Kesepuluh Pelatih Sementara berseru-seru kepada kelompoknya masing-masing, menggiring mereka untuk keluar dari lapangan tertutup tersebut. Ekspresi murid-murid baru terlihat panik dan agak takut, tetapi para pelatih menyarankan untuk tetap tenang agar tidak mengacaukan suasana. Meski begitu, kaki mereka melangkah lebih cepat daripada sekadar berjalan saja.
Venus menoleh pada Virzash, merasa bingung harus bagaimana. Pak Zub saat itu sedang menengadahkan kepala, matanya seperti mencari-cari sesuatu. Krona beruban itu sama sekali tidak menghiraukan Venus dan Virzash.
“Kita pergi sendiri atau bagaimana?” bisik Venus tegang, meski gadis itu tak tahu apa tepatnya yang membuat ia tegang.
Virzash menatap separuh anak-anak lain yang sudah setengah jalan menuju pintu keluar.
“Kita susul mereka sajalah,” Virzash memutuskan, matanya mengerling Pak Zub. “Krona pelatih ini sepertinya bahkan tidak akan sadar kalau kita hilang. Yuk!”
Saat Venus dan Virzash tiba di barisan kelompok terakhir, kekacauan meledak.
Sebuah bola api melesat jatuh dan hampir mengenai bahu seorang Pelatih Sementara. Murid-murid baru yang tersisa menjerit-jerit dan berlari serabutan ke pintu keluar lapangan dengan panik.
Venus, menatap semuanya dengan kebingungan yang bodoh, hanya berdiri di sana tanpa melakukan apa-apa. Ia terlampau terkejut hingga seperti mati rasa, seakan ada pasak tak kasat mata yang menahan kakinya untuk tetap diam di sana.
“Ven!” teriak Virzash kalut. “Apa yang kau lakukan?! Ayo, lari!”
Teriakan Virzash terdengar membingungkan di telinga Venus. Anak perempuan itu masih tak tahu apa yang membuat semua orang begitu panik. Pandangannya terarah ke atas, tempat bola api tadi berasal.
Sedetik kemudian, Venus berdengap.
Belasan sosok berapi tampak melayang berputar-putar di seantero lapangan. Bentuk mereka seperti kepala setan yang terbakar. Hidung mereka hanya berupa celah gelap, mulut mereka menyeringai dan menunjukkan gigi-gigi hitam bersaput api. Mata makhluk-makhluk itu sewarna kegelapan, dengan telinga panjang nan runcing seperti gambaran iblis dari neraka. Salah satu sosok itu terpelesat di depan Venus. Hawa panas dan mencekam tiba-tiba membuat dada Venus terasa sesak.
“Merekakah yang kau maksud dengan kepala setan terbang waktu itu?” tanya Venus gugup pada si cowok bayi yang kini berwajah pucat.
“Jangan pernah merasa takut, oke?” ujar Virzash ketakutan. “Bantuan akan datang.”
Venus menatapnya dengan aneh. Sejauh ini, Venus hanya melihat Pak Zub seorang, lain tidak.
“AWAS!”
Venus melongok tepat ketika sebuah bola api meluncur ke arah Virzash dari belakang. Segalon air menyembur bola neraka itu dengan begitu keras. Kedua murid istimewa itu menunduk saat percikan air berhawa panas membasahi tubuh mereka.
Pak Zub berlari menghampiri kedua anak itu dan mengutuk mereka habis-habisan.
“Apa yang kalian lakukan di sini?!” hardik sang pelatih berang.
“Venus cuma berdiri dan tidak mau lari, Pak!” Virzash mengadu dengan wajah lebih pucat, tangannya tampak bergetar.
“Virzash, kau tahu kau tidak boleh takut, kan?” Pak Zub mengingatkan dengan keras. “Cepat pergi dari sini!”
Pak Zub membuat selubung dari air untuk melindungi tubuh Virzash. Bocah berwajah bayi itu lantas berlari sekencang yang ia bisa menuju pintu keluar.
“Kenapa kita tidak boleh takut?” selidik Venus penasaran.
Pak Zub menatap gadis itu dengan kegalakan luar biasa.
“Makhluk-makhluk ini pemakan rasa takut, kau tahu?!” bentak Pak Zub tak sabar. “Mereka menyerap ketakutan lewat udara, dan siapapun yang takut akan terkena lemparan apinya! Tanpa dijelaskan pun seharusnya kau tahu kalau mereka ini berbahaya! Kenapa malah berdiri dengan bodoh di sini?!”
“Anu, mereka keren,” kata Venus lebih bodoh lagi.
“Apanya yang keren, Bocah?!”
Belasan banaspati tiba-tiba meluncur menuju kepala Pak Zub. Makhluk-makhluk itu tampak marah karena sesuatu. Venus terkejut dan melakukan sebuah tindakan tanpa berpikir panjang lagi.
