Beranda / Fantasi / Cundhamani (Panah Api) / 3. Serangan Penuh Dendam

Share

3. Serangan Penuh Dendam

Penulis: A.R. Ubaidillah
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-03 06:12:40

Orang-orang yang terkena cairan penanda itu mulanya takut. Namun tak ada yang terjadi saat cairan hitam itu mengenai kulit mereka. Hanya saja bekas cairan itu tak bisa hilang meski sudah beberapa kali diseka dengan kuat.

“Tak perlu takut, cairan itu hanya tinta. Bagi yang tidak terkena silahkan berdiri di sebelah kanan saya. Sisanya di kiri!” seru Ki Bayanaka.

Lebih dari setengah pemuda dari dua desa berkumpul di sisi kiri Ki Bayanaka. Semuanya tampak sebaya dengan Arya Nandika, beberapa bahkan lebih muda. Mereka masih menanti dengan terus mencoba menghapus tanda hitam di bagian tubuh mereka.

“Apakah Ayahanda dulu kena cairan penanda ini sama sepertiku?” tanya Arya dalam hati.

Para pemuda yang tak terkena cairan penanda meninggalkan tempat itu dipandu seorang prajurit. Ki Bayanaka mendekat ke arah pemuda di sebelah kirinya didampingi Jenar. Gadis itu tampak begitu gagah sekaligus anggun dengan busur berukir menggantung di punggungnya.

“Anak-anak muda, mulai hari ini aku lah guru kalian! Kalian akan menjadi garda terdepan di bawah panji agung Astagina!” seru Ki Bayanaka setelah para pemuda berjajar melingkarinya.

Mata teduh Ki Bayanaka memperhatikan satu persatu pemuda yang melingkarinya. Bisa jadi mungkin ini kali pertama dan terakhir pria berjanggut putih ini melihat pemuda-pemuda itu. Ki Bayanaka menghela napasnya. Sungguh tugas yang berat mengantarkan anak-anak muda pada takdir gelapnya.

“Sekarang aku ingin melihat sejauh mana ilmu kanuragan kalian. Kau!” Ki Bayanaka menunjuk seorang pemuda di sisi kanannya. “Mendekatlah!”

Pemuda itu melangkah dengan penuh ragu mendekati guru barunya. Jari jemarinya saling mengait di depan tubuh. Hampir separuh seluruh bagian tubuhnya ternoda cairan penanda tadi.

“Kau!” Ki Bayanaka menunjuk Arya Nandika. Pemuda itu hanya menunduk tak berani menatap gurunya. “Ya, kau yang punya bekas luka bakar di lengan kiri! Kemari!” titah Ki Bayanaka.

Arya Nandika melangkah gontai mendekati gurunya. Kalau pun akan ada latih tanding, ia akan memilih untuk mengalah saja. Ia sama sekali tak berselera berprestasi di tempat ini.

“Kalian berdua mendapatkan cairan penanda paling banyak. Aku hanya ingin membuktikan apa benar kalian seburuk itu. Kalian akan melakukan latih tanding tangan kosong. Orang pertama yang jatuh, dia kalah!” terang Ki Bayanaka.

Pemuda lawan Arya Nandika tampak memasang kuda-kuda. Kedua tinjunya menegang dan siap untuk menyerang. Sorot matanya tajam menusuk lawannya yang sama sekali tak bersemangat. Arya tak mempersiapkan dirinya untuk menangkis sekali pun.

Pemuda yang sebagian tubuhnya hitam itu segera malayangkan tinjunya pada Arya Nandika. Pukulan penuh tenaga itu hanya mengenai angin karena targetnya sudah menghindar. Pemuda itu mengayunkan kakinya dan berhasil mengenai dada Arya Nandika dengan telak.

Arya Nandika terpental ke belakang beberapa langkah. Tepat berhenti di sisi Jenar, gadis cantik yang mahir memanah. Jenar memandangnya dengan tatapan sendu. Lalu gadis itu mengangkat kedua alisnya. Sebuah gestur bagi Arya untuk menunjukkan kemampuan yang sebenarnya.

Arya Nandika memasang kuda-kuda. Kakinya ia buka selebar bahu, ujung kaki lurus ke depan dengan lutut setengah bengkok. Telapak tangan kirinya membentuk tapak berada lebih jauh dari tangan kanan yang mengepal hampir menyentuh dada.

