Malam itu seharusnya tenang.
Biasanya, setelah misi berdarah, Kevin dan Helena akan tidur dalam satu ranjang—menenangkan sunyi yang tak bisa dipulihkan siapa pun kecuali mereka sendiri.Tapi malam ini… ranjang itu kosong.Tubuh Helena dingin tanpa dekap Kevin.Dan Kevin—meski masih di kamar—tak benar-benar hadir. Di sisi kirinya, tempat Helena biasa tidur, hanya ada selimut yang kehilangan wangi.Helena sempat mencoba memejamkan mata di ruang taktis. Tapi napasnya berat. Dada sesak. Ia menyerah lima menit lewat tengah malam.Tanpa aba-aba, kakinya membawanya ke lorong sayap timur. Bukan karena rindu fisik—tapi karena jiwanya tak bisa tidur jika Kevin tak ada di jangkauannya.Dan saat tiba di depan pintu itu—yang biasanya tak pernah tertutup—Helena tahu, mereka sedang saling menyiksa diam-diam.Ia berdiri sejenak. Tak mengetuk. Hanya mendorong pelan.Pintu tidak terkunci.Helena masuk. Menutup pKadang musuh tak perlu menghantam dari luar. Cukup mengunci pintu, dan menunggu kita saling membakar dari dalam.Blackstone malam itu, Sirene merah masih meraung, tapi nadanya berubah.Bukan lagi alarm invasi, melainkan alarm sabotase—panjang, menusuk, seperti detak jantung yang dipaksa berlari tanpa oksigen. Lampu darurat berkedip-kedip, setiap kilatan mencabik wajah mereka seperti pisau yang menolak berhenti.Helena berdiri di depan meja taktis yang sudah mati.Pistolnya masih hangat, tapi bukan senjata itu yang membuat tangannya kaku—melainkan kesadaran bahwa ruang ini, benteng terkuat Alexander, kini telah jadi kandang.“Pintu timur terkunci manual,” lapor Wolf, matanya menyapu panel dinding.Suaranya rendah, tapi tegas. “Seseorang menutupnya dari sistem inti. Kita terjebak.”Kevin mendekat ke Helena, tubuhnya merapat, bahu menyentuh bahu. Tangannya masih menahan jemari Helena, seakan genggaman itu adalah rantai terakhir yang menambatkannya di dunia ini.“Kalau ada pintu terkunci
Kadang luka bukan untuk disembuhkan. Kadang luka hanya menunggu cukup lama… untuk tumbuh jadi perang. Malam itu di Drosnya. Bunker tua itu berbau lembap dan besi karat. Lampu kuning redup menggantung dari kabel kusut, menerangi peta besar di meja beton. Setiap titik merah di peta adalah darah yang belum tumpah, tapi sudah dijanjikan. Ronald Xavier berdiri tegak, jas hitamnya rapi meski lantai dipenuhi abu rokok dan serpihan kaca. Wajahnya separuh bayangan, separuh cahaya. Matanya… bukan mata manusia yang bernafas, tapi mata binatang yang tahu waktunya berburu sudah dekat. “Montavaro… Dresvane… Gravemount…” suaranya berat, pelan, nyaris seperti mantra. “Semua retak. Tinggal menunggu jatuh.” Salvatore Xavier masuk, langkahnya ragu. Tubuhnya besar, tapi sorotnya penuh kegelisahan. Ia berdiri di sisi meja, menatap peta itu dengan wajah yang tidak bisa menyembunyikan keraguan. “Kau terlalu lama menunggu, Ronald,” katanya, suaranya dalam tapi tegang. “Sementara kau dia
