Share

2. Bab 2

Penulis: Siti Aisyah
last update Terakhir Diperbarui: 2022-04-27 20:20:04

DIKIRA MISKIN 2

"Dik, aku baru saja dapat kabar kalau ibu sakit dan ibu meminta agar kita mau tinggal bersamanya, mau, kan?" kata Mas Yudi  usai sarapan.

"Kenapa harus kita, kan, ada Mbak Ranti dan juga Mbak Wiwid?" tanyaku mengerutkan dahi.

Kuhentikan aktifitas  yang sedang memotong wortel untuk membuat sup. 

"Ibu maunya aku yang mengurusnya karena aku anak lelaki satu-satunya, mau, ya tinggal di kampung ibu? Soalnya rumah itu milikku, milik kamu juga." Mas Yudi mengusap bahuku.

"Iya, Mas, aku manut saja, kemana pun kamu pergi, aku ikut," ucapku yang membuat Mas Yudi tersenyum lega.

"Terima kasih, ya, Dek, kamu memang istri yang baik," 

"Tapi, bagaimana dengan restoran kita kalau kita tinggal di kampung, nggak mungkin kita akan bolak-balik ke sini, secara dari kampung ke sini, kan lumayan jauh," ucapku.

"Kalau masalah itu nggak usah khawatir, ada Alvin yang akan menghandle semuanya, mungkin aku akan ke sini berapa hari sekali," jawab Mas Yudi.

Jadilah sesuai kesepakatan, kami pindah ke kampung halaman Mas Yudi, sebuah kampung yang terletak di pegunungan.

_________________

"Beli ikan sama nuget ayam ya, Pak!" kataku pada tukang sayur yang tengah berhenti di depan rumah.

"Baik, Bu," jawabnya seraya memasukkan barang yang kubeli.

Pedagang sayur itu begitu cekatan melayani pembeli meski usianya sudah tidak muda lagi. 

"Maaf, Pak, apa boleh kalau saya beli nagetnya setengah saja, soalnya kalau semuanya kebanyakan, yang suka cuma anak saya," pintaku pada tukang sayur itu.

"Maaf, Bu, nggak bisa, nanti yang setengahnya nggak laku. Kalau memang nggak habis kan nanti bisa disimpan di dalam freezer biar bisa buat besok," kata sang tukang sayur menolak.

Ibu-ibu yang sedang berbelanja kini berbisik-bisik satu sama lain. 

"Masalahnya Bu Antika ini tidak punya kulkas, jadi, tidak bisa nyetok makanan," ujar seseibu sinis.

"Kalau di rumah nggak punya kulkas, kan bisa nitip ke tempat Bu Wiwid, dia kan Kakaknya," timpal salah seorang ibu yang memakai baju berwarna merah.

"Eh, ya nggak bisa gitu, enak saja nitip-nitip segala, emang rumah saya ini tempat penitipan barang apa?" jawab Mbak Wiwid-- kakak iparku.

Ia memandangku dengan tatapan tajam dan melotot seolah bola mata berwarna hitam itu hendak lompat dari tempatnya. 

"Nggak usah, saya nggak akan nitip kok," ujarku tersenyum.

"Makanya besok beli sendiri, Mbak, percuma merantau lama di kota pulang nggak bawa apa-apa," timpal yang lain.

Ya Allah, hanya gara-gara aku tidak punya kulkas , mereka lantas mengira kalau aku belum sukses di kota.

Entah kenapa Mas Yudi tidak pernah menceritakan pada Kakak-kakaknya kalau kini kami punya restoran yang sudah maju pesat, bahkan sudah membuka cabang di beberapa tempat.

Seminggu yang lalu kami memang hanya membawa perabotan yang sedikit saat datang,  kulkas sengaja kami tinggal karena kami pikir tinggal di pegunungan tidak terlalu butuh lemari pendingin. Mau makan sayur tinggal petik, lauk setiap hari ada yang jual, lagi pula, bahan makanan tetap enak kalau fresh alias langsung di masak bukan yang disimpan dalam kulkas. Menurutku, kulkas hanya diperuntukkan bagi orang yang biasa belanja bulanan atau mingguan jadi bisa buat nyetok makanan. Lagipula cuaca dingin membuat tidak enak kalau minum air dingin, enaknya minuman hangat. Aku juga kemarin melihat kulkas milik Mbak Wiwid yang kosong melompong tidak ada isinya, hanya ada tiga butir telur dan dua buah sosis.