Ki Bayanaka dan Jenar segera saling tatap. Pria itu tampak antusias melihat Arya Nandika. Ia penasaran, apakah ada padepokan selain Rakajiwa yang memiliki bentuk kuda-kuda serupa? Bisa jadi pemuda ini keturunan dari saudara seperguruannya dulu.

Pemuda yang tadi sempat membuat Arya Nandika terpojok merasa di atas angin. Ia menghambur dan menyerang Arya dengan membabi buta. Rupanya ia berusaha segera mengakhiri latih tanding ini dengan menjatuhkan lawannya.

“Mengapa aku seperti melihat Ayahanda bertarung,” bisik Jenar di telinga ayahnya.

“Ya, lepas ini akan Ayah tanyakan dari mana dia berasal,” sahut Ki Bayanaka mantap. Ia kembali membelai janggut panjangnya.

Kata-kata Jenar memang ada benarnya. Cara pemuda itu menghindar dan menangkis lawannya amat serupa dengan apa yang ia pelajari di Padepokan Rakajiwa puluhan tahun silam. Hingga kini pun gerakan dasar itu masih ia gunakan. Ki Bayanaka tak sabar menyaksikan serangan pemuda itu.

Arya Nandika terus menghidari serangan lawannya. Ia memang tak secakap ayah dan pamannya, namun dengan lawan seperti ini ia merasa mampu mengalahkan. Gerakan dasar yang diajarkan ayahnya untuk membela diri ia gunakan dengan rinci sekarang.

“Kurang ajar! Ayo serang aku!” seru pemuda itu. Ia merasa diremehkan karena Arya Nandika terus saja mengelak tanpa mencoba membalas serangannya.

“Ayolah, Kawan, seranganmu begitu lemah, aku tak tega untuk membalasmu,” ledek Arya Nandika disambut tawa pemuda-pemuda lain di sekitar mereka bertarung.

“Sial, akan kutunjukkan padamu....”

Belum sempat pemuda itu menyelesaikan kalimatnya, tinju kanan Arya Nandika sudah mendarat di mulutnya. Pemuda itu sampai mendongak ke atas dan mundur dua langkah. Ia kemudian menunduk memegangi wajahnya. Darah segar mengalir dari mulut pemuda itu.

Sebuah hempasan kaki kanan Arya Nandika berhasil mengenai leher bagian belakang, membuat pemuda itu semakin menunduk. Ia tampak marah dan ingin bangkit membalas. Namun hempasan kaki berikutnya di kepala didahului lompatan kecil membuatnya jatuh bersimpuh.

Pemuda itu membuang darah yang memenuhi rongga mulutnya. Ia merasakan lagi tendangan di bagian dada, membuatnya terhempas ke belakang dengan keras. Arya Nandika melompat dan mendarat menduduki dadanya. Tangan kanannya siap melakukan serangan pamungkas.

“Cukup!” teriak Ki Bayanaka. “Aku hanya memerintahkan kalian untuk berlatih tanding, bukan membunuh!”

Arya Nandika membatalkan pukulannya. Ia menyingkir dari atas tubuh pemuda lawannya tadi. Pemuda itu tampak tak berdaya memegangi dadanya.

“Bukankah itu Patih Waradhana?” seru seorang pemuda menunjuk ke suatu arah.

Sontak semua orang termasuk Ki Bayanaka menoleh. Seorang pria berbadan kekar dengan baju kebesaran yang mewah tampak tengah memperhatikan latihan mereka. Mata kirinya ia tutup dengan kain hitam yang melilit melingkari kepalanya yang tak ditumbuhi rambut. Ia tampak begitu berbahaya dan menakutkan.

Arya Nandika segera bangkit. Ia berjinjit demi untuk melihat dengan jelas orang yang sudah membawa ayahnya empat tahun silam. Darahnya seketika mendidih. Orang itu dengan leluasa bertolak pinggang tanpa ada rasa berdosa telah merenggut kebahagiaan banyak keluarga.

Dua langkah di hadapannya berdiri Jenar Candrakanti dengan belasan anak panah di tempatnya melingkar di pinggang. Arya Nandika sudah dikuasai dendam. Langkahnya begitu tegas penuh amarah. Ia lewati Jenar sambil meraih sebuah anak panah miliknya.

Ia genggam anak panah itu erat-erat. Sudah tak ia pedulkan larangan pemiliknya dan gurunya sendiri. Setengah berlari ia mendekat ke arah Patih Waradhana dan bersiap melemparkan anak panah milik Jenar itu.

