Lampu merah menyala dengan terang di persimpangan jalan sana. Jika ia memilih untuk lurus saja, maka ia tengah menuju kantor, tetapi jika ia memilih belok ke kanan, maka ia menuju jalan pulang ke rumah.
Tangannya menggenggam stir mobil dengan kuat dengan berkali-kali mengembuskan napas berat. Ia bingung antara pulang ke rumah atau langsung ke kantor saja. Mobil akhirnya berhenti di lampu merah dan Angkasa pun memutuskan untuk langsung ke kantor saja. Sore nanti baru ia pulang ke rumah untuk bertemu dengan Rumi.
Angkasa yang memiliki dua ponsel, hanya menyalakan satu ponsel khusus urusan kantor, sedangkan untuk urusan keluarga, ponselnya ia matikan. Itu pertanda sampai saat ini ia belum membuka pesan dari Rumi.
Rumi merasa kepalanya sedikit pusing karena tidak tidur semalaman. Ia berbaring malas di depan TV sambil menunggu suaminya pulang. Suara pagar digeser dan seru mobil masuk ke pekarangan rumah, membuat Bik Susi yang tengah menyapu ruang tamu, menoleh
_Dewasa-21 plus minusDilamar 18 Rumi memberanikan diri mengangkat wajahnya sambil mengerutkan dahi. “Maksud, Abang?” Angkasa menatap Rumi dan mencoba membuka suaranya kembali, tapi akhirnya ia hanya tersenyum sedikit, lalu membuang muka. “Lupakan saja.” Angkasa bangun dari duduknya lalu menekan intercom. “Citra, buatkan jus jambu biji untuk istri saya. Tanpa gula.” Angkasa berpesan pada sekretarisnya untuk membawakan jus kesukaan Rumi, tetapi pria itu terus menatap istrinya. Matanya seolah-olah berbicara bahwa dirinya sudah banyak tahu tentang istrinya itu.
Rumi dengan cepat memakai kembali pakaiannya yang berserakan di lantai. Wajahnya pucat bak kapas dengan keringat sebesar biji jagung memenuhi dahi dan juga lehernya. Ia gugup bukan kepalang. Rasanya sama persis seperti seorang istri yang tengah ketahuan berselingkuh oleh suaminya."Kita bisa lanjutkan di rumah. Sekarang biar saya bukakan pintu untuk Bari dulu. Kamu jangan ketakutan seperti itu, karena kamu bukan tengah berselingkuh dengan orang lain," bisik Angkasa sembari mengusap pucuk kepala Rumi.Wanita itu itu hanya bisa mengangguk kaku, lalu mencoba mengatur napas agar rasa gugupnya segera hilang. Ia melirik takut-takut ketika Angkasa dengan ekspresi santai saja memutar anak kunci sebanyak dua kali, lalu membuka pintu lebar."Ada apa, Ri? Masuklah!" tanya Angkasa sambil mempersilakan Bari untuk masuk. Pemuda itu celingak-celinguk mencari keberadaan Rumi saat kedua kakinya menapak tegas di atas karpet ruangan Angkasa. Saat ia menemukan Rumi tengah dud
_Dewasa_"Sayang, aku kira kamu tidak akan datang," seru Bari yang baru saja sampai. Lelaki itu menarik kursi tepat di samping Rumi. Hanya Tuhan yang tahu betapa ia sangat merindukan wanitanya dan berkali-kali menyesali permintaan konyolnya waktu itu.Rumi hanya menanggapi perkataan Bari dengan senyuman tipis