Liceo dan Damian tersentak mendengarnya. Damian hanya tertunduk, sedangkan Liceo menatap Lareina dengan sangat lekat. Damian yang sangat paham dengan karakter sang bos, merasa khawatir. Karena jika Liceo sudah tersulut emosi maka dia tidak akan memandang siapapun lawan bicaranya.
Perasaan Damian sudah ketar-ketir, apalagi melihat mata Liceo yang sudah memerah dan bahkan berkaca-kaca, sementara Lareina sengaja membalas tatapan Liceo, dia terlihat begitu menantangnya.“Mengapa kau menatapku seperti itu? Apakah kau ingin marah? Kau tidak terima dengan ucapanku? Aku tidak peduli! Karena apa yang aku katakan itu semuanya benar dan kenyataan, bahwa kau dan temanmu itu penjahat kelamin!” Lareina berteriak di depan wajah Liceo.Liceo memejamkan mata. Tangannya sudah terlihat mengepal hingga urat-uratnya nampak. Damian yang melihat itu semakin khawatir. Dia mendekati sang bos. Namun, seketika langkahnya terhenti karena Liceo memberinya kode untuk berhenti.“Nona, aku tidak ingin berdebat ataupun bertengkar denganmu. Jika kau ingin marah padaku, nanti kau bisa melanjutkannya, tapi untuk saat ini … lebih baik kita ke rumahmu.” Liceo menatap Lareina.“Aku tidak sudi jika penjahat kelamin sepertimu mendatangi rumahku! Lebih baik kau pergilah, aku bisa pulang sendiri!”Lareina langsung membalikkan badan dan meninggalkan Liceo serta Damian. Namun, Liceo segera berinisiatif untuk kembali mengejar Lareina, dan dia memerintahkan Damian untuk mengikutinya menggunakan mobil.Hari yang sudah semakin beranjak malam, semakin gelap. Suasana di hutan yang dipenuhi pohon-pohon besar serta rumput-rumput liar itu, semakin membuat suasana mencekam.Lareina yang sudah terbiasa berjalan di semak belukar itu, tidak mengalami kesulitan ketika sedang berjalan. Berbeda halnya dengan Liceo yang terlihat kesulitan.“Nona, aku mohon, ayo, naik mobil bersamaku. A-aku kesulitan berjalan.” Liceo memegang tangan Lareina.Seketika gadis itu menepis tangan Liceo. “Apa peduliku, hah?! Aku tidak memintamu untuk mengikutiku.”“Tapi Nona, ini semua demi ibumu.”Lareina mendadak berhenti sehingga dada Liceo membentur punggungnya. Lareina nampak sedang berpikir dan mencerna ucapan Liceo.‘Ibu? Aku sedari tadi hanya sibuk dengan diriku sendiri. Aku bahkan melupakan tentang ibuku yang sedang sakit dan sedang menungguku. Hari sudah beranjak malam, apa yang harus aku lakukan?’ Lareina membatin.“Nona, mari masuklah.” Liceo membuka pintu mobil.Damian yang mengikuti mereka sudah berada di belakang. Dia mempersilakan sang bos dan sang gadis untuk masuk. Akhirnya, Lareina mengalah. Dia pun masuk karena ingin segera sampai di rumah.Dirinya duduk di kursi belakang, sedangkan Liceo duduk di sampingnya. Damian pun bergegas melajukan mobil secara perlahan mengikuti jalan setapak.Lareina duduk dengan gelisah. Wajahnya melihat ke arah luar. Pikirannya sudah tidak karuan memikirkan sang ibu. Air mata kembali mengalir. Sesekali tangannya terlihat sedang menyusut air mata. Dan semua itu tak luput dari perhatian Liceo.Perasaan Liceo semakin bergemuruh melihatnya. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Lareina mau diantarkan olehnya saja, itu sudah sesuatu yang sangat berharga untuknya.Hingga tanpa terasa, mobil yang mereka tumpangi telah memasuki sebuah desa terpencil. Terlihat rumah-rumah penduduk yang hanya sedikit. Jarak rumah mereka pun agak berjauhan.Penerangan pun sangat minim. Walaupun sudah ada listrik, tapi itu hanya di rumah-rumah saja, sementara di jalan tidak tersedia lampu untuk penerangan.