Laura.
Gavin membanting Laura ke kasur dan dengan cepat dia mengunci pintu kamarnya dan membuangnya sembarangan. Gavin mendekati Laura yang telah telentang dengan blouse yang tak terkancing dan nafas yang terengah. Laura segera beranjak dari kasur dan menghindari Gavin sejauhnya. Namun tetap saja ruang untuk Laura menjauhi Gavin sangat terbatas.
Gavin yang kesal sebab sejak tadi mengitari kamar untuk menangkap Laura, mendengus dan melompati kasur untuk menangkap Laura. Dia segera mambanting Laura begitu Laura tertangkap olehnya. Dia menindihi tubuh Laura. Laura masih saja meronta, walau sebenarnya dia telah lelah. Air matanya bahkan sudah tak lagi menetes.
"Aku gak bakal ngelaporin kakak ke polisi dan akan lupain kejadian ini kalo kakak lepasin aku sekarang." Ucap Laura sambil terengah karena bibir Gavin yang kembali bersarang di lehernya.
Gavin mengangkat kepalanya menatap Laura. "Laporin!" Tantang Gavin. "Yang penting gue udah nikmatin lo."
Laura menggeleng. "Jangan, Kak." Laura memukul-mukul tangan Gavin yang sedang menelusuri tubuhnya.
"Aku bakal laporin kakak ke polisi." Teriak Laura.
"Laporin." Ucap Gavin. "Gue bakal buat lo nanggung malu seumur hidup dan dikucilkan semua orang. Bahkan gue nggak yakin ada cowok yang mau sama lo. Begitu gue di penjara. Cuma tiga-empat tahun setelah itu gue bebas. Tapi lo? Cewek murah dan bekas akan selalu nempel di balik punggung lo." Ucap Gavin serius. "Selamanya." Desis Gavin tepat di depan telinga Gavin.
Tangis Laura semakin mengencang. Gavin benar. Semua yang diucapkan oleh Gavin benar. Gavin memang dipenjara. Namun setelah itu bebas. Sedangkan Laura. Orang akan memandang Laura sebagai wanita penggoda dan murahan. Victim blamming yang ada di Indonesia menjadikan wanita yang seharusnya menjadi korban, malah disalahkan. Mereka selalu menyalahkan wanita korban pemerkosaan karena dianggap mereka yang menggoda terlebih dahulu. Padahal tidak sedikit yang memang benar-benar korban. Seperti Laura saat ini. Apa bisa Laura disebut penggoda, padahal dia mengenakan blus panjang serta jeans panjang?
"Lakuin apa yang pengen Kak Gavin lakuin. Tapi bunuh aku, Kak setelah itu." Lirih Laura. Buat apalagi dia hidup kalau dirinya saja sudah hancur?
"Bukan itu tujuan gue. Kalo lo mati, gue rugi." Bisik Gavin di telinga Laura.
Tuhan, apa salah yang sudah kuperbuat? Batin Laura mendesah, meratapi nasibnya yang malang. Tolong aku, Tuhan.
Laura terkesiap merasakan benda asing yang memasuki alat vitalnya. Sejak kapan celananya sudah terlepas? Laura menggeleng, sekuat mungkin dia menahan suara menjijikkan yang hendak keluar dari mulutnya.
"Kak, berhenti." Ucap Laura dengan nada terputus. Wajah Laura sudah dipenuhi air mata. Laura terlalu lelah. Alhasil pemberontakannya semakin melemah. Laura kini benar-benar pasrah.
Di otaknya saat ini ada mama dan papanya yang menatapnya kecewa. Hatinya sangat hancur. Bagaimana jika orang tuanya tahu? Laura bisa membayangkan betapa kecewanya mereka saat mengetahui anaknya sudah hancur.
Di bawah sana Gavin tersenyum puas. Laura yang tak lagi memberontak memudahkan aksinya. Laura memalingkan kepalanya, dia tak ingin melihat apa yang akan dilakukan Gavin.
"Argh!" Teriak Laura yang terdengar kesakitan dan pilu menggema. Tangisan Laura kembali terdengar. Dia sudah benar-benar hancur. Dia sudah berbeda.
Dia sudah kehilangan mahkota yang selama 17 tahun ini dijaganya dengan baik. Laura sudah berbeda. Dia bukan lagi Laura yang dulu. Dia sudah kehilangan impiannya. Bayangan masa depan yang indah sudah lenyap. Bahkan mungkin, dia akan kehilangan teman, sahabat, dan keluarganya jika mereka tahu yang sebenarnya.
