“I need a savior to heal my pain.”
‘My demons by Starset’
Rafan terus berguling ke dalam jurang, tubuhnya tidak luput tergores ranting, ataupun bebatuan kecil dan besar, hingga berhasil berpegangan pada batang pohon.
Hampir saja.
Rafan masih berpegangan pada dahan pohon, dan mulai memanjat ke atas dahan pohon yang paling tinggi. Kemudian duduk terdiam di atas dahan pohon, menunggu rasa sakit di tubuhnya hilang. Akibat melompat dan berguling ke dalam jurang, untung saja tidak menghantam bebatuan besar.
“Mereka mulai familiar denganku kah?”
Rafan membiarkan kedua kakinya menjuntai ke bawah, sesekali menggerakkannya.
“Hm, hm, hm,” gumam Rafan sambil terpejam, berusaha untuk tenang. Karena baru saja membantai mangsanya lagi, meskipun pada akhirnya ketahuan oleh polisi lagi, bahkan hampir tertangkap.
Lalu membuka matanya lagi, dan menatap kosong ke arah langit yang mulai gelap gulita. Kemudian, melirik ke arah telapak tangannya dan pisau lipat yang dikeluarkan dari saku jaketnya. Masih berlumuran darah, kelima preman kota amatir.
“Hm, karena mereka. Aku membuat teror lagi. Haha!” Rafan mulai tertawa aneh, bahkan memegangi kepalanya. Lalu berhenti tertawa, karena mendengar suara langkah kaki yang menuju ke arahnya.
Rafan melirik ke bawah, ternyata ada beberapa polisi yang ikut masuk ke dalam jurang untuk mencarinya. Tidak ada yang menyadari, kalau Rafan berada di atas pohon, dan polisi tepat di bawahnya.
“Tidak ada.” Polisi mulai melirik sekitarnya, tetapi tetap nihil. “ke mana dia?”
“Hm, harusnya jatuh di sini,” sahut Polisi yang lain, kembali melirik sekitarnya.
Karena tidak berhasil menemukan keberadaan buronannya, polisi kembali ke kantor untuk laporan dan menyusun kembali rencana penangkapan si pemuda kejam alias Rafan.
****
Rafan yang sedari tadi memperhatikan tingkah polisi di bawahnya, hanya menyeringai aneh. Kebetulan sudah gelap, jadi tidak terlihat oleh polisi. Rafan masih di atas pohon, menunggu polisi benar-benar pergi dari hutan. Jurang yang dimasukinya, terhubung dengan hutan yang sering didatanginya.
“Haha!” Rafan mulai tertawa aneh atau mungkin? Gila. Terbukti, kembali memegangi kepalanya. Lalu kembali terdiam, dan melirik lengannya. Teringat tadi tergores oleh peluru. Rafan melepas jaketnya, lalu merobek sedikit kaus yang dipakainya. Lalu membalutkannya pada lengan, yang tadi tergores oleh peluru yang polisi bidikan ke arahnya.
Akhirnya polisi pergi juga.
Rafan lega, memakai kembali jaketnya. Dengan mudahnya melompat turun ke bawah, kemudian berlari menuju area hutan lain alias pintu keluar hutan dan pergi ke rumah kecilnya.
Namun, Rafan kembali berhenti dan melompat ke atas pohon lagi, karena ada banyak pemburu liar.
Pemburu itu mengganggu saja!
Rafan dengan kesalnya, memilih melalukan parkour ke berbagai dahan pohon yang ada di hutan. Supaya tidak berpapasan dengan pemburu liar, karena bisa gawat. Saat ini emosinya masih meluap.
Rafan terus melompat dan mendarat dengan mulus, lalu keluar dari hutan menuju rumah kecilnya.
****
Rafan meletakkan pisau lipatnya di atas meja, lalu melepas jaket dan kaus yang melekat di tubuhnya, mulai mengobati kembali luka di lengannya dengan obat buatannya sendiri dari dedaunan herbal, dari hutan.
Bahkan mengoleskannya ke seluruh tubuhnya juga, untuk menghilangkan rasa sakit akibat berguling ke dalam jurang. Rafan duduk terdiam, teringat saat diinterogasi polisi. Bahkan bisa dibilang semuanya merasa familier dengan wajahnya.
Atau mungkin hal lain?
Polisi pasti akan menemui mereka dan mengintai dia, ah sudahlah!
Rafan merebahkan diri, mencoba menenangkan diri hingga terlelap.
“Lep—” teriakannya kembali terpotong, karena mereka menendang dan menusuk perutnya.
Semakin memukul dan menendang keras tubuhnya, hingga lebam dan membiru. Bahkan dengan sengaja, menginjak keras dada kirinya.
“Mati kau!”
“Arrrghh Lep— aargghh!”