“Nona, di mana rumahmu? Kita telah sampai.”Suara Liceo mengagetkan Lareina yang tengah melamun. Gadis itu seperti linglung. Dia menatap sekitarnya, lalu matanya tertuju pada sekelompok orang yang memenuhi sebuah rumah.Lareina pun bergegas keluar dan berlari ke arah mereka. Kedatangannya mencuri perhatian orang-orang. Perasaan Lareina semakin tak menentu melihat tatapan mereka.“Reina, akhirnya kau pulang, Nak. Dari mana saja kau seharian ini? Ibumu —”Seorang wanita paruh baya berbicara seraya mendekati Lareina.“Ibuku? Ada apa dengan ibuku?” Lareina bertanya dengan berlinangan air mata.Tanpa mendengar jawaban, dia pun langsung berlari ke dalam rumah. Dia mendesak kerumunan banyak orang yang kini tengah memenuhi rumahnya yang kecil dan sempit itu. Lareina langsung memeluk tubuh sang ibu yang sudah terbujur kaku.“Ibuuu … Ibuuu … bangun, Bu. Tolong bangun, jangan tinggalkan Reina, Bu. Jika Ibu pergi, aku dengan siapa? Ayah sudah meninggalkanku sejak aku kecil, dan yang aku miliki hanya dirimu.”“Ibu, tolong maafkan aku. Karena aku terlambat membawakan obat untukmu. A-aku sudah membeli obat itu, tapi —”Lareina tidak meneruskan ucapannya. Dia kembali teringat dengan Liceo yang sudah menghancurkan hidupnya. Seketika matanya mengedari orang-orang di sekitarnya.Hingga akhirnya, matanya tertuju pada sosok tinggi besar yang berdiri tak jauh darinya. Seketika emosi kembali memenuhi jiwanya. Lareina bangkit dan berlari ke arah Liceo.“Ini semua gara-gara kau! Kau yang telah menyebabkan ibuku tiada. Dasar laki-laki biadab, bajingan, iblis. Aku sangat membencimu. Aku sangat membencimu.” Lareina memukul-mukul dada Liceo.Lareina menangis dengan pilu. Dia tak berhenti berteriak hingga suaranya parau. Liceo hanya diam, dia menerima semua kemarahan Lareina. Dia tidak bermaksud untuk menghentikan tindakan sang gadis.“Kau pembunuh! Kau yang telah membunuh ibuku! Aku sangat membencimu! Aku membencimu. Aku memben —”Bruk!Tubuh Lareina terjatuh. Dengan sigap Liceo menahannya. Dia memeluk tubuh sang gadis yang tak sadarkan diri, sementara Damian terlihat sedang berbincang dengan orang-orang di tempat tersebut.Lalu, mereka pun langsung mengikuti instruksi dari Damian. Damian terlihat sibuk mengatur semuanya, sementara Liceo tampak sedang membopong tubuh Lareina yang masih tak sadarkan diri.Seorang ibu menghampirinya. “Tuan, tolong bawa Reina ke kamarnya. Biarkan dia istirahat di sana. Ayo, ibu antar.”Liceo mengangguk. Dia mengikuti langkah ibu tersebut. Sesampainya di kamar sederhana milik Lareina, dia pun segera merebahkan tubuh sang gadis.Wajah Lareina terlihat semakin memucat. Hati Liceo mencelos melihatnya. Perlahan dia duduk di pinggir ranjang. Tangannya terangkat dan menyentuh wajah cantik Lareina.“Tolong maafkan aku. Aku berjanji akan bertanggung jawab dengan semua ini. Aku benar-benar menyesal. A-aku tidak tahu jika semuanya akan seperti ini.” Liceo berbicara seraya mengelus-elus kepala Lareina.