"Apa pertanyaan untuk apa yang aku inginkan masih berlaku?" ucapnya menatap kedua bola mataku. Ada kesedihan mendalam di wajah wanita yang sudah 10 tahun mendampingiku itu.
"Iya, Ma. Apapun itu. Asal Mama jangan mendiamkan Papa seperti itu!. Papa sayang sama Mama. Sangat," ucapku hendak meraih tubuh Indah ke pelukanku. Namun, wanita itu langsung menghindarinya.
"Jawab permintaan aku dulu," singkatnya tanpa embel-embel Mama ataupun Papa.
"Katakan, Ma."
"Batalkan pernikahan Papa dan Maya. Apa Papa bersedia?" pintanya membuat tenggorokanku tercekat.
Sejenak aku terdiam tidak langsung menjawab permintaannya. Ini tidaklah mungkin. Semua keperluan pernikahan sudah disiapkan. Undangan juga sudah disebar. Lantas bagaimana mungkin aku membatalkan pernikahan ini. Aku tidak mungkin bisa melakukannya. Itu sama saja aku menyakiti hati Maya.
"Tolong dijawab Pak Danang! Apa anda bersedia membatalkan pernikahan anda dengan teman saya Maya?" tegasnya membuatku sedikit tersentak.
"Tapi, Ma… itu tidaklah mungkin. Semua keperluan pernikahan sudah siap. Mama sendiri yang menyetujuinya. Ingat, Ma. Papa inginkan seorang anak. Mama jangan hanya ingin dimengerti. Tapi juga tolong mengerti Papa."
"Selama ini aku sudah cukup sabar. Dari promil, program bayi tabung dan sebagainya. Dari vitamin sampai apapun, sudah kita lakukan. Tapi nihil, Ma. Papa ingin menggendong anak Papa. Kamu tidak bisa memberikannya. Oleh sebab itu Papa juga punya hak untuk menikah lagi," tegasku meremas kedua bahunya.
"Kamu jangan egois, Ma. Banyak perempuan yang ikhlas berbagi suami jika sang istri tidak sempurna. Karena apa? Mereka sadar akan ketidaksempurnaannya. Lagipula kita bisa hidup rukun, Ma. Papa juga akan bersikap adil," ucapku panjang kali lebar. Sementara Indah hanya diam. Entah mendengarkan atau tidak.
"Tapi Papa tidak mau mengadopsi anak dari panti asuhan misalnya. Itu tidak bisa dijadikan alasan, Pa. Kita bisa angkat anak dari panti dan menyayanginya sepenuh hati. Pasti kamu akan bersedia jika benar kamu mencintaiku, Pa!" tegasnya sembari menahan air mata yang hampir terjatuh.
"Lagipula, tidak ada wanita manapun yang rela berbagi suami. Itu sangat menyakitkan. Membayangkan saja aku sakit. Ya Allah, entah aku kuat atau tidak. Kalau memang bentuk cinta kamu dengan tidak menerima kekuranganku, alangkah lebih baiknya aku tidak dicintai olehmu asal kamu bisa setia kepadaku," lirihnya tegas.
"Jika kamu sudah selesai berbicara, sekarang tolong biarkan aku yang bicara. Pertama, aku ingin seorang anak keturunanku sendiri. Aku ingin darah dagingku. Bukan anak adopsi. Aku punya hak atas keturunan. Aku harap kamu bisa mengerti. Terserah kamu mau terima atau tidak! Maaf, aku tidak bisa membatalkan pernikahan dengan Maya. Meskipun, sebesar gunung aku mencintaimu. Tolong mengerti aku. Jangan selalu aku yang mengerti kamu," ujarku.
Indah hanya terdiam sambil menganggukkan kepala. "Baik kalau itu maumu. Tapi aku minta maaf sama kamu, Mas Danang. Aku tidak sanggup jika harus dimadu. Lebih baik kamu segera ceraikan aku!" tegasnya. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah mau menceraikan Indah. Aku sangat mencintainya.
