“Jadi, apakah ada yang tahu apa batasan dalam menggunakan Bakat?”
Saat ini, Venus dan seluruh murid kelas satu sedang berbaris di tengah-tengah sebuah lapangan tertutup. Dinding-dinding hitam yang mengelilingi tanah lapang itu tampak berdiri angkuh, seakan ingin menghalangi siapapun yang ingin masuk ke lapangan itu tanpa izin. Mereka berada di sana dalam rangka praktik pelajaran Pengembangan Bakat, tepat setelah jam istirahat selesai.
Pak Zub, krona pelatih berwajah tegas yang barusan bicara, memandang wajah-wajah di depannya dengan tajam. Venus menoleh pada Virzash dan menatapnya.
“Apa?” bisik Virzash, merasa terganggu.
“Kau tahu jawabannya?” selidik Venus.
“Kau tidak pernah membuka tabletmu?”
Venus memutar bola mata.
“Kau berkata seakan kau sudah tahu,” gumam Venus sebal. “Kenapa tidak menjawab pertanyaan dari Pak Zub, kalau begitu?”
Wajah Virzash memerah.
“Aku pernah membaca buku materinya di tablet, tapi aku lupa,” jawabnya pelan.
Venus mendengus. Yang benar saja!
Seorang cewek berkacamata mengangkat tangan.
“Lama waktu saat seseorang menggunakan Bakat tidak boleh lebih dari dua jam,” cewek itu berujar. “Atau setidaknya, hingga tubuh mulai merasa tidak mampu lagi mengeluarkan kekuatan. Gejalanya adalah pusing, lemas, sesak napas, dan mata berkunang-kunang. Jika tetap dipaksakan, maka akan menyebabkan kematian.”
Pak Zub bertepuk tangan tiga kali dan bertanya, “Siapa namamu?”
“Lira Blezana.”
“Apakah pemaparan dari jawaban Lira tadi kurang jelas?” Kali ini Pak Zub bertanya pada semua murid, yang serempak menjawab tidak, kecuali Venus.
“Apakah gejalanya berlaku sama terhadap seorang volt yang berlebihan dalam mengerahkan Bakat?”
Suara Venus menyentak murid-murid lain, kecuali Virzash. Tatapan mereka membuat kepala Venus gatal lagi.
“Dan kau adalah ...?”
Kendati Venus yakin Pak Zub hanya berpura-pura tidak tahu, gadis itu tetap saja menjawabnya.
“Venus Samudera, Pak.”
“Pertanyaan bagus, Venus,” puji Pak Zub, kemudian mengalihkan tatapan pada yang lain. “Gejalanya sama, tetapi ditambah dengan satu peringatan terakhir. Saat kita berlebihan dalam mengerahkan Bakat, gejala-gejala seperti yang dikatakan Lira tadi akan muncul. Kemudian, jika keadaan semakin memburuk, tubuh kita akan mengirimkan peringatan terakhir berupa sentakan menyakitkan pada perut. Peringatan terakhir ini harus dihiraukan, jika tidak, kita akan mati dalam waktu lima menit selanjutnya.”
Seseorang berkata, “Tapi dalam waktu lima menit itu, paramedis bisa me—”
“Tidak bisa,” potong Pak Zub tegas. “Paramedis atau obat-obatan tidak akan pernah bisa memulihkan apapun. Sebab, terhitung dari mulai detik pertama, saraf-saraf dalam tubuh kita akan terputus secara urut dan bertahap. Maka dari itu, camkan ini. Jangan pernah mengerahkan kekuatan kalian, jika belum tahu batasan Bakat kalian sendiri. Jika tidak, kalian tidak perlu waktu dua jam untuk bisa mati secara menyakitkan.”
Murid-murid terdiam membisu. Venus menggigit bibir, takut jika ia melakukan kesalahan dengan membunuh dirinya sendiri. Atau, lebih parah, membunuh orang lain. Apa yang dikatakan Pak Zub cuma sekadar peringatan dan penjelasan, tetapi Venus sudah segugup itu seakan ia bisa saja menyemburkan api hanya dengan bernapas.