Gadis itu menarik keluar dua buah Bakat sekaligus. Secara mendadak.
Venus memikirkan tentang air yang ia sedot dari sumber di bawah tanah dengan konsentrasi yang akan membuat semut pun bangga. Napasnya tersentak dan perut gadis itu menegang. Sebelum setetes air pun muncul, Venus menyuruh tanah di bawah kakinya untuk menghambur ke atas. Ia membayangkan kedua Bakat itu menyatu hingga membentuk adonan lumpur super di udara.
“Venus, berhenti!”
Venus merasakan bahunya diguncang, tetapi ia mengabaikan hal itu. Konsentrasinya tak boleh pecah. Sedikitpun.
Tubuh Venus begitu lengket seakan ia baru saja diguyur oleh sepanci minyak. Rona merah menjalar di seluruh permukaan wajah dan lehernya yang berkeringat.
Namun, usahanya berhasil.
Gemuruh dari bawah tanah mengguncang kaki Venus, tapi ia tetap bertahan saat tanah mulai retak di berbagai tempat. Semburan benda cair tiba-tiba memancar keluar dari sela-sela retakan. Berliter-liter air mengantam gerombolan banaspati, mengungkung makhluk-makhluk itu di dalam pusaran basah yang mematikan. Hebatnya, api mereka masih menyala, meskipun tidak seterang sebelumnya.
Pun, Bakat selanjutnya mengemuka.
Lapangan itu terguncang seperti kedatangan gempa secara tiba-tiba. Retakan-retakan sebelumnya membesar, kemudian meledak menjadi jutaan serpih tanah cokelat yang kini terlempar ke udara.
Pijakan Venus goyah dan matanya terpejam menghindari serpihan tanah yang terlontar ke segala arah. Namun, ia memfokuskan diri pada satu titik terakhir. Gadis itu memekik nyaring ke udara, dan serangan kedua dimulai.
Milyaran partikel tanah itu menghambur ke dalam pusaran air berisikan gerombolan banaspati marah yang berusaha keluar. Berton-ton tanah dan puluhan liter air mengaduk-aduk belasan banaspati tanpa ampun. Pemandangan itu tampak seperti lumpur raksasa yang mengambang di udara.
Venus mempertahankan posisi itu selama beberapa saat untuk memastikan semua banaspati benar-benar telah mati. Tubuhnya diguncang lebih keras oleh seseorang. Guncangan itu membuat pandangannya kabur untuk beberapa detik.
Venus melepaskan energinya, menyebabkan lumpur raksasa itu jatuh berdebum dengan suara yang sedikit aneh. Venus jatuh terjengkang sambil melindungi wajahnya dengan tangan, dan merasakan percikan lumpur hangat mengenai tubuhnya seperti hujan. Ironisnya, Venus merasa seperti kotoran sapi yang menjijikkan.
Gadis itu terduduk dan terbatuk-batuk. Tiba-tiba jantungnya terasa nyeri, seakan ada yang menusuknya dengan sesuatu. Venus mencengkeram dadanya begitu kuat. Ia jatuh telentang dan berguling-guling, bernapas pendek-pendek, dan merasa kesakitan setiap kali ia menarik napas.
Satu titik di perutnya mengejang, tersentak. Seakan sebuah pisau tertancap dan ditarik keluar oleh seseorang. Gadis itu tak mampu berteriak karena dadanya yang nyeri. Ia meremas perutnya begitu kuat hingga tangannya terasa kebas.
“MEDIS!” teriak sebuah suara.
Mata Venus berkunang-kunang, dan kepalanya sungguh sakit luar biasa. Ada seseorang yang menumbuk kepalanya dengan batu, dan ia merintih meminta tolong.
Gadis itu melenguh lagi, merasa tidak mampu menanggung sakit yag dirasakannya. Pendengarannya berdenging ngilu.
Venus ingin berteriak, tetapi jantungnya tak mengizinkan itu terjadi. Berteriak sepertinya hanya akan membuat gadis itu semakin tersiksa. Atau malah akan membunuhnya.
Venus tak mampu lagi. Sungguh-sungguh tidak kuat lagi.
Maka, ia pun menyerah.
