Malam itu Emily sungguh tak dapat tidur, sepertinya ia mengalami insomnia. Tetapi saat ia berusaha memejamkan mata, terdengar sayup-sayup suara merdu alunan alat musik klasik yang familiar. Piano.
Lagu instrumental tunggal klasik terkenal yang Emily lupa apa judulnya.
Terdengar tak seberapa jauh.
Emily yang sudah bergaun tidur ala jaman dahulu, milik almarhumah ibunda Ocean dan Sky, memutuskan untuk turun dari ranjang, mengambil sandal kamar dan pergi keluar kamar menyusuri lorong-lorong menuju sumber suara piano.
Ternyata dugaannya benar.
Di aula puri keluarga Vagano di lantai dasar, seseorang di balik piano besar berwarna putih tampak khidmat memainkan instrumen itu.
Pemuda tampan berambut cokelat panjang di bawah siraman terang cahaya bulan purnama dari jendela besar yang tirainya dibiarkan terbuka. Matanya terpejam dan ia memainkan lagu tanpa melihat buku musik. Sudah sangat hafal, tanpa sedikitpun kesalahan, sangat lancar dan menyentuh penuh ekspresi.
Emily bertepuk tangan kagum.
Ocean mengakhiri lagunya dan berbalik. Ia tersenyum. "Moonlight Sonata dari Beethoven. Lagu yang sedikit menyedihkan namun cocok sekali dimainkan pada malam bulan purnama ini."
Ia berdiri menyambut. "Kau belum tidur? Ini sudah hampir tengah malam, lho."
"Aku baru saja ingin tidur saat lagumu terdengar merayuku untuk datang kemari. Syukurlah aku tidak nyasar." Emily tersipu-sipu. "Hebat. Aku tidak bisa main piano, hanya pernah belajar keyboard saja. Tuts piano terasa sangat berat bagiku."
"Mari duduk bersamaku dan belajar lagu Beethoven yang paling populer dan mudah. Song of Joy."
Mereka duduk berdampingan, belum pernah Emily dan Ocean duduk berduaan serapat ini di bangku yang sama di hadapan piano. Jemari Ocean yang lentik panjang dan besar menyentuh dan membimbing jari-jari lurus mungil Emily bagaikan guru muda yang sabar. Dan pada beberapa nada mata mereka bahkan bertemu. Ruangan besar itu tanpa lampu yang dinyalakan, namun siraman cahaya bulan terpantul di mata biru Ocean seperti menyiratkan sesuatu yang sudah beberapa hari ini hadir di antara mereka.
"Emily, terima kasih ya, kehadiranmu di tempat yang sunyi ini membuat hidup kami berdua, hidupku, kembali bercahaya lagi sepeti bulan yang cerah ini." ujar Ocean tulus di sela-sela permainan piano mereka.
"Sama-sama. Kalian berdua sangat baik, dan khususnya kau.." Emily terdiam.
Tiba-tiba saja Ocean meraih dagu Emily, menarik wajahnya mendekat. Dan bibirnya yang tipis lembut perlahan sekali mengecup bibir gadis itu, yang masih terbengong seakan tak sadar pada apa yang pemuda itu lakukan.
'Ehhhhhh...apa-apaan ini...'
"Aduh, maaf, maafkan aku !!!" Ocean tersadar beberapa detik kemudian, menjauh dengan malu-malu. "Aku biasanya tak seperti ini, maaf ya, lupakan, aku bukan cowok yang kurang ajar!" ia tersenyum lebar sekali sambil garuk-garuk kepala seperti cowok di buku komik yang tertangkap basah melakukan kenakalan.
"Oh, tak apa-apa kok, tak usah minta maaf, aku suka..." Emily menjilat bibirnya yang terasa kebas sambil memegang pipinya yang terasa panas. Aroma tubuh Ocean wangi sekali, mungkin wangi parfum white musk. Dan tubuhnya juga sangat hangat. Duh, kok aku jadi deg-degan begini?
Ocean kembali duduk bersama Emily di bangku piano itu. "Lanjutkan lagu ini? Kau hampir bisa kok, tak seberat tadi bukan?"
Malam itu Emily kembali ke ranjangnya dengan perasaan aneh. 'Ocean mencium bibirku? Apakah ia betulan suka padaku atau hanya karena terbawa romantisme lagu Beethoven?'
Sementara itu mereka berdua sama sekali tak sadar akan adanya sosok yang sedari awal mengintai mereka dalam kesunyian dan kegelapan.
'Ocean.. Ocean..'