“Seru banget, sih,” gumamnya perlahan.
Seorang krona dan puluhan murid menatapnya syok. Mereka tidak sadar bahwa Venus hanya bermaksud sarkastik. Virzash bahkan menatap Venus dengan tampang horor. Venus mengusap wajah temannya itu dengan gerakan cepat dan main-main. Virzash memberengut kesal.
Pak Zub berdeham.
“Mari kita mulai latihannya,” ia berkata. Menginterupsi kekagetan yang ada.
Pak Zub membagi mereka menjadi sepuluh kelompok sesuai jenis Bakat. Semua murid tampak bersemangat lagi, tetapi Venus kembali jengkel. Ia merasa sedikit sakit hati. Masalahnya, jenis Bakat-nya tidak termasuk dalam kategori apapun. Pun Virzash, yang berdiri sambil melipat tangan. Tampak sama terganggunya dengan Venus. Venus kira mereka berdua akan diabaikan oleh Pak Zub, tetapi ternyata krona itu mendatangi mereka berdua lebih dulu.
“Tidak perlu khawatir, kalian berdua,” kata Pak Zub menenangkan. “Aku yang akan melatih kalian sendiri.”
Venus dan Virzash menatap krona itu dengan bingung.
“Kelompok-kelompok itu akan dilatih dengan pelatih lain,” jelas Pak Zub.
Sesaat kemudian, sepuluh orang tampak memasuki lapangan dan mulai menuju ke kelompok masing-masing. Mereka terdiri dari lima perempuan dan lima laki-laki, kesemuanya masih seperti remaja.
“Mereka siapa?” Venus bertanya pada Pak Zub.
“Mereka adalah murid-murid berbakat dari kelas tiga,” jawab Pak Zub tenang. “Setiap tahun, murid kelas tiga yang potensial akan selalu diajukan untuk menjadi Pelatih Sementara di sini.”
Venus mengangguk-angguk paham, tetapi perhatiannya teralihkan. Gadis itu mengawasi saat kelompok Batu yang tak jauh darinya mengelilingi sebuah batu besar. Tujuannya apa, Venus tak bisa melihat dengan jelas. Di seberangnya, kelompok Udara tampak berdiri tegang seperti sedang menahan beban berat tak kasat mata. Sesekali rambut mereka tersibak pelan seakan ada yang meniupnya. Anggota kelompok Api kelihatannya seperti sedang berkonsentrasi keras pada api kecil seukuran gundu, yang tengah melayang di atas telapak tangan mereka. Di kejauhan, kelompok Flora tampaknya sedang berusaha keras mencoba membuat Taman Melayang Dadakan, di mana tanamannya terus-terusan menghilang, seakan kembali ke tempat mereka sebelumnya.
Yang paling lucu adalah kelompok Fauna. Kelompok yang paling dekat dengan Venus dan Virzash itu sepertinya sedang berpesta dengan hamster putih, yang tidak suka berada di tengah-tengah lapangan penuh orang.
“Venus!”
Anak perempuan itu tersentak kaget. Ia gelagapan dan mencoba mengucapkan kata maaf pada Pak Zub dengan benar. Suara aneh yang berasal dari Virzash memberitahu Venus, bahwa cowok bayi itu menertawakannya. Menyebalkan sekali.
“Latihan ini sungguh mudah,” ujar Pak Zub. “Hanya diperlukan kerja keras dan konsentrasi. Virzash, coba nyalakan api atau bekukan telapak tanganmu. Konsentrasi yang kuat, jangan sampai terbagi. Bayangkan Bakat-mu ada di depan mata dan kau tinggal meraihnya.”
Sambil berkata begitu, Pak Zub menengadahkan telapak tangannya dan Virzash mengikuti. Kemudian krona tersebut beralih pandang pada Venus yang kini hampir tertawa karena ekspresi Virzash. Wajah anak itu semerah udang rebus, tetapi baik api maupun es tak tampak muncul sedikit pun.