Selamat Kak Gavin. Batin Laura pilu. Selamat karena Kakak sudah menghancurkan hidupku.
Mata Laura memberat. Laura tak lagi mempedulikan Gavin yang sepertinya belum puas menghancurkan Laura. Laura memejamkan matanya. Dia berharap ini hanyalah mimpi. Jika ini bukan mimpi, Laura berharap saat bangun nanti sudah ada malaikat pencabut nyawa yang menantinya. Toh, dia sudah hancur, untuk apa lagi dia hidup?
"Tidur dan selamat menikmati hidupmu yang baru, Cewek Bekas." Ucap Gavin sebelum tidur di sampingnya.
Air mata Laura mengalir. Dia belum sepenuhnya tidur dan masih bisa mendengarkan ucapan tajam Gavin. Batin dan fisik Laura benar-benar sakit. Dia butuh istirahat dan akhirnya dia benar-benar tertidur. Beristirahat sejenak sebelum memulai hidup yang berbeda.
Tuhan, tolong cabut nyawaku sedetik sebelum aku terbangun dari mimpi buruk ini. Batin Laura sebelum alam mimpi menjemputnya.
Suara tepukan tangan terdengar meriah. Tangan Gavin mengelus surai lembut Laura yang tampak terharu. Di depan sana, di atas panggung, Davi berdiri dengan penuh percaya diri karena meraih predikat sebagai lulusan terbaik di taman kanak-kanak. Nama Gavin dipanggil untuk mendampingi Davi di atas panggung. “Kamu aja yang naik ke panggung.” Gavin menepukkan tangannya pada telapak tangan Laura yang menggenggam erat karena terlalu antusias.Laura menoleh. “Kak Gavin aja. Semuanya yang di atas ditemenin ayahnya.”“Aku mau videoin kamu di sini. Kamu aja yang naik.”Laura menatap Gavin dengan wajah terharu. “Terima kasih,” ujar Laura sebelum beranjak dari duduknya dan menghampiri Davi. Sebelum berdiri di belakang Davi, Laura mengecup puncak kepala Davi dan menggumamkan beberapa kata selamat sehingga wajah Davi terlihat lebih berseri.Gavin menatap dua sosok kesayangannya dari kursi wali murid. Dalam bayangannya, Gavin tidak pernah bermimpi berada di fase seperti ini. Jika boleh, Gavin ingin me
Di samping itu semua, Laura sangat terharu dengan interaksi antara Geo dan Gavin. pasangan ayah-anak tersebut beberapa kali melakukan interaksi, meskipun kecanggungan masih terasa di sana. Paling tidak, Laura tidak lagi melihat kebencian di mata Gavin saat menatap Sang Ayah. Laura menjadi saksi bagaimana beberapa hari ini Gavin mencoba berdamai dengan masa lalunya. Sejak perceraian Geo, hubungan suami dan ayah mertuanya itu sedikit membaik. Bahkan, Gavin juga menerima permintaan maaf Vega meskipun dirinya tidak ingin sama sekali berhubungan dengan mantan ibu tirinya itu.***Kembali lagi ke waktu dua hari setelah Laura keluar dari rumah sakit, Laura dan Gavin duduk berdua di depan rumah Laura. Geo, ayah Gavin, baru saja kembali dari rumah Laura sebab ada beberapa hal yang perlu beliau diskusikan bersama Arkan. Di sanalah Laura tahu bahwa antara Geo dan Vega sudah tidak ada lagi hubungan pernikahan karena secara resmi sudah bercerai.“Kak Gavin…” Laura menjeda ucapannya. Jujur saja, d
Punggung Laura yang tegang kini mulai mengendur. “Jangan hari ini ya, Kak?” pinta Laura pada Gavin.Gavin menganggukkan kepalanya. Tangannya masih belum berhenti untuk mengelus tengkuk Laura. “Hari ini aku cuma mau denger cerita tentang kamu dan Davi yang masih belum aku tau.”Malam itu, Laura dan Gavin habiskan untuk membahas banyak sekali hal. Bukan hanya Laura, Gavin juga menceritakan tentang kesehariannya selama dia bersekolah di luar negeri. Laura merasa sangat antusias mendengar cerita dari Gavin tentang masa kuliah karena dia tidak bisa merasakan masa itu dulu. Jika ditanyakan menyesal atau tidak, Laura tidak menyesal. Baginya, menjadi ibu yang baik untuk Davi sudah membuatnya sangat puas.***Laura dan Gavin menata barang-barangnya di rumah baru mereka. Laura sangat berterima kasih kepada Gavin saat lelaki itu mengatakan bahwa dirinya sudah menyiapkan rumah untuk ditinggalinya bertiga. Gavin juga sangat mempertimbangkan lokasinya untuk perkembangan Davi. Gavin memilih lokasi d