Beberapa binatang tidak pernah mati. Mereka hanya menunggu bau darah yang tepat untuk keluar dari sarang.Blackstone masih bergetar. Sirene merah bergulir, asap mesiu belum benar-benar hilang.Bau besi darah bercampur dengan debu beton yang runtuh, membuat udara seperti luka yang belum ditutup.Helena berdiri dengan pistol yang masih hangat di tangannya, Kevin di sisinya, Dendy di seberang, Wolf menjaga pintu.Jari-jarinya masih menegang di atas pelatuk, seolah ototnya belum mengerti bahwa tembakan barusan sudah berhenti.Helena menarik napas panjang, tapi rasanya dada masih terikat besi. Ia bisa mendengar jantungnya sendiri berdetak lebih keras daripada sirene.Setiap kedipan matanya menyalin bayangan gudang lama—darah Falcon, teriakan Kevin, tatapan David. Semua bercampur jadi satu luka yang tidak sembuh.Malam ini, ia tidak lagi berdiri sebagai adik yang menu
Kadang peluru bukan hanya membunuh. Kadang ia mengingatkan siapa yang masih hidup—dan siapa yang berhak berdiri di meja.Blackstone.Lampu darurat merah terus berputar, memecah wajah mereka jadi potongan-potongan bayangan.Helena berdiri paling dekat ke pintu. Suara langkah dari luar makin keras—berat, lambat, tapi pasti.Kevin merapatkan tubuhnya ke Helena, bahunya menempel, pistol di genggaman sudah terangkat.Jemari Kevin masih menahan tangan Helena, seolah genggaman itu adalah tali terakhir yang menjaga kewarasan.“Lena…” suaranya serak, nyaris seperti bisikan doa. “Kau tetap di sini. Apa pun yang terjadi.”Tapi Helena menoleh cepat. Mata hitamnya terbakar.“Aku tidak bisa hanya berdiri lagi, Kev.”Suara itu membuat Kevin terdiam sepersekian detik.Bukan rengekan. Bukan ketakutan. Itu pernyataan.Wolf menoleh sekilas,
Kadang musuh paling mematikan bukan yang menembak dari kejauhan… tapi yang duduk di meja yang sama denganmu.Gudang generator Blackstone meraung pelan, tapi tak cukup memberi cahaya penuh. Ruang taktis hanya disinari lampu darurat merah, membuat semua wajah tampak seperti dipulas darah.Pintu baja bergetar—dari luar, seseorang memaksa sistem manual.Wolf sudah mengangkat senjata, tubuh tegak di samping pintu. Matanya tak bergerak, seperti anjing pemburu yang mencium darah.“Ini bukan serangan luar,” katanya datar.“Seseorang pakai akses dalam.”Kevin berdiri tegak di depan Helena, pistol sudah terarah. Jemarinya masih menahan tangan Helena, seolah memastikan perempuan itu tak akan direbut sekali pun oleh kegelapan.“Kalau mereka bisa sampai pintu ini,” gumamnya dingin, “artinya racun sudah menetes jauh ke dalam.”Dendy tidak bergerak.Tapi justru diam itulah yang membuat udara makin berat. Ia berdiri di ujung meja taktis, cahaya merah menorehkan garis keras di wajahnya.“Buka pintu,”
Ketika meja taktis berubah jadi altar, darah yang menetes bukan hanya dari musuh—tapi dari orang yang seharusnya berdiri di sisi kita.Lorong Blackstone masih bergetar oleh sisa langkah.Hujan di luar menetes ke kaca baja, tapi di dalam, udara lebih berat dari kabut di Belegrive.Malam itu, Blackstone terasa lebih senyap dari biasanya. Senyap yang tidak menenangkan—senyap yang menunggu dentum pertama. Bahkan bayangan di dinding seolah menyimpan rahasia yang bisa menusuk dari belakang.Kevin berjalan paling depan, mantel hitamnya masih basah, Helena tepat di sisinya. Ia menggenggam jemari Helena seolah takut dunia bisa mencuri perempuan itu kapan saja.Tidak ada lagi ruang tarik-ulur. Malam Belegrive sudah memutus semua keraguan—Kevin Xavier berdiri di samping Helena Morgan bukan sekadar perlindungan, tapi klaim.Helena merasakan tekanan jemari Kevin. Bukan sekadar genggaman, melainkan