(point-of-view seseorang atau sesuatu tak dikenal:) 'Hhhhh.... hhhh... hhhh....Hari ini Si Tua itu memberiku sisa makanan basi lagi. Perutku sudah kebal. Tak bisa lagi merasa sakit, mual atau muntah akibat makanan beracun sekalipun. Aku sudah muak dengan segala penderitaan ini!Aku ingin keluar menatap dunia, walau cuma sekali saja.Walaupun setelah itu aku akan mati dan pasti mati.Aku tahu aku bersalah akan sesuatu. Tapi aku juga dendam pada seseorang atau dua di luar sana. Dua orang yang aku tak kenal langsung, namun secara tak sadar 'menyiksaku' di sini hingga hari ini.Gara-gara mereka, aku ada di sini. Dalam kegelapan yang tak pernah berubah menjadi pagi. Malam itu aku meraung saking tak tahan pada rantai-rantai berkarat yang membelengguku sejak entah kapan, mungkin sejak aku lahir.Arrrrgh !!!Bersama erangan itu, kusentakkan sekuat tenaga hingga terlepas semua besi tua itu.Dan aku berhasil! Diam-diam aku keluar dari ruangan tempat aku dikurung selama ini, kutemukan tangga
Emily terbangun pagi itu dengan sebuah perasaan super aneh yang tak biasanya ia alami. Jantung berdebar dan keringat dingin membanjiri sekujur tubuhnya. Ia teringat pada ciuman bibir Ocean tadi malam, dadakan, spontan, masih sedikit bergidik karena terkejut namun juga merasa takjub. 'Rupanya ini rasanya dicium seorang cowok, beda banget dengan yang selama ini kuduga.' Bibir Ocean begitu lembut dan hangat seakan-akan mengantarkan sengatan listrik, menyetrum jiwa raganya, bagaikan magnet maha kuat menarik erat semua perasaannya, hingga tak ingin dan tak bisa lepas lagi.Entahlah apa ini cuma perasaan romantis ibarat sebuah cinta lokasi dan hanya keinginan Ocean sesaat, ataukah akan berlanjut hari ini? Rasanya Emily begitu malu dan segan bila tak sengaja menatap mata biru tajam sedalam samudra itu, seakan takut akan tercebur dan terhanyut lebih dalam lagi seperti kejadian tragis di laut yang ia alami beberapa waktu yang lalu.Ocean dan Sky se
"Gulungan perkamen terkutuk yang dituliskan oleh almarhum ayah kami tepat pada hari kelahiran kami berdua, dituliskannya dalam kesedihan karena kematian ibu kami saat melahirkan kami berdua." terang Ocean, masih dalam nada lirih getir yang sama kepada Emily yang masih terpana sekaligus begitu ketakutan pada beberapa kalimat yang baru saja ia dengarkan. Pedang panjang dan tipis di dalam kotak kaca tebal itu terbuat dari perak, tampak masih berkilat dengan ujung tajam mengancam, seakan memberitahukan bahwa rambut saja bisa ia belah menjadi tujuh, apalagi tubuh manusia. "Makanya pedang terkutuk ini harus dijaga dengan baik agar jangan sampai jatuh ke tangan orang yang tak bertanggung jawab. Sudah sedari dulu kami berusaha menjaganya baik-baik sesuai warisan ayah kami. Padahal kami tahu, sebenarnya harta karun Vagano adalah incaran para kolektor benda antik, kurator serta rumah lelang besar di seluruh Dunia Ever! Harganya sangat tinggi, karena selalu dianggap sebagai peninggalan bersejar
Suasana di lantai bawah tanah ini begitu sunyi. Mencekam. Emily terkadang berusaha menahan napas, karena khawatir desah napasnya sendiri akan terdengar oleh Hannah yang berada jauh di depannya, namun terkadang berbelok dan hilang dari pandangan.Wanita tua itu kerap melihat ke belakang seakan takut diikuti, dan belok kiri-kanan di setiap perempatan koridor. Emily selalu sigap sembunyi di balik tembok, namun buru-buru berbalik takut tertinggal dan kehilangan jejak.Tembok di ruangan bawah tanah ini hanya terbuat dari batu kasar dan dingin, begitu pula langit-langitnya. Hanya ada beberapa lentera seperti di film zaman dahulu menyala redup di sudut-sudut, jadi penerangannya pun sangat minim.'Ini seperti koridor menuju luar puri, seperti lorong rahasia untuk kabur dari istana di film-film. Hanya saja dalam kenyataan ini lebih mirip jalan menuju penjara atau kuburan bawah tanah, catacomb!' Emily semakin tegang.
