"Kenakan cepat! Ibu akan menunggumu di kamar ibu. Secepatnya!" Ibu Laura tersenyum misterius, dia terlihat puas dengan apa yang di lakukannya.
Laura masih berdiri, terpana sambil memegang dress yang ada di tangannya itu.
"Kamu yang memakaikan sendiri? atau ibu yang akan memaksamu memakainya?" Mata ibunya terlihat nyalang, dia terlihat sangat tidak sabar sekarang.
"A..aku..aku akan memakainya sendiri." Sahut Laura dengan takut-takut. Ibunya mengangguk puas mendengarnya.
"Lakukan cepat! dan langsung temui ibu di kamar ibu!"
"BRAK!" Pintu itu ditutup dengan kasar, teriakannya menggema, selanjutnya hanya terdengar langkah kaki yang diseret-seret dari balik pintu, langkah kaki itu menjauh.
Laura mengalihkan perhatiannya kembali pada dress di tangannya itu, entah kapan ibunya membelinya.
Dia tak pernah mengenakan pakaian se seksi ini tetapi dia tahu dari kemarahan ibunya itu, tak ada alasan untuknya tidak memakainya.
Dengan gemetar dia melepas kancing kemeja yang di pakainya dan berganti dengan dress itu. Seketika dirinya merinding ketika sekilas dia melihat ke arah cermin, tubuh yang setengah meringkuk dalam warna marun itu sangat jelas adalah dirinya. Dan dia merasa begitu murahan!
Beberapa menit dia mematung, sebelum dia mendengar teriakan sang ibu dari balik pintu.
"Laura, keluarlah jika sudah selesai. Jangan membuat ibu menunggu lama." Kalimat ibunya itu membuatnya tersadar, dia memang harus keluar.
Semenjak dirinya hamil, ibunya memperlakukannya dengan sangat kasar. Dia menunjukkan rasa marah dan kesalnya dengan tanpa di tahannya lagi. Laura bisa menerimanya tetapi dia tentu saja merasa sakit diperlakukan dengan begitu rupa.
Ibunya mungkin depresi berat, tapi tidak pantas dia diperlakukan seperti sampah setiap kali, memgingat dirinya adalah anak kandungnya sendiri.
"Hm..." suara ibunya terdengar dalam saat dia keluar dan sang ibu dengan tangan kiri berkacak di pinggang dan rokok di tangan kanannya, menatap Laura seperti serigala.
Laura menutup bagian dadanya yang terasa seakan ingin keluar itu karena begitu rendahnya bagian dada gaun itu. Sebagian pahanya yang putih berada di luar, sementara punggungnya setengah telanjang.
Angin malam lewat ventilasi masuk begitu saja, membuat kulit Laura meremang.
"kamu terlihat cocok dengan baju murahan itu." ibunya terkekeh,tanpa perasaan sama sekali.
"Ibu..." sekarang Laura merasa ibunya sangat keterluan padanya, rasa sesak menyerang ulu hatinya, ibunya seolah begitu membenci dirinya.
"Jika kamu bisa tidur dengan sembarang orang, artinya kamu sama sekali tidak memperdulikan kehormatan dan harga dirimu. Terlalu murah jika kamu mengobralkan tubuhmu itu secara gratis jika kamu memang bercita-cita menjadi seorang pelacur setidaknya beri harga yang pantas." Kalimat demi kalimat itu terlontar dari mulut ibunya, mata perempuan yang dulu begitu menyayanginya itu saat masa kanak-kanaknya telah hilang lenyap entah kemana pancaran kasih sayangnya. Yang tersisa hanyalah, rasa marah dan jijik terhadap dirinya.
"Maafkan Laura ibu." Laura mendesis, sambil mengatupkan bibirnya, giginya bertaut kuat menahan luapan kesedihan atas semua kata-kata ibunya yang demikian menyakitkan.
"Bagaimana bisa kamu meminta maaf kepada ibu jika kamu telah mempermalukan ibu begini? Apa yang di katakan orang ketika kamu nanti melahirkan seorang anak haram tanpa ayah?" Ibunya mendekat, Laura memejamkan matanya kuat-kuat. Dia bersiap untuk menerima pukulan ibunya lagi.
