"Mas, aku ingin pulang kampung hari ini. Ibuku jatuh dan dibawa ke rumah sakit," ucap Sumiyati lirih pada Susilo Via telepon siang itu.
Susilo mendengkus. "Apalagi sih ibu kamu tuh?! Ada-ada aja. Seneng banget kayaknya habisin tabungan anaknya.""Mas, hati-hati kalo ngomong. Dia itu ibuku Mas," ucap Sumiyati tak berkenan ketika Susilo mulai mencela ibunya."Iya tahu dia ibu kamu, ibu yang suka repotin anaknya." Susilo menimpali, ia terdengar begitu kesal saat mendengar ibu Sumiyati jatuh dan dibawa ke rumah sakit. "Kalo kamu mau pulang, pulang aja. Aku nggak ikut.""Tapi Mas aku nggak ada ongkos pulang. Uang gajiku udah aku titipin ke kamu Mas, ehm... Apa boleh aku minta uangnya buat biaya balik kampung Mas?" Sumiyati meminta dengan hati-hati."Enggak, enggak bisa. Duit gaji itu kan ditabung sama-sama buat biaya pernikahan kita. Aku nggak bisa kasih duit kamu sekarang, kalo duitnya diambil lagi lalu kapan kita bisa nikahannya? Mikir dong Sum, mikir! Sudahlah, aku mau kerja. Pinjem temenmu dulu, siapa suruh kamu mau pulang kampung!" Susilo mengumpat, ia lalu mematikan panggilan dengan kasar.Hati Sumiyati tercabik-cabik, ia tidak memiliki uang sepeser pun untuk pulang. Uang gajinya telah ditabung di rekening Mas Susilo, mustahil baginya untuk meminta. Sementara untuk pinjam ke teman, mana ada hati Sumiyati untuk melakukannya. Ia telah banyak meminjam ke teman terlebih saat ini pas tanggal tua sudah pasti banyak yang tidak akan memberinya pinjaman.Menatap ponsel android yang ia punya, Sumiyati memiliki niat untuk menghubungi Ilham kembali. Ia ingin mengabarkan pada pemuda itu bahwasanya ia tidak bisa pulang untuk saat-saat ini."Hallo, assalamualaikum Mbak Sum. Bagaimana? Hari ini jadi pulang?" Ilham terdengar sangat ramah di dalam panggilan telepon.Sumiyati terdiam sejenak, ia menelan ludahnya dengan susah payah. "Wa'alaikum salam, Maaf Mas Ilham, kayaknya saya tidak bisa pulang untuk saat-saat ini. Saya titip ibu saya ya, nanti setelah gajian saya janji akan bayar biaya rumah sakitnya sama Mas.""Loh kenapa Mbak? Saat ini Bu Saritun membutuhkan Mbak Sum."Sumiyati tertunduk, ia terdiam lagi sambil menelan ludah. "Saya tidak ada biaya pulang kampung Mas. Jadi saya titip ibu saya ya?!"Ilham terdiam, tak ada ucapan yang muncul dalam percakapan itu. Sumiyati sadar bahwa mungkin Ilham keberatan dengan apa yang ia inginkan, ia lantas buru-buru meralat ucapannya. "Saya janji kok Mas bakal bayar biaya rumah sakitnya sama Mas. Tolongin saya Mas, saya tidak bisa menunggui ibu saat ini.""Mbak, bagaimana jika saya kirimi Mbak ongkos pulang? Demi Bu Saritun juga Mbak, sebaiknya Mbak pulang dan menemui beliau.""Tapi dengan apa saya bayarnya Mas? Ongkosnya mahal kalo pulang ke kampung.""Nanti saya jemput Mbak di terminal ya, soap bayar nanti kita bahas lagi klo Mbak sudah pulang. Sekarang tolong kirimi saya nomer rekening Mbak Sum yang aktif, saya kirim uangnya segera ya." Ilham berkata dengan sabar dan tenang, membuat Sumiyati penasaran dengan lelaki baik tersebut."Mas, beneran ini?""Iya Mbak beneran. Saya tunggu kiriman nomer rekeningnya ya Mbak, assalamualaikum.""Wa'alaikum salam," balas Sumiyati lalu menutup panggilan telepon. Air mata Sumiyati perlahan merembes keluar, ia terharu dengan kebaikan pria tersebut.Menatap ponsel jadulnya, Sumiyati bersyukur dalam hati. Tuhan telah berbaik hati mempertemukan dia dengan sosok pria baik hati dalam hidupnya. Dibandingkan Susilo, pria ini jauh lebih unggul dalam hal sifat dan sikap.Sumiyati menghapus airmatanya dengan bahagia. "Terima kasih ya Allah, terima kasih untuk karunia ini. Aku tidak akan melupakan kebaikan pria itu dan berencana akan membalasnya lain waktu. Ya Allah, berikan dia kebaikan dan rejeki yang lancar. Aamiin."