Rafan langsung terbangun dengan napas terengah-engah. Tubuhnya sedikit gemetar, mulai memegangi kepalanya.
Sial! Kenapa teringat lagi!
Rafan kesal, bahkan tubuhnya semakin gemetar. Lalu terduduk di lantai, terus memegangi kepalanya. Sangat menyakitkan baginya, bila teringat kejadian itu lagi.
Rafan mulai mengatur napasnya, dan mencoba menenangkan diri dan pikirannya lagi.
Namun, sulit sekali.
Lalu melirik ke atas meja, terdapat pisau lipat yang tadi dipakainya untuk membantai. Rafan mengambil pisau lipatnya, mulai menggoreskan pada lengannya yang sudah terluka sebelumnya, dan itu membuatnya tenang.
“Haha!” Rafan mulai tertawa depresi, dan terus menggores, bahkan menyayat lengannya hingga darah mulai menetes banyak ke lantai.
Setelah puas Rafan membalutkan luka di lengannya lagi, lalu mengambil kaus dan jaket bersih dan memakainya. Kemudian berjalan keluar menuju hutan. Kebetulan masih tengah malam, Rafan memilih duduk di atas bukit hingga pagi tiba. Sekalian mencoba menenangkan dirinya lagi, akibat teringat kejadian pahit yang dialaminya.
Sesekali menghela napas pelan, sudah sedikit tenang. Lalu menatap kosong langit.
Menyakitkan sekali.
Rafan mengusap kasar wajahnya, kembali menghela napas pelan. Agar benar-benar tenang lagi.
“Kapan rasa sakitnya hilang ya?” gumam Rafan pelan, jujur sangat menyakitkan dan melelahkan.
****
Terlihat beberapa polisi sedang menyusun rencana baru untuk menangkap buronan mereka alias Rafan si pemuda kejam. Namun, terhenti saat polisi yang tugaskan untuk mencari Rafan di dasar jurang—telah kembali.
“Apakah berhasil menemukannya?” Mulai berganti topik, mengenai pencarian buronan mereka di dasar jurang.
“Kami berhasil sampai di tempat dia jatuh, tapi keberadaannya sudah tidak ada,” jelas salah satu dari polisi, ikut masuk ke dalam jurang.
“Baiklah, kita kembali menyusun rencana baru untuk mencari tau tentang dia.” Polisi yang tadi hendak berdiskusi—untuk rencana baru, kembali berbicara. “Kita mulai, dengan mencari tau asal-usulnya,” lanjutnya.
“Asal-usulnya ya? Di antara kita, sudah ada familiar dengan wajahnya saja bukan? Mungkin saja, ada yang bisa mengingatnya lagi, agar lebih mengenal pemuda itu, dan semakin membantu untuk mengatahui identitasnya?" sahut Polisi lain.
“Hm, semua dari kita sudah familiar, meskipun ada beberapa seperti pernah bertemu sebelumnya. Termasuk saya, sudah menyadarinya. Jika, wajah pemuda itu mirip sekali dengan putra tunggal Xander Corp,” tutur polisi yang lebih dulu mengatakan familier dengan buronan saat menginterogasinya.
“Benarkah? Tapi tidak mungkin anak mereka yang melakukannya, ‘kan?” Polisi lain mulai ikut berbicara.
“Karena itu kita cari kebenarannya. Rencana barunya yaitu, beberapa kita akan menyamar jadi warga biasa dan mengintai gerak-gerik anak tunggal Xander Corp, dari sekolah hingga rumah. Saya akan menemui langsung pihak keluarga, untuk mencari informasi yang jelas," jelas Polisi, yang lebih familier dengan buronan.
Di sisi lain, Rafan masih berada di hutan dan duduk di atas bukit. Tidak peduli dengan angin malam yang begitu dingin, terus menerpa tubuhnya. Bahkan merebahkan diri, mulai menatap kosong langit, hingga pagi tiba.
Rafan selalu melakukannya hanya untuk menenangkan diri, bila teringat masa lalunya yang begitu pahit. Sesekali menghela napas pelan, dan terpejam sebentar. Langit mulai terang, terbukti matahari perlahan menampakkan diri di langit, Rafan bangun dan beranjak keluar dari hutan. Seperti biasa, pergi ke kota sekadar untuk berjalan-jalan.
Kebetulan masih pagi buta, jalanan kota begitu sepi, belum ada warga kota yang beraktivitas di luar. Jadi, Rafan bisa berjalan-jalan dengan tenang—tanpa ada gangguan dari polisi yang ingin menangkapnya.
Rafan masih berkeliling di tengah kota, lama-kelamaan sudah mulai terlihat warga yang keluar dari rumahnya—untuk beraktivitas seperti biasa. Rafan langsung melompat ke dinding pembatas jalan, lalu melakukan parkour ke atap ruko, hingga ke atas gedung.