Venus melihat mereka melalui kacamata malam yang dia kenakan, ketika akhirnya dia dan Ildara tiba di sebuah lubang yang hampir melingkar dengan tebing-tebing tinggi yang mengelilingi mereka. Berada di sisi tebing, sekelompok orang "kecil" berbisik ketika mereka menyaksikan kedatangan Venus dan Ildara.“Orang-orang” ini, yang Mustaka panggil Ebu Gogo, tingginya hanya sekitar satu meter, wajah mereka ditutupi bulu lebat seperti primata non-manusia. Perut mereka membuncit seperti pot, dengan telinga mencuat seolah-olah telinga mereka telah menggunakan beban yang tidak terlihat selama sisa hidup mereka.Venus terus berjalan ke tengah lapangan kecil yang terbuka dengan langkah lambat sambil mengamati makhluk lain. Namun, tiba-tiba salah satu Ebu Gogo dengan bulu coklat muda di wajahnya mendekati Venus dengan cara berjalan kikuk. Meski begitu, ekspresinya terlihat seperti sedang marah.Ven
Venus tiba-tiba merasa sangat kotor meskipun ia baru saja selesai mandi dengan sabun berbusa banyak. Terlebih lagi, sisa sarapan yang sempat dihabiskannya nyaris naik ke kerongkongan hingga membuat anak itu mabuk luar biasa.Seperti yang dikatakan Ildara: vingsai dapat berteleportasi, baik sendiri maupun dengan orang lain. Masalah terbesarnya adalah: yang dibawa vingsai itu bukan kaumnya sendiri, melainkan manusia volt yang sehat tanpa belatung di wajah mereka.Jika menjaga jarak saja aromanya sudah sangat buruk, Venus benar-benar membayangkan apa jadinya jika ia bersisian dengan vingsai. Berimpitan.Venus awalnya menolak berada di salah satu sisi vingsai itu, tapi Ildara berkata bahwa itulah caranya agar mereka bisa ikut diteleportasi.“Aku akan memegang lenganmu saja, Ildara!” sentak Venus di antara napasnya.Si vingsai mengangkat kepala dan menggeram rendah, seakan ingin mengatakan bahwa cuma itu caranya. Dan Venus harus mau kalau ti
Malam itu Venus hanya tidur selama beberapa jam saja. Entah kenapa ia akhir-akhir ini punya masalah dengan pola tidurnya. Rasanya seperti ia lelah jika harus tidur lama-lama. Padahal tidurnya selalu kurang dari delapan jam.Setelah melempar tubuh lelaki yang ia bunuh tadi malam keluar gerbang kompleks, Venus segera pergi tidur saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.Namun pada jam tiga pagi, ia terbangun dan tak bisa lagi memejamkan mata. Venus menghabiskan dini hari itu dengan menjelajahi ruang bawah tanah yang berdebu dan membaca beberapa buku fiksi koleksi Ildara di sana.Mustaka sama sekali tak menyahut saat gadis itu memanggilnya dengan telepati. Sedangkan Kaisar … sepertinya memang Venus tak bisa berbicara dengannya secara sembarangan. Kecuali Kaisar sendiri yang memulai.Pada jam lima, mata Venus berkedip-kedip lelah. Ia setengah mendesah lega, karena akhirnya mengantuk lagi. Namun gadis itu terpaksa berteriak sebal sendiri di kamarn
Besok adalah hari keempat belas sejak kepergian Ildara. Untuk yang kesekian kalinya dalam beberapa hari ini, Venus merasakan kemarahan yang berlebih akibat Ildara yang sama sekali tak memberi kabar padanya. Venus bahkan sempat berpikir, kenapa waktu itu dia tidak memberikan masa tenggat lebih cepat dari ini pada Ildara. Ketidaksabaran membuat anak itu menjadi gerah terus-terusan berada di rumah besar ini. Meskipun punya teman tak kasatmata seperti Mustaka atau Kaisar—meski yang satu ini jarang sekali bertelepati dengannya—tapi Venus tetap merasakan kesepian. Benda yang disebut dengan televisi … Venus hanya menyalakan itu saat ia butuh melihat berita tentangnya lagi. Lagipula, Venus tiba-tiba menjadi benci dengan segala film yang ada di dimensi bumi ini. Semua film menceritakan tentang kebaikan akan selalu menang; bahwa kejahatan pasti akan hancur. Sesuatu yang menjadikan diri Venus lebih sinis dari seharusnya. Takdir nyata tak seindah dalam halusinasi film semata, pikir Venus saat