**"Apa? Kamu ingin menolongnya?" Bu Wiryo nampak terheran-heran dengan kebaikan hati putra sulungnya tersebut. "Ilham,Ilham ... Jangan baik-baik sama orang nanti kamu ditipu."Ilham tersenyum tipis, menatap beberapa orang yang lewat lalu lalang di rumah sakit. "Nggak ada yang salah Bu dengan menolong orang yang kesusahan. Lagipula Mbak Sum janji akan bayar kok.""Iya Ibu tahu, tapi saat ini kamu kan sedang nganggur dan nggak kerja. Hemat sedikit-lah, Ham." Bu Wiryo memperingatkan, ia geleng-geleng kepala dengan tingkah anak sulungnya yang begitu baik hati dan welas asih."Nggak papa Bu, nanti juga dikembalikan sama Allah berkali-kali lipat." Ilham tetap mencoba berpikir positif, ia menatap ponselnya sekali lagi ketika ada W******p dari Sumiyati yang menyatakan rasa terima kasihnya akibat ditolong."Lagipula Sumiyati itu kok aneh sekali ya, kerja tahunan tapi gak ada uang. Memangnya dikemanain uang kerjanya selama ini?!" Bu Wiryo berkomentar, kembali julid dengan kehidupan Sumiyati.Ilham tersenyum, menggeleng kepala dengan ucapan ibunya. "Bu, jangan benci-benci banget sama Mbak Sum, ntar kalo dia jadi menantunya Ibu gimana coba?!""Heh? Apa Ham? Amit-amit Ham, amit-amit. Memangnya kamu mau sama perawan tua? Mau Ham? Mau?"Ilham terkekeh, ia tertawa lucu. "Kalo jodoh masak ditolak sih Bu. Itu namanya kurang bersyukur. Lagipula Ilham kan gak tahu jodoh Ilham siapa. Siapa tahu emang Mbak Sum jodohnya.""Heh? Amit-amit Ham. Amit-amit."*****"Ya kalo sudah jodoh, mau gimana lagi Bu?! Mau perawan tua, mau perawan ting-ting, semua sama aja di mata Allah." Ilham menjawab lugas, ia terlihat tenang setenang air lautan. Menatap ponselnya sekali lagi, Ilham mengecek baterai ponsel yang tinggal tiga puluh persen."Ya kalo bisa cari yang ting-ting, yang kinyis-kinyis. Kamu tuh ya, masih perjaka, ganteng. Masa iya mau sama perawan tua, miskin lagi. Enggak deh Ham, coba pikirkan lagi niatnya. Kamu pasti mleyot gara-gara belum sarapan tadi." Bu Wiryo berceramah, sesekali menepuk lutut putranya dengan nada bicara yang menggebu-gebu."Buat apa Bu yang ting-ting, yang muda, kalo akhirnya juga kagak bener," timpal Ilham lantas memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket jeans yang ia pakai."Maksud kamu Nela? Udah dong jangan pikirin Nela lagi. Dia memang gadis gak bener, udah dipinang eh malah hamidun sama cowok lain. Bener-bener nggak bener itu bocah," ucap Bu Wiryo sambil menggelengkan kepala dan berdecap."Dia pilihan ibu kan waktu i