"Aku tidak mau menceraikan kamu sampai kapanpun! Apa susahnya sih menerima Maya sebagai adik madumu. Dia bakal memberi kita seorang anak dan yang terpenting anak itu darah dagingku, Sayang. Tolong mengerti itu! Dan ya, perempuan sangat berdosa jika meminta cerai."
"Apa salahku padamu hingga kau meminta untuk cerai? Aku tidak berselingkuh. Aku juga meminta izin-mu untuk menikahi Maya. Tolong jangan egois, Ma! Kamu sendiri yang saat itu mengiyakan! Kenapa setelah semua siap kamu membuat drama? Harusnya dari awal, jika memang kamu tidak mengijinkan aku!" Akhirnya suaraku mulai meninggi juga. "Dan ya, kalau aku membatalkan pernikahan ini, sama saja aku melukai hati Maya. Jadi aku minta sama kamu, mengertilah aku untuk kali ini saja," tekanku.
Sekali lagi Indah hanya mengangguk mantap. Tidak ada lagi air mata yang keluar membasahi pipinya. Bahkan dengan cepat perempuan itu mengusap sisa air mata yang masih tertinggal di sudut matanya.
"Sepertinya percuma mendebatmu, Mas! Percuma juga aku ungkapkan isi hatiku. Lagi pula kamu tetaplah pada pendirianmu untuk menikah lagi bukan? Kamu memikirkan hati Maya, tapi kamu tidak memikirkan hati aku, Mas! Apakah aku sakit? Kamu tidak peduli. Yang ada dipikiran kamu saat ini hanyalah keinginan untuk menikahi Maya!"
"Benar! Aku memang saat itu mengiyakan. Tapi karena apa, Mas? Karena kalian menekanku! Menghinaku sebagai wanita tidak sempurna. Disitu pun aku sadar, Mas. Ketidaksempurnaanku menjadi alasan kuat untukmu memaduku. Dan jawaban penting sudah kudapat hari ini. Kamu tidak lagi peduli padaku, Mas. Tidak lagi memikirkan perasaanku. Bukan aku yang egois, tapi kamu! Janjimu hanyalah tinggal janji. Mungkin kamu lupa! Atau sengaja melupakannya? Tepatnya, pura-pura lupa!''
Kemudian wanita itu kembali masuk ke kamar dan menutup pintunya. Sementara aku memutuskan untuk membaringkan diri di sofa ruang tamu. Jelas saja sambil memikirkan sikap Indah yang sangat egois itu. Apa dia inginkan kalau baiknya aku ini berselingkuh? Aku tidak mau mengawali hubungan dengan cara seperti itu. Lagi pula aku memiliki hak bukan? Poligami juga tidak dilarang dalam agama. Selama ini aku sudah cukup sabar. Aku menerima kekurangan dia tidak pernah menuntut untuk menjadi istri yang sempurna. Untung suaminya aku, kalau bukan mungkin sudah dicampakkan.
Ting … nong ….!
Terdengar suara bel berbunyi. Segera aku pun bangkit dan bergegas membuka pintu. Dengan wajah lusuh tentunya.
"Mas lama banget buka pintunya," protes wanita yang esok akan menjadi istriku itu. Ya, tamu yang datang adalah Maya.
"Aku tungguin kok nggak datang-datang sampai malam begini? Ya udah aku inisiatif datang sendiri saja mengantar pakaian Mbak Indah. Kamu kenapa sih lesu banget? Mbak Indah mana?" cerocos Maya sambil menyelonong masuk. Tak mungkin juga aku ceritakan padanya kalau penyebab wajah lesuhku karena Indah menolak pernikahan ini.
"Mas aku tanya. Mbak Indah mana? Aku mau memberikannya pakaian terbaik untuk acara pernikahan kita lusa. Pasti Mbak Indah suka banget."
