Begitu Leo turun ke lantai bawah, dia tepergok dengan Dina yang sedang mendudukkan ayahnya di kursi di foyer. Di sebelah Ayah, telah tersedia tas dan satu buah koper. Rupanya, gadis itu serius dengan rencana kepindahannya ke Bali. Leo sedikit kesal karena perempuan itu tidak berniat sedikitpun untuk pamit kepadanya.
“Uhm, Pak Hidayat ada?” tanya gadis itu.
Dengan dagunya, Leonardo memberikan kode kalau ayahnya ada di ruang kerja di lantai atas. Dia menyaksikan Dina yang berjongkok dan pamit kepada Ayah sebelum meneruskan langkah sesuai petunjuk Leo.
Leo sudah memerhatikan bahwa sejak bertemu dengan ayahnya kembali, Dina selalu enggan untuk berjauh-jauhan dengan orangtuanya itu. Seolah-olah gadis itu takut akan terjadi apa-apa kepada ayahnya jika dia meleng sebentar saja. Benar-benar sosok yang penyayang.
Kata-kata Olivia jadi terngiang-ngiang di telinganya. Satu yang tidak dapat dia enyahkan adalah perihal penyesalan karena kata-kata
Ditinggal oleh Dina, Leonardo belingsatan. Apa jawaban Dina? Apa dia kelewatan sudah menarik tangan perempuan itu? Apa dia tidak sopan karena terdengar begitu memaksa? Bagaimana kalau Dina menolaknya? Jantungnya berdegup kencang. Biasanya, Leonardo adalah orang yang dapat menerima apa saja: baik ataupun buruk. Tapi kali ini, dia punya asa. Dia ingin harapannya kali ini terkabul. Dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan kalau usahanya gagal.Leonardo berjalan mondar-mandir dengan sepatu Dina di tangannya. Sekarang apa? Menunggu gadis itu dan menuntut jawaban darinya? Atau, dia bisa pergi dan keinginannya. Tidak, tidak. Leo tidak siap apabila dia gagal mendapatkan bahagia.“Mas Leo.”Leonardo membalikkan badannya. Dan di sana, pada salah satu anak tangga, ada Dina yang memandanginya. Rambut panjang gadis itu ditata kuncir kuda. Mata besarnya berbinar-binar dan senyumnya merekah sampai ke telinga. Seakan-akan waktu bergerak melambat, Leonardo menikmati
Dari kejauhan, Dina sudah melihat bayangan Leonardo. Senyum di wajah laki-laki itu menerbitkan cahaya benderang di kepalanya. Leonardo setengah berlari menghampirinya. Pria itu langsung mengambil alih kursi roda dari pegawai bandara untuk mendorong ayahnya. Cerminan seorang pria yang bertanggung jawab.“Gimana Bali?” tanya laki-laki itu.“Sepi.” Itu karena tidak ada kehadiran Leonardo di sana. Tapi, tentu saja Dina tidak akan mengungkapkan bagian terakhir dari pikirannya itu terang-terangan. Dia masih malu mengakui perasaannya terhadap laki-laki itu. Ditambah, dia juga tidak ingin Leonardo menggodanya terus-terusan.Mereka telah berada di parkiran mobil. Dengan sigap laki-laki itu membantu mendudukkan Ayah di kursi tengah, sedangkan Dina mengatur tas bawaan mereka di bagasi. Ketika Dina menutup pintu bagasi, Leonardo sedang mengembalikan kursi roda kepada petugas bandara.Dina cukup heran karena tidak menemukan satu orang pengawal
Dina tidak lagi takut berhadap-hadapan dengan wanita secantik malaikat itu. Dia sudah mendengar semuanya dari Leonardo. Bagaimana Wendy sebenarnya memiliki cita-cita lain sekadar dari menjadi seorang nyonya rumah. Dia bahkan mengagumi upaya Leo agar istri Bastian itu mendapatkan apa yang diinginkan. Awalnya, dia tidak setuju kalau niat baik itu dibalut dengan perjanjian antara Wendy dan Bastian untuk tetap dalam ikatan pernikahan. Namun, dia bisa bilang apa kalau dua-duanya telah setuju. Seperti Leo, dia hanya berharap di tengah-tengah perjanjian itu, cinta antara Wendy dan Bastian akan kembali bertumbuh.“Hai,” sapa Dina.Wendy mengedikkan bahu. Bahkan cara wanita itu bersikap tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekeliingnya tampak menakjubkan. Elegan dan membuat orang lain berniat untuk memberikan apa saja yang diminta oleh Wendy.“Nona Wendy ikut makan, ya,” ajaknya santai sambil menata piring baru di meja yang kosong.Tidak
