Share

03. Teror Kembali

I cannot stop this sickness taking over. It takes control and drags me into nowhere.

My demons by Starset

  • •••

Rafan berdecih, tetapi masih melirik dingin kelima penjahat yang mulai menjauh darinya—hingga tidak terlihat.

Membuang-buang waktu saja!

Rafan kembali melangkah santai, biasanya akan menyerang karena terusik. Entah kenapa, sekarang tidak ada niat mengejar kelima penjahat tadi. Kebetulan mood-nya sedang malas untuk membuat teror.

“Hm, hm, hm,” gumam Rafan, terus berjalan santai menuju ujung kota.

Rafan masih berjalan dengan tenang, hingga melewati daerah gang sempit. Namun, dalam sekejap ketenangannya lenyap. Saat ada yang menabraknya lumayan keras, anehnya si penabrak langsung menuduhnya.

“Beraninya kau menabrakku sialan!” teriak orang itu, dengan tatapan sinisnya.

“Bukankah kau yang menabrakku duluan, apa kau buta?” sahut Rafan, langsung mendelik datar, lambat laun sorot matanya berubah—menjadi dingin sekali.

Lima orang preman kota amatir, yang selalu mengganggu warga. Sepertinya mereka belum tahu, tentang teror yang Rafan lakukan.

“Berani sekali kau!” teriak lainnya tidak terima, dan mulai menyerang.

Rafan hanya diam saja, saat diserang mereka. Tidak ada niat, untuk menghindar ataupun menangkis serangan preman amatir. Karena mood-nya sedang malas membuat teror, lama-kelamaan mulai emosi dan hasrat haus akan darah dalam dirinya terpancing.

Menuduhku kah?

Rafan masih dengan tatapan dinginnya, lambat laun memperlihatkan smirk-nya. Meski begitu, Rafan mengamati pergerakan mereka dengan baik, sadar dalam keadaan sedang diserang secara keroyokan.

“Rasakan ini!” Salah satu dari mereka, kembali melayangkan serangan berupa tendangan keras pada Rafan.

Sebelum kepalanya terkena tendangan lagi, Rafan lebih dulu menangkap kaki preman itu, dengan mudah mematahkannya.

Preman itu berteriak kesakitan, kemudian terkapar. Rafan belum puas langsung mendekat dan kali ini mematahkan kedua tangan preman amatir itu, lalu mencekik kuat—membuat preman itu sulit bernapas, bahkan tulang leher preman itu mulai remuk.

Rafan mengeluarkan pisau lipat miliknya yang selalu dibawa ke mana-mana. Dengan tatapan haus akan darah, langsung menusuk perut preman itu dan mengoyaknya hingga menembus punggung dan organ dalamnya hancur, bahkan berceceran ke mana-mana.

Preman itu sekarat dan perlahan mati, setelah itu Rafan menoleh ke arah empat preman lainnya yang masih hidup. Mulai berjalan, mendekati mereka.

“Giliran kalian,” ucap Rafan dengan nada dinginnya, sambil menodongkan pisau lipat yang berlumuran darah hingga ke tangannya.

“Ka-kau pe-pemuda kejam itu!” ucap empat preman mulai ketakutan, dan berniat kabur.

“Mau ke mana eh? Kalian sudah mengusikku, harus mati!” Rafan dengan seringai mengerikan, melesat cepat.

Empat preman terus berlari menjauh, tetapi tetap tidak berhasil karena pergerakan Rafan cepat sekali. Bahkan sudah berada di hadapan mereka, lalu melayangkan tendangan telak pada mereka hingga terhempas keras ke dinding.

Rafan semakin mendekat ke arah mereka, dan mulai melumpuhkannya. Sama seperti tadi, Rafan dengan mudahnya  mematahkan kedua kaki dan tangan keempat preman amatir, teriakan kesakitan kembali terdengar.

Lalu menusuk bahkan menyayat perut keempat preman amatir secara bergantian, hingga organ dalamnya juga ikut terkoyak, dan berceceran di sekitarnya.  Belum puas, Rafan mulai mencongkel mata dari keempat preman amatir itu.

“Haha! Mati! Mati!” racau Rafan, terus menusuk preman amatir, meskipun semuanya sudah mati. Setelah puas, Rafan dengan santainya meninggalkan mayat kelima preman amatir begitu saja.