"Makanya besok beli kulkas, biar bisa menyimpan makanan beku kaya gini?" Mbak Wiwid menunjuk naget yang akhirnya kubeli semua.

"Iya, Mbak," 

"Besok, suruh Yudi cari kerja biar nggak melamun aja di rumah," kata Mbak Wiwid usai belanja di tukang sayur dan kami beriringan pulang. Rumahnya hanya selisih tiga rumah dari rumah ibu mertua.

"Iya, Mbak," jawabku tersenyum. 

Saudara Mas Yudi tidak pernah tahu kalau sebenarnya kami sudah sukses di kota. Sejak dulu mereka memang selalu menghina kami karena hanya Mas Yudi yang tidak bekerja menjadi pegawai. Ya, Mbak Wiwid punya suami yang bekerja sebagai pegawai administrasi di kantor kecamatan, sedangkan suami Mbak Ranti bekerja sebagai guru negeri di sebuah Sekolah Menengah Pertama. 

Dua bulan setelah menikah, kami memutuskan untuk merantau di kota karena di sini kami selalu dihina dan disudutkan karena Mas Yudi tidak bekerja dengan seragam rapi seperti mereka. Kami hanya pulang saat lebaran, itu pun tidak pernah lama karena restoran yang kami rintis berkembang pesat.

Air mata ini kembali menetes jika teringat perlakuan buruk saudara Mas Yudi dahulu. Mereka selalu membanggakan para suami mereka yang bekerja dengan pakaian rapi, tidak seperti Mas Yudi yang harus bekerja menjadi tukang bakso keliling. Namun, alhamdulillah setelah bertahun-tahun, kini roda kehidupan sudah berputar, kami sudah sukses, meski tidak menjadi pegawai negeri.

_____________

Telingaku mendengar suara ribut-ribut  di luar, sepertinya dari rumah Mbak Wiwid. Suara itu semakin keras sehingga memaksaku untuk keluar melihat apa yang sedang terjadi.

"Ada apa ini, Mbak?" Sebuah pertanyaan kulontarkan saat sudah sampai di depan rumah Mbak Wiwid.

"Mereka ini rentenir yang mau menagih utang," jawab Mbak Wiwid menunduk.

Wajah Mbak Wiwid yang biasanya garang, kini berubah seperti kerupuk yang disiram air. Melempem, bahkan ia tidak sanggup mengangkat wajahnya. 

"Memangnya Mbak Wiwid punya hutang buat apa? Bukankah gaji Mas Ajun sangat besar?" tanyaku lagi.

"Aku punya hutang untuk membeli kulkas dan mesin cuci, Tik, tolong pinjami aku uang untuk membayar hutang pada rentenir itu, kalau tidak, kulkas, mesin cuci serta barang berharga yang lain akan disita oleh rentenir itu," ucap Mbak Wiwid dengan bibir bergetar.

"Nggak salah Mbak Wiwid minta pinjaman ke aku, bukankah Mbak selalu bilang kalau aku ini hanya ibu rumah tangga biasa yang punya suami pengangguran? Yang bahkan untuk makan saja susah," kataku merendah. Mas Yudi selalu bilang untuk tidak menceritakan pada siapapun tentang kesuksesan kami di kota termasuk pada kakak-kakaknya sendiri.

"Ayolah,  Tik, bantu Mbak, siapa tahu kamu punya simpanan." Mbak Wiwid yang biasanya ketus saat berbicara denganku mendadak lembut kali ini.

Sikap seseorang bisa berubah dalam sekejap karena uang, biasanya kakak iparku ini selalu ketus jika berbicara denganku, bahkan terkadang tidak mau menyapa atau menjawab jika yang lebih dulu menyapanya. 

Itulah manusia, jika kita tidak punya uang, maka semua orang seolah pergi menjauh, tetapi jika kita punya uang sedikit saja, mereka akan datang tanpa diminta. Uang ibarat gula dan manusia adalah semut, ada gula ada semut. 