"Tapi memang kamu cantik, nak. Siapa sih yang tidak ingin menidurimu melihat wajahmu yang pura-pura polos ini?" Suara ibunya begitu dekat dengan telinganya, lalu perlahan jemarinya merayap di atas rambut Laura.
Tubuh Laura bergidik, laura mengira ibunya akan mendorong kepalanya dseperti kemarin, tapi tidak, ibunya hanya merapikan rambutnya untuk di seka kebelakang telinganya.
"Kita sudah kadung malu, hidup kitapun sudah tak bernilai apa-apa lagi di mata semua orang. Bagaimana jika sekarang jangan hanya menjejakkan kaki ke kubangan tetapi masuk saja ke dalam lumpur?" Suara ibunya setengah berbisik.
Laura membuka matanya, membeliak karena terkejut dengan pernyataan sang ibu.
"A...apa maksud ibu?" Tanya Laura dengan tegang.
"Sebagai anak, tak ada bakti yang benar-benar bisa kamu berikan lewat jalan yang benar. Untuk kembali menjadi lurus rasanya seperti berharap dunia terbalik. Kamu bersikeras untuk melahirkan bayi yang bahkan kamu tak tahu rupa ayahnya ini! Baiklah, ibu tak lagi melarangmu, lakukan saja sesukamu!" Ibu Laura melemparkan sisa potongan rokoknya ke lantai, lalu menginjaknya dengan sandal jepit buluknya.
"Jika kamu anak yang tahu membalas budi bagaimana jika sekarang kamu memulainya dengan membayar hutang ibu?"
"Hutang? hutang apa?" Laura tercengang.
"Ibu berhutang sejumlah uang dengan security di tempat ibu bekerja dan ibu kesulitan membayarnya." Ibu Laura menghela nafasnya, dia terlihat tidak seberapi tadi.
"Hutang ibu berapa? aku punya sedikit tabungan, seratus tujuh puluh lima ribu rupiah sisa gajiku bulan kemarin. Jika ibu ingin memakainya aku akan memberikannya kepada ibu.
"Hhh...kamu kira duit seitu bisa membayar pinjaman ibu? Ibu berhutang tiga juta lima ratus!"
"Tiii...tiga juta li...lima ratus?" Laura ternganga, itu uang yang sangat besar menurutnya. Bahkan gajinya selama tiga bulan tak akan cukup untuk membayarnya.
"Ibu tahu kamu tak punya uang sebanyak itu." ibunya menyeringai dengan mimik kejam.
"Tetapi kamu bisa membayarnya dengan cara lain." Lanjutnya setengah mendesis.
"Cara lain?"
Mata merah ibu Laura yang setengah mabuk itu menyunggingkan senyum aneh.
"Ya, cara lain."
Laura diam tak menyahut, dia menunggu apa yang ingin di katakan ibunya lebih lanjut.
"Ibu mempunyai sejumlah utang kepada seorang teman. Dan kamu bisa membayarnya hanya dengan hanya satu jam."
"Ikut aku sekarang!"