"Ada di kamarnya," jawabku malas. Maya mengangangkat kedua alisnya kemudian gegas ke kamar utama kami. Kamar yang penuh kenangan namun sudah seminggu ini aku tidak pernah memasukinya.
Tok … tok ….!
"Mbak Indah! Ini Maya! Buka Mbak! Lihat apa yang ku-bawakan untuk Mbak Indah!" ucap Maya sembari terus mengetuk pintu.
"Mas! Mbak Indah tidur? Kok nggak dibuka-buka ya?!" tanya Indah saat aku menghampirinya.
"Aku nggak tahu."
"Kamu kenapa sih hari ini aneh banget? Nggak keliatan semangat. Padahal sebentar lagi kita akan menjadi pengantin," ucapnya menatapku curiga. Jika seperti itu, wajah Maya terlihat sangat menggemaskan. Aku pun membawa tubuhnya ke pelukanku.
Disaat yang bersamaan, Indah tiba-tiba saja membuka pintu kamar dan melihat kami yang sedang berpelukan. "Ada apa?" tanyanya.
Maya melepaskan tubuhnya dari pelukanku. "Ini, Mbak. Aku mengantarkan pakaian untuk Mbak pakai di hari pernikahan kami," ucap Maya penuh senyum. Aku berharap Indah membalas senyum itu supaya mereka bisa terlihat akrab. Tapi tersenyum pun Indah enggan. Tidak ada lagi bentuk keakraban yang Indah tunjukkan untuk Maya seperti pertama kali bertemu di acara kantor dulu.
"Taro saja di sana. Kalau sudah selesai, kalian boleh pergi," ucapnya kembali menutup pintu. Maya pun dengan malas meletakkan pakaian pengantin itu di depan pintu kamar karena Indah enggan untuk menerimanya.
"Sombong sekali istri kamu itu, Mas. Padahal aku sudah bersikap baik. Tapi dia seperti itu! Nggak punya pikiran banget yah? Mandul aja belagu. Apalagi sempurna? Pantas saja Tuhan tidak memberinya anak. Seperti itu kelakuannya!" grundel Maya sambil berjalan mengikutiku ke ruang tamu.
"Sabar, Sayang. Ini ujian. Nanti juga Indah pasti bisa menerima kamu. Mungkin dia masih shock dengan berita pernikahan kita yang mendadak," ujarku.
"Iya, Mas. Aku tidak peduli bagaimana sikap dia padaku nantinya. Yang terpenting buat aku adalah, kamu dan aku. Hanya saja yang aku sayangkan, seharusnya dia dengan legowo bisa menerima pernikahan kita," kesalnya sembari menjatuhkan diri di sofa.
"Sudah-sudah. Tidak usah dipikirkan. Kata kamu yang terpenting aku dan kamu? Jangan rusak moment bahagia kita," ucapku coba menenangkannya. Meskipun aku sendiri merasa tidak tenang. Apalagi Indah seperti telah enggan memanggilku menggunakan panggilan kesayangan yang biasa kami pakai.
******
Hari ini, akhirnya tiba juga hari pernikahanku dengan Maya, dan kami juga telah sah menjadi Pasangan suami istri. Keluarga besar Maya terlihat sangat bahagia. Sepertinya mereka tidak keberatan Maya menjadi yang kedua. Lagipula apa yang mereka takutkan? Aku mencintai Maya dan akan menjaganya.
Kedua bola mataku mencari sosok Indah. Sudah dua hari ini, semenjak kedatangan Maya mengantar pakaian, aku tidak pernah melihatnya. Dia sama sekali tidak mau keluar kamar. Sebelum aku pergi ke tempat Maya kemarin, padahal aku sudah memintanya untuk hadir di hari akad pernikahan kami. Supaya orang-orang tahu kalau aku menikah memang atas izin dari istri pertama. Ini malah dia sama sekali tidak datang. Untung tidak ada yang bertanya tentang dirinya.
