Beranda / Romansa / DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH / CHAPTER 92. SATU NAMA YANG DIKUNCI

Share

CHAPTER 92. SATU NAMA YANG DIKUNCI

Penulis: Selena Vyera
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-30 20:00:07

Lorong menuju blok interogasi bawah diselimuti cahaya redup dan aroma besi tua.

Hanya langkah kaki mereka yang terdengar. Kevin di depan, Helena di belakangnya, Wolf menutup formasi.

Pintu logam setebal 30 cm menyambut mereka seperti rahang monster.

Di baliknya—Jude Cravell. Koordinator jaringan Blackstone. Hari ini, pengkhianat.

"Kita sudah siap," ucap Helena lewat saluran taktis.

Dendy menjawab, "Sinyal luar dialihkan. Rekaman hanya ke drive manual. Tak ada akses sistem."

Wolf membuka kunci pintu pertama. Helena menekan tombol taktis untuk mengunci semua akses belakang.

"Begitu kau masuk, tak ada keluar sampai selesai," bisik Helena pada Kevin.

Kevin hanya menoleh sekilas. Tak ada senyum. Tak ada ragu.

"Buka pintunya."

Pintu terbuka.

Ruangan itu kosong. Hanya satu kursi di tengah ruangan.

Dan di atasnya—Jude Cravell.

Terikat. Mata terbuka. Tapi tubuhn
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 92. SATU NAMA YANG DIKUNCI

    Lorong menuju blok interogasi bawah diselimuti cahaya redup dan aroma besi tua.Hanya langkah kaki mereka yang terdengar. Kevin di depan, Helena di belakangnya, Wolf menutup formasi.Pintu logam setebal 30 cm menyambut mereka seperti rahang monster.Di baliknya—Jude Cravell. Koordinator jaringan Blackstone. Hari ini, pengkhianat."Kita sudah siap," ucap Helena lewat saluran taktis.Dendy menjawab, "Sinyal luar dialihkan. Rekaman hanya ke drive manual. Tak ada akses sistem."Wolf membuka kunci pintu pertama. Helena menekan tombol taktis untuk mengunci semua akses belakang."Begitu kau masuk, tak ada keluar sampai selesai," bisik Helena pada Kevin.Kevin hanya menoleh sekilas. Tak ada senyum. Tak ada ragu."Buka pintunya."Pintu terbuka.Ruangan itu kosong. Hanya satu kursi di tengah ruangan.Dan di atasnya—Jude Cravell.Terikat. Mata terbuka. Tapi tubuhn

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 91. RUANG DINGIN, RENCANA PANAS

    Ruang briefing Blackstone tak pernah seasing ini.Bau logam dari kabel terbakar kemarin masih samar terasa. Lampu sudah menyala kembali, sistem dipulihkan, tapi suara-suara yang dulu akrab… berubah sunyi.David duduk di ujung meja.Di sisi kirinya, Dendy Alexander membaca ulang laporan dari Gravemount.Di sisi kanan, Wolf berdiri dengan tangan menyilang, layar taktis aktif di belakangnya.Lalu Kevin masuk.Dengan Helena satu langkah di belakangnya.Mereka tak menggenggam tangan. Tapi siapa pun bisa merasakan: mereka datang sebagai satu garis—dan tak akan mudah dipisahkan.David menoleh. “Kau tidur?”Kevin duduk tanpa menjawab. Tapi senyum tipisnya menyimpan luka yang tak sedang ia sembunyikan.“Tidur, ya. Tapi tidak damai.”Dendy menoleh sekilas ke Kevin. “Kau tampak lebih... terjaga pagi ini.”“Karena mimpi buruk lebih ju

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 90. RITUAL YANG MASIH TERASA