Laura yang badannya lebih kecil dari sang ibu tak bisa melawan saat dia di seret dengan paksa ke dalam kamar ibunya. Dan dengan kasar ibunya mendorongnya ke atas tempat tidur. Tubuh Laura terhempas di atas tilam tipis sang ibu. "Aww..." laura Terpekik dan ketika dia menoleh ke sebuah arah, dia baru menyadari ada sesosok tubuh yang duduk di sebuah kursi sudut kamarnya. Tubuh tambun dengan rambut ikal dan kumis jarang-jarang yang membuat laura terkejut bukan alang kepalang. "Hai, Lina...jangan terlalu kasar padanya. Dia kan anakmu?" Tegur laki-laki itu sambil menyeringai pada laura, sama sekali sebenarnya tak menampakkan simpatik dengan apa yang telah terjadi pada Laura. Dia hanya berpura-pura perduli saja. "Tidak perlu banyak bicara, aku tidak perlu banyak bacotmu." Ibu Laura mendelik sambil berkacak pinggang lalu mengeluarkan sebuah kertas yang dilipat begitu ryupa dari dalam saku bajunya. "Harman, kamu boleh melakukan apapun padanya dalam waktu satu jam. Tapi jangan sampa
"Toloooong, lepaskan aku Om..." Laura berontak dari cengkeraman Harman, dia merasa jijik dengan dengus nafas laki-laki itu yang menyentuh kulit lehernya. Tapi, Harman tak perduli dia terus saja memeluk laura dengan tak sabar, dia mendengus-dengus tak jelas dan mendaratkan ciumannya dengan mulutnya yang basah itu. "Jangan...kumohon jangan!" Laura mendorong tubuh Harman membuat laki-laki itu hampir terjatuh ke lantai. Harman terkejut bukan kepalang dengan perlawanan Laura, matanya mendelik dengan amarah yang tak bisa di bendungnya. "PLAK!!!" Sebuah tamparan mengenai wajah Laura, membuat gadis muda itu terjengkang sampai ke atas tempat tidur. Laura terpekik kecil sambil memegang pipinya, dia tergeletak setengah terbaring sehingga paha mulusnya nampak hampir sampai pangkal pahanya, dress marun yang di gunakannya itu sangat pendek memang. Harman menatap nyalang pemandangan itu, jakunnya turun naik di balik lemak yang ada di lehernya yang pendek itu. Tak ada lagi aura manusia dar
Harman terkejut hampir telonjak dari tempat tidur itu, sementara Laura membuka lebar matanya. Kedua orang itu sama memandang ke arah pintu. Di sana berdiri seorang laki-laki dengan masih menggunakan baju jaket ojek online, wajahnya merah padam dengan kacamata yang melekat di matanya. "Hentikan semua ini!" Teriakan itu terdengar kerasdan penuh dengan amarah. Laura segera meloncat dari atas tempat tidur dengan raut ketakutannya, saat sadar yang datang itu adalah orang yang sangan dikenalnya. "Kak Tris..." Dia menarik dengan sembarangan sebuah taplak meja yang ada di samping tempat tidur itu dan menutup bagian dadanya dengan gemetar. "Anak kurang ajar!!!" Ibu laura berteriak di belakang punggung Tristan. Menarik lengan Tristan dengan kasar sementara yang di tarik sama sekali tak bergeming. Dia berdiri di tengah pintu yang jebol itu, kedua tangannya mengepal keras. "Siapa setan kecil yang mengangguku ini, Lina? Kenapa dia ada disini?" Harman beringsut turun dari atas tempat ti
"Kenapa kak Tris melakukan ini padaku?" Tanya Laura saat dia sudah berada di dalam rumah Tristan, yang tepat berada di sebelah rumahnya. Kediaman mereka hanya terpisah dinding tembok saja. Rumah itu adalah rumah petak 4 pintu yang di kontrakkan. Tristan tinggal di kamar paling pinggir bersebelahan dengan kamar Laura, dulu Tristan tinggal bersama adiknya. Tetapi setelah Tika, adiknya lulus kuliah, adiknyaitu bekerja di kota sebelah sebuah Bank Swasta, hanya kadang-kadang jika saat libur akan mengunjungi Tristan. Tristan dan adiknya Tika, dua bersaudara yatim piatu. Tristanlah yang menyekolahkan adiknya itu dengan menjadi ojek online. Dia sudah tinggal di rumah petak ini kurang lebih lima tahun dan tak pernah pindah. Bahkan saat Tika mengajaknya ikut ke kota sebelah, Tristan menolaknya. Dia sudah betah tinggal di situ. "Aku melakukannya karena ayahmu." jawab Tristan sambil memberikan sebuah handuk dan baju daster. Itu adalah baju adiknya. "Ayah?" "Ya, ayahmu."Jawab Tristan pend