"Mbak Indah nggak hadir, Mas? Dari tadi aku cariin dia tapi tidak menemukan sosoknya?" bisik Maya sambil menyambut uluran tangan tamu undangan yang memberi selamat.
"Mungkin sebentar lagi," ujarku. Meskipun aku tahu hari juga sudah malam.
"Biarkan saja lah Mas. Mau datang atau tidak, yang terpenting aku dan kamu sudah sah menjadi suami istri."
"Eum, Mas! Waktu kamu meminta Mbak Indah untuk datang, dia jawab apa?" tanyanya.
"Seperti biasa. Dia hanya diam saja. Tidak ada jawaban dan hanya ada keheningan. Semakin lama aku juga merasa lelah dengan sikapnya."
"Memang kamu yakin kalau Mbak Indah aman di kamarnya?"
"Maksud kamu?" Aku mulai merasa sedikit khawatir.
"Bunuh diri atau menyakiti dirinya sendiri mungkin?" ucapnya lagi membuatku sedikit termenung. Tiba-tiba saja jantungku berdegup kencang. Ingin rasanya aku segera pergi menemui Indah dan meninggalkan acara pernikahan ini.
"Mas, kamu baik-baik saja? Jangan terlalu dipikirkan ucapanku tadi, Mas. Aku hanya asal berbicara. Tidak mungkin Mbak Indah menyakiti dirinya sendiri," ujar Maya menenangkan. Namun, itu semua sama sekali tidak mampu membuatku tenang. Tetap saja fokusku mulai tertuju pada Indah. Sedang apa dia? Dan apa yang dia lakukan.
***
Malam kian larut, acara pernikahan pun selesai. Tidak ada kehadiran Indah. Sebelum meninggalkan gedung, aku meminta ijin pada mertuaku dan keluarganya untuk membawa Maya ke rumah. Dengan senang hati mereka mengizinkan. Dengan cepat aku menggandeng tangan Maya menuju mobil. Tak peduli sekalipun Maya merasa kesusahan karena gaun pengantin yang panjang.
"Pelan-pelan jalannya, Mas!" ujarnya terdengar kesal.
"Cepatlah, May. Aku takut terjadi sesuatu pada istriku," singkatku membuat Maya sejenak menghentikan langkahnya.
"Ayo, mau ikut atau tidak kamu? Aku buru-buru!" ujarku lagi. Maya terlihat kesal sambil melanjutkan langkahnya.
Sampai di mobil, aku langsung mengemudikannya dengan kecepatan tinggi. Hingga dua puluh menit kemudian, aku pun sampai di rumah besar yang hanya ditempati oleh aku dan Indah. Aku semakin panik tatkala mendapati rumah masih gelap gulita. Tidak ada satupun lampu menyala bahkan lampu halaman dan juga teras rumah. Gerbang juga tidak terkunci dan terbuka lebar. Ada apa ini?
Aku segera turun dari mobil meninggalkan Maya sendiri. Karena kalau menunggunya, pasti harus disusahkan oleh gaun pengantin yang ia kenakan.
"Mas tunggu!" teriak Maya. Aku tidak peduli dan langsung berlari ke dalam rumah. Kukeluarkan ponsel dan menyalakan senternya untuk mencari saklar lampu. Setelah lampu kuhidupkan, aku langsung mencari keberadaan Indah.
"Ma!" panggilku. Tidak ada jawaban. Segera aku pun berinisial untuk pergi ke kamarnya. Gaun pengantin pemberian Maya masih ada di depan pintu kamarnya dan masih dengan posisi yang sama. Sepertinya Indah sama sekali tidak menyentuhnya. Aku semakin panik dibuatnya.
"Ma! Ini Papa pulang. Buka pintunya!" ucapku sembari terus mengetuk pintu. Kalau Mama tidak mau membuka pintu, Papa akan dobrak Ma!" teriakku.
"Ah! Aku benar-benar seperti menikahi patung sekarang! Tidak salah kalau aku menikahi Maya, Indah Rahmawati! Ingat aku ini masih suamimu! Tolong hormati aku!" bentakku.
