"Hhhh..."Laura menaikkan alisnya dengan heran, tak mengerti hubungan bintang di langit itu dengan pertanyaannya. "Namanya Kejora..." "Kejora?" "Aku pernah jatuh cinta pada seorang gadis, pada saat aku SMA, namanya Kejora." Mata Tristan tak lepas dari langit, dimana ada satu bintang yang terlihat berkerdip paling terang. "Dia gadis yang sangat baik, meski terlihat sombong di mata teman-temanku. Mungkin karena dia terlahir dari keluarga kaya. Aku jatuh cinta padanya, pada pandangan pertama. Sayangnya, dia tak seperti itu padaku. Dia tak perduli denganku..." Tristan merapikan letak kacamatanya, tersenyum sendiri. Seolah cerita itu terasa sangat lekat di ingatannya. "Tahukah, kamu...satu tahun mengenalnya, sekelas dengannya aku hampir putus asa. Tapi, anehnya saat menjelang kelas 3 tiba-tiba dia berubah sikap terhadapku. Kejora tiba-tiba merespon semua perhatian yang kuberikan padanya. Bahkan dialah yang menyatakan cinta pertama kali padaku." "Dia...menyatakan cinta pada kak Tri
Pernikahan Laura dan Tristan memasuki bulan pertama. Dan seperti janji Tristan, dia benar-benar tak menyentuh Laura sedikitpun. Mereka berdua memang tidur sekamar tetapi mereka tidak tidur seranjang. Tristan akan menggelar bed cover di lantai. Setiap hari, Tristan pagi-pagi berangkat sebagai driver ojek online, sementara Laura tak lagi bekerja di Laundri karena perutnya sudah terlihat cukup jelas membesar. Bukan karena tempatnya bekerja tidak menerima tetapi Tristan melarangnya bekerja terlalu berat. karena di trimester kedua Laura terlihat sekali sangat mudah lelah. Laura hanya memasak dan mengurus rumah. Sekarang, Liam juga dalam pengawasan Laura karena ibunya semakin hari semakin tak perduli dengan rumah. Dia kadang bahkan tak pulang-pulang hingga berhari-hari. Laura pernah mencarinya karena kuatir, dan menemukan ibunya sedang tidur bersama seorang laki-laki, di sebuah kamar motel. Bukannya menyadari apa yang dilakukannya, Laura malah di usirnya dengan kasar disertai sumpah se
Laura mematung di depan kamar ibunya, setelah berbicara panjang lebar dengan Tristan malam sebelumnya, Laura memutuskan untuk meminta saran ibunya. Tristan mendapatkan kabar dari adiknya di kota sebelah ada lowongan pekerjaan menjadi seorang sopir dengan gaji yang jauh menjanjikan dari menjadi seorang ojek online di sini. Dosen adik Tristan itu mempunyai seorang teman, istri dari seorang CEO katanya, sangat membutuhkan sopir pribadi karena sopir sebelumnya berhenti. Dia kembali ke kampungnya bersama keluarganya. Tristan mengajak Laura untuk ikut dengannya, pindah ke kota sebelah, mengingat mereka adalah suami istri dalam tanda kutip saja maka Tristan tak memaksa jika Laura tak ingin ikut dengannya. Tetapi, Tristan tetap merasa bertanggung jawab dengan Laura karena itu dia menawarkan Laura untuk mengikuti dirinya. Laura menatap pintu kamar ibunya yang tertutup tetapi ada celah di pintu yang menandakn pintu itu tidak di kunci. Saat tangannya terangkat, ingin mengetuk pintu tiba-tiba
"Oh, ya...dan lagi, sekali ibu berbaring di situ, ibu tak perlu memikirkan sewa rumah ini sampai bulan depan." "Ugh..." Laura meringis, airmatanya akhirnya tumpah, betapa pedihnya persaan Laura saat mendengar ibunya rela melakukan perbuatan hina ini hanya demi uang sewa rumahnya. "Ibu...ibu tak harus melakukannya." Ratap Laura, dia mentap lekat wajah ibunya itu dengan kesedihan, sekarang dia benar-benar bingung memutuskan, apakah dia harus pergi bersama Tristan atau tinggal bersama ibunya dan mengurus Liam. "Apa urusanmu denganku? bukankah kamu sudah memilih hidup sendiri? kamu sudah dewasa dan tak perlu orang lain? Kamu tak punya hak mengatur hidupku.""Aku adalah anakmu?""Oh, ya? sejak kapan kamu ingat kalau aku adalah ibumu, hah?" "Ibu?""Sejak kamu memutuskan menikah dengan si kurang ajar Tristan itu, ibu rasa kita sudah tak memiliki hubungan apa-apa. Suamimu yang superhero itu, dia telah sok mengancamku dan mepermalukan aku. Jangan harap aku akan melihat padanya. Selama kamu
