"Kamu bisa bantu Nenek kan, Ilham?" Bu Saritun kini menyentuh tangan pemuda yang duduk di sebelahnya. Dengan segenap perasaan yang ada, Bu Saritun meminta agar Ilham mau menyelidiki tentang kesedihan Sumiyati yang terlihat begitu berlebihan.Ilham terdiam, ia menunduk sejenak lalu menganggukkan kepala. Setuju dengan apa yang dipinta Bu Saritun, Ilham mencoba memahami posisi wanita tua itu sebagai seorang ibu. "Baik Nek, saya akan bantu sebisa saya."Bu Saritun tersenyum puas, ia menganggukkan kepala tanpa banyak bicara lagi. Wanita tua berambut putih itu lalu melongok ke dalam, memanggil Sumiyati untuk membuatkan kopi. "Sum, Sumiyati!""Iya Bu," sahut Sumiyati dari dalam kamar, gadis itu perlahan membuka pintu kamar lalu menghampiri Bu Saritun yang duduk di luar rumah.Melihat ada Ilham, Sumiyati mencoba terlihat biasa meskipun wajahnya masih terlihat merah karena menangis. "Oh, ada Mas Ilham, sudah lama ya Mas?!""Baru saja Mbak," jawab Ilham pelan sambil tersenyum, benar saja ia bis
"Ya Allah, benarkah aku menyukainya?" Ilham membatin dalam hati, jelas terasa getaran aneh itu mengguncang dadanya saat ini.Melihat Ilham hanya tertegun di tempat, Sumiyati menautkan alis. Dirinya tidak mengerti kenapa pria itu tiba-tiba terdiam menatapnya. Menggelengkan kepala, Sumiyati lantas melambaikan tangan ke arah Ilham. "Mas, ke sini!"Ilham tersadar, sepertinya ia memang harus merapalkan surat An-Nas untuk mengusir jin yang menguasai otaknya. Pria berjaket jeans biru segera bergegas menuju ke arah Sumiyati, menunjukkan dua tiket yang berhasil dia beli. "Nih tiketnya sudah kebeli. Yuk kita naik!"Sumiyati mengangguk, ia lantas mengikuti langkah kaki Ilham untuk segera naik bianglala seperti yang mereka kehendaki sebelumnya.Malam yang penuh dengan keriuhan orang itu, mereka nikmati bersama-sama sambil menaiki bianglala. Sesekali tertawa lepas untuk menghilangkan penat dan jenuh yang melanda.Terdiam sejenak, Ilham kembali meresapi perasaannya. Perasaan yang terasa begitu nyam
"Gimana ya Mas? Saya—" Gadis itu terdiam, bingung mau menjawab apa. Sambil mengelus rambutnya yang dikuncir ekor kuda sedikit tinggi, Sumiyati nampak berpikir dengan jawaban apa yang akan ia berikan pada Ilham. "Saya sih sudah nggak mikir itu Mas.""Maksudnya Mbak?" Ilham kali ini yang merasa tidak puas, ia menatap Sumiyati, memperjelas apa yang tengah dikatakan lawan bicaranya tersebut."Ya maksudnya, saya mau cari pendamping yang bisa mencintai kekurangan saya dan juga Ibu saya Mas. Saya tahu hal itu sangat mustahil terlebih tahun ini dibuktikan dengan keempat calon suaminya saya yang gak bisa terima saya termasuk kondisi Ibu," jawab Sumiyati jauh lebih gamblang. Gadis itu mengembuskan napas panjang. "Saya memprioritaskan ibu saya dulu Mas, kasihan kalo nantinya suaminya saya syok lihat Ibu saya kayak gitu. Sakit saya bayanginnya."Ilham terdiam, turut larut dengan apa yang dikatakan Sumiyati. Memang sulit mencari pasangan hidup yang cocok dengan diri dan juga lingkungan keluarga. B
"Sum, uang itu—""Kenapa? Nggak ada ya?! Udah kamu kasih ke adik sama ibu kamu?" Sumiyati dongkol, ia lalu melirik ke arah wanita yang berdiri di belakang Susilo yang terlihat asyik makan siomay tanpa merasa bersalah sedikit pun. "Atau udah buat bayar wanita parasit ini Mas?""Eh, apa kamu bilang?" Wanita bernama Asih itu melotot, ia maju kedepan namun Susilo segera menghadangnya dengan cepat. "Enak saja kamu ngatain aku parasit!""Lha terus apa dong?" Sumiyati gantian nyolot, ia tersenyum mengejek. "Cewek yang gatel, pengen digaruk, dan hobinya cuma icip-icip calon suami orang, yang namanya gitu kalo bukan parasit apa coba?!""Heh kamu berani ya?!" Asih menyalak seperti anjing kepanasan."Sudah, sudah! Asih kamu diam!" Susilo melerai, tidak ingin hawa siang itu jadi bertambah panas karena Asih turut tersulut api kemarahan.Sumiyati tersenyum sambil mengangguk, ia butuh asupan oksigen banyak supaya tetap sadar dan tenang di hadapan Susilo. "Aku nggak mau banyak Mas, sekarang kita putu
