Share

Changed

"Lo abis nangis?" Tanya Mella curiga. Bagas pun menatap Laura dengan tatapan curiga.

"Eh, iya. Nggak. Eh." Laura kelabakan menjawabnya. Mata Mella dan Bagas semakin memincing.

"Itu... Aku abis maraton. Iya maraton drakor." Ucap Laura. Mella dan Bagas hanya mengangguk mencoba percaya. "Eh mending aku ke minimarket dulu. Beli cemilan." Mereka mengangguk. Laura berjuang menormalkan cara jalannya. Sedikit sulit. Pangkal pahanya masih terasa sedikit nyeri, walau tak senyeri kemarin.

Laura bernafas lega begitu sudah keluar dari gerbang sederhana. Dengan langkah pelan dia berjalan menuju minimarket yang ada di ujung gangnya. Setelah membeli beberapa cemilan, Laura keluar dari mini market.

Tubuh Laura menegang. Wajah Laura berubah pias. Air mata sudah memupuk di kelopak matanya.

"Hai."

***

"Hai,” ucap Gavin dengan tangan yang dimasukkan ke dalam sakunya.

Laura menunduk dan menjauhi Gavin. Dengan langkah cepat Laura meninggalkan mini market. Laura meremas kresek yang dijinjingnya, mencoba meredakan ketakutan yang merajainya.

"Laura.” Bukannya berhenti, Laura malah mempercepat langkahnya. Tak peduli pangkal pahanya yang masih sedikit nyeri. "Laura Apsara Nawa!" Nada dingin dan tajam itu membuat bulu kuduk Laura meremang dan menegang. Laura merasakan ada orang yang mendekatinya. Napas Laura tercekat merasakan tangan kasar yang menarik tangan kirinya.

Tanpa penolakan Laura membalikkan tubuhnya dan mengekori Gavin. Tangan kanan Laura masih mencengkram kreseknya. Laura berkali-kali menghembuskan nafasnya untuk menetralkan ketakutannya.

"Naik!" Ucap Gavin setelah mereka berada di samping motor ninja.

"Eh itu,” Laura bingung bagaimana mengatakannya. Bagian “itu”nya masih sakit. Apalagi, dia selalu gemetar apabila berdekatan dengan Gavin. Pasalnya tadi Gavin mengantarnya dengan mobil.

"Naik!" Ulang Gavin dengan penuh penekanan.

Laura berpegangan pada saddle belakang motor. Dia takut jika harus berpegangan pada tubuh Gavin. Dia benar-benar ketakutan jika berhubungan dengan Gavin.

Gavin memberhentikan motornya di depan gerbang rumah Laura. Laura turun dan langsung melesat masuk rumah. Dia akan merasa aman jika ada Mella dan Bagas. Laura menengokkan kepalanya ke belakang. Gavin duduk di atas motor. Memperhatikan gerak geriknya. Laura segera masuk rumah dan menutup rumahnya dengan keras.

Mella dan Bagas menatap Laura aneh. "Eh itu tadi ada orang gila masuk gang,” Laura bergidik pura-pura takut. Setelah itu dia meletakkan cemilannya di meja.

Mella bercerita banyak tentang hubungannya dengan Leon. Sedangkan Bagas hanya diam menatap Laura. Laura sendiri pura-pura antusias dengan cerita Mella. Dalam hati dia menimang-nimang, apakah dia harus menceritakan tentang Gavin pada Mella?

Mella dan Bagas pamit saat langit sudah gelap. Laura mengantarkan mereka sampai teras. Setelah itu, Laura menutup pintunya dan bersandar di sana. Suasana yang sepi membuatnya kembali meratapi nasib.

Laura mencoba mengenyahkan bayangan kemarin sore dan menuju dapur untuk memasak air. Mandi air hangat mungkin bisa merilekskan tubuh dan pikirannya. Dia benar-benar ingin merilekskan otaknya. Perih di pangkal pahanya sudah menyamar.

Setelah mandi, Laura kembali rebahan di kamar. Laura memaksakan matanya terpejam. Dia ingin tidur dengan nyenyak.

***

Keesokan paginya, Laura terbangun dengan kepala pening. Laura berdiri dengan memegang kepalanya yang sangat berat. Efek terlalu lama tertidur.

Ponselnya berdering, Laura mengambil ponselnya dan menerima panggilan. "Halo, Ma? Tumben telfon?"

[Halo, sayang. Nggak tau ni dari kemaren hati mama kok nggak enak ya. Kamu nggak ada masalah, kan?]

Air mata Laura menetes. Dia membekap mulutnya untuk meredam isakan. Insting orang tua memang kuat. Laura menjauhkan ponselnya dan menghirup nafas dalam-dalam. "Laura nggak papa kok, Ma. Cuma ini, kecapean aja abis ngurus prom kemaren.”

"Oh, ya udah kalo gitu. Kamu hati-hati ya. Jaga diri. Bulan depan Mama sama Papa pulang. Love you,” ucap Mama.