“Venus, giliranmu.”
Venus hanya menatap krona berambut kelabu itu dengan tatapan kosong.
“Saya harus apa?” Akhirnya Venus berkata.
“Lakukan seperti yang aku katakan pada Virzash. Kau bisa membayangkan Bakat apapun yang kau inginkan. Cobalah pada objek yang lebih kecil dulu.”
“Baiklah.”
Setelah Venus mengatakan itu, Pak Zub tiba-tiba lebih tertarik pada gawai tabletnya. Keningnya berkerut seakan sedang memikirkan sesuatu. Ia begitu fokus dengan benda itu, hingga Venus memanfaatkan momen itu untuk menonton kebolehan Virzash.
Keringat membasahi wajah Virzash yang merah padam, membuat Venus tertawa geli sebab temannya itu tampak lucu di matanya. Mereka berdua sama-sama terkejut saat selanjutnya telapak kiri Virzash mengeluarkan asap. Venus mengangguk menyemangati saat cowok bayi itu memandangnya. Virzash kembali mengerahkan konsentrasinya. Anak laki-laki itu menggertakkan gigi hingga urat di wajahnya menonjol bagaikan cacing dalam kulit transparan. Tangan kanan Virzash sedikit demi sedikit mulai membeku. Tangan kirinya masih mengeluarkan asap, tetapi belum ada tanda-tanda terbentuknya api yang solid.
“Wah, keren,” puji Venus, ikut merasa senang.
“Venus!”
Venus terlonjak, dan untuk kedua kalinya dalam hari ini, ia gelagapan lagi. Konsentrasi Virzash terpecah, dan kekuatan Bakat-nya seketika menghilang. Anak itu melotot pada Venus, seakan yang membuatnya kaget bukan Pak Zub.
“Kenapa tidak berlatih?!” omel Pak Zub jengkel.
Venus buru-buru berkonsentrasi, entah kenapa, pada bayangan banteng bernapas api. Alhasil membuatnya bersimbah peluh tanpa hasil. Setelah sadar akan bayangan mustahil itu, ia segera memikirkan hal lain.
Batu.
Namun, sebelum Venus berhasil, suara alarm peringatan membahana di sepenjuru lapangan. Selanjutnya, terdengar suara berat seperti robot yang seolah-olah keluar dari mana-mana. Robot jantan, Venus teringat dengan geli. Namun, ia tak bisa merasa geli lebih lama lagi.
“BAHAYA! PENYUSUP BANASPATI API! PARA VOLT, KELUAR DARI SINI!”
“BAHAYA! PARA VOLT, TINGGALKAN TEMPAT INI! SEKARANG!”
Kesepuluh Pelatih Sementara berseru-seru kepada kelompoknya masing-masing, menggiring mereka untuk keluar dari lapangan tertutup tersebut. Ekspresi murid-murid baru terlihat panik dan agak takut, tetapi para pelatih menyarankan untuk tetap tenang agar tidak mengacaukan suasana. Meski begitu, kaki mereka melangkah lebih cepat daripada sekadar berjalan saja.Venus menoleh pada Virzash, merasa bingung harus bagaimana. Pak Zub saat itu sedang menengadahkan kepala, matanya seperti mencari-cari sesuatu. Krona beruban itu sama sekali tidak menghiraukan Venus dan Virzash.“Kita pergi sendiri atau bagaimana?” bisik Venus tegang, meski gadis itu tak tahu apa tepatnya yang membuat ia tegang.Virzash menatap separuh anak-anak lain yang sudah setengah jalan menuju pintu keluar.“Kita susul mereka sajalah,” Virzash memutuskan, matanya mengerling Pak Zub. “Krona pelatih ini sepertinya bahkan tidak akan sadar kalau kita hilang. Yuk!”