Malam itu Venus tak bisa tidur. Ia pergi ke halaman belakang rumah Ildara yang megah. Halaman itu tersambung dengan hutan lebat yang gelap dan tampak menakutkan.Venus melatih dan mengerahkan Bakat-nya dengan kegilaan yang tak kunjung mereda. Sekali Ildara pernah menegur Venus karena terlalu berlebih-lebihan dalam mengerahkan Bakat Petir, sehingga menciptakan guntur dan petir di mana-mana.Beberapa pohon di dalam hutan tampak terbakar. Namun, dalam ketidaksadaran, ia juga menurunkan hujan lebat di atasnya, sehingga api cepat padam.Venus membentak liar pada Ildara dan mengusirnya dengan percikan-percikan listrik. Setelah itu si kuyang tak lagi muncul untuk menegurnya.Venus membentak ke udara saat beberapa pohon di tepi hutan tercerabut dan terlempar satu-dua meter jauhnya.Belasan banaspati tiba-tiba melesat dan melemparkan api ke arah Venus. Namun, makhluk-makhluk itu tak mendapatkan ketakutan Venus, sehingga ukuran dan kekuatan mereka tak lebih
“Kau sekarang termasuk atasanku, Venus.”Venus menoleh menatap Ildara. Sudah seminggu sejak ia berada di kamar serupa rumah sakit itu, dan kini Venus sedang menikmati masa-masa kewarasannya kembali.Kekuatannya sudah lebih baik. Meski telinganya masih suka berdenging menyakitkan di waktu-waktu tertentu.Venus bersandar pada sofa yang didudukinya dengan perasaan tanpa beban.“Apa Kaisar yang menyuruhmu?” tanya anak itu perlahan.Ildara mengangguk. Ia menyesap teh di cangkirnya dengan gerakan anggun.Venus menoleh lagi. Pandangannya menyapu ruangan serupa ruang keluarga yang dipenuhi perabot dan hiasan serba emas itu. Ada foto-foto berpigura yang diletakkan di atas meja, beberapa digantung ke dinding.Sebuah monitor besar menempel di salah satu bagian dinding. Benda itu seakan menyatu dengan dinding itu sendiri. Venus mengawasi jalanan dan beberapa perumahan yang tampak kosong dari monitor itu.Ildara ting
Venus pernah berpikir bahwa hidupnya akan jadi mengesankan, jika ia melakukan kebaikan seperti seorang pahlawan super. Namun, pemikiran itu datang jauh sebelum ia berubah jadi berani.Pernah suatu kali di Bumi Pertama, saat ia baru saja masuk sekolah kanak-kanak, saat pertama kali Bima—ayah angkat Venus—membentaknya.Saat itu Venus mencoba berkenalan dengan seorang anak yang sedang menangis. Ia pikir ia bisa menghentikan tangis anak itu.Tangis anak itu berhenti, tapi Venus mengacaukan segalanya.Saat jam sekolah selesai, ada seekor nyamuk yang hinggap di pipi teman barunya itu. Secara spontan Venus menampar serangga itu; dengan tak sengaja melakukannya terlalu keras.Ibu anak yang pipinya kena tepuk oleh Venus marah karena anaknya kembali menangis; bahkan lebih keras dari sebelumnya. Venus meminta maaf, tapi ibu si anak masih terlihat marah.Bima nyaris menyeret Venus saat mereka pulang hari itu. Begitu tiba di rumah, Bima langs
Napas Venus tersentak keluar. Ia membuka mata kaget, segera setelahnya berkedip-kedip saat cahaya membutakannya.Venus menghela tubuhnya, tetapi langsung terhempas kembali. Erangan tersiksa keluar dari bibirnya.Kepala Venus serasa akan pecah; perutnya mual luar biasa. Cairan pahit berkali-kali naik ke tenggorokannya, tapi Venus selalu menelannya lagi dan lagi.(Anda menjijikkan sekali, Venus.) Tiba-tiba Mustaka bertelepati. Nadanya terdengar jijik.(Diam.) Pikir Venus padanya.Venus mengaduh pelan saat kakinya tiba-tiba berdenyut nyeri. Ia menunduk dan mendapati belitan perban di pahanya yang sempat terluka.Kenangan membanjiri pikiran Venus tiba-tiba. Ia mencengkeram kepalanya saat ingatan itu datang bertubi-tubi seraya membawa rasa sakit tak masuk akal di sana.Seakan belum cukup, telinganya berdenging luar biasa.Venus berteriak; teriakan anak itu serak, dan itu menyakiti tenggorokannya.Benda tajam serasa menusuk-nu
Dua cahaya kemerahan yang menyala-nyala dari ujung berbeda saling mendekat di tengah desir kegelapan. Siluet manusia yang terbentuk dari bayangan asap berdiri di antara cahaya-cahaya itu.Satu siluet berwarna hitam, yang lain berwarna merah gelap; nyaris menyatu dengan cahaya yang mengikutinya. Cahaya itu lantas membaur saat kedua siluet itu berdekatan.Sebuah kesadaran lain mengawasi mereka dengan perasaan waswas dan ingin tahu.Venus.Kesadaran anak itu … ia merasa seolah tidak memiliki raga. Jiwanya seakan mengambang. Venus mencoba bertelepati dengan Mustaka, tapi pikirannya seperti terbelenggu oleh sesuatu; ada hal lain yang menahannya. Entah apa.Siluet berasap di hadapan anak itu tampak memutar ke arahnya. Venus tiba-tiba menggigil. Namun ia tak bisa bergerak … tak bisa apa-apa.Yang bisa dilakukan Venus hanya mengawasi dengan perasaan dicekam ketakutan.“Lihatlah, Druiksa.” Venus menoleh ke arah siluet