"Memangnya utang Mbak berapa?" Akhirnya keluar juga kata-kata itu dari mulutku. 

    

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Casperr Primbon
mantap broo
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • DIKIRA MISKIN   87. Bab 87

    DIKIRA MISKIN 87Kami hanya terdiam mendengar permintaan sang keponakan yang sudah beranjak remaja itu. Rifki masih saja menggoyangkan lengan Mas Yudi dan berharap agar ia mau menuruti permintaannya mengizinkan papanya ikut tinggal dengan kami.Tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan yang cukup keras dari arah belakang. Kami menoleh serempak."Hebat, kamu, Mas?" kata Elvira dengan masih bertepuk tangan dan berjalan mengitari Mas Ajun."Pak Atmaja?" Mas Ajun pucat pasi saat melihat kedatangan mantan istri dan mertuanya serta Mas Fikar."Pintar sekali kamu mengarang cerita dan memutar balikkan fakta. Kamu layak untuk menjadi aktor yang pandai berakting dan bersandiwara di depan kamera, ck ck ck," ucap Elvira tersenyum sinis."Ada apa ini? Kenapa kalian datang ke sini beramai-ramai?" tanya Mbak Ranti."Kami mendengar kabar kalau Wiwid meninggal. Ya, meski aku benci dengannya, tapi bagaimanapun juga ia adalah calon dari bagian keluarga kami. Saat Mas Fikar menikah dengan Mbak Ranti, otoma

  • DIKIRA MISKIN   86. Bab 86

    DIKIRA MISKIN 86Aku terpaku di samping jenazah Mbak Wiwid. Lidahku terasa kelu, tidak mampu berkata lagi.Masih teringat dengan jelas saat Mbak Wiwid bilang kalau saat kami datang menjenguknya, ia sudah tidak bernyawa. Sekarang ucapannya itu menjadi nyata. Apakah ini yang disebut dengan ucapan adalah do'a?Semoga Mbak Wiwid sudah bertaubat saat meninggal. Meski banyak harapan yang belum terwujud.Aku ngeri saat melihat wajah Mbak Wiwid yang sudah pucat karena memang nyawa sudah lepas dari raganya. Itu artinya darahnya sudah berhenti mengalir, jantung sudah tidak berdetak dan organ tubuh sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya."Wiwid. Kenapa kamu pergi secepat ini? Mbak sayang kamu, Wid," seru Mbak Ranti sambil memeluk Mbak Ranti yang matanya sudah tertutup rapat."Sabar, Mbak. Ikhlaskan kepergian Mbak Wiwid." Aku mengusap pundak Mbak Ranti dengan lembut.Kami kembali terdiam, larut dakam pikiran masing-masing. Bagaimana dengan ibu? Ibu pasti shock jika mengetahui kenyataan ini, p

  • DIKIRA MISKIN   85. Bab 85

    DIKIRA MISKIN 85"Bagaimana, Yud? Apakah kamu berhasil menemui Ajun dan mengancamnya?" tanya Mbak Ranti. Mas Yudi baru saja pulang dari menjalankan misi yang diminta wanita yang akan segera menikah itu."Tidak," jawab Mas Yudi. Tanganya meraih gelas di hadapannya dan segera meminum habis minuman yang tersaji di meja."Maksudmu tidak, apa?" tanya Mbak Ranti dengan dahi mengernyit."Aku tidak berhasil menemui Ajun karena ternyata dia sudah pisah dengan Elvira," kata Mas Yudi."Apa?" "Tadi aku ke rumah Elvira. Awalnya dia marah-marah padaku, dia bilang aku tidak becus menjaga kakak sehingga Mbak Wiwid berbuat nekat. Pusing aku, Mbak Wiwid yang berbuat, aku harus ikut menanggung akibat." Mas Yudi mengusap pelipisnya. Aku segera duduk di sampingnya dan memberikan sentuhan hangat."Terus Ajun sekarang tinggal di mana?" tanya Mbak Ranti. "Mana aku tahu, Mbak. Intinya Mbak tidak perlu khawatir, jika menikah dengan Fikar, Ajun tidak akan ada di sana. Keluarganya tidak akan tahu kalau Mbak Ra