Di atap gedung, Rafan kembali duduk diam. Manik hitamnya, terus mengamati seluruh warga kota yang berkeliaran. Menurutnya, bisa menghilangkan rasa bosan.
“Mereka semua sangat menikmati kegiatannya,” gumam Rafan masih mengamati dengan serius semua orang. Lambat laun, teralihkan pada sebuah keluarga, yang berkumpul bersama dan berkeliling di tengah kota, untuk olahraga pagi.
Keluarga kah? Tidak peduli bagiku, lagi pula belum tentu mereka memikirkanku juga.
Rafan terdiam, mulai memegangi kepalanya. Entah kenapa, malah teringat lagi. Padahal, sudah lama membuang ingatan itu, tapi tetap saja teringat lagi.
Sial! Kenapa harus teringat lagi.
Rafan sedikit menjambak kasar, agar dirinya kembali tenang. Berhasil, tetapi manik hitamnya kembali menyorot hampa sekali. Lalu menghela napas panjang, Rafan terlahir kembar dan sebagai anak sulung, tapi tidak pernah dianggap kehadirannya oleh keluarga. Mereka, lebih memilih mengasuh adik kembarnya saja.
“Miris sekali hidupku, bila diingat lagi ya? Haha!” Rafan kembali memegangi kepalanya, masih dengan tatapan kosongnya, mulai tertawa aneh. Kemudian, kembali terdiam.
Ingatan masa lalunya, benar-benar kembali. Bahkan, kejadian yang amat menyakitkan yang menimpanya. Ikut teringat juga olehnya, Rafan mulai meringkuk. Tiba-tiba tubuhnya gemetar, saat ini butuh pelampiasan untuk tenang lagi.
Akan tetapi, tidak mungkin. Saat ini berada di kota, dan sedang tidak ingin berkeja-kejaran dengan polisi lagi. Rafan mencoba untuk tenang, terus menjambak kasar rambutnya.
Tenang! Tenang!
Rafan terus bergumam atau lebih tepatnya meracau? Perlahan, mulai tenang lagi dan terpejam. Memang sudah agak tenang, tapi tetap saja ingatan masa lalunya tidak bisa dihilangkan lagi.
Bahkan, semakin menghantui pikirannya. Rafan memilih diam, meskipun baginya sangat menyakitkan sekali.
Menjelang berakhirnya liburan sekolah, Asya terlihat berada di kediaman Alexander. Bisa dibilang, sejak dua hari yang lalu. Karena orang tua mereka sedang keluar kota, keluarga Alexander menawarkan agar Asya dan Aksa menginap. Takut terjadi sesuatu lagi, itu sebabnya keluarga Alexander menawarkan mereka untuk menginap, selama ditinggal keluar kota beberapa hari.Di ruang tengah, Asya duduk diam di sofa. Matanya, amat fokus ke novel yang sedari tadi dibacanya. Di sebelah sofa yang diduduki Asya, ada Rafan sedang asik berbaring. Sebenarnya, hanya mereka berdua saja. Para pelayan selama libur sekolah, Diberi cuti semua, jadi hanya ada si kembar dan kedua anak keluarga Adriano.Sekarang, hanya Rafan dan Asya saja. Refan keluar rumah, katanya mau jalan dengan Vio. Aksa, entahlah sejak pagi sudah lebih dulu pergi."Biasanya, kau diam-diam kabur ke hutan gitu?" Asya mendelik heran ke arah Rafan, yang asik berbaring di sofa panjang."Hm, lagi malas saja." Rafan b
Tidak terasa, waktu telah berlalu begitu cepat, kini sedang ada waktu luang. Lebih tepatnya, sedang libur sekolah. Setelah melaksanakan ujian kenaikan kelas, si kembar hanya menghabiskan waktu liburan sekolah di rumah. Berbeda sekali dengan yang lain, pastinya jalan bersama keluarga entah ke mana.Sayangnya, si kembar dan keluarganya tidak pergi ke manapun. Kalau diperhatikan lebih jelas, hanya Refan yang terlihat diam di rumah. Terkadang, jalan sebentar keluar rumah sebagai penghilang bosan dan itu—sendirian.Karena, selama liburan sisi liarnya semakin menjadi. Setiap pagi buta, keberadaan Rafan sudah hilang dari rumah. Rafan pergi ke hutan. Hingga siang tiba, masih betah di alam liar. Memang dasarnya, malas untuk pulang. Kalau Refan bosan, pasti jalan sendiri entah ke mana. Lain halnya dengan Rafan, ketika bosan melanda memilih melatih kemampuannya. Sekaligus, berkeliaran secara bebas.Kini Rafan, terlihat berbaring tanpa peduli tanah atau kotoran lain m