“Patih biadab! Kembalikan ayahandaku, dasar pecundang!” teriak Arya Nandika.

Pemuda itu melemparkan anak panah sekuat tenaga. Ia tak pedulikan lagi keselamatannya, hanya dendam yang ada di kepala. Anak panah melesat seolah terlepas dari busurnya. Sesaat setelah melayang di udara, anak panah itu membara mengeluarkan api yang berkobar-kobar.

Tak ada yang tahu sejak kapan Arya Nandika menyulut api di anak panah yang ia lemparkan. Patih Waradhana seketika mencabut pedang bermata dua andalannya. Dengan satu gerakan ia mampu menangkis anak panah berapi itu. Anehnya meski sudah ditangkis, anak panah itu terus menempel di pedangnya dan mulai membakar.

“Kurang ajar kau, Bocah! Beraninya kau menyerang Patih Astagina!” hardik Patih Waradhana marah.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cundhamani (Panah Api)   228 Penerus

    “Bukan kah prajurit udaramu tadi sudah memeriksa semua kapal ini, Braja?” tanya Ki Bayanaka. “Ya, sepertinya kapal satu ini luput dari pemeriksaan. Atau....” Seorang pria bertubuh kurus dan berkulit cerah tertawa di atas kapal yang separuhnya sudah terbakar. Ia merasa jumawa melihat dua pria tua, seorang perempuan dan seorang pemuda yang sudah tidak berdaya. Dengan senjata berkekuatan besar, ia merasa di atas angin. “Siapa sebenarnya mereka?” tanya Jenar sembari mengernyitkan kening. Belum juga terjawab, bentuk kapal, senjata dan panji asing itu. “Entah lah, Jenar. Tapi orang ini pasti lemah. Merasa kuat karena memiliki senjata yang mampu melontarkan bola-bola api itu,” ucap Ki Bayanaka begitu yakin. “Bagaimana Ayahanda bisa begitu yakin?” tanya Jenar. “Coba lah kau perhatikan gelagatnya. Orang dengan kemampuan tinggi tak mungkin bertingkah seperti itu. Bukan begitu, Braja?” ucap Ki Bayanaka melemparkan kalimat kepada Sanggageni. “Hmm, jadi siapa yang akan memberinya pelajaran?”

  • Cundhamani (Panah Api)   227. Terkurung

    Tak ada yang bisa dilakukan Jenar setelah sampai di pantai selatan kerajaannya. Pagar api setinggi pagar Astagina itu menghalangi apa pun dan siapa pun. Tak mungkin melaluinya dengan selamat. Perempuan itu tampak mulai meneteskan air mata. Bagaimana mungkin suaminya berbuat sedemikian rupa. Hatinya berkecamuk, sungguh ia tak ingin kehilangan Arya secepat ini.“Arya, dasar bodoh! Apa yang kau lakukan?” umpat Jenar dengan kedua tangan mengepal. Ia merasa begitu hina sebagai raja tak mengetahui patih sekaligus suaminya di dalam sana berjuang seorang diri.Raja Astagina itu mulai terisak. Rasa panas mendera wajahnya dari jarak lima tombak ini. Keningnya mengernyit keras. Ia merasa harus berbuat sesuatu. Berdiam diri tak akan berdampak apa pun. Berada di istananya jauh lebih baik.“Pasukan udara milik Kakanda Sanggageni, dimana mereka?” tiba-tiba Jenar teringat akan sepuluh orang prajurit yang direkrut oleh Sanggageni demi mewujudkan idenya memiliki serangan udara.“Gunakan ini!” Danapati

  • Cundhamani (Panah Api)   226. Kepercayaan

    Arya melepaskan sekali lagi Sasra Sayaka-Cundhamani dengan sisa amarahnya. Anak panah logam hitam berlumur darahnya sendiri melesat ke arah ribuan prajurit yang mulai terkikis keberaniannya. Serupa dengan tenaga dan kesadaran Arya. Pemuda itu menjatuhkan busur Agnitama pada mulanya. Disusul dengan tubuh lemah dan compang-campingnya.Arya mendengus berusaha melihat apa yang terjadi dengan serangannya itu. Tubuh-tubuh musuh yang tercerai berai. Terburai anggota tubuhnya. Terbakar api Cundhamani hingga meronta-ronta, berguling di tanah dan masuk ke dalam air laut. Semua berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.“Sisanya aku serahkan padamu, Raden Danapati!” gumam Arya sembari mengubah posisi kepalanya. Menoleh kepada Aswabrama dan memastikan kembali bahwa Danapati benar-benar pergi.Binatang dan tuan itu saling pandang. Tak ada kata dari mereka yang dimengerti. Namun tatapan bola mata itu sudah menjelaskan semuanya. Berjuang bersama-sama. Melewati bahaya, nyaris kehilangan nyawa, dan kini

