Share

BAB 4

Ale melangkah masuk ke kediamannya tepat pukul 3 sore. Setelah menyelesaikan urusannya di bakery lalu ia bertemu dengan dokter obgyn untuk membahas kontrasepsi apa yang akan ia gunakan selama pernikahannya dengan Rainer.. Ia menghela nafas pelan memasuki rumah tersebut tanpa salam atau sapaan ia melewati keluarga bahagia yang tengah menikmati kebersamaan sorenya mereka dengan penuh kebahagiaan.

"Dari mana saja kau Ale?." Tanya Mario ayahnya.

Ale hanya menatap dingin kepada semua orang didalam ruangan tersebut lalu berjalan menuju ke kamarnya untuk mengambil barang-barang yang ia perlukan. Mario mengikuti langkahnya dan ketika sampai didepan kamar Ale ia membanting pintu tersebut dengan kasar. Dan Ale masih tak bersuara ia membiarkan ayahnya berdiri didepan pintu tanpa sepatah katapun.

"Menyingkir." Ucap Ale dengan tatapan tajamnya. Ia merasa muak berada ditempat ini terlalu lama. Terlebih dengan laki-laki didepannya ini.

"Berhenti menjadi anak yang pembangkang Ale." 

Ale menatap Mario dengan tatapan dingin, hatinya bergemuruh mengingat apa yang sudah dilakukan laki-laki tersebut pada ibunya. " Setelah apa yang kau lakukan pada ibuku disaat itu kau kehilangan hak sebagai ayahku dan aku tidak mempunyai kewajiban untuk menghormatimu lagi, jadi menyingkir dari jalanku." 

Mario terdiam mendengar ucapan Ale. Perasaan bersalah masih bersarang di hatinya membentuk sebuah luka yang tak kasat mata walau selama ini ia selalu mencoba untuk menutupinya. Apalagi setelah kepergian Sara ditambah terungkapnya hubungan yang ia tutupi dengan Eleanor membuat Ale semakin menjauh darinya, Tak ada lagi tatapan hangat dari putrinya tersebut. Bola mata itu hanya memancarkan amarah dan kebencian yang berkobar dengan sangat terang.

Mario mencintai Sara dalam hidupnya.

Tapi ia tak bisa menolak pesona Eleanor yang merupakan cinta pertamanya. Hingga akhirnya ia terjebak dalam sebuah hubungan rumit yang melibatkan 2 hati. Disaat ia sudah menikahi Sara tapi ia malah menjalin hubungan kembali dengan Eleanor hingga hubungan itu berjalan bertahun-tahun sampai beberapa waktu sebelum kematian Sara dan disaat  ia mengetahui tentang perselingkuhannya ia hanya memintanya untuk memilih tapi ia tak akan sanggup untuk melakukan itu apalagi ia dan Eleanor telah memiliki Catalina putri mereka. Hingga hubungannya memburuk dan tak beberapa lama Sara meninggalkannya pergi  tanpa sempat untuk menebus semua kesalahannya.

"Maafkan dad Ale." Ucap Mario dengan suara seraknya.

"Apa kata maafmu mampu mengembalikan ibuku?." Ucapnya tenang dengan Tangannya yang mengepal kuat dan matanya yang mulai berkaca-kaca.

"Maaf."

"Ternyata mendengar kata maafmu jauh lebih memuakan untukku dad. Kenapa kau baru meminta maaf setelah sekian tahun kau hidup dengan pelacur itu? Kenapa kau baru minta maaf setelah ibuku mati."

Mario hanya diam, ia tak tahu harus menjawab apa ditambah lagi rasa bersalahnya kepada Sara semakin menguar begitu saja.

"Seharusnya kau menceraikan ibuku dan membiarkannya bahagia tanpa laki-laki bajingan sepertimu. Dan kau bisa hidup dengan pelacurmu itu dengan penuh ketenangan."

"Jaga ucapanmu Ale." Teriak Mario marah sembari memberikan tamparan keras dipipi kiri Ale hingga membuat mukanya yang putih mulus merah seketika. 

Wajah Ale menoreh ke kiri, matanya terpejam dengan tangan yang mengepal kuat disisi tubuhnya. Hatinya bergemuruh hebat karena pada akhirnya ayahnya melukai fisik dan hatinya secara bersamaan hanya karena kebenaran yang ia ucapkan. 

"Mulutmu terlalu lancang Ale." ucap Mario lagi, tangannya bergetar setelah membrikan tamparan keras pada putrinya. 

Ale mengambil vas bunga dari meja disampingnya lalu ia meleparkannya pada dinding disampingnya. Hati dan kepalanya terasa semakin terbakar, dengan penuh amarah ia melangkah pergi meninggalkan kamar tersebut dan ketika ia sampai dilantai bawah ia hanya melirik sekilas semua orang dan berlalu begitu saja. Sakit yang ia rasa pada pipinya tak sebanding dengan luka tak kasat mata yang ia rasakan. Matanya memerah menahan air mata yang sudah di ujung kelopak matanya yang siap meluncur kapanpun ia memejamkannya. 