Semenjak kejadian itu, keluarga Alexander hanya bisa pasrah dan menunggu. Karena Rafan pergi dan sama sekali belum kembali, meskipun rasa khawatir terus menghampiri mereka. Ditambah rasa takut, kalau Rafan melakukan self injury lagi.Refan terdiam, senang karena masalah selesai. Tetapi, takut Rafan tidak kembali. Lagi-lagi, Refan hanya bisa menunggu, seperti dulu yang dilakukannya."Kakak," ucap Refan lirih, ingin sekali melihat Rafan pulang.Selama sekolah, Refan benar-benar tidak fokus karena memikirkan Rafan. Begitu juga, dengan Asya yang sudah mulai sekolah lagi. Asya sempat takut keluar rumah, hingga memutuskan izin tidak sekolah untuk beberapa waktu. Di satu sisi, Asya khawatir saat dapat kabar dari Aksa. Kalau Rafan tidak pulang.Arvian, tidak menyangka kalau ada satu anak didiknya lagi yang melakukan hal kejam. Bahkan, yang lebih parah. Arion anak dari Orion mafia yang dulu meneror keluarga Alexander, sekaligus hampir membuat Rafan sekara
Sejak Raskal memberitahu, kalau anak Orion yang mengawasi dan menculik Asya. Rafan langsung pergi ke markas lama milik Orion dulu, saat dirinya dijadikan kelinci percobaan. Sebenarnya, Rafan sudah menebak kalau anak Orion yang mengintai. Tidak lain, adalah Arion.Saat berusaha mendekati Asya. Rafan awalnya biasa, tetapi mulai familier dengan wajah Arion. Namun, Rafan sengaja mendiamkannya dan pergi. Walau sebenarnya, Rafan terus waspada dengan rencana Arion terhadapnya.Rafan mulai menyerang brutal anak buah Arion, juga membantainya satu persatu. Meskipun, dengan tangan kosong. Mulai dari menangkis serangan, menangkap dan mematahkan anggota tubuh mereka, dengan menariknya amat kuat hingga terputus dari tubuh mereka.Rafan mengabaikan teriakan kesakitan mereka, terus menyerang brutal atau lebih tepatnya kembali melakukan pembantaian. Buktinya, perlahan anak buah Arion yang disuruh berjaga, terkapar di mana-mana. Bahkan, darah juga ikutan berceceran. Rafan kembali
Di kediaman Alexander, Rafan masih terdiam di ruang tengah. Pikirannya yang tadi kacau sekarang sudah agak tenang, tetapi firasat itu kembali dirasakannya. Rafan memegangi kepalanya dan bergumam pelan."Mereka sudah memulainya ya?"Refan yang mendengar gumaman Rafan, kembali bingung dan khawatir. "Mulai apa, Kak?" Dengan spontan, Refan bertanya. Namun, Rafan tidak menjawab, malah semakin memegangi kepalanya. Hal itu, membuat Refan dilanda kepanikan lagi. Rafan terpejam dan berusaha tenang lagi.Mereka benar-benar membawanya.Rafan membuka matanya, terlihat sekali tatapannya begitu kosong. Refan benar-benar dilanda kepanikan amat besar, terlebih lagi melihat Rafan beranjak dari sofa, melangkah menuju pintu. Refan langsung mengekor dan bertanya."Mau ke mana?" Refan semakin khawatir.Rafan tidak menjawab, terus berjalan keluar dari rumah."Kakak!" panggil Refan lagi."Ada apa? Kakakmu mau ke mana?" Rivo dan Risa, i
Sudah terhitung 30 menit berlalu kegiatan sekolah usai. Kali ini, semua siswa tumben masih betah berada di sekolah. Termasuk, Rafan. Entah kenapa, masih ingin berada di sekolah. Buktinya, terlihat duduk sembari melamun di kelas. Tatapan Rafan yang sejak tadi tertuju pada luar jendela, kini beralih pada Aksa yang baru ingin pulang.Aksa merasa diperhatikan, langsung mendelik aneh Rafan. Hingga kembali teringat sesuatu, sekarang ingin memastikan lagi dengan benar. "Kau sedang bermasalah ya?" Aksa spontan berkata begitu, tetapi matanya menatap amat serius."Ya, sejak kemarin.” Pada akhirnya Rafan menjawab. “Kau merasa aneh denganku, ‘kan? Bisa dibilang, sedang waspada dengan sekitar. Untuk mencari tau, siapa orang itu dan antek-anteknya terus mengikutiku sejak kemarin." Rafan menjelaskannya sesuai fakta, pada Aksa.Rafan sengaja membeberkannya, biasanya selalu disembunyikan. Namun, merasa ada sesuatu yang direncanakan oleh orang yang mengikutinya.