Brak!
Der!
Ku tendang sekeras mungkin pintu kamarnya. Hingga kakiku terasa sakit. "Sial! Diammu sungguh menyiksaku, Ma!" ucapku membatin sambil terus berusaha mendobrak pintu.
Aneh memang … kenapa Indah tidak kunjung membuka pintu. Ya Allah, semoga tidak terjadi apapun padanya….
Bersambung ….
Hari yang ditunggu telah tiba, Nadira sudah berdandan cantik, dirias oleh MUA profesional. Tak lama lagi pihak keluarga Melvin akan datang untuk melamarnya secara resmi. Jantung Nadira amaih terus berdebar-debar karena hari ini adalah momentum penentuan tanggal pernikahan mereka juga.Gebby masuk ke kamar Nadira setelah mendapat izin. Ia juga sudah berdandan cantik untuk menyambut kedatangan pihak keluarga Melvin. Semua keluarga Nadira sudah berkumpul di rumah itu."Kamu cantik banget, Nad! Pasti lagi deg-degan banget, ya?""Makasih, Geb. Iya, aku beneran deg-degan banget.""Udah, bawa rileks aja. Aku ikut bahagia, aku udah bawakan kado untuk kamu. Ini," ucao Gebby seraya menyerahkan sebuah goodie bag pada Nadira."Ya ampun, Gebby ... kamu kenapa repot-repot, sih?""Enggak, lah, Nad. Kamu kan saudaraku, kalau kamu bahagia, aku juga ikut bahagia.""Makasih, ya ... sampai kapanpun kita memang saudara, Geb. Semoga kamu juga bisa segera mendapatkan lelaki baik hati yang akan jadi suami ka
Malam itu, Gebby tidur di pangkuan Ana. Ia merasa tubuhnya begitu lelah dan lemas. Ana mengusap rambut Gebby sambil bercerita dan memberikan nasihat."Nenek senang kamu sudah mau minta maaf pada mereka, Geb. Itu artinya kamu sudah berdamai dengan masa lalu. Nenek juga yakin mamamu di alam sana tak menginginkan jika kamu terus-terusan dikuasai dendam.""Iya, Nek. Sekarang aku merasa sudah jauh lebih tenang. Lelah juga ternyata selama ini berkejaran dengan nafsuku sendiri. Hati selalu panas dikuasai kebencian," jawab Gebby."Badanmu hangat, Geb! Hari ini kamu nggak lupa untuk minum obat, kan?""Aku nggak pernah lupa untuk minum obat setiap hari, karena dulu aku selalu bertekad untuk hidup lebih lama demi bisa membalaskan dendam mengenal pada keluarga Mama Indah. Tapi rasanya semakin keras aku berjuang, semakin aku merasa tak pernah tenang. Aku lelah, Nek.""Sayang ... Dulu juga nenek pernah berada di posisi seperti kamu yang selalu merasa bahwa diri nenek adalah orang yang paling benar
Gebby merenung dalam pelukan Indah, bahkan setelah ia bertindak sejahat itu pada mereka, Indah masih saja menyebutnya sebagai anak yang baik? Ya, Gebby memang baik pada mamanya, tapi tidak pada yang lain.Rumah sudah semakin ramai dengan orang-orang yang diundang di acara takziah itu. Nadira, Rashi, mereka sibuk menata makanan di atas meja yang nantinya akan disuguhkan. Sementara itu, Indah dan Maya sibuk menata bingkisan sedekah."Lihat, Geb, mereka begitu sibuk membantu kita meskipun kita tak pernah memintanya," bisik Ana pada Gebby. Gebby mengusap matanya lagi ia mengangguk dan mengakui semua itu.Acara pun dimulai. Semua orang melantunkan ayat suci Al-Qur'an lalu berdoa dengan khusyuk. Harusnya Gebby bersyukur karena masih ada orang yang bersedia mendoakan mamanya itu. Gebby juga melihat Reyhan sesekali mengusap matanya yang basah.Setelah acara selesai dan sedekah dibagikan, Indah beserta yang lain langsung berpamitan pada Ana dan Gebby."Sudah, jangan sedih terus, kasihan nanti