Sumiyati hanya diam, wajahnya terlihat murung ketika pemuda yang baru saja ia kenal itu menanyakan tentang calon suaminya yang tidak ikut pulang bersamanya. Gadis itu mengenakan kembali masker duckbill yang ia pakai, kekecewaan yang tergambar di wajahnya tersamarkan ketika ia mengenakan kembali masker tersebut."Ah, pasti calon suami Mbak sibuk ya?! Dia pasti punya pekerjaan mapan sehingga tidak bisa pulang ke kampung sama Mbak. Wah beruntung sekali punya calon imam seperti itu," ucap Ilham meneruskan ucapannya ketika tahu Sumiyati tak bisa menjawab apa yang menjadi pertanyaannya. "Ayo Mbak, itu mobil saya yang warnanya hitam."Ilham tersenyum, ia menunjuk pada mobil sedan mulus warna hitam yang terparkir rapi di luar terminal. Sekali lagi Sumiyati merasa rendah sekaligus takjub, pemuda yang sangat ramah itu bahkan memiliki kendaraan pribadi yang cukup bagus untuk ditumpangi."Itu-itu mobilnya Mas?" Sumiyati bergumam lirih, merasa ragu untuk mengikuti langkah Ilham."Iya Mbak, kenapa
Sesampainya Sumiyati di rumah sakit, wajah gadis itu nampak menegang. Keadaan ibunya yang tak kunjung siuman menjadi beban tersendiri untuknya.Setelah memakai seragam berwarna biru untuk menjenguk ibunya yang masih dirawat di ICU, air mata Sumiyati sama sekali tidak bisa terbendung melihat kondisi Bu Saritun yang pucat dan terbujur tak sadarkan diri di atas ranjang putih."Assalamualaikum Bu, Sumiyati pulang. Ibu bangun ya, bukankah Ibu kangen banget sama Si Sum?" bisik Sumiyati di telinga kiri ibunya. Gadis itu menghapus air mata yang merembes di sudut mata kirinya. Kesedihan yang ia rasa akibat melihat ibunya seperti itu sama sekali tidak bisa dibendung.Hingga sang dokter jaga datang, meminta untuk Sumiyati keluar dan berjaga di luar sana. Sumiyati menarik napas, menerima perintah dokter meskipun ada berat yang terasa.Berjalan keluar dari ruangan Bu Saritun, Sumiyati harus menghadapi Bu Wiryo—ibu kandung dari Ilham Suntoro."Terima kasih ya Bu sudah bantu Ibu saya pergi ke rumah
Malam itu menjadi malam yang panjang bagi Sumiyati untuk merenung. Semua cerita yang disampaikan Bu Wiryo begitu jelas dan masih terngiang di kedua telinganya.Sumiyati tidak mampu terpejam, cerita yang diberikan Bu Wiryo benar-benar menguras energinya saat ini. Gadis itu menelan ludah, tidak terpikirkan bagaimana penderitaan ibunya kala itu. Rasa sakit yang menimpanya hingga kehilangan salah satu saraf yang berakibat fatal.Sekarang, setelah tahu semuanya, apakah Sumiyati berani untuk meninggalkan ibunya barang sejenak?! Gadis itu menarik napas, ia merasa gelisah luar biasa. Kata dokter yang ia temui beberapa jam yang lalu, kemungkinan untuk Bu Saritun sembuh hanya beberapa persen saja. Beliau memiliki luka dalam yang seseorang tidak pernah tahu betapa sakitnya penderitaan itu.Andai saja Allah memberi Sumiyati kesempatan maka Sumiyati akan menggunakan kesempatan itu sebaik mungkin. Ia tidak akan mengumpat ibunya lagi walau dalam hati, ia bahkan ikhlas lahir batin jika diminta untuk
Sumiyati melangkah cepat memasuki ruang ICU, mengabaikan perasaannya yang buruk terhadap telepon Susilo yang baru saja memporak-porandakan perasaannya. Tersenyum manis pada wanita tua yang telah mensgndungnya tersebut, Sumiyati menggenggam tangan Bu Saritun dengan penuh cinta."Assalamualaikum Bu, selamat pagi." Sumiyati menyapa ibunya di pagi yang cerah dan mulai panas tersebut. Sebuah senyuman ia haturkan pada sang ibunda yang lambat laun baru disadarinya telah berkorban banyak dalam hidupnya.Wanita tua dengan kepala dibalut perban itu tersenyum lemah, perlahan tangannya yang ringkih menyentuh pipi Sumiyati dengan lembut. "Wa'alaikum salam, Nduk. Selamat pagi."Keduanya terdiam seribu bahasa, hanya saling menatap satu sama lain seolah tidak ingin terpisahkan oleh jarak dan juga waktu.Menarik napas panjang, Sumiyati duduk di kursi yang sudah disediakan di dalam ruangan itu lalu menatap ibunya lekat-lekat. "Maafin Sum ya Bu, Sum bahkan tidak memiliki perhatian lebih untuk Ibu. Bahka
