Rasanya Venus baru saja bermimpi tentang dirinya yang sedang berduel dengan seekor belalang raksasa, ketika suara alarm yang sangat melengking menyentaknya, hingga ia bangun dan terduduk tiba-tiba. Gara-gara itu pandangannya jadi agak berkunang-kunang. Venus mengerang dan berbaring lagi selama beberapa detik. Diraihnya tablet di atas nakas. Hari masih menunjukkan pukul 6 pagi, dan ada sebuah pesan masuk di gawai itu dengan bunyi berdenting keras satu kali. Gadis itu membuka pesannya dengan tangan masih memeluk guling. Pesan itu berisi jadwal pelajaran untuk siswa baru kelas satu. Venus berkedip-kedip membaca jadwal pada hari ini.
Venus mengeluh. Ia mencoba tidur lagi, tetapi semenit kemudian suara alarm kembali menyentak telinganya.
“Duh, Gusti!”
Ia duduk dan menatap langit-langit kamarnya, berharap bisa menemukan mata-mata teknologi yang sedang mengawasinya. Sambil mengucek matanya, Venus mencoba menanyakan hal itu pada gawainya. Ia tak mengira benda itu langsung menjawab dengan suara seperti anak kecil. Alhasil membuatnya kaget setengah mati dan melemparkan gawai itu ke samping. Untunglah tidak jatuh ke lantai.
“Tidak ada kamera pengawas, Kak Venus. Hanya alarm biasa yang bekerja berdasarkan pemindai ultra dan sensor tubuh yang berada di balik atap langit-langit. Jika Kak Venus tetap tidur pada waktu yang ditentukan, maka alarm akan terus berbunyi satu menit sekali hingga Kakak benar-benar terbangun.”
Venus menggumamkan kata terimakasih dengan perasaan aneh. Tidak pernah ia membayangkan akan berbicara kepada sebuah gawai. Gadis itu lantas beranjak menuju lemari dan hanya menemukan satu setel pakaian kasual berwarna hitam dan sepasang sepatu kasual senada. Heran dengan keadaan itu, Venus lagi-lagi bertanya pada tabletnya.
“Keluargamu akan mengirimkan semua perlengkapanmu nanti,” jawab tablet itu.
“Aku tak punya keluarga,” sahut Venus datar.
“Oh, ya, benar juga. Kalau begitu, pihak Volta pasti sudah mengurusnya. Ukuran tubuhmu sudah terpindai otomatis, jadi tak perlu khawatir. Nanti siang lemari itu sudah akan penuh dengan baju-bajumu.”
Venus menatap benda persegi panjang yang masih tergeletak di atas kasur itu dengan kening berkerut. Ada hal lain yang lebih menggangu ketimbang kapan dan di mana tubuhnya dipindai.
“Yang bayar semuanya siapa?”
“Ayahmu. Siapa lagi?”
Lebih dari setengah harian itu perhatian Venus tidak begitu fokus dengan sekitarnya. Saat pergi ke Aula Utama untuk sarapan bersama Virzash, ia mengaku padanya tentang apa yang sudah tablet Venus katakan. Virzash malah berkelakar betapa sikap ayah Venus tidak sedingin kelihatannya, dan karenanya Venus harus bersyukur. Venus mendampratnya gara-gara itu. Bahkan lelucon Shad dan gerutuan Lou di meja makan tidak mampu membuat Venus menjadi lupa akan masalahnya. Ris sempat menanyakan keadaan Venus, tetapi Venus menanggapinya dengan cengiran tolol dan berkata bahwa ia baik-baik saja.
“Jangan paksa otakmu untuk terus memikirkan masalah itu, oke? Jangan membebani diri sendiri. Kau tahu itu tidak baik,” bisik Virzash pada Venus, saat mereka berada di Ruang A1, hendak melakukan Tur Orientasi Volta. Tangannya meremas bahu Venus sebentar, setelah itu ia kembali menghadap ke depan.