  • DIKIRA MISKIN   84. Bab 84

    DIKIRA MISKIN 84"Pokoknya aku tidak mau punya kakak ipar dari keluarga Atmaja." Mbak Wiwid masih saja cemberut, sementara Mbak Ranti sudah pergi membawa rasa jengkel."Aku sudah merestui hubungan mereka. Orangtuanya juga sudah datang melamar dan kita tinggal menentukan tanggal untuk melangsungkan acara pernikahan," ucap Ibu."Aku akan menggagalkan pernikahan mereka. Bagaimanapun caranya." Tangan kurus Mbak Wiwid mengepal."Bagaimana caranya, Mbak, kan ada di sini? Sakit lagi," tanya Mas Yudi."Aku akan mati dan arwahku akan gentayangan, kemudian mengganggu Mbak Ranti dan Mas Fikar sehingga mereka tidak akan bisa hidup tenang dan pernikahan pun gagal. Aku yang sudah berada di alam lain akan tertawa saat melihat Mbak Ranti menangis karena gagal nikah dengan lelaki kaya." Mbak Wiwid tersenyum puas. Ia pasti sedang membayangkan kalau menjadi arwah penasaran itu menyenangkan. "Suatu pemikiran yang konyol. Memangnya ada arwah penasaran? Mbak Wiwid ini korban film horror kayaknya. Tidak ad

  • DIKIRA MISKIN   83. Bab 83

    DIKIRA MISKIN 83Kami saling berpandangan saat Mbak Ranti bilang nama calon suaminya sama dengan yang dibilang Mbak Wiwid. Apa mungkin hanya namanya saja yang sama? Atau memang yang mereka maksud itu orang yang sama? Kenapa bisa kebetulan banget begitu?"Kamu kenal dengan lelaki yang bernama Zulfikar Atmaja?" Bukan hanya aku yang penasaran, Mas Yudi juga."Kalau Zulfikar Atmaja, aku kenal, tapi entah dia yang kumaksud atau orang lain. Mungkin hanya namanya yang sama, kan?" Mbak Wiwid tersenyum."Ya, mungkin hanya namanya yang kebetulan sama. Dia seorang manager di sebuah perusahaan bonafit. Dia sering datang ke resto-ku," jelas Mas Yudi. Pernyataannya menjawab rasa penasaranku."Oh." Mbak Siwid hanya ber 'oh' ria dan tidak bertanya lagi."Kamu yakin tidak mau kusewakan pengacara agar masa tahanan kamu bisa berkurang, Mbak?" tanya Mas Yudi mengalihkan pembicaraan."Iya, aku mau di sini sampai masa tahananku habis sambil memperbaiki diri. Lagi pula aku juga tidak mau utangku semakin me

  • DIKIRA MISKIN   82. Bab 82

    DIKIRA MISKIN 82Rifki histeris melihat kondisi mamanya, pun dengan kami. Apalagi Ibu, ia bahkan sampai gemetar melihat anak yang selama ini ia manja dan ia rindukan sedang mengalami masa kritis.Ibu terus melantunkan istigfar. Tangannya mengusap lengan Mbak Wiwid."Ya Allah, sembuhkanlah anakku, berilah ia kesempatan untuk memperbaiki diri. Kami sudah memaafkan kesalahannya," ucap Ibu tulus.Mata Mbak Wiwid yang awalnya melotot dan seperti menahan sakit, tiba-tiba terpejam dan tubuhnya mendadak lemas setelah beberapa saat sebelumnya terlihat kaku."Kenapa dengan anak saya, Dok? Dia akan baik-baik saja, kan?" Ibu panik."Tenang, Bu. Pasien hanya pingsan," jawab Dokter Rudy."Dokter tidak bohong, kan? Anak saya tidak mati, kan?" tanya Ibu lagi seraya memeluk Mbak Wiwid yang mata kini sudah terpejam. Aku melihat ada seukir senyum di bibirnya.Mbak Wiwid masih hidup, terlihat dengan jelas dadanya masih naik turun. Saat tanganku mendekat di lubang hidung, masih ada embusan napas di sana.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status