****

Rafan terus berjalan santai dengan pisau lipat yang berlumuran darah di genggamannya. Hendak kembali ke rumah kecilnya, setelah membantai preman amatir itu. Tiba-tiba berdiri terdiam, karena mendengar derap langkah kaki lagi—lebih banyak dari sebelumnya—ke arahnya.

“Hm, ketahuan kah?” Rafan masih terdiam dengan tatapan dinginnya.

Saat ada beberapa polisi yang berpatroli, melewati gang sempit dan melihat kehadirannya, bahkan langsung membidiknya. Rafan berhasil menghindar cepat, tetapi tetap saja lengannya sedikit tergores peluru dari polisi. Setelahnya, langsung kabur cepat dari segerombolan polisi.

“Cepat kejar!” seru Polisi.

Beberapa polisi mengejarnya, bahkan terus membidik Rafan. Namun, selalu berhasil dihindari dengan mudah oleh Rafan. Tiba- tiba ada kumpulan polisi lain yang datang dari arah berlawanan, membuat Rafan tersudut di ujung jalan buntu.

Sial buntu!

Rafan mengumpat kesal, melihat banyak polisi yang mengepungnya.

“Kau tidak bisa lari lagi!” ucap Polisi, sambil mendekati Rafan.

Rafan masih diam saja, membiarkan polisi mendekat. Bahkan saat kedua tangannya diborgol, Rafan tetap tidak melawan. Kemudian dibawa ke kantor polisi. Polisi langsung memasukan Rafan ke ruangan dan menginterogasinya.

“Siapa kau? Kenapa melakukan pembantaian!” tanya Polisi.

Rafan mendelik datar. “Bukan urusanmu!”

“Cepat jawab!” titah Polisi, semakin menatap tegas.

Rafan menghela napas sejenak, dan masih menatap dingin para polisi. Sedikit terusik, saat salah satu polisi mulai memperhatikan wajahnya, seakan merasa familier.

“Wajahmu seperti tidak asing,” ucap Polisi lainnya.

Yang lain ikut memperhatikan wajah Rafan, bahkan merasakan familier juga. Seolah-olah pernah, bertemu sebelumnya.

Namun, di mana?

****

Polisi masih mencoba menebak sesuatu, setelah merasa familier dengan buronannya. Mulai terkecoh, hingga tidak sadar Rafan diam-diam mencoba menghancurkan borgol di pergelangan tangannya.

Borgol berhasil dihancurkan, Rafan dengan cepat melarikan diri. Polisi tersentak, langsung mengejar.

“Cepat tangkap! Jangan sampai dia kabur!” titah Polisi, sambil berlari mengejar Rafan.

Rafan langsung mendobrak pintu yang terkunci dan menyerang polisi yang berjaga di depan pintu ruangan itu, dan kembali berlari hingga berhasil keluar dari kantor polisi. Namun, polisi kembali mengejar dan mulai membidiknya lagi, tetapi Rafan berhasil menghindarinya.

Rafan semakin berlari cepat, lalu melompat ke atas dinding pembatas jalan, mulai melakukan parkour hingga atap ruko, dan bangunan lainnya. Polisi terus mengejar Rafan dan mencoba mengepung, dan membidik lagi dari berbagai arah. Namun gagal, lagi-lagi Rafan berhasil menghindarinya, terus melakukan parkour cepat hingga ke tengah kota. Kebetulan sedang ramai orang. Saat bidikan polisi hampir mengenainya, Rafan melompat turun dan terus berlari cepat.

Warga hanya diam dan langsung menjauh, melihat polisi mengejar dan terus membidik buronannya. Rafan masih berlari cepat dan kembali melakukan parkour ke atap setiap ruko di tengah kota, berusaha kabur dari polisi terus mengejarnya dengan mobil atau motor.

Sial! Mereka masih mengejarku!

Rafan, sesekali menoleh ke belakang. Terus berusaha kabur, hingga hampir sampai di tikungan tajam jalan besar. Kebetulan ada jurang, tanpa pikir panjang Rafan langsung melompat ke dalamnya. Hal itu, membuat semua polisi berhenti. Karena terkejut, saat melihat aksi gila Rafan yang lompat masuk ke dalam jurang.

“Dia lompat ke dalam jurang,” sahut salah satu polisi.

“Sebagian tetap cari dia, mungkin saja dia masuk jurang yang terhubung ke hutan. Selebihnya kembali ke kantor, membuat rencana baru untuk menangkapnya,” jelas Polisi lain, lalu pergi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status