Bahkan setelah Bu Rein yang manis memperkenalkan diri dan mengajak murid-murid kelas A1 untuk tur keliling, Venus tak pernah merasa sebingung ini sebelumnya. Kejadian tuli mendadak membuatnya takut, kejadian di Portal Gelap membuatnya sedikit takut dan mungkin agak sebal, dan kejadian pada Pemilihan Bakat tadi malam sama sekali tak ada hubungannya dengan kebingungan. Dan sekarang, setelah mendengar tablet yang sedang ia pegang mengatakan bahwa sang ayahlah yang mengurus semua keperluan anaknya di sini, sementara kata Virzash, mustahil seorang manusia biasa bisa masuk ke dimensi ini apalagi sampai berurusan dengan Volta Juana, Venus benar-benar ingin sekali kembali ke Bumi Pertama dan menuntut penjelasan pada Bima.
Masalah terbesarnya adalah, ayah mana yang dimaksud? Bima, ataukah ayah kandung Venus yang entah di mana sekarang?
Padahal Venus sangat yakin bahwa Bima bukanlah volt. Ketidakpedulian Bima tidak lantas membuat Venus menjadi tak acuh dengannya. Namun, berapa kali pun Venus memeras ingatan, ia tak bisa menemukan celah yang bisa mengubah identitas ayah angkatnya itu menjadi seorang volt.
Ataukah yang dimaksud sebenarnya adalah ayah kandungnya? Venus bahkan sempat mengutarakan tentang itu pada gawainya dengan berbisik-bisik saat Bu Rein tengah memaparkan Gedung Hobi, tetapi benda itu malah mengatakan bahwa orangtua Venus sama-sama volt. Itu artinya, Venus bukanlah blasteran, melainkan volt murni. Namun, ketika gadis itu bertanya siapa orangtuanya, suara cilik pada tablet itu tetap menyebut nama yang familier, yaitu Bima Samudera dan Langit Prahara. Jawaban yang justru membuat Venus semakin pusing tujuh keliling.
Betapa Venus tidak mengenal orangtuanya sendiri. Berbanding terbalik dengan gawai sok tahu yang sedang Venus pegang.
Ketika Bu Rein menjelaskan secara rinci tentang sebuah bangunan besar yang tampak gelap di hadapan mereka, Venus menarik napas dalam-dalam dan mulai mencoba menyingkirkan masalah orangtuanya. Ia sadar ia tidak bisa terus-terusan begini. Tidak ada gunanya bertanya-tanya sementara jawabannya sudah begitu jelas. Atau sejujurnya, semakin tidak jelas.
Pada dasarnya, Venus tahu ia cuma tidak ingin mempercayai kenyataan yang ada, dan malah mencari-cari kebenaran ilusi untuk menenangkan hatinya sendiri. Sebuah usaha membodohi diri untuk memuaskan keegoisan belaka di antara puing-puing tak berguna.
Titik.
“Ada yang ingin kau beli, Ven?”
Pertanyaan Virzash menyentak Venus kembali ke kenyataan. Ia menyadari bahwa anak-anak lain mulai berdiri teratur di depan sebuah loket.
“Apa mereka sedang mengantre tiket masuk?” Venus bertanya.
Virzash mengerjapkan mata dengan agak kaget.
“Yang benar saja, Ven!” Virzash menukas geli. “Kau tak dengar apa kata Bu Rein?”
Venus mengedarkan pandang dan berusaha menemukan Bu Rein, tetapi batang hidungnya pun tak kelihatan sama sekali. Gadis itu cuma bisa meringis pada Virzash dengan ekspresi bersalah.
Virzash menghela napas lagi dan menjelaskan dengan sabar, “Mereka sedang mengantre Kartu Volta yang berisi uang elektronik untuk dibelanjakan di sini.”
Venus mengangguk sambil ber-oh paham. “Jadi, bangunan ini semacam mal atau bagaimana?”
“Ini Gedung Kebutuhan,” sahut Virzash, lalu mengangkat bahu. “Dan, entahlah, dari penjelasan Bu Rein, kita bisa saja menduga seperti itu.”
Venus mengambil barisan paling belakang tanpa mengeluh, sementara Virzash mengikuti dengan sebal. Setelah menunggu dengan bosan selama beberapa menit kemudian, giliran mereka akhirnya tiba.
“Tinggal tersisa dua Kartu Volta,” seorang petugas jaga loket berujar pada Venus. “Kamu yang bernama Venus?”