“Abis sarapan aku mau ngajak kamu buat nyiapin berkas buat akad, takutnya nanti Davi kecapean kalo ikut kita.” Laura hanya menganggukkan kepalanya paham saat menerima penjelasan Davi. Gavin membukakan pintu belakang mobil dan mempersilakan Laura masuk. Laura hanya diam menurut saat Gavin yang biasanya memilih untuk menyetir sendiri mobil saat bersamanya, hari ini menggunakan supir. Begitu mobil melaju, Gavin langsung merebahkan kepalanya ke arah Laura. Tubuhnya juga dia dekatkan hingga menempel penuh dengan Laura. “Kak Gavin jangan gini, ah. Malu.” Laura berbisik pada Gavin karena takut menyinggung supir Gavin. “Aku kangen banget,” ujar Gavin yang semakin menempelkan tubuh mereka. *** Laura dan Gavin sudah menyelesaikan beberapa berkas yang dibutuhkan untuk menikah pada empat hari mendatang. Tentu saja banyak uang yang harus Gavin keluarkan agar proses yang dibutuhkan lancar dan cepat. Atas permintaan Laura, akad akan dilakukan secara sederhana di rumahnya. Tidak serta merta menur
Vega berdiri dan mendekatkan dirinya pada Geo yang menatapnya dengan datar. “Mas, apapun keputusanmu, aku terima. Kalo kamu mau ceraiin aku juga aku terima, Mas. Asalkan kamu bisa maafin aku.”“Kamu bisa ngembaliin semuanya, nggak? Bisa bikin Shanti hidup dan maafin aku lagi? Bisa bikin Gavin nggak benci aku lagi? Bisa bikin semuanya balik normal lagi. Kalo kamu bisa, aku maafin kamu.”“Mas, aku nyesel, aku minta maaf.” Vega menggumamkannya berkali-kali dengan air mata yang tak hentinya mengalir dari kedua matanya.Geo menghembuskan nafasnya dengan berat. “Jelasin semuanya ke Gavin tanpa ada yang kamu tutupi. Setelah itu, saya akan ngajuin perceraian kita. Saya nggak bisa nikah sama orang jahat seperti kamu.” Geo mulai mengembalikan gaya bahasa seperti dulu dan Vega hanya bisa pasrah.***Dua hari berlalu dan Laura hari ini keluar dari rumah sakit. Dari tadi, Gavi sudah disibukkan dengan administrasi. Sebelumnya, Arkan sudah ingin mengurusnya, namun dengan tegas Gavin menolaknya. Bagi
Dunia Geo terasa runtuh pada saat membaca berkas dari rumah sakit yang menyatakan bahwa Vega tengah mengandung. Meskipun Geo tidak mengingat sama sekali apa yang terjadi di malam itu, dirinya tetap harus mempertanggung-jawabkannya. Geo menghembuskan nafasnya panjang, semua ini terasa berat baginya.Geo tidak sanggup jika harus mengatakannya pada Shanti dan Gavin. Dirinya belum siap, tidak akan siap jika kedua orang itu harus membencinya. Mata Geo memanas, hatinya sangat hancur saat dirinya membayangkan bagaimana reaksi Shanti dan Gavin.“Aku nggak masalah kalau kita harus nikah siri dan menyembunyikannya dari Shanti, Mas.”“Keluar.” Hanya satu kata itu yang bisa Geo ucapkan.“Mas, aku-”“Saya bilang keluar, Vega!” tegas Geo dengan nada tinggi. Vega akhirnya mengangguk sedih dan memilih untuk keluar dari ruangan Geo. Vega memberikan sedikit ruang pada Geo. Namun, hanya ada satu pilihan pada saat ini, yaitu Geo menikahinya.“Maafin aku, Shanti.”***“Ma, aku kemaren denger Mama nangis