Share

Bab.8 Gaun Marun

Laura mengenakan pakaian yang dibelikan oleh Bian terakhir kali, dia mematutnya sebentar di cermin lemarinya yang terpecah dua itu. cermin lemari usang yang telah menemaninya sekian lama.

Rasa sakit mengiris hatinya, di elusnya perutnya yang mulai sedikit membuncit itu. Belum kentara memang tetapi laura tahu ada bayi di dalamnya, bayi hasil hubungan terlarangnya dengan Bian, suami seseorang yang tak dia tahu bagaimana wajah istrinya itu. 

Setetes bulir bening jatuh untuk kesekian kalinya, selalu saja jika dia mengingat om Bian kesedihannya tak terbendung. Laura sangat menyukai Bian. Sangat menyukainya, karena itulah dia percaya sepenuhnya dengan apapun yang di ucapkan oleh Bian padanya. 

Sosok laki-laki dewasa yang begitu lembut dan perhatian ditemukannya pada laki-laki ini, dia bahkan berharap wajah ayah kandungnya setampan om Bian. 

Laki-laki ini begitu sabar mendengar keluh kesahnya, memperhatikannya layaknya seorang ayah tetapi dia punya tatapan penuh cinta yang selalu membuat Laura bergetar jika memandangnya. Harapan terbesar dari Laura adalah menikah dengan Om Bian dan tinggal bersama laki-laki itu selamanya, seumur hidupnya. 

Tetapi, semua harapannya itu terhempas begitu saja sekarang, Om Bian menghancurkannya dalam sekejap mata hanya dengan mengatakan dia telah menikah dan mempunyai anak. 

"Om Bian..." Bisiknya sambil menyisir rambut panjangnya.

"Kenapa om Bian begitu jahat pada Laura..." Desisnya, membiarkan airmatanya jatuh begitu saja di pipinya yang putih itu.

"Melihatmu, mengenalmu adalah satu hal yang terindah bagiku, kukira semua yang om Bian ucapkan padaku benar. Ku kira jika aku mempunyai seorang bayi laki-laki seperti yang di cita-citakan om Bian suatu saat di masa depan, aku akan menjadi istri om Bian. Om Bian membuatku percaya, kebohongan om Bian benar-benar sempurna." laura menyeka dengan kasar air mata yang semakin deras turun dari sudut matanya. 

Ditatapnya perutnya dengan sedih. 

"Aku...aku tak akan membuang anak ini, meskipun mungkin aku harus bertaruh hidupku. Aku ingin om Bian selalu bersamaku, jikapun om Bian tak bisa menjadi milik Laura, setidaknya anak ini akan menjadi penggantinya." Laura memeluk perutnya, masih jelas di ingatannya, pelukan Bian yang hangat, bisikan cinta dan cumbu rayunya yang memabukkan Laura.

"Ukh..."Laura menghela nafasnya yang terasa sesak, betapa sulitnya Laura berusaha untuk melupakan semua kenangan bersama om Bian. Laura mencintai Bian dengan segenap hatinya tetapi dia bersumpah tak akan menjadi orang ketiga dalam hubungan rumah tangga BIan. Karena dia tahu benar rasanya, jika ditinggalkan untuk perempuan lain. Dia adalah anak korban dari pegkhianatan ayahnya. Dia tak ingin ada Laura-Laura yang lain lagi.

"LAURA!!!" Teriakan ibunya dari luar bilik kamarnya menembus dinding bahkan mungkin sampai ke rumah tetangga sebelahnya. 

Laura segera merapikan bajunya, mengancing kemejanya itu hingga leher dan memeriksa roknya yang selutut, memastikan dia telah rapi. 

 

"Yaaa!" Laura bergegas berdiri dan berbalik hendak berlari keluar bilik kemarnya. 

 

"BRUKK!!!" Laura menabrak sesosok tubuh di pintu kamarnya, mereka berdua sama-sama hampir terjatuh. 

 

"Matamu dimana?" hardik ibunya sambil berusaha menyeimbangkan tubuhnya. Matanya melotot besar, betgitu kesal di bawah cahaya lampu kamar Laura yang tak seberapa. 

 

Liam yang berbaring di atas kasur kakaknya itu, terkejut mendengar suara ibunya segera bangun. 

 

"Liam, pergilah ke rumah tante Sani di sebelah!" usirnya pada sang anak. Liam segera melompat dari atas kasur,

"Jangan pulang sebelum aku menjemputmu!"

Liam hanya menggangguk cepat dan tergesa menyelinap lewat pintu, segera keluar tanpa di suruh dua kali. 

 

"Aku menyuruhmu bersiap-siap, bukan melamun seperti itu." 

 

"Aku..aku sudah siap, ibu." Laura melemparkan sisir dari tangannya ke atas tempat tidur lalu menautkan tangannya di belakang punggungnya, seolah menunggu perintah selanjutnya. 

 

"Siap? Siap katamu?" Mata ibu Laura berkilat tajam, menatap tampilan anaknya itu dari atas sampai bawah. 

 

"I...iya, bu." 

"Dengan baju model ondel-ondel begitu?" Ibu Laura berkacak pinggang

"Hah..." Laura kebingungan dan melihat kembali penampilannya, dia merasa itu baju terbagus yang dia punya. 

"Hoh hah hoh hah, ibu heran denganmu. Otakmu itu kemana? pantas saja  kamu hamil dan tak tahu rupa laki-laki yang menghamilimu karena sikap blo'onmu seperti itu." Ibu Laura menggeleng-gelengkan kepalanya dengan mimik heran. 

"Tunggu disini!" Hardiknya, jemarinya teracung lurus ke atas, seakan sebuah peringatan bahwa Laura memang tak boleh bergerak sejengkalpun. 

Sejenak Laura menghela nafasnya, dia merasa sedikit menemukan oksigen ketika ibunya itu pergi. 

"Apa yang salah denganku?" Keluhnya sambil melihat kembali ke kemejanya. 

Jika hanya pergi untuk menghadiri acara tetangga, rasanya penampilannya ini sudah lebih dari bagus. 

Hatinya semakin penasaran dan bertanya-tanya, kemanakah ibunya hendak membawanya malam ini. Tak seperti biasanya, ibunya akan mengajaknya pergi. 

"Pakai ini!" Sebuah kain melayang menutupi wajah laura, di lempar sang ibu begitu saja. Laura segera menangkapnya sebelum jatuh ke lantai.

 

Sebuah dress pendek tanpa lengan dari bahan satin kasar murahan, dengan belahan di punggung hampir sampai ke pinggangnya. Dress itu berwarna merah marun.  

"Ini...? Mengenakan ini?" tanya Laura dengan heran, suaranya bergetar, dia berdiri kelu seperti patung. Laura tak pernah mengenakan dress seseksi itu. 

Ibu Laura berdiri sambil meletakkan bahunya di pinggir pintu dengan tangan bersilang didepan dada, dia tak menjawab apapun tapi matanya jelas mengatakan, bahwa baju itu harus segera di kenakan oleh Laura. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status