"Kita pulang, Travis." Ucapnya kepada Travis sesaat ia memasuki mobil. Dan disana ia hanya diam dengan sesekali menghapus air matanya yang meluncur tanpa izin.  Hingga ketika ia sudah sampai di mansion Rainerpun ia langsung melangkah menuju kelantai atas dimana ruangannya berada dan disana tangisnya pecah tak terbendung lagi. Kenangan buruk yang ia alami terus berjalan-jalan di otaknya tanpa bisa ia cegah. Dan hal itu lebih menyakitkan daripada sebuah tamparan yang ia terima.

Hatinya sakit ketika ia mengingat bagaimana ibunya meregang nyawa didepan matanya karena luka tembak yang bersarang tepat di jantungnya. Sungguh, bahkan sampai ke ujung nerakapun ia akan mencari si penembak itu bahkan jika ia harus kehilangan nyawa setelah membunuh orang itu bisa dipastikan ia akan mati dengan tenang. 

Ia menghapus air matanya mencoba untuk mengusir kesedihannya. Ia bangkit lalu masuk kedalam kamar mandi disana ia melihat tampilannya didepan cermin, wajah sebelah kirinya yang memerah dengan sudut bibirnya yang terdapat noda darah yang sudah mengering. Raut wajah yang terlihat sangat berantakan dengan mata memerah sebagai pertanda terlalu banyak mengeluarkan air mata. 

Dan ia benci melihat tampilan dirinya yang terlihat sangat-sangat menyedihkan.

Ketika ia melangkah keluar dari kamar mandi ia melihat sebuah jas yang sudah teronggok di atas ranjang dan Rainer yang tengah duduk di pojok ruangan sembari menghisap rokoknya. Matanya menggelap penuh amarah ketika melihat ada bekas merah di pipi mulus istrinya. Ia mematikan rokoknya lalu mengulurkan tangannya meminta Ale mendekat untuk duduk di pangkuannya.

Rainer mendongakkan wajahnya memandangi Ale atau lebih tepatnya memeriksa luka kecil di sudut bibirnya. "Apa sakit?." tanya Rainer kemudian.

Ale menggelengkan kepalanya dengan tatapannya yang masih terarah kepada Rainer. Mata mereka bertemu dalam 1 garis lurus yang disaat itu sungguh tak pernah bisa Ale definisikan arti tatapan itu. Otaknya terasa kosong karena larut dalam tatapan gelap yang sekaligus menawarkan berbagai perlindungan. Entahlah, karena jujur saja Ale sulit untuk menolak desiran-desiran aneh yang bergejolak saat ia bersama dengan Rainer.

"Akan aku patahkan tangan orang yang melukaimu." Rainer berucap dengan tangannya yang masih mengusap lembut pipi Ale.

"Pasti aku terlihat sangat menyedihkan dimatamu?." 

Rainer diam dengan tatapannya yang tak berpindah seincipun dari Ale. 

"Kau hanya perlu mengingat bahwa kau masih memiliku, Amor.  Apapun yang terjadi aku tidak akan pernah membiarkan siapapun menyakitimu lagi."

Ale terpaku dengan ucapan yang Rainer lontarkan. Hatinya yang ia kira mati setelah berbagai penghianatan kini terasa menghangat. Bolehkah ia mempercayai ucapan Rainer?. Bolehkah ia mencoba menyerahkan hatinya kembali untuk laki-laki yang kini masih menatapnya dengan tatapan gelap seperti langit malam tetapi menawarkan banyak perlindungan. 

"Kenapa?."

Tak perlu penjelasan yang terlalu panjang untuk Rainer mengerti akan pertanyaan yang Ale lontarkan, tetapi ia memilih diam karena jujur saja ia tak tahu bagaimana cara menjelaskan tentang perasaannya. Terlebih mereka sepasang manusia yang belum lama menghabiskan waktunya untuk bersama.

"Kau tidak perlu menjawab jika kau tidak ingin, Rainer karena apapun yang terjadi tubuh dan hidupku adalah milikmu."

"Betul, tubuh dan hidupmu adalah milikku dan aku akan menjaga apa yang menjadi milikku dengan sangat baik."

Ale bangkit dari pangkuan Rainer, "Aku akan menyiapkan makan malam untuk kita." Lanjutnya berucap.

Langkahnya tertahan ketika Rainer menarik tubuh Ale kembali dalam pangkuannya, "Tapi sebelum itu biarkan aku memakanmu, Amor."

Ale memejamkan matanya dalam diam, merasakan kecupan-kecupan basah nan lembut yang diberikan Rainer di diceruk lehernya. Tangan Rainer membelai paha Ale dengan lembut seraya mencoba masuk lebih dalam kedalam gaun yang Ale kenakan. Tangan itu merambat semakin jauh dan dalam sekejap mampu memberikan sengatan gairah di tubuh Ale. 