(Point-of-view seseorang atau sesuatu tak dikenal:)'Hhhh... Hhhh... Hhhh...Si Tua itu tak pernah mengunci pintu setelah memberiku makanan sisa alias slop yang sudah basi, sisa-sisa sarapan, makan siang maupun makan malam Ocean dan Sky yang sangat kubenci itu.Mereka yang makan semua yang segar, hangat dan lezat, sedangkan aku? Siapa yang peduli padaku? Aku bahkan tak pernah bertemu atau menemui mereka, bahkan seperti tak pernah ada di dunia ini.Dan pintu kamar, atau lebih tepatnya, kurunganku, kandangku ini, tak pernah dikunci. Si Tua itu mengiraku masih terikat erat dalam belenggu dan rantai besar yang berkarat ini. Padahal malam itu sudah kusentak lepas semuanya. Jadi aku bebas, bebas berkeliling puri ini, bebas membunuh siapa saja bila aku mau, kapanpun aku mau!SI Tua itu pikir aku bodoh dan terbelakang karena aku tak pernah kenal sinar matahari, makanan lezat sehat dan bergizi. Tidak, dia salah besar! Aku bagaikan lumut di tembok kurunganku, tumbuh subur dan tebal karena terken
Tentu saja Emily takkan menemukan siapa-siapa atau apa-apa, berapa lamapun ia menunggu atau berusaha melihat. Sebab seseorang atau sesuatu itu sudah begitu terlatih dan terbiasa untuk bersembunyi dalam bayang-bayang, bahkan menyatu nyaris sempurna dengannya. Walau saat ini ia berada dalam kesakitan yang amat sangat karena baru saja terjatuh dari balkon Emily, tidak langsung ke atas tanah melainkan nyaris. Ia masih beruntung karena tertahan rimbunan daun dan dahan dari pohon-pohon besar, yang tadi ia juga gunakan untuk memanjat ke balkon. Saat terjatuh, dahan -dahan itu menahan jatuhnya sekaligus melukainya. Menggores tubuhnya yang sudah dari dulu penuh luka-luka itu. (Point-of-view seseorang atau sesuatu tak dikenal:) 'Ahhh.... Ahhh.... Ahhhh.... Aku menemukan Emily tak tak pernah menyangka semua itu dapat kulihat dan terjadi. Aku sudah menyusun rencana sebaik mungkin dan menyiapkan rute. Aku tahu semu
(Point-of-view seseorang tak dikenal:) 'Susah payah aku terseok-seok kembali ke kurungan atau kandangku kembali setelah diam-diam pergi mengintai Emily, tanpa hasil, tak membawa apa-apa kecuali imajinasi liar yang belum pernah kualami sebelumnya selama hidupku ini. Baru aku tahu sosok wanita muda itu sangat indah dan menarik. Bahkan aku ingin sekali memilikinya. Cinta? Hah, aku tak pernah tahu apa itu cinta. Seumur hidupku aku hanya mengenal Si Tua. Dan ia tak mencintaiku! Hanya memeliharaku seperti seekor binatang. Tapi malam itu aku terduduk kembali di atas lantai kandang kecilku yang bau, lalu mengingat setiap momen yang abadi terekam di benakku. Ingatanku cukup kuat walaupun aku tak pernah belajar apa-apa.Dan perasaan itu, sensasi itu, naluri kebinatangan itu datang lagi kepadaku, Kulampiaskan dalam diam. Aku tahu, caranya hanya ini, agar perasaan itu tak berubah menjadi nafsu lain yang jauh lebih parah. Tadi sebenarnya bisa sa
Ocean sebenarnya masih agak ragu menerima seorang gadis di kamarnya, namun karena Emily tampak begitu ketakutan dan juga tak tampak seperti sedang berpura-pura, diizinkannya pula Emily masuk ke kamar tidurnya yang besar. Emily sebenarnya masih sangat sungkan, malu dan juga tak tahu mengapa ia seberani ini masuk ke kamar seorang pemuda. Ini untuk pertama kalinya dan juga bukan dengan maksud apa-apa. Kamar Ocean mungkin berukuran dua atau tiga kali lipat lebih besar daripada kamar tamu yang diinapi Emily, dengan ranjang empuk bertirai transparan ala kerajaan berukutan sangat besar. Mungkin bukan lagi ukuran king tapi 'overlord'! Interior kamarnya mewah klasik modern, serba biru kelam perpaduan warna samudra dan malam, dengan beberapa lampu kuning temaram di sisi ranjang. Emily tak pernah tahu apakah Ocean pernah memiliki pacar sebelumnya, entah di kota atau di mana saja. Tapi sepertinya 'sih belum. "Maaf sekali kalau aku mengganggumu, aku tidur di sofa