Gebby berjalan gontai meninggalkan area rumah sakit. Kata-kata mamanya maafin barusan benar-benar membuat hatinya hancur. Meskipun terasa begitu menyakitkan tapi Gebby tak menyangkal semua yang dikatakan oleh mamanya Melvin itu.Selama ini dirinya memang terlalu terobsesi untuk menjadi orang yang paling mendapatkan perhatian. Gebby selalu akan melakukan segala cara untuk bisa mencapai kemauannya. Bahkan seringkali ia tak memikirkan dampak buruk yang akan terjadi akibat dari perbuatannya itu. Kata-kata sang nenek kembali terngiang di telinganya. Apa mungkin hidupnya sampai se menderita ini karena memang dirinya terlalu sulit untuk melupakan dendam itu?Gebby sampai ke rumahnya dan langsung memeluk sang nenek. Ia menangis sejadi-jadinya karena hatinya benar-benar sangat terluka kali ini. Cinta yang ingin ia raih harus kandas seketika itu juga. Melvin menolaknya, dan kini mamanya juga."Geb ... kamu tenangkan diri kamu, baru nanti cerita sama Nenek, ya!" ucap Ana sambil mengusap kepala c
Gebby, tunggu! Kamu mau kemana? Jangan nekat, Geb! Panggil Melvin untuk kesekian kalinya. Ana juga jadi kalut dan ikut mengejar cucunya itu,.ia takut Gebby akan melakukan hal nekat seperti yang dilakukan oleh Luna."Gebby!" Ana memanggil Gebby meski napasnya mulai terengah. Ia sudah tua, tenanganya sudah tak sekuat dulu, berlari sebentar saja ia sudah ngos-ngosan.Gebby sudah keluar dari gerbang portal kompleks dan terus berjalan di trotoar pinggir jalan raya. Melvin masih tak putus asa, ia mencoba terus mengejar. Genby sesekali menoleh ke belakang sambil terisak. Ia pun turun dari trotoar itu dan terlihat pasrah sembari merentangkan kedua tangannya dan berjalan perlahan ke arah tengah jalanan."Gebby! Jangan nekat kamu?" seru Melvin yang melihat Gebby senekat itu, ingin mencelakai dirinya sendiri dengan berdiri di tengah jalanan.Klakson kendaraan bermotor bersahutan dan sebagian ada yang marah karena ulah Gebby itu."Mau mati, Lu?" maki pengendara yang lewat."Gila, lu, woy?""Hey!
Gebby melamun di teras belakang rumah itu. Sudah dua hari Luna pergi mengahadap Yang Maha Kuasa. Rumah sudah mulai sepi, hanya ada Ana dan Reyhan serta mamanya Melvin di rumah itu yang masih berbincang dan ada juga beberapa anggota kepolisian di bagian depan bersama papanya Melvin.Tak ada indikasi kekerasan dalam kematian Luna, semua orang meyakini itu merupakan murni sebagai kasus bunuh diri. Ditemukan foto Indah yang tertancap pena di dalam kamar. Polisi dan dokter menduga halusinasi Luna sempat kambuh ketika malam kejadian itu.Luna selalu bersikap impulsif dan tak peduli pada keadaan sekitar, jika sosok dalam halusinasinya muncul, ia bahkan tak tahu jika posisinya sedang di atas jurang sekalipun."Geb, kamu makan dulu, Sayang," bujuk Ana pada Gebby. Sejak kemarin tampaknya Gebby sama sekali belum makan. Ana khawatir karena Gebby tak boleh sampai melewatkan jadwal minum obatnya."Nanti saja, Nek. Belum ada selera.""Jangan begitu, dong, Geb. Kamu boleh bersedih tapi kamu juga haru