Bu Saritun tersungkur ke tanah, kedua lututnya sedikit lecet karena tergores kasarnya tanah merah yang baru saja ia bersihkan dengan sapu lidi. Batinnya menangis, tidak sanggup membayangkan penderitaan yang diderita putrinya tahun ini.Rupanya karena masakannya yang asin, yang selalu ia suguhkan kepada para calon suami Sumiyati justru membawa bencana tersendiri bagi putrinya. Bibir wanita tua itu terkatup, bergetar dibalik tanga keriput yang menutupinya.Bu Saritun menangis, tersedu sambil tertahan. Ia tidak raungan hatinya yang bersalah didengarkan banyak orang. Beruntung rumah satu dengan rumah yang lain berjarak cukup jauh sehingga meskipun ia menangis, tidak ada satu pun tetangga yang memergokinya."Maafkan Ibu Nak, ternyata dibalik keegoisan Ibu kamu menyimpan laramu sendiri. Karena masakan Ibu yang terlalu asin kamu harus ditinggalkan pria impianmu hingga tiga kali. Ya Allah, dosa apa yang sudah hambamu perbuat ini? Apakah wanita tua renta ini sama sekali tidak boleh memasak unt
"Salah ya Bu kalo aku menyukainya?" Ilham balik bertanya, mimik wajahnya terlihat bingung dengan pertanyaan yang Bu Wiryo layangkan terhadapnya."Jadi kamu menyukainya?" Bu Wiryo langsung menukas, nada suaranya naik satu oktaf hingga Ilham bisa menafsirkan apa yang kini tengah dirasakan oleh ibunya. Wanita paruh baya dengan cepolan asal di kepalanya hanya menggeleng pelan. "Ilham, Ilham, kamu cari yang masih sendiri kenapa?! Sum itu kan sudah ada calon. Jangan sampai nama baik kita hancur gara-gara kamu jadi pebinor ya?!""Aduh Bu, siapa juga yang jadi pebinor. Mbak Sum itu ke Semarang mau urusin resign dia dari PT. Setelah itu dia mau ambil uangnya yang disimpan sama calon suaminya itu. Ups! Ilham buru-buru menutup mulut, wajahnya langsung memerah. "Ibu sih, Ilham jadi keceplosan kan?! Pokoknya Mbak Sum itu wanita baik-baik Bu, dia meskipun udah perawan tua tapi Ilham tahu Mbak Sum orangnya gak neko-neko kayak Nela."Ilham lantas menyambar gelas berisi air putih di hadapannya, menegu
"Itu karena saya—" Ilham tertahan, ia menelan ludahnya yang terasa seperti duri. Jantungnya berdebar kencang ketika gadis di sebelahnya menanyakan kenapa ia selama ini selalu berbaik hati kepadanya.Hanya saja Ilham, apakah ia pantas mengatakannya sekarang? Bagaimana dengan perasaan gadis itu? Bagaimana dengan hubungannya dengan calon suaminya? Ah, semua masih terlalu abu-abu untuk Ilham memulai segalnya."Ternyata gantungan gaji saya lumayan juga loh Mas," ucap Sumiyati lagi. Gadis itu melupakan pertanyaannya, beralih topik pada pekerjaan yang selama ini Sumiyati geluti.Napas Ilham terasa lega, ia menarik napas dalam-dalam lalu tersenyum tipis. Sebaiknya ia simpan dulu perasaannya hingga semua sudah ada titik jelasnya. "Oh ya Mbak? Bagus dong. UMR Semarang memang udah besar.""Iya, ada rencana saya mau buka warung kecil-kecilan di rumah Mas tapi warung apanya?" Sumiyati nampak berpikir, ia menatap jalanan yang gelap menyusuri kecamatan kecil menuju ke tempat kelahirannya."Warung ap
"Kenapa Sum harus jauhin Ilham Bu? Apa yang salah?" Alis Sumiyati menaut, tidak mengerti kenapa ibunya tiba-tiba melarangnya untuk berteman dengan Ilham. "Apa karena dia anaknya Bu Wiryo, wanita yang udah nyakitin hati Ibu?!"Bu Saritun menggeleng pelan, ia enggan menatap wajah putrinya karena ia sadar akan luluh dengan tatapan bola matanya. "Ilham itu anak baru di desa ini Sum, dia baru pulang ke kampung beberapa bulan yang lalu. Entah ada masalah apa hingga akhirnya ia meninggalkan sementara usaha mebelnya di Jakarta. Nduk, mereka keluarga berada, lah kita ini apa?! Kita cuma orang miskin yang jangankan nabung, untuk makan hari ini aja sulit. Apa kata orang Nduk."Lagi-lagi Sumiyati harus menelan kesedihannya seorang diri. Jika tidak ada sesuatu yang menyinggung hati ibunya maka mungkin wanita yang bergelar ibunya ini sampai melarang Sumiyati untuk berteman dengan Ilham."Sum, sadar diri adalah tameng terbaik untuk diri kita sendiri, Nduk. Jangan terlalu berani, jangan yang kita lal