Gairah yang sudah mulai membumbung tinggi didalam ruangan itu dengan senja yang mulai kembali keperadapannya menjadi saksi bagaimana dengan mudahnya Ale tergoda dengan kenikmatan yang Rainer tawarkan. Rainer menyeringai pelan sembari tangannya berhasil melepas gaun yang Ale kenakan. 

Seolah tak mau kalah Ale membuka satu persatu kancing kemeja Rainer, berlanjut pada ikat pinggang dan berhasil menurunkan resleting celana Rainer. Ia hanya mengikuti instingnya untuk menyentuh lebih apapun yang bisa ia sentuh dari tubuh Rainer. Mungkin saja sisi jalangnya yang selama ini hilang entah kemana kini merasuk kembali dalam jiwa Ale.

Bibir Rainer meraup bibir Ale tanpa ampun, seolah tak perduli dengan luka yang wanita itu miliki. Rainer bangkit lalu mengangkat tubuh Ale hingga kini mengangkang dipinggangnya, lalu ia berjalan menuju ranjang tanpa menghentikan ciuman mereka yang berlangsung lalu membaringkan Ale disana. 

Mata Ale terpejam, menikmati ciuman basah penuh nafsu yang membakar kewarasannya.  Rainer melepaskan pagutannya, lalu berpindah pada ceruk leher Ale dan turun pada payudara indah yang tengah naik turun dirundung oleh gelombang nafsu yang membara. Hingga kecupan-kecupan itu mendarat dengan sempurna di area sensitif Ale.

Rainer tersenyum tipis, sedangkan Ale sudah mulai kewalahan mengatur pernafasannya. Jantungnya semakin berpacu dengan liar ketika ia merasakan jemari Rainer membiak dengan sempurna lembah basahnya. Hembusan nafas Rainer menyapu kewanitaannya dan detik berikutnya lidah itu bermain-main disana.

"Ahhh..."

Tangan Ale dengan refleks menekan kepala Rainer semakin dalam, hingga membuat sengatan kenikmatan itu tak tertahankan. Pahanya bergetar dengan pinggulnya yang bergerak tidak tenang ditambah desahan demi desahan yang mengiringi kegiatan panas mereka. 

"Ahhh....Rainer...." Racau Ale dengan deru nafas kewalahan.

"Ya Amor." 

"Aku...." 

Rainer menangkup payudara Ale dan meremasnya sembari lidahnya yang terus bergerak liar di bawah sana. 

"Ahh.." Ale terbuai dengan gelombang orgasme yang menghantamnya. Hisapan Rainer yang semakin menguat semakin membuat tubuh wanita itu bergetar dengan penuh kenikmatan. 

Orgasme....adalah cara Rainer membuat Ale melupakan rasa sakitnya untuk sekejap. 

Rainer merangkak naik sembari mengusap bibirnya lalu detik berikutnya ia sudah melumat bibir Ale dengan liar.

"Mmpphh..." 

Kejantanan Rainer mendobrak masuk kewanitaan Ale dan memompanya liar. Jepitannya yang kuat menghilangkan kewarasan Rainer ketika bercinta dengan Ale. Rasanya ia tak puas dan tak akan pernah puas untuk bercinta dengan Ale. Sedangkan Ale tanpa sadar mencengkeram punggung Rainer erat dengan kedua kakinya yang mengalung sempurna di pinggang laki-laki itu.

"Kau menyukainya, Amor?."

"Hm." Jawab Ale tanpa rasa malu sedikitpun bahkan dengan liarnya ia ikut menggerakan pinggulnya mengikuti nalurinya untuk mencari kenikmatan tersendiri.

Rainer tersenyum sembari mengulum liar puncak payudara Ale yang menegang  sempuna.  Dengan gerakan pinggulnya yang semakin liar memompa bagian tubuh Ale di bawah sana. keras, cepat, dan liar. Menusuk - nusuk hingga sampai dititik terujung kewanitaan Ale yang mampu membuat desahan itu semakin menggema diseluruh ruangan.

Keringat membasahi dua insan yang dibutakan oleh gairah. Hingga akhirnya Rainer tak tahan lagi dan ia semakin menggerakan pinggulnya dengan cepat dan semakin cepat untuk meraih puncak kenikmatan yang tiada tara. Ia meledak didalam sana dengan deras, kepalanya terkulai lemas diceruk leher Ale sembari melepaskan sisa-sisa orgasme yang tersisa. 

Ale tertidur lelah sesaat Rainer melepaskan kejantanannya, lalu membersiskan kewanitaan Ale tissue. Detik berikutnya ia menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka dan menyusul Ale ke alam mimpi tak lupa dengan kecupan-kecupan lembut yang mendarat dengan sempurna di puncak kepala Ale. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status