Satu tahun telah berlalu, bahkan mulai tersebar berita baru—padahal sebelumnya sudah tidak pernah didengar lagi. Namun, ternyata ada yaitu terjadi lagi teror yang menggemparkan satu perusahaan yaitu LAN Corp. Kebetulan baru satu tahun berdiri.
Pagi ini, ditemukan banyak sekali potongan tubuh manusia. Tidak hanya itu saja, bahkan semua berkas dan data-data penting sudah diacak-acak bahkan disabotase, hingga pemilik perusahaan mengalami kerugian besar.
“Sudah periksa CCTV?” tanya Polisi, pada pemilik perusahaan.
“Sudah, tapi CCTV dinonaktifkan oleh peneror. Sebelum memulai mengacak-acak ruang pemilik perusahaan, dan membuat empat petugas keamanan yang berjaga sekarat dan dua lainnya tidak ditemukan.”
“Dua lainnya tidak ditemukan, artinya potongan tubuh manusia itu ... mayat mereka, kah? Mungkin saja, enam petugas berusaha menangkap. Namun, gagal dan peneror meninggalkan bukti dengan membunuh dua petugas, sisanya dibiarkan
Terlihat sepasang kekasih tidak lain adalah Refan dan Vio—sedang berjalan dengan keheningan—terus saja menyelimuti mereka. Hingga akhirnya, memutuskan singgah sebentar di salah satu kedai yang letaknya hampir mendekati perumahan.Salah satu dari mereka mendadak haus, terbukti jelas hanya Refan yang membeli minuman, sedangkan Vio langsung menolak, meskipun sebelumnya sudah ditawarkan oleh Refan. Refan mulai membuka tutup botol dan menenggaknya hingga habis tidak tersisa, kemudian tatapannya beralih ke arah Vio—yang sedari tadi diam saja.“Berhenti cemburu,” celetuk Refan.“Bagaimana tidak cemburu! Aku selalu melihat dia menatapmu terus! Tebakanku kali ini benar, dia pasti suka denganmu!"Vio membalas celetukan Refan dengan nada sewot—ditambah masih terbakar api cemburu. Membuatnya semakin kesal, dan terus-menerus terbawa emosi. Sedangkan Refan, hanya menghela napas pasrah.“Hanya dia, sedangkan aku tid
Di kediaman Adriano, seperti biasa Asya selalu terbangun tengah malam. Bahkan, kini tengah melangkah keluar dari kamarnya. Melirik sejenak ke ruang tengah, lagi-lagi melihat adiknya tertidur pulas di sofa.“Aksa bangun! Pindah ke kamar sana!” Asya langsung menguncang-guncang tubuh adiknya.“Diamlah!” Aksa menepis pelan tangan Asya, dan tidur lagi.Asya menghela napas pasrah, karena Aksa terus saja keluar rumah. Pulang-pulang, berakhir tidur di sofa. Seketika badmood, karena sifat Aksa amat keras kepala sekali. Asya kembali ke tujuan awal, yaitu pergi ke dapur.Untuk mengambil botol air mineral. Kemudian, kembali ke ruang tengah dan mendudukan diri di sebelah Aksa. Ternyata, Aksa bangun. Terbukti, tengah duduk bersandar. Mendadak mulai menatap aneh Aksa, karena terus mengamati dirinya—entah apa itu?“Apa?” tanya Asya, sembari meminum habis air dalam botol, dan itu membuat rasa hausnya menghilang.
Di salah satu restoran, Asya terlihat berkumpul dengan keluarganya sesuai ajakan Arina untuk makan malam bersama di luar. Sudah lama mereka tidak jalan-jalan, meskipun sekadar makan makan malam di luar. Efek kesibukan dunia bisnis, membuat Asya tinggal berdua dengan Aksa. Sedangkan orang tuanya sibuk ke luar kota. Mereka sudah menghabiskan makanan yang dipesan, memutuskan memulai obrolan kecil.“Seneng?” tanya Arina, sambil menatap kedua anaknya.“Iya dong.” Asya membalas cepat, hingga teringat akan sesuatu hal. “Kalian tidak keluar kota lagi, ‘kan?”“Tidak kok.” Azdi membalas pertanyaan Asya, kemudian melirik ke arah Aksa sedari tadi diam terus. “Kenapa?”“Nggak!” balas Aksa dengan nada amat ketus.Azdi menghela napas pasrah. “Masih keluar tengah malam kah?”Aksa terdiam, hal itu membuat orang tuanya menghela napas gusar.“Bisa kau hentika
Setelah tragedi berdarah terjadi, di rumah sakit terlihat keluarga Alexander baru saja dilanda kepanikan. Seketika terpaku, setelah mendengar perkataan dokter. Dokter menghela napas sejenak, melihat keluarga Alexander terdiam. Pada akhirnya, mengulang ucapan yang baru saja dikatakannya, kali ini berhasil membuat keluarga Alexander dilanda keterkejutan.“Tenanglah,” ucap Dokter.“Bagaimana bisa tenang! Anak saya me—” ucap Rivo terpotong.“Anak anda selamat!” potong Dokter.“Tunggu! Bukannya tadi ....” Rivo kembali menghentikan ucapannya, karena bingung dengan maksud Dokter yang menangani anak sulungnya.“Kalian sibuk bertanya, tanpa sadar memotong ucapan saya. Saya memilih diam, karena sulit menjelaskannya.”“Jadi, bagaimana keadaannya?” tanya Risa lagi.“Anak anda memang hampir tidak tertolong, karena detak jantungnya sempat berhenti. Namun, keajaiban