  • Cundhamani (Panah Api)   225. Mati Di Samping Aswabrama

    “Tapi bagaimana caranya, Braja? Kau lihat sendiri api Cundhamani menghalangi kita?” pungkas Ki Bayanaka. Pria tua itu memang peragu yang luar biasa. Itu sebab dahulu ia menjadi pelatih prajurit alih-alih bergabung bersama Baka Nirdaya memerangi kedzaliman.“Pantai selatan memang sudah menjadi lautan api. Tapi tidak dengan langitnya!” timpal Sanggageni. “Pengawal! Kau pengawal raja, bukan?” tanyanya.Seorang pengawal raja yang sejak tadi bertugas melindungi dua penasihat itu maju selangkah dengan penuh penghormatan. Ia berkata lantang, “Benar, Tuan! Mohon katakan titah Tuan!”“Cari pasukan udaraku! Bawa secepatnya mereka ke sini!” titah Sanggageni lantang. Pria itu berdiri tegak menatap lautan api dengan memegangi lengan kanannya. Tak ada artinya hidup dengan sebelah tangan namun tak mampu menyelamatkan putranya sendiri.“Sendika, Tuan!”Ki Bayanaka bangkit berdiri di sisi Sanggageni. Tak ada yang menyangka Astagina akan berada di ujung tanduk seperti ini. Pria itu menyentuh pundak adi

  • Cundhamani (Panah Api)   224. Asa Ksatria Cundhamani

    Pantai selatan Astagina kini tak ubahnya seperti gerbang api. Tak ada tempat untuk melarikan diri. Bagi bala tentara asing itu, juga bagi Arya. Suara desis api Cundhamani bertemu air laut mengepulkan asap putih buah dari air yang menguap. Arya melepaskan Sasra Sayaka-Cundhamani sekali lagi. Kali ini ke arah deretan kapal-kapal perang yang sebagian telah terbakar.“Kau yakin hal ini, Gusti?” tanya Danapati manakala sudah mengenakan jubah pemberian Arya.“Apa kau meragukanku, Raden?” tanya Arya kembali. Pemuda itu menoleh dan tersenyum. Memperlihatkan deretan giginya yang memerah karena darah. Tak ada yang tahu bahwa Patih Astagina itu sudah melampaui batas ketahanan tubuhnya sendiri.“Gusti, kau....”Tak sempat Danapati berkata lebih banyak, Arya terlanjut menyentak tali kekang Aswabrama. Ia songsong ratusan pasukan berkuda musuh sendirian. Atau hanya berdua saja dengan kudanya. Arya menghunuskan anak panah logamnya. Kali ini dengan posisi tubuh setengah berdiri. Danapati terhenyak, ya

  • Cundhamani (Panah Api)   223. Menebus Dosa

    “Arya? Bagaimana dengan Ayahandamu?” tanya Jenar tak menyangka suaminya akan hadir dan menyela percakapannya dengan Danapati dan pengawal.Arya tak menjawab, menggerakkan sedikit kepalanya memberi isyarat pada Jenar agar melihat sendiri kondisi ayahandanya. Pemuda itu sudah siap dengan busur Agnitama dan puluhan anak panah logam di tempatnya menggantung di punggung.Dari jarak puluhan depa itu Jenar masih mampu melihat Sanggageni dan ayahandanya tengah duduk bersila. Ki Bayanaka masih mengobati kakak ipar sekaligus mertuanya itu dengan tenaga dalam. Sedang Sanggageni sudah mampu duduk sendiri. Ia jauh lebih baik meski lengan kanannya tak akan kembali lagi.“Pergi lah ... Istriku! Tunggu aku kembali membawa kemenangan!” lirih Arya di telinga Jenar sembari melewati tubuh perempuan cantik itu.Jenar terpekur, setelah pertengkaran mereka berdua karena Rara Anjani di desa Girijajar tempo hari, baru kali ini ia melihat tekad di mata Arya. Tekad yang sama saat Arya pamit untuk pergi ke medan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status