Venus mengangguk, lantas menerima kartu tersebut. Kartu itu bentuknya mirip kartu kredit berwarna perak. Pada kartu itu tertera nama dan nomor seri berjumlah lima belas digit. Tanpa bertanya pun, Venus paham uang yang ada pada kartu itu berasal dari ayahnya. Entah ayah yang mana.
Tur Orientasi Volta berakhir setelah para murid baru berbelanja di Gedung Kebutuhan. Kebanyakan membeli barang-barang yang menurut mereka mengasyikkan, dengan batasan yang telah ditetapkan. Yaitu, maksimal seratus Volem per hari. Karena Venus takut salah, ia tidak mau menebak-nebak berapa kurs Volem ke Rupiah. Venus sendiri sedang tidak berminat untuk membeli apapun, sehingga ia hanya melihat-lihat saja, sambil berusaha menjauh dari anak-anak yang lain.
Suara alarm terdengar melengking satu kali di sepenjuru Volta. Venus membuka tabletnya dan melihat sebuah pengingat yang sudah muncul di layar tersebut.
ISTIRAHAT/MAKAN SIANG
“Kau mau makan atau tidak?” tanya Venus pada Virzash yang telah memakai sebuah kalung perak panjang berliontin tengkorak.
“Kau tidak beli apa-apa?” Virzash malah balik bertanya.
Venus memutar-mutar bola mata dan meninggalkan cowok bayi itu tanpa berkata apa-apa lagi.
Venus melihat mereka melalui kacamata malam yang dia kenakan, ketika akhirnya dia dan Ildara tiba di sebuah lubang yang hampir melingkar dengan tebing-tebing tinggi yang mengelilingi mereka. Berada di sisi tebing, sekelompok orang "kecil" berbisik ketika mereka menyaksikan kedatangan Venus dan Ildara.“Orang-orang” ini, yang Mustaka panggil Ebu Gogo, tingginya hanya sekitar satu meter, wajah mereka ditutupi bulu lebat seperti primata non-manusia. Perut mereka membuncit seperti pot, dengan telinga mencuat seolah-olah telinga mereka telah menggunakan beban yang tidak terlihat selama sisa hidup mereka.Venus terus berjalan ke tengah lapangan kecil yang terbuka dengan langkah lambat sambil mengamati makhluk lain. Namun, tiba-tiba salah satu Ebu Gogo dengan bulu coklat muda di wajahnya mendekati Venus dengan cara berjalan kikuk. Meski begitu, ekspresinya terlihat seperti sedang marah.Ven
Venus tiba-tiba merasa sangat kotor meskipun ia baru saja selesai mandi dengan sabun berbusa banyak. Terlebih lagi, sisa sarapan yang sempat dihabiskannya nyaris naik ke kerongkongan hingga membuat anak itu mabuk luar biasa.Seperti yang dikatakan Ildara: vingsai dapat berteleportasi, baik sendiri maupun dengan orang lain. Masalah terbesarnya adalah: yang dibawa vingsai itu bukan kaumnya sendiri, melainkan manusia volt yang sehat tanpa belatung di wajah mereka.Jika menjaga jarak saja aromanya sudah sangat buruk, Venus benar-benar membayangkan apa jadinya jika ia bersisian dengan vingsai. Berimpitan.Venus awalnya menolak berada di salah satu sisi vingsai itu, tapi Ildara berkata bahwa itulah caranya agar mereka bisa ikut diteleportasi.“Aku akan memegang lenganmu saja, Ildara!” sentak Venus di antara napasnya.Si vingsai mengangkat kepala dan menggeram rendah, seakan ingin mengatakan bahwa cuma itu caranya. Dan Venus harus mau kalau ti
