Hana menggeleng. Dia benar-benar takut dan tidak mau ikut dengan Math.“Sayang, dengarkan aku, maafkan aku, Kemarilah, eum!” Hana malah semakin menjauh. Kalau dia tetap bertahan disisi Math, dia takut mati dipukuli.Taksi berhenti didepan mereka. Lilian baru saja membuka pintu, Hana sudah janjian bertemu Lilian di restoran memang untuk makan siang. Tanpa ragu Hana mendorong masuk lagi Lilian ke dalam taksi.“Agh … ada apa? Hah?” Lilian melihat wajah Hana pucat dan gemetar. Dia langsung menoleh ke belakang. Dilihatnya Math langsung masuk ke mobil bersama Radon mengejar taksi tersebut. Begitupun dengan Zian yang ikut mengejar dengan mobil-mobil mereka.“Cepat kejar dan hentikan taksinya. Kita harus mendapatkannya!” cetus Zian, dia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk mendapatkan Hana.“Lebih cepat, Radon, jangan sampai istriku kabur dan di rebut si Zian brengsek itu!” Radon langsung menjalankan kemudi dengan cepat.Mereka seperti dalam arena mobil balap. Satu taksi dikejar beberapa m
Math menoleh, wajah Hana langsung pucat. Dia masih terisak, “Aku nggak berbohong,” Hana menoleh dan mencari tasnya. Dia mengeluarkan ponsel dan memberikan pada Math, “kau bisa cek sendiri!” Hana sudah pasrah, dia berharap kalau Math mempercayainya.“Telepon saja, aku benar-benar gak berbohong, Matty!” Hana sudah mau menangis histeris. Matanya berkaca—kaca.Math membuka akun pesan Hana, terlihat di akun pesan itu hanya ada 4 pesan dari 4 orang. Pertama, dengan tulisan Matty Sayang. Kedua, Lilian. Ketiga, Radon dan keempat, ganti rugi nama yang disimpan oleh Hana. Dia tidak menuruti permintaan Frank waktu itu untuk menyimpan namanya.Karena bagi Hana, dia memang harus ganti rugi. Math menekan tombol pemanggil orang tentu saja ponsel yang dituju langsung berbunyi. Tepat suaranya berbunyi di hadapan Math. Hana memang tidak berbohong. Suara itu berada dalam panggilan Frank. “Aku, aku sudah mengganti uangnya kan? Apa masih kurang?” Hana berkata terbata, dia malah lebih takut kalau Math mar
“Ini makan siangnya, sekali lagi terima kasih banyak kamu sudah menolong dan mohon maaf. Selamat tinggal!” kata Hana menyerahkan satu paperbag yang berisi makanan dan minuman.Frank bengong. Dia kehabisan kata-kata. Hana menarik tangannya dan memberikan paperbag tadi. Dia mengkrejapkan mata saat Hana menghentikan taksi lalu benar-benar pergi begitu saja.“Dia, dia benar-benar pergi? Wanita itu menolakku lagi?” Frank gelagapan sendiri, merogoh saku dan segera memanggil Bob lewat telepon agar segera datang padanya.“Cepat ikuti taksi itu. Bisa-bisanya dia meninggalkanku begitu saja! Mau kemana dia sampai mengabaikanku!” dengus Frank terlihat kecut, tapi matanya menyipit pada taksi yang terus melaju dan berhenti di salah satu restoran.“Apa ini? Dia bisa makan di restoran semewah ini, tapi tidak mengajakku makan siang disini malah dia memberikan ini!” dengus Frank yang keluar sambil menenteng paperbag yang diberikan oleh Hana tadi.“Kalau ada tidak mau, biar saya yang memakannya, Tuan!”
“Hohoho, rupanya kucing rakus ini berani juga! Aku tidak menyangka akan mendengar dia marah—marah seperti ini. Dia, sangat menggemaskan!” kini hati Frank yang blingsatan, dia tersenyum puas saat mendengar nada penekanan tadi.Bima melangkah maju lagi dan ingin menarik lagi tangannya, tapi kin Frank yang menghalang, “Kau sebaiknya gak usah ikut campur. Ini urusanku dan istriku,” Bima malah terpancing emosi saat melihat seorang laki-laki membela mantan istrinya. Dia masih yakin, Hana tidak mungkin secepat itu menikah apalagi melupakan dia.“Mas, sudah cukup. Aku bilang. Kamu ngerti ga sih? Aku sudah bercerai denganmu. Aku sudah melepaskan kamu bersama Zhifa, seharusnya kamu puas. Bukannya itu yang selalu kamu inginkan,” Hana mendorong tubuh Frank, dia maju menghadapi Bima.Perkataan maupun sikap sudah tidak mungkin mundur lagi, Hana tidak mungkin berubah pikiran lagi.“Siapa dia? Dia bukan laki-laki yang sama dengan yang waktu itu. Kamu sedang berbohong kan? Kamu hanya mau menghindar d
Hana menepis tangannya dan tetap ingin pergi, “Hana, Hana, tunggu dulu. Aku hanya ingin berbicara denganmu,” katanya terus mengikuti Hana.Hana merasa tidak nyaman. Dia tidak ingin lagi berurusan lagi dengannya.“Kamu sedang apa? Apa yang mau kamu beli? Aku bisa menemanimu, katakan saja,” katanya lagi, sekarang dia sudah berada di hadapan Hana. Terus mengekor kemanapun Hana melangkah.Hana menatapnya, dia benar-benar tidak menyangka akan ada hari seperti ini akhirnya. Dia tidak menyangka orang yang selalu bersikap dingin dan mengabaikan kini lebih dulu mengambil inisiatif berbicara dengannya lebih dulu.“Apa aku gak salah dengar? Mas Bima, apa ini masih mas Bima yang selalu bersikap acuh padaku. Kenapa sekarang dia berubah? Aku lebih suka mas Bima yang dulu seandainya kita bertemu lagi. Aku jadi gak merasa terbebani seperti ini,” batin Hana sedang bergejolak, dia tidak mengerti dengan sikap Bima.Sebelumnya dia dengan percaya diri meminta cerai, sekarang malah bersikap seperti itu.
“Sayang, aku berangkat duluan ya!” Hana menggigit satu roti dan bersiap beranjak dari duduknya.“Kita pulang nanti sore!” ucap Math sambil memegangi tangan Hana.Hana menoleh Lilian, dia sebenarnya enggan berpisah, tapi saat ini statusnya sudah menjadi istri orang. Tidak mungkin juga terus berada di apartemen Lilian.“Apa gak bisa untuk sementara waktu aku tinggal disini dulu!” Hana sedang memohon permintaan.“Aku tidak akan melarang kebebasan. Dia, kalau memang mau, bisa ikut dengan kita,” tatapannya tetap dingin pada Lilian, tapi bukan berarti dia membenci Lilian.“Tapi, barang-barangku repot untuk dipindahkan,” Hana sedang mencari alasan untuk menolak.“Tinggalkan saja disini. Semua barangmu sudah aku siapkan!” jelas sudah tidak ada alasan lagi Hana menolak.Lilian mengangguk, “Tapi, Lilian akan kerepotan kalau ikut kesana tanpa barang-barangnya,” sepertinya Hana masih belum menyerah untuk memastikan, dia dan temannya akan terjamin.“Cih, itu bukan urusanku. Dia pasti akan ada yang