Tidak seperti biasanya, aula gedung Sekolah Tinggi Pariwisata yang berlokasi di Bandung saat itu begitu ramai. Pengunjungnya pun semua istimewa, rapi jali dengan jas atau kebaya. Alunan paduan suara menyanyikan Gaudeamus Igitur dengan semangat. Hari itu adalah hari bahagia bagi semua mahasiswa yang sudah bersusah-payah menamatkan perkuliahannya. Di barisan ketiga belas, ada satu perempuan berkebaya hijau dengan bawahan kain batik bermotif klasik. Lagu mars pertanda menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi sudah beberapa lama terhenti sewaktu nama perempuan itu dipanggil, “Dina Indira Sudiro. Manajemen Tata Boga Kelas Internasional.” Gadis yang dipanggil itu sudah melewati usia 21 tahun. Meskipun terlihat natural, dia merias wajahnya agar tampak istimewa. Alisnya yang lebat hanya disisir rapi, tapi dia mengenakan perona mata hijau lembut dipadu dengan sedikit warna perak. Matanya yang bulat indah dipertegas dengan eye liner abu-abu. Pipinya memerah dengan
Sudah tiga jam berlalu sejak dia diculik paksa oleh Si Sangar, namun belum ada tanda-tanda mobil yang membawa Dina berhenti. Mulutnya sudah mati rasa karena terus menganga. Tangannya kesemutan parah karena selalu terikat. Ketiga laki-laki di dalam kendaraan itu, yaitu Si Sangar, pria yang mengikat lengannya, dan pengemudi di kursi depan tampaknya tidak pernah menghilangkan pandang dari dirinya. Dina benar-benar terperangkap.Meskipun demikian, bukan berarti dia tidak mencari cara untuk kabur dari mereka. Sepanjang perjalanan, dia selalu mencuri dengar percakapan yang dilakukan oleh dua pria menyeramkan itu. Dia bahkan mencoba menyimpannya di kepala. Tapi, tidak banyak informasi yang dia dapatkan selain nama Bastian yang terus disebut-sebut.Mobil yang ditumpangi oleh Dina berbelok ke sebuah pekarangan luas yang dilengkapi kolam air mancur di tengah-tengah. Walaupun penasaran ke mana dia hendak dibawa, Dina sudah belajar untuk tidak terlalu memanjakan rasa ingin tahunya
Kebaya hijau dan kain batik teronggok sembarangan di lantai. Berdiri di depan kaca di kamar mandi, Dina hanya mengenakan pakaian dalam seraya mengompres wajahnya dengan air dingin.Tidak lama kemudian, muncul seorang pelayan berusia paruh baya yang tadi diidentifikasi Bacon sebagai Mbok Surti. Pembantu itu mengenakan seragam berwarna merah jambu dan membawakan tumpukan baju untuknya. Dina terlanjur dipenuhi rasa malu dan sakit hati untuk dapat mengucapkan terima kasih kepada Mbok Surti. Jadi, dia biarkan saja perempuan itu berlalu dan meninggalkannya sendirian.Dina mengenakan baju yang dibawakan. Ternyata baju itu juga berupa seragam, hanya saja keseluruhannya berwarna putih. Tidak ada pilihan lain. Dia terpaksa mengenakannya. Sayang, badannya yang tinggi hanya mengakomodir panjang rok sampai sepaha. Dia merasa direndahkan dan tangis air mata pun membanjiri pipinya.“Nduk!” panggil Mbok Surti dari luar ruangan.Dina mengatur embusan napasnya.
Sesuai yang diperintahkan oleh Mbok Surti, gadis itu berdiri tepat di samping meja yang penuh dengan hamparan makanan. Bukan, bukan dia yang menatanya. Memang benar informasi dari Mbok Surti. Ada chef khusus yang menyiapkan semuanya.Mbok Surti memindahkan gelas dari meja makan utama dan mengembalikannya kepada Dina. “Nona Wendy nggak minum jus nanas, Nduk.”Dina menggantinya dengan gelas yang berisi jus kiwi daripada apel dan jeruk. Mbok Surti menyetujui pilihan itu. Tepat pada saat asisten rumah tangga itu meletakkan jus di meja, ketukan langkah kaki terdengar memasuki ruang makan.“Nona Wendy,” sapa Mbok Surti sambil menarik sebuah kursi. “Mau roti?”“Papi kan belum datang.”“Tapi Nona nggak boleh kelaparan.”“Tenang, sebentar lagi dimulai, kan?” Wendy mengusap-usap perutnya.Ucapan Wendy terbukti karena setelah itu terdengar langkah kaki baru. Cepat-cepat Mbok
“Siapa?”Dina tidak mengenali suara itu. Tapi yang jelas, dia ketahuan. Dari balik selimut, matanya melirik ke kiri dan kanan. Dia memperkirakan apa yang terjadi jika dia bertindak nekat. Sedikit lagi. Hanya tinggal dua langkah dia sampai ke teras yang pintunya sudah terbuka. Dina mengambil ancang-ancang untuk berlari.Sekonyong-konyong teriakan, “Berhenti!” memenuhi udara dan selimut yang menutupi Dina terlepas. “Nyi Roro Kidul?” sambung pemilik suara misterius itu.“Bukan,” bisik Dina ketakutan.Tidak berapa lama kemudian, lampu menyala. Sekarang, Dina dapat mengetahui siapa yang menggagalkan rencananya. Leonardo.“Ah, asisten yang….”Gadis itu agak kesal. Mentang-mentang orang kaya, mereka tidak merasa perlu mengenal pekerja yang status sosialnya di bawah mereka. Sekalian saja perlakukan mereka seperti narapidana yang hanya dipanggil berupa angka saja.Leonar