Sekali lagi, Venus terbangun di kegelapan. Tubuhnya begitu lemah. Membuka mata pun terasa seperti sebuah pekerjaan yang melelahkan.Kemudian, ia ingat dengan apa yang telah terjadi.Gadis itu mengeluh. Ia memijit dahinya yang masih bekernyut nyeri. Tangan Venus meraba perutnya, merasakan sakit yang kini sudah tidak ada lagi. Jantungnya tak lagi terasa nyeri. Ia bisa bernapas sebaik manusia sehat manapun.Venus mencoba membuka mata lagi, berpikir dengan sadar bahwa membuka mata atau tidak, pemandangan yang tersedia tetap tidak akan berubah.Yang ada hanya kegelapan.“Tuhan, aku di mana?” bisik Venus merana.Kenangan tentang Portal Gelap membuatnya panik. Jika dulu portal itu menariknya masuk ke Bumi Kedua, bagaimana jika portal yang ini menariknya keluar dan kembali ke Bumi Pertama? Kembali kepada keluarga angkatnya?Atau, jangan-jangan Venus sebenarnya sudah mati? Apakah kematian seorang volt selalu begini? Terdampar di ke
Bayang-bayang terpelesat ke sana kemari. Wujud mereka seperti malaikat kematian yang enggan meninggalkan makhluk bernapas hidup-hidup. Suaranya bagai angin yang berdesau, seirama dengan gerakan tak bertubuh citra tersebut.Siluet seorang pria dan seorang wanita tampak berdiri di tengah-tengah kepungan itu, berdiri dan saling berhadapan, seakan tak ada yang lebih penting daripada itu. Gerak bibir mereka seperti sedang berbicara.Citra kelabu itu perlahan memudar menjadi kabut yang mengaburkan penglihatan. Suara tawa tiba-tiba menggelegar, menciptakan gema yang menggiriskan hati, seakan ia keluar dari palung kematian.Bintik-bintik gelap dengan cepat menyebar, menutup sepetak kelabu yang tersisa. Namun, gema tawa itu masih ada. Menggoncang jiwa. Seandainya mungkin, orang mati pun niscaya terbangun kembali, lalu kembali mati berkubang ketakutan.Saat tawa itu berhenti, sebuah kesadaran tampak menunjukkan keberadaannya. Kesadaran itu menggigil seakan tengah b
Dalam tiga puluh menit selanjutnya, mereka membicarakan aksi heroik Venus yang dijuluki Sang Bizura Yang Payah oleh teman-temannya. Sementara Venus sendiri sibuk makan seraya mengomeli semangkuk muntahan nasi abon yang ia pegang.“Dari mana kau yakin kalau kau bakal bisa mengeluarkan Bakat sebesar itu?” satu saat Virzash bertanya penasaran.“Nah, betul juga,” Shad mengiyakan. “Bagaimana kalau perhitunganmu ternyata salah, Ven?”Venus memutar-mutar bola mata dan mengetuk-ngetuk pinggiran mangkuknya.“Maaf sudah mengecewakan kalian, tapi aku tidak merasa sudah menghitung apapun saat itu!” ucapnya ketus. “Pak Zub bakal diserang oleh segerombol kepala setan terbang, dan kalian malah mempertanyakan bagaimana caraku bisa berpikir?! Aku nggak berpikir!”“Pantas kau mati,” cetus Lou tiba-tiba.Ketukan Venus pada mangkuknya berhenti kira-kira sepersekian detik. Kata-kata Lou meng