Setelah menerima segala makian dan amarah dari ibunya, Laura hanya mampu menelan rasa sakit dan hancur yang tidak mampu dia utarakan, apa yang dia alami saat ini memang dia akui adalah kesalahannya sendiri, kebodohannya pada saat itu yang begitu saja dengan polosnya percaya dengan bujuk rayu om Bian, namun rasa kecewa tak bisa Laura sembunyikan kala melihat bagaimana sikap yang diperlihatkan oleh perempuan yang sesungguhnya sangat di sayanginya itu. "Bu, mengapa kau begitu kejam padaku?" "Kejam? Aku kejam? wah, sekarang kamu sudah berani menghakimi ibumu." "Aku memang salah, aku mengakuinya, tapi kau adalah ibuku, aku mengkhawatirkan kondisimu, aku tidak rela kau seperti ini, aku sangat tidak rela, tolong jangan menolak permintaan dariku, Bu, semua ini demi dirimu," bujuk Laura lagi, gadis manis dengan tubuh kurus dengan perut yang sudah terlihat membuncit itu dan memiliki kulit putih susu, menatap wajah seorang wanita dengan usia kurang lebih 38 tahun, dihadapannya. Retina mata be
Laura segera bangkit dari tempat duduknya dia berjalan menyusuri jalan di depan bangunan rumah petak mereka, hingga tidak lama kemudian, wanita itu melihat seorang lelaki gagah dan tampan dengan pakaian berwarna biru muda, berdiri tegap membelakangi sebuah Mobil berwarna hampir sama birunya dengan pakaian yang di kenakannya, benar dia adalah Tristan suaminya yang saat ini. Pria itu memberikan tatapan yang dalam kepada Laura. Seperti ingin berbicara sesuatu dan terburu-buru namun tertahan di kerongkongannya. Laura berjalan mendekat dengan rikuh, dia cepat-cepat menghapus air matanya yang membasahi pipinya sedari tadi. Menyembunyikan tangisannya setelah keluar dari rumah ibunya. Sampai Laura kini sudah berada tepat di hadapan suaminya Tristan, wanita itu menghentikan langkah kakinya dan membuang pandangan saat Tristan ingin meminta tanggapan dari wanita itu. Melihat kondisi Laura yang sedih, dan raut wajahnya yang kusut, Tristan akhirnya mengurungkan niat untuk bicara masalah wanita i
Saat mendengar perkataan dari Tristan, Laura termenung sejenak, matanya mencuri pandang pada lelaki yang kini duduk di sampingnya "Hmm... Taman bermain? Kak Tris yakin ingin membawaku ke sana? Bukankah kak Tris masih harus berkerja?" Tanya Laura dengan penasaran. "Ini masih sore, setelah kita ke klinik kandungan, kita bisa berjalan-jalan sebentar. Bukankah setelah kita menikah tak pernah sekalipun kita jalan berdua. Setidaknya biarpun kita cuma suami istri di atas kertas, kita juga perlu jalan-jalan berdua sesekali." Oceh Tristan dengan santai. "Tapi...pakaianku seperti ini?" Laura menyapu pandangan pada badannya sendiri yang hanya terbalut dress sederhana, dia terlihat sangat tidak percaya diri dengan penampilannya saat ini. "Ya... Kenapa tidak? Itu sangat bagus untukmu, kau harus menyetujuinya ya? Jika aku sudah memutuskan untuk membawamu pergi, maka hal lain bisa ditunda," balas, Tristan lagi dengan suara yang lembut. Laura merasakan betapa berbedanya cara Tristan memperlakuk
Setelah beberapa lama mereka berada di dalam perjalanan, akhirnya tibalah mereka berdua di Rumah sakit. Tristan segera memarkirkan Mobilnya, lalu keluar, begitu juga dengan Laura, mereka berjalan beriringan, memasuki ruangannya utama dari klinik kandungan itu. Kemudian, Tristan mendekati tempat resepsionis. "Halo selamat siang, Sus," Sapa Tristan dengan ramah. Senyum terkembang lebar. "Siang kembali, Bapak, ada yang bisa saya bantu?" tanya, seorang perawat wanita yang terlihat sangat ramah dihadapan Tristan dan juga Laura itu. "Poli Ibu dan Anak di mana ya, Sus. Kami ada janji temu dengan Dokter kandungan Liena, tadi aku sudah membuat janji dengannya untuk memeriksakan kandungan istriku" balas Tristan dengan tanpa berbasa-basi. Laura sejenak hanya bisa berkedip menatap pada Tristan, rasanya ada yang menggelayar hangat dalam dadanya. Sikap Tristan ini sungguh menyanjung perasaannya sebagai perempuan yang kini sedang benar-benar membutuhkan perhatian. Tristan telah mendaftarkan pem