"Mas Ilham—" Sumiyati tertegun saat sosok berperawakan kurus tinggi dengan wajah tampan itu menyodorkan sebuah tisu ke arahnya. Dengan senyuman manis yang terlukis di bibirnya, Ilham mencoba memahami apa yang tengah terjadi pada diri Sumiyati saat ini. "Ambil tisu ini, hapus air mata yang sudah jatuh ke pipi. Saya tidak tahu kesedihan apa yang membuat kamu menangis, hanya saja saya peduli dan ikut bersedih saat melihat kamu menangis."Sumiyati menatap tisu berbungkus plastik warna pink tersebut dengan tatapan ragu, tisu dengan harga seribuan itu perlahan ia ambil dari tangan Ilham. "Terima kasih Mas."Gadis itu menunduk, mencabut tisu dari bungkus plastik lalu mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan lembut.Ilham menarik napas, ia duduk di sebelah Sumiyati dengan gusar. "Kamu lapar tidak? Sembari menunggu Bu Saritun pindah kamar, bagaimana jika kita jajan bubur ayam di depan rumah sakit? Aku dengar bubur ayam di pojok rumah sakit rasanya nikmat dan juga murah."Sumiyati meng
"Mau pinjam uang Bu?" Susilo mengulangi apa yang baru saja ia dengar dari ibunya. Rasanya ia menyesal karena telah mengangkat panggilan ibunya yang selalu saja terkait dengan uang."Iya, pinjam uang. Kamu ada 'kan? Kalo misal kagak ada coba deh kamu minta bantuan sama Sum. Demi adik iparnya, Ibu yakin kok Sum pasti mau. Dia kan baik hati, Sus.""Empat juta mana ada Bu?! Ibu tahu sendiri 'kan kalo aku sama Sum kerja mati-matian untuk biaya nikah kami akhir tahun ini." Susilo memberi pengertian, sedikit keberatan jika wanita yang sudah melahirkannya itu meminjam duit sebegitu besarnya."Kan masih akhir tahun, masih ada waktu tiga bulan lagi buat kembaliin duitnya. Lagipula duit segitu pasti kecil-lah buat Sumiyati, dia kan kerja di pabrik obat, gajinya besar setiap bulan. Harusnya Sum itu kasih duit sama Ibu jadi Ibu nggak perlu lagi minjam-minjam sama dia kayak orang lain."Susilo terdiam, ia terpaku sesaat dan bingung harus menjawab apa pada perkataan ibunya. Haruskah ia meminjami wan
"Apa Sum? Menunda pernikahan?" Susilo melebarkan bola matanya. Pria berusia dua puluh tujuh tahun itu mengatupkan bibir dan berwajah masam. "Kamu tidak bisa memutuskan dengan sepihak seperti itu Sum, kita sudah berjuang selama ini. Hanya karena ibumu sakit kamu rela menunda pernikahan kita? Hmm.... Aku sungguh tidak percaya.""Kalau begitu kirimkan saja uangnya Mas, nyawa ibuku jauh lebih penting dari apa pun." Sumiyati bersikeras, kali ini ia tidak ingin kalah dari Susilo. Ya, setiap kali Sumiyati meminta uangnya untuk hal-hal mendesak pasti Susilo tidak pernah memberinya. Tentu saja Sumiyati harus berhutang pada teman-temannya hingga akhirnya ia dijuluki si ratu hutang."Tapi Sum, uang itu—uang itu tidak ada," jawab Susilo mulai merendah. Ada nada bingung yang mampu ditangkap oleh Sumiyati sekarang. "Kalo kamu minta empat juta aku belum bisa kasih sekarang Sum.""Kenapa Mas? Uangnya tidak ada, tidak ada gimana maksudnya?" Sumiyati tercengang, jantungnya seolah dipukul palu besar. Ia