Share

Bab 5. Firasat Ibu Selalu Benar

"Mas, aku ingin pulang kampung hari ini. Ibuku jatuh dan dibawa ke rumah sakit," ucap Sumiyati lirih pada Susilo Via telepon siang itu.

Susilo mendengkus. "Apalagi sih ibu kamu tuh?! Ada-ada aja. Seneng banget kayaknya habisin tabungan anaknya."

"Mas, hati-hati kalo ngomong. Dia itu ibuku Mas," ucap Sumiyati tak berkenan ketika Susilo mulai mencela ibunya.

"Iya tahu dia ibu kamu, ibu yang suka repotin anaknya." Susilo menimpali, ia terdengar begitu kesal saat mendengar ibu Sumiyati jatuh dan dibawa ke rumah sakit. "Kalo kamu mau pulang, pulang aja. Aku nggak ikut."

"Tapi Mas aku nggak ada ongkos pulang. Uang gajiku udah aku titipin ke kamu Mas, ehm... Apa boleh aku minta uangnya buat biaya balik kampung Mas?" Sumiyati meminta dengan hati-hati.

"Enggak, enggak bisa. Duit gaji itu kan ditabung sama-sama buat biaya pernikahan kita. Aku nggak bisa kasih duit kamu sekarang, kalo duitnya diambil lagi lalu kapan kita bisa nikahannya? Mikir dong Sum, mikir! Sudahlah, aku mau kerja. Pinjem temenmu dulu, siapa suruh kamu mau pulang kampung!" Susilo mengumpat, ia lalu mematikan panggilan dengan kasar.

Hati Sumiyati tercabik-cabik, ia tidak memiliki uang sepeser pun untuk pulang. Uang gajinya telah ditabung di rekening Mas Susilo, mustahil baginya untuk meminta. Sementara untuk pinjam ke teman, mana ada hati Sumiyati untuk melakukannya. Ia telah banyak meminjam ke teman terlebih saat ini pas tanggal tua sudah pasti banyak yang tidak akan memberinya pinjaman.

Menatap ponsel android yang ia punya, Sumiyati memiliki niat untuk menghubungi Ilham kembali. Ia ingin mengabarkan pada pemuda itu bahwasanya ia tidak bisa pulang untuk saat-saat ini.

"Hallo, assalamualaikum Mbak Sum. Bagaimana? Hari ini jadi pulang?" Ilham terdengar sangat ramah di dalam panggilan telepon.

Sumiyati terdiam sejenak, ia menelan ludahnya dengan susah payah. "Wa'alaikum salam, Maaf Mas Ilham, kayaknya saya tidak bisa pulang untuk saat-saat ini. Saya titip ibu saya ya, nanti setelah gajian saya janji akan bayar biaya rumah sakitnya sama Mas."

"Loh kenapa Mbak? Saat ini Bu Saritun membutuhkan Mbak Sum."

Sumiyati tertunduk, ia terdiam lagi sambil menelan ludah. "Saya tidak ada biaya pulang kampung Mas. Jadi saya titip ibu saya ya?!"

Ilham terdiam, tak ada ucapan yang muncul dalam percakapan itu. Sumiyati sadar bahwa mungkin Ilham keberatan dengan apa yang ia inginkan, ia lantas buru-buru meralat ucapannya. "Saya janji kok Mas bakal bayar biaya rumah sakitnya sama Mas. Tolongin saya Mas, saya tidak bisa menunggui ibu saat ini."

"Mbak, bagaimana jika saya kirimi Mbak ongkos pulang? Demi Bu Saritun juga Mbak, sebaiknya Mbak pulang dan menemui beliau."

"Tapi dengan apa saya bayarnya Mas? Ongkosnya mahal kalo pulang ke kampung."

"Nanti saya jemput Mbak di terminal ya, soap bayar nanti kita bahas lagi klo Mbak sudah pulang. Sekarang tolong kirimi saya nomer rekening Mbak Sum yang aktif, saya kirim uangnya segera ya." Ilham berkata dengan sabar dan tenang, membuat Sumiyati penasaran dengan lelaki baik tersebut.

"Mas, beneran ini?"

"Iya Mbak beneran. Saya tunggu kiriman nomer rekeningnya ya Mbak, assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam," balas Sumiyati lalu menutup panggilan telepon. Air mata Sumiyati perlahan merembes keluar, ia terharu dengan kebaikan pria tersebut.

Menatap ponsel jadulnya, Sumiyati bersyukur dalam hati. Tuhan telah berbaik hati mempertemukan dia dengan sosok pria baik hati dalam hidupnya. Dibandingkan Susilo, pria ini jauh lebih unggul dalam hal sifat dan sikap.

Sumiyati menghapus airmatanya dengan bahagia. "Terima kasih ya Allah, terima kasih untuk karunia ini. Aku tidak akan melupakan kebaikan pria itu dan berencana akan membalasnya lain waktu. Ya Allah, berikan dia kebaikan dan rejeki yang lancar. Aamiin."

**

"Apa? Kamu ingin menolongnya?" Bu Wiryo nampak terheran-heran dengan kebaikan hati putra sulungnya tersebut. "Ilham,Ilham ... Jangan baik-baik sama orang nanti kamu ditipu."

Ilham tersenyum tipis, menatap beberapa orang yang lewat lalu lalang di rumah sakit. "Nggak ada yang salah Bu dengan menolong orang yang kesusahan. Lagipula Mbak Sum janji akan bayar kok."

"Iya Ibu tahu, tapi saat ini kamu kan sedang nganggur dan nggak kerja. Hemat sedikit-lah, Ham." Bu Wiryo memperingatkan, ia geleng-geleng kepala dengan tingkah anak sulungnya yang begitu baik hati dan welas asih.

"Nggak papa Bu, nanti juga dikembalikan sama Allah berkali-kali lipat." Ilham tetap mencoba berpikir positif, ia menatap ponselnya sekali lagi ketika ada W******p dari Sumiyati yang menyatakan rasa terima kasihnya akibat ditolong.

"Lagipula Sumiyati itu kok aneh sekali ya, kerja tahunan tapi gak ada uang. Memangnya dikemanain uang kerjanya selama ini?!" Bu Wiryo berkomentar, kembali julid dengan kehidupan Sumiyati.

Ilham tersenyum, menggeleng kepala dengan ucapan ibunya. "Bu, jangan benci-benci banget sama Mbak Sum, ntar kalo dia jadi menantunya Ibu gimana coba?!"

"Heh? Apa Ham? Amit-amit Ham, amit-amit. Memangnya kamu mau sama perawan tua? Mau Ham? Mau?"

Ilham terkekeh, ia tertawa lucu. "Kalo jodoh masak ditolak sih Bu. Itu namanya kurang bersyukur. Lagipula Ilham kan gak tahu jodoh Ilham siapa. Siapa tahu emang Mbak Sum jodohnya."

"Heh? Amit-amit Ham. Amit-amit."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status