"Aku mungkin kurang ajar tetapi aku rasa kita sama saja urusan akhlak, tidak perlu berhitung tinggi dan rendah. Aku akan bersikap sopan jika ibu juga bisa bersikap hal yang sama. Aku tak bisa memaksa diriku menghormati ibu jika ibu sendiri tak pantas mendapat rasa hormatku." Tristan mundur dua langkah, tangannya bersidekap dengan santai di depan dadanya. "Bagaimana kalau kita bernegosiasi saja?" Pertanyaan itu meluncur dari mulut Tristan tepat saat ibu Laura mengepalkan tangannya, berusha memukul ke arah Tristan. "Negosiasi? Negosiasi apa?" Ibu Laura membeliak, tangannya mengepal di udara. "Aku akan menikahi Laura dan mempertanggungjawabkan semua yang kulakukan padanya tetapi ibu harus melepaskannya.""Kamu kira aku akan dengan mudah menyetujuinya? Kamu telah membuatku malu di depan Harman. Jangan kira akau kan memaafkanmu dengan mudah. Lebih baik akau akan mebuat bayi di perut Laura itu mati dari pada harus bermenantukan anak kurang ajar sepertimu!" Dengus ibu Laura dengan tatapa
Laura duduk di pinggir tempat tidur sambil memuntir ujung dasternya, dia menunduk dalam-dalam sambil mengusap air matanya ketika Tristan masuk ke dalam kamar. "Kenapa kak Tris melakukannya?" Tanya Laura lamat-lamat dengan suara serak. "Ya...? Maksudmu apa?" Tristan mengerutkan keningnya sambil merapikan letak kacamatanya, senyumnya sedikit terkembang melihat Laura sudah menggunakan baju dasteradiknya, setidaknya baju itu jauh lebih sopan dari baju yang tadi dikenakan oleh Laura. "Kenapa kak Tris mau...mau menikahiku?" "Oh." satu kata pendek di ucapkan Tristan lalu perlahan laki-laki itu duduk di sebuah kursi kayu yang berada di depan meja kecilnya dimana ada sebuah laptop kecil dan printer miliknya, tempat biasanya dia menerima orderan pembuatan atau pengetikan naskah skripsi. Ya, meskipun Tristan tidak tamat kuliah karena orangtuanya keburu meninggal dalam sebuah kecelakaan tetapi dia pernah 5 semester mengecap bangku kuliah delapan tahunan yang lalu sebelum dia memutuskan b
"Kak Tris..." Suara Laura seperti tertahan saat dia memanggil nama laki-laki yang membuatnya terpana itu. "Ya?" Tristan mengurungkan niatnya untuk melangkahkan kakinya di depan pintu. "Bagaimana kak Tris tahu jika aku sedang hamil?" Tanya Laura, begitu pelan hampir tak terdengar, di suarakan dengan penuh keraguan. Tristan terdiam, dia berbalik menatap langsung ke mata Laura. "Apakah itu penting?" Tristan balik bertanya, suaranya tajam menusuk sampai ke dalam hati Laura. "Tapi...tidak ada seorangpun yang tahu jika aku sedang hamil sekarang selain ibuku."Sahut Laura dengan ragu. "Kamu tak perlu tahu darimana aku tahu, karena itu tak akan merubah apapun. Dia tak akan pernah meninggalkan istrinya demi dirimu. Cinta itu hanya sebatas kata-kata, bahkan andai kamu ingin membuktikannya, kadang kala sama sekali tak berguna." Kalimat itru di katakan Tristan dengan pedih. Sepertinay kepahitan di masa lalunya membuat Tristan kehilangan kepercayaan untuk perasaan itu. "Apakah Kak Tr
Laura sedang duduk di bangku kecil di depan sebuah salon kecil, dia datang terlalu pagi karena salon itu ternyata belum buka. Di salon ini dia sudah berjanji dengan Tristan bertemu. Tristan sendiri mengantarkan seorang pelanggan tetap ojeknya, seorang anak SD untuk di antar ke sekolah. Dia sudah di bayar bulanan hanya untuk mengantar jemput anak itu. Mereka akan menyewa sebuah baju pengantin di sini. Laura sebenarnya tak ingin melakukannya, andai dia menikahpun dia hanya mau menggunakan pakaian biasa saja. "Tidak Laura, meskipun ini pernikahan yang tidak kita cita-citakan tetapi aku ingin kamu tetap seperti pengantin yang lainnya. Aku masih mampu untuk menyewa baju pengantin yang sederhana untukmu besok." Itu yang dikatakan oleh Tristan, saat Laura mengatakan bahwa dia cukup menggunakankan sebuah gaun seadanya yang di belikan ayahnya tiga tahun sebagai hadiah natalnya. "Tak ada gunanya kak Tris membuang-buang uang untuk pernikahan yang kita tahu hanya untuk menutupi kehamilank