Keheningan mulai menyelimuti semua orang—rekan bisnis, yang diundang Rivo. Maklum, baru saja mendengar yang sebenarnya terjadi pada Rafan. Nyatanya hampir tidak tertolong, tetapi keberuntungan kembali didapatkannya. Berhasil, terbangun dan seperti biasa lagi. Suasana kembali cair, saat Azdi kembali berbicara sesuatu."Aku tidak menyangka anak sulungmu yang menolong putriku." Azdi masih tidak percaya, di satu sisi lega karena Asya selamat dari kejadian malam itu.Rivo mengangguk, kemudian berdeham sejenak. "Sebenarnya, aku juga tidak percaya dengan anak sulungku. Ternyata, keluar diam-diam. Padahal baru saja pulih.”Lambat laun, helaan napas pasrah pun terdengar, Rivo heran dengan Rafan—baru pulih dan selesai menjalani terapi. Mendadak pusing, pastinya Rafan akan semakin berkeliaran lagi. Apa lagi, bila sudah pulih benar. Pasti semakin sulit untuk diam!"Anakmu liar jadi wajar, baru saja pulih sudah mulai berkeliaran lagi," celetuk Raskal
Rafan terus melangkah lambat, melewati setiap koridor sekolah. Raut wajahnya mendadak masam, benar-benar dilanda badmood. Pertama, efek dari orang yang menguntitnya—tidak lain Aksa. Yang kedua, terusik karena ditatap oleh saudara si penguntit tadi—tidak lain adalah Asya.Sampai di kelas, Rafan terdiam sejenak di ambang pintu. Alasannya? Bertemu dengan si penguntit tadi—Aksa. Teringat, kalau dirinya satu kelas. Jadi, akan bertemu terus! Lain halnya dengan Aksa, kembali melirik datar Rafan. Mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas.Hah, menyebalkan sekali!Rafan duduk diam, lambat laun menelungkupkan kepalanya di atas meja. Berharap sekolah cepat usai, tetapi hanya bisa pasrah. Sembari menunggu bel pelajaran terakhir berbunyi. Lagi-lagi ketenangannya terusik. Pasalnya, Aksa sejak tadi masih belum berhenti menatap ke arahnya.Mau apa sih?Rafan kesal, tetapi malas meladeni Aksa. Sempat terbesit ide,
Rafan dengan sorot mata malas tetapi terkesan dingin, melirik perempuan yang pernah ditolongnya pada kejadian malam itu. Sedangkan perempuan tidak lain Asya, masih sibuk dengan novelnya. Sepertinya, memang tidak sadar kalau ada Rafan di sebelahnya.Rafan kembali terpejam, membiarkan Asya duduk di sebelahnya. Lagi pula dia tidak mengusikku.Kembali ke prinsip yang Rafan tanam pada dirinya sendiri, hanya menyerang bila diusik saja. Sedangkan perempuan di sebelahnya—Asya, memang tidak menyadari keberadaannya.Rafan terpejam, tetapi pikirannya terus berjalan. Tepatnya, kembali menerka sesuatu hal—tidak lain pembicaraan bersama polisi tadi.****Di kediaman Azkara, Refan terlihat duduk di teras rumah bersama Vio yang asik bersandar di punggungnya. Bahkan, fokus memainkan game online meski ada Refan. Namun, sesekali melirik dan heran karena yang diliriknya terus cemberut.
Kediaman Alexander seperti biasa ramai, Rivo seringkali mengadakan rapat kecil ataupun besar di rumahnya, dan sekarang sedang istirahat sejenak sesekali berbincang sesuatu. Namun, terusik kala jengkel melihat anak bungsunya sedari tadi duduk terdiam di sebelahnya."Kenapa?" tanya Rivo.Refan menoleh sebentar, kemudian diam lagi. "Nggak!" Sepertinya sedang badmood.Rivo menghela napas pasrah, melihat tingkah Refan membuatnya teringat kalau anak sulungnya kabur lagi. "Nanti juga pulang.""Nanti kapan? Kabur dari tengah malam hingga siang belum balik juga!" desis Refan.Rivo membenarkan ucapan anak bungsunya, tetapi memilih mengabaikan Refan yang terus saja menggerutu kesal di sebelahnya. Lagi pula, agak bimbang ingin memberi saran apa. Pada akhirnya, anak sulungnya tidak diketahui akan pulang kapan."Siapa yang kabur?" celetuk Azdi, mendadak penasaran."Biasa anak sulungku," balas Rivo."Hm, gitu."Refan semakin d