"Iya, Ma,” Laura mematikan ponselnya. Maafin Laura, Ma. Laura gagal jaga diri Laura. Isak Laura.

Laura menyadari sesuatu. Bagaimana kalau dia hamil? Dengan cepat Laura menuju kamar mandi. Setelah itu, dia mengambil dompet dan ponsel. Dia keluar rumah dan segera menuju apotek.

"Mbak ada obat buat nyegah kehamilan?"

***

Laura menatap pil after morning ditangannya. "89% berhasil, kan?" Ucapnya pada diri sendiri, teringat percakapannya dengan apoteker tadi. Laura mengambil segelas air dan meminum pil itu.

Laura mengambil ponselnya yang kembali berdering. Dia menatap layar ponselnya yang menunjukkan nomor tak dikenalnya. Dia menggeser ikon hijau.

"Halo?"

10 detik. Masih belum ada jawaban. Laura menatap layer ponselnya. Panggilan masih tersambung.

"Halo?"

[Jangan deket Bagas!] Laura membeku. Dia tau itu suara siapa.

"Ke... Kenapa, Kak?" Laura memberanikan dirinya bertanya. Gavin mematikan panggilannya tanpa menjawab pertanyaan Laura.

Laura menyimpan ponselnya. Dia menghembuskan nafasnya panjang. Gavin benar-benar bisa mengintimidasi Laura. Gavin selalu bisa membuat Laura ketakutan.

***

Gavin memaksa membuka matanya begitu merasakan sinar matahari menembus kamarnya. Gavin menegakkan tubuhnya. Matanya menatap fotonya dengan sang mama.

Shanti, mama Gavin, dalam foto itu terlihat sangat bahagia. Di sana, Gavin dan Shanti berpelukan dan Shanti tersenyum lebar, sedangkan Gavin hanya tersenyum tipis. Geo, papa Gavin, tidak masuk dalam bingkai foto itu karena dia yang mengambil gambarnya. Menatap fotonya dengan sang mama membuat Gavin merindukannya.

Gavin segera membersihkan diri dan bersiap. Gavin mengambil jaket dan kunci motor. Dia melajukan motor kawasaki 650 new hitamnya menuju rumah yang selama ini menenangkannya.

30 menit Gavin sampai di rumah sederhana yang terlihat asri. Gavin memarkirkan motornya dan dengan langkah pelan dia memasuki rumah itu. Gavin berdiri di ambang pintu dan mengamati wanita yang sedang menatap jendela dengan tatapan kosong.

Simbok datang dan mengajak Shanti ke kebun belakang. Gavin mengikuti mereka dengan masih menjaga jarak. Gavin ingin sekali memeluk Shanti, namun untuk saat ini dia cukup menatapnya dari jarak yang cukup.

Simbok dan Shanti sibuk menanam mawar dan beberapa sayuran. Gavin -yang berada di pintu belakang- tersenyum samar menatap wajah bahagia Shanti. Simbok menengok ke belakang, dia menyadari keberadaan Gavin. Gavin mengangguk pada Simbok.

Shanti melihat Simbok menengok ke belakang, ikut melongokkan kepalanya ke belakang. Mata Shanti memanas, air matanya menetes. Detik berikutnya dia histeris, menangis meraung.

"Pergi dari sini! Pergi! Puas kamu? Pergi!" Shanti meraung. Melempar Gavin apa pun yang di jangkaunya.

Wajah Gavin mengeras. Dia benci Geo. Geo yang membuat Shanti seperti ini. Gavin hendak menenangkan Shanti. Shanti semakin histeris. Dia berteriak-teriak.

"Pergi kamu, Mas Geo! Pergi aja sama Vega. Jangan ke sini lagi! Kamu udah hancurin aku! Pergi kamu, Mas! Aku kehilangan anak aku gara-gara kamu,” teriak Shanti.

Simbok segera menghampiri Gavin dan menuntunnya menuju halaman rumah. Simbok menatap Gavin penuh penyesalan. Gavin mengangguk, mengisyaratkan bahwa semua baik-baik saja. Dia tak tega menatap wajah keriput Simbok bersedih.

"Maaf ya, Mbok. Gara-gara Gavin, mama jadi kumat lagi,” ucap Gavin sebelum menaiki motornya.

Simbok mengangguk. Menunggu Gavin keluar dari pagar dan kembali memasuki rumahnya. Hendak menenangkan Sang Nyonya.

Gavin mengendarai motornya dengan cepat. Tangannya mencengkram stang motor dengan kuat, seakan ingin menghancurkannya. Dia berhenti di padepokan tempatnya berlatih. Setelah menyapa beberapa orang, Gavin menuju tempat latihan. Dia memukul-mukul samsak. Wajahnya memerah, dia meluapkan amarahnya.