Malam itu Venus hanya tidur selama beberapa jam saja. Entah kenapa ia akhir-akhir ini punya masalah dengan pola tidurnya. Rasanya seperti ia lelah jika harus tidur lama-lama. Padahal tidurnya selalu kurang dari delapan jam.Setelah melempar tubuh lelaki yang ia bunuh tadi malam keluar gerbang kompleks, Venus segera pergi tidur saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.Namun pada jam tiga pagi, ia terbangun dan tak bisa lagi memejamkan mata. Venus menghabiskan dini hari itu dengan menjelajahi ruang bawah tanah yang berdebu dan membaca beberapa buku fiksi koleksi Ildara di sana.Mustaka sama sekali tak menyahut saat gadis itu memanggilnya dengan telepati. Sedangkan Kaisar … sepertinya memang Venus tak bisa berbicara dengannya secara sembarangan. Kecuali Kaisar sendiri yang memulai.Pada jam lima, mata Venus berkedip-kedip lelah. Ia setengah mendesah lega, karena akhirnya mengantuk lagi. Namun gadis itu terpaksa berteriak sebal sendiri di kamarn
Besok adalah hari keempat belas sejak kepergian Ildara. Untuk yang kesekian kalinya dalam beberapa hari ini, Venus merasakan kemarahan yang berlebih akibat Ildara yang sama sekali tak memberi kabar padanya. Venus bahkan sempat berpikir, kenapa waktu itu dia tidak memberikan masa tenggat lebih cepat dari ini pada Ildara. Ketidaksabaran membuat anak itu menjadi gerah terus-terusan berada di rumah besar ini. Meskipun punya teman tak kasatmata seperti Mustaka atau Kaisar—meski yang satu ini jarang sekali bertelepati dengannya—tapi Venus tetap merasakan kesepian. Benda yang disebut dengan televisi … Venus hanya menyalakan itu saat ia butuh melihat berita tentangnya lagi. Lagipula, Venus tiba-tiba menjadi benci dengan segala film yang ada di dimensi bumi ini. Semua film menceritakan tentang kebaikan akan selalu menang; bahwa kejahatan pasti akan hancur. Sesuatu yang menjadikan diri Venus lebih sinis dari seharusnya. Takdir nyata tak seindah dalam halusinasi film semata, pikir Venus saat
Malam itu Venus tak bisa tidur. Ia pergi ke halaman belakang rumah Ildara yang megah. Halaman itu tersambung dengan hutan lebat yang gelap dan tampak menakutkan.Venus melatih dan mengerahkan Bakat-nya dengan kegilaan yang tak kunjung mereda. Sekali Ildara pernah menegur Venus karena terlalu berlebih-lebihan dalam mengerahkan Bakat Petir, sehingga menciptakan guntur dan petir di mana-mana.Beberapa pohon di dalam hutan tampak terbakar. Namun, dalam ketidaksadaran, ia juga menurunkan hujan lebat di atasnya, sehingga api cepat padam.Venus membentak liar pada Ildara dan mengusirnya dengan percikan-percikan listrik. Setelah itu si kuyang tak lagi muncul untuk menegurnya.Venus membentak ke udara saat beberapa pohon di tepi hutan tercerabut dan terlempar satu-dua meter jauhnya.Belasan banaspati tiba-tiba melesat dan melemparkan api ke arah Venus. Namun, makhluk-makhluk itu tak mendapatkan ketakutan Venus, sehingga ukuran dan kekuatan mereka tak lebih
“Kau sekarang termasuk atasanku, Venus.”Venus menoleh menatap Ildara. Sudah seminggu sejak ia berada di kamar serupa rumah sakit itu, dan kini Venus sedang menikmati masa-masa kewarasannya kembali.Kekuatannya sudah lebih baik. Meski telinganya masih suka berdenging menyakitkan di waktu-waktu tertentu.Venus bersandar pada sofa yang didudukinya dengan perasaan tanpa beban.“Apa Kaisar yang menyuruhmu?” tanya anak itu perlahan.Ildara mengangguk. Ia menyesap teh di cangkirnya dengan gerakan anggun.Venus menoleh lagi. Pandangannya menyapu ruangan serupa ruang keluarga yang dipenuhi perabot dan hiasan serba emas itu. Ada foto-foto berpigura yang diletakkan di atas meja, beberapa digantung ke dinding.Sebuah monitor besar menempel di salah satu bagian dinding. Benda itu seakan menyatu dengan dinding itu sendiri. Venus mengawasi jalanan dan beberapa perumahan yang tampak kosong dari monitor itu.Ildara ting