“Reina, aku menerima jika kau sangat membenciku. Aku memang bersalah. Aku jahat, aku iblis, aku bajingan. Semua yang kau katakan itu benar, tapi tolong izinkan aku mempertanggung jawabkan semua ini.”Liceo terlihat menyusut air matanya. Dia benar-benar sangat menyesali perbuatan terkutuknya itu. Tiba-tiba ingatannya tertuju pada Sherina—sang mantan istri. Liceo mengepalkan tangan.‘Sherin, ini semua akibat ulahmu yang mengatakan aku impoten. Kau menceraikanku di malam pertama kita hanya karena keputusanmu yang sepihak itu.’‘Semua ini tidak akan terjadi jika kau tidak mengatakan itu padaku. Aku sampai menodai Lareina karena ingin membuktikan ucapanmu itu. Aku sampai menyebabkan ibunya meninggal. Sherin, aku tidak akan pernah memaafkanmu!’Achilleo seketika terdiam mendengar ucapan sang putra. Dia menatap wajah Liceo yang kini sudah memerah.Liceo sudah beranjak dan ingin pergi meninggalkan ruangan kerja sang daddy. Namun, langkahnya terhenti ketika tangan Achilleo menyentuh pundaknya.“Ceo, tunggu! Daddy mengerti dengan semua maksud dari ucapanmu itu, tapi daddy tidak bisa berbuat apa-apa, Nak. Karena semua keputusan ada di tangan mommy-mu.” Achilleo menatap sang putra.Liceo menghela napas dengan berat. Dia membalas tatapan sang daddy. “Dad, maafkan aku. Untuk kali ini saja, tolong Daddy dan Mommy jangan ikut campur urusan pribadiku, aku mohon.”“Dulu aku tidak ingin menikah dengan Sherina, tetapi demi menghormati kalian sebagai orang tuaku, aku rela mengorbankan kebahagiaanku, tapi apa yang terjadi?”“Setelah aku mengorbankan masa lajangku untuk menikahi Sherin, tetapi belum genap 24 jam usia pernikahan kami, dia menceraikanku dengan alasan aku impoten.”Liceo menundukkan wajah. Matanya memerah dan berkaca-kaca. Pera
Pagi itu, Liceo terlihat sedang berjalan tergesa-gesa menuju ruang meeting di kantor Domani Company. Di sana sudah banyak para klien yang duduk sambil memperhatikan pemilik Domani Company, yang sedang fokus melakukan presentasi.Ketika Liceo masuk ruangan, mata Achilleo Domani—sang daddy, menatapnya dengan tajam. Dari raut wajahnya terlihat menyimpan kemarahan. Namun, dia tetap meneruskan acara presentasi tersebut.Sementara Liceo, kini dia sudah duduk berbaur dengan para klien. Dia nampak termenung. Pikirannya terus tertuju pada Lareina, gadis yang akhir-akhir ini sudah mengusik pikirannya.Dia teringat ketika tadi malam sang oma menemukannya bersama Lareina yang sedang berada di atas pohon mangga. Masimma sangat marah besar terhadapnya, hingga dia dihukum tidur di atas pohon mangga semalaman, sedangkan Lareina dibawa masuk olehnya.Tentu saja Liceo tidak bisa tidur semalam suntuk. Nyamuk dan serangga selalu menggigitnya. Hingga seluruh kulitnya merah dan bentol-bentol. Ketika pagi p
Lareina terlonjak kaget hingga dia melompat dari ranjang dan jatuh ke lantai. Liceo yang melihatnya ikut melompat turun.“Reina, kau tidak apa-apa?” Liceo mengulurkan tangan.Sementara Lareina menatap nyalang. Dia menepis tangan Liceo, lalu bangkit. “Dasar laki-laki mesum, penjahat kelamin! Kau sengaja kan mencari kesempatan dalam kesempitan?!”“Reina, aku —”“Kau sengaja ingin menggagahiku lagi di saat aku sedang tidur. Begitu? Kau benar-benar brengsek. Aku benar-benar sangat membencimu dan tak akan pernah memaafkanmu!”Setelah mengatakan itu, Lareina berbalik badan dan berlari keluar. Dia berlari menuruni tangga dengan cepat. Kediaman Domani yang sangat luas itu, membuatnya kesulitan mencari pintu keluar.Liceo pun tak kalah cepat mengejarnya. Matanya tertuju pada sosok Lareina yang kini sedang berdiri di belakang rumah. Tempat itu adalah tanah kosong, tapi di bagian belakangnya merupakan perkebunan buah-buahan.Mata Lareina memperhatikan keadaan sekitarnya. ‘Bagaimana caranya aku b