Setelah selesai dengan samsaknya, Gavin merebahkan tubuhnya di lantai. Dia tak mempedulikan lantai yang kotor.  Nafasnya terengah-engah. Emosinya masih belum stabil. Setiap dia membayangkan lelaki yang dulu disebutnya papa, emosinya akan memuncak.

"Masalah lama?" Gavin membuka matanya merasakan ada orang yang ikut rebahan di sampingnya.

"Eh, lo Bang.” Dia menjabat tangan lelaki di sampingnya, masih dengan posisi telentang. "Iya.”

"Sori lancang nih. Menurut gue, lo masih peduli sama bokap lo.”

Gavin menatap lelaki ini tajam. "Maksud lo apa?"

Laki-laki itu mengedikkan bahunya tak acuh, matanya masih menerawang langit biru. "Kalo lo benci sama dia, lo gak bakal meduliin lagi. Terserah apa yang bakal dilakuin sama dia. Lo bakal anggap dia nggak ada,” ucapan lelaki itu menyentaknya. Dia benar.

"Gue pulang, Bang,” Gavin berdiri diikuti lelaki itu dan pergi. Gavin segera melajukan motornya dan dia belum ingin kembali ke rumah.

Di sini lah Gavin sekarang.

***

Mella memaksa Laura untuk menemaninya ke mall. Laura menolak. Mella masih memaksa Laura.

"Kamu kok maksa banget sih, Mell!" Bentak Laura.

Mella—yang masih berada di depan pintu rumah Laura—menatap Laura tak percaya. Selama ini Laura tak pernah membentaknya. Sekalipun dia memaksa Laura bahkan menyeretnya ke mall.

Laura sadar dirinya sudah kelewatan segera meminta maaf. "Maafin aku, Mell. Ya udah ayo. Aku siap-siap bent-"

"Nggak perlu, gue bisa sendiri kok,” Mella melambaikan tangannya dan membalikkan badan.

"Mell, maafin aku. Aku nggak sengaja. Bener,” Laura menarik tangan Mella. Meminta Mella menunggunya.

"Udah ah, Ra. Gue males,” Mella mengibaskan tangan Mella.

"Mell, please. Maafin aku dong,” Laura memelas. Mella melegang masuk ke rumah Laura. Laura menghembuskan nafasnya lega.

Laura meratapi dirinya di depan pintu. Membiarkan Mella yang sudah menjelajah rumahnya. Laura merasa dirinya mudah marah akhir-akhir ini. Efek kebanyakan pikiran. "Apa jangan-jangan aku mulai stres?" Tanya Laura pada dirinya. Laura menggeleng dan masuk rumah.

Mereka bergulung di ranjang dengan menonton drama Korea. Laura dan Mella diam, fokus pada drama yang ada di depannya. Mata Laura memang menatap laptop, tapi pikirannya melambung. Hatinya was-was menunggu bulan depan. Walaupun pil morning after itu 89% berhasil, dia takut dia masuk golongan 11% yang gagal. Berbagai kemungkinan dari yang terbaik hingga terburuk silih berganti memenuhi otaknya.

"Lo tau, Ra? Lo tuh berubah banget. Sejak lo ngga ada kabar abis rapat LPJ prom,” ucap Mella dengan mulut penuh dan mata masih terfokus pada laptop. Ucapan Mella menyadarkan Laura dari lamunannya.

"Berubah gimana? Biasa deh,” Laura mencoba menetralkan nada bicaranya agar tidak terdengar aneh.

"Ya berubah aja. Lo kek nyembunyiin sesuatu. Keknya lo banyak pikiran deh. Nggak mau share?" Mella masih memfokuskan dirinya dengan cemilan dan laptop.

Laura meremas tangannya. Ucapan Mella membuat Laura kembali mengingat hari itu. Aku dilecehin, Mell. Aku dilecehin sama orang yang kamu kagumi. Ingin sekali Laura meneriakkan kalimat itu. Tapi Laura takut jika dia bilang ke Mella, akan ada orang lagi yang mengetahuinya. "Nggak ada, Mell.”

"Ra,” ucap Mella, dia sudah memfokuskan dirinya pada Laura. "Gue sahabat lo. Lo bisa share masalah lo ke gue. Gue gak bakal ninggalin lo. Gimanapun keadaan lo. Gue bakal bantuin lo. That's best friend for.”

Laura menitikkan air matanya. Andai dia bisa mengungkapkan semuanya. Tapi Laura terlalu takut. Dia takut Mella menjauhinya. "Aku terharu,” Laura menghapus matanya dengan berlebihan. Mella memukul lengan atas Laura sebal. "But thanks Mell. Aku bakal cerita apapun sama kamu. Apapun.” Kecuali kejadian sore itu. Lanjut Laura dalam hati. Lalu mereka berpelukan dan tertawa bersama.

Gedoran pintu membuat mereka mengurai pelukan. "Aku liat dulu, ya,” Laura segera keluar dan membuka pintu.

Tubuh Laura menegang begitu melihat tamu di hadapannya. "K... Kak Gavin?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status