    Pagi datang tanpa suara.Tapi yang terasa lebih dulu… bukan sinar matahari.Melainkan napas Kevin di tengkuk Helena.Tubuh mereka masih berpelukan di ranjang.Selimut jatuh setengah ke lantai.Keringat dingin. Nafas berat. Tapi damai—dalam versi yang hanya mereka mengerti.Kevin tidur memeluk Helena dari belakang. Lengan kanannya melingkar di perut Helena, sementara lengan kirinya menyentuh bekas luka di bahu perempuan itu.Tapi matanya tidak sepenuhnya terpejam.Ia hanya diam. Memastikan napas di depannya masih ada.Memastikan detak jantung itu belum pergi.Dan saat bibirnya menyentuh rambut Helena… ia tahu: pagi ini belum mencuri segalanya darinya.Helena menggenggam tangan Kevin yang memeluknya.Ia mencium punggung tangan lelaki itu—lambang eksekutor utama yang telah menghabisi banyak jiwa.Tapi anehnya, Kevin dan Helena menikmati ritu

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 89. KAMAR TANPA KUNCI

    Malam itu seharusnya tenang.Biasanya, setelah misi berdarah, Kevin dan Helena akan tidur dalam satu ranjang—menenangkan sunyi yang tak bisa dipulihkan siapa pun kecuali mereka sendiri.Tapi malam ini… ranjang itu kosong.Tubuh Helena dingin tanpa dekap Kevin.Dan Kevin—meski masih di kamar—tak benar-benar hadir. Di sisi kirinya, tempat Helena biasa tidur, hanya ada selimut yang kehilangan wangi.Helena sempat mencoba memejamkan mata di ruang taktis. Tapi napasnya berat. Dada sesak. Ia menyerah lima menit lewat tengah malam.Tanpa aba-aba, kakinya membawanya ke lorong sayap timur. Bukan karena rindu fisik—tapi karena jiwanya tak bisa tidur jika Kevin tak ada di jangkauannya.Dan saat tiba di depan pintu itu—yang biasanya tak pernah tertutup—Helena tahu, mereka sedang saling menyiksa diam-diam.Ia berdiri sejenak. Tak mengetuk. Hanya mendorong pelan.Pintu tidak terkunci.Helena masuk. Menutup p

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 88. PINTU YANG TAK LAGI SAMA

    Langit di atas Blackstone menggantung kelabu.Hujan tidak turun. Tapi udara mengandung rasa dingin yang sulit dijelaskan—seperti tubuh yang tahu badai sedang mendekat, tapi belum tahu dari arah mana.Tiga kendaraan memasuki perimeter utama.Tanpa iring-iringan.Tanpa pengawalan.David Morgan turun pertama.Ia berjalan tegap, mengenakan mantel hitam panjang. Tidak basah, tapi jelas dari percikan debu di sepatu dan ujung mantel—ia datang dari lokasi yang tidak bersahabat.Langkahnya tidak tergesa. Tapi setiap langkahnya seperti ketukan palu di dalam jantung Blackstone.Di belakangnya, hanya lima menit berselang, Dendy Alexander tiba.Sendiri, kecuali satu agen Alexander yang tidak berbicara sedari perjalanan.Dendy memegang satu map logistik dari Montavaro, tapi wajahnya tak menunjukkan ekspresi kemenangan.Matanya kosong. Wajahnya letih.

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 87. JEDA SEBELUM BADAI

    Montavaro malam itu seperti kota mati.Kabut tipis menyelimuti reruntuhan markas tua Ronald Xavier.Asap dari cerobong tak aktif masih menempel di dinding bata yang menghitam. Lampu perimeter tidak menyala.Kilat memori muncul tanpa permisi. Wajah Helena. Tangan yang terangkat. Bunyi tamparan ke pipi Sylvania.Dendy tak bertanya apa pun hari itu. Tapi dalam diamnya, ia tahu tamparan itu bukan hanya untuk Sylvania.Itu juga tamparan tak langsung untuknya—karena tetap tinggal dalam batas yang tak pernah diminta, tapi selalu ia jaga.Dendy berdiri tak jauh—terdiam, karena tahu itu bukan tentang dia. Itu tentang rasa milik yang dibenci. Dan dicintai dalam diam.Tapi Dendy Alexander tetap turun dari helikopter diam-diam, hanya ditemani satu agen Alexander tanpa tanda pengenal.Ia tidak bicara. Tidak perlu.Langkahnya ringan, sepatu tempur hitam tidak bersuara di lantai beton yang retak.Tangan kanan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status