Semenjak Lareina dibawa ke kediaman Domani dan menempati kamar pribadi milik Liceo, lelaki tersebut mengalah dan memilih menempati kamar kosong di sebelah kamarnya.Masimma malam itu menghampiri sang cucu yang tengah melamun di balkon kamar. Dia merasa iba dan tak tega melihat cucu kesayangannya tersebut yang selalu murung dan banyak melamun.Liceo merupakan anak yang ceria dan periang. Namun, semenjak masalah yang dihadapinya dengan Lareina, membuatnya berubah. Perasaan berdosa dan bersalah selalu menghantuinya. Ucapan demi ucapan yang Lareina lontarkan padanya siang tadi, terus terngiang-ngiang di telinganya. Liceo memejamkan mata dan menghirup oksigen dengan kasar.‘Aku benar-benar iblis. Semua yang Reina katakan itu memang benar, aku menyadari dan menerimanya. Aku pemerkosa, aku pembunuh. Yaa … itu memang benar adanya.’‘Akan tetapi, aku benar-benar menyesali perbuatanku itu. Aku ingin mempertanggungjawabkannya. Namun, Reina sangat membenciku. Dia tidak sudi untuk kunikahi.”‘Lal
“Oma, aku —”“Uuhh, sshhh ….”Ketika Liceo akan memberi jawaban pada sang oma, tiba-tiba Lareina siuman. Gadis tersebut duduk sambil memegangi kepalanya yang berdenyut nyeri. Wajah dan bibirnya terlihat pucat pasi.“Reina, kau sudah bangun. Minum dulu.” Liceo dengan sigap memberikan segelas air putih.Lareina tidak menerimanya, dia hanya diam sambil menunduk. Masimma melihat pemandangan tersebut sambil menggeleng-gelengkan kepala.“Ceo, lebih baik kau keluar, biar oma saja yang yang mengurusnya.” Masimma mengambil alih gelas tersebut.Dia memberikan air minum itu ke mulut Lareina. Gadis itu perlahan membuka mulutnya dan meminum air tersebut hingga tandas. Dia benar-benar merasakan dahaga.Masimma tersenyum melihatnya, sedangkan Liceo terlongong-longong. Dia tak habis pikir, mengapa di saat dirinya yang memberikan air minum itu, Lareina menolaknya? Tetapi ketika sang oma yang memberikannya, gadis itu langsung mau.Karena Liceo tidak ingin semuanya bertambah kacau, akhirnya dia bergegas
Malam itu di kediaman Domani family, di ruang makan yang sangat luas dan megah, terlihat Lareina sedang makan malam bersama Masimma.Setelah dengan susah payah Masimma merayu Lareina agar mau makan bersama, akhirnya gadis itu memaksakan diri untuk menerimanya. Karena dia merasa tak tega pada wanita tua tersebut.“Reina, ayo, Nak, makanlah yang banyak. Kau belum makan sejak kemarin.” Masimma menaruh berbagai menu makanan di piring Lareina.“Cukup, Oma. Ini makanannya terlalu banyak. Aku tidak terbiasa makan banyak.” Lareina menolak dengan halus.Masimma memandang wajah gadis malang itu. “Memangnya mengapa kau tidak terbiasa makan banyak?”“Karena aku —”Belum selesai Lareina menjawab pertanyaan Masimma, tiba-tiba matanya bersirobok dengan mata elang milik Liceo, yang baru saja masuk ke dalam rumah.Lareina meletakkan sendok dan garpu yang sedang dipegang. Lalu, ia bangkit dan hendak beranjak meninggalkan meja makan. Masimma mengernyitkan dahi melihat perubahan sikap Lareina. Hingga mat