Dunia Venus membeku.Bisakah ia tetap melawan?Mimpinya dengan Giris bukanlah sekadar mimpi. Dan Venus merasa benci karenanya.Telinga Venus berdenging, dan ada sulur-sulur kehampaan nan dingin di sekujur tubuhnya yang terasa menyesakkan. Ia hanya mampu menatap Lou yang entah kenapa bisa berubah menjadi lembut.Sejak kapan Lou jadi baik dan simpatik begitu?Lagipula, aku sedang berpikir tentang apa?“Venus?” Tangan Lou melambai-lambai di depan wajah Venus. Venus berkedip.“Aku tidak apa-apa,” ia berkata dengan tenang, lantas tersenyum dan menyesuaikan duduknya.Lou dan yang lain memandang sosok pasien di atas ranjang rumah sakit itu dengan khawatir.“Beritahu aku detailnya. Tentang … moyangku itu.”Sepi.Bip-bip-bip.“Apa suaraku terlalu rendah?”Bip-bip-bip.“Venus …” Shad memulai, ragu
(Salam, Putri Bizura.Setelah bertahun-tahun saya mencoba berkomunikasi dengan Anda … akhirnya! Dua kali percobaan saya hampir berhasil, tetapi tiba-tiba gagal. Mungkin karena Anda masih belum mengetahui indentitas diri Anda? Atau pertahanan Anda yang tentu lebih kuat dari insan volt lain?Terlepas dari itu, perkenalkan. Saya adalah Mustaka, roh yang ditugaskan oleh Sang Penguasa Empat Dimensi, Yang Mulia Agung Kaisar Azafer, untuk menjaga dan melindungi Anda dari menjadi incaran musuh.Seperti Dewa Kebencian, misalnya. Sungguh, Kaisar Azafer menyatakan penyesalannya, atas anugerah yang telah dengan ceroboh ia turunkan pada Giris Druiksa.Saya selalu berada di sisi Anda. Jadi, kapanpun Anda ingin berkomunikasi dengan saya, silakan panggil saja nama saya dalam hati.Salam, Putri.Dan bangunlah. Ada pemuda menawan yang sedang mengagumimu dalam kehangatan di wajahnya.)
Cakrawala sudah mengguratkan sulur-sulur oranye di angkasa saat Shad dan Venus bangkit berdiri. Mereka bertatapan selama beberapa saat, sebelum akhirnya Shad mengangguk dan tersenyum.“Kau tidak pernah jahat, Ven. Ingat itu,” Shad berujar.Anak laki-laki itu membelai lagi pipi Venus dengan lembut, dan Venus menggenggamnya di sana selama yang bisa ia lakukan.Suara berdenting menarik mereka perlahan kepada kenyataan. Shad menoleh sekilas, tangannya masih menempel di pipi Venus.“Para Pengaman,” sebut Shad sambil lalu.“Sudah cukup, Nak!” seru salah satu Pengaman. “Kembali ke kelasmu! Sebentar lagi Pesawat Darurat akan tiba di sini!”“Bolehkah aku melihatnya saja?” pinta Shad.“Tidak.”Shad menghela napas. Ia menoleh pada Venus yang masih memandangnya.“Sampai jumpa, Ven. Aku tidak akan pernah melupakanmu, aku janji,” Shad bersumpah.
Pesawat berhenti setelah kira-kira dua jam kemudian. Atau setidaknya begitulah menurut Mustaka pada Venus, yang terus saja memelototi salah satu jeruji sejak ia tahu siapa Amerta yang sebenarnya.(Putri, apa informasi tadi lantas membuat Anda jadi patung?) Dengan kurang ajarnya Mustaka berkata dalam benak Venus.Venus mendengus. Tatapannya tidak pindah ke mana-mana. (Aku mati. Sialan kau, Mus! Kenapa kau tidak pergi saja dari otakku?!)(MUS?!)Venus berjengit seraya memegangi kepalanya. Suara Mustaka terdengar sangat tersinggung dan hampir meledakkan otak Venus jadi berkeping-keping.“Jangan berteriak dalam kepalaku!” geram Venus dengan suara rendah.(Maafkan saya, Putri. Namun, sebelum ini Anda juga pernah berteriak. Kepala saya sama sakitnya dengan Anda.)Leher Venus memanas. Dia tidak ingat tentang itu. (Kau sebenarnya ada di mana, sih, Mus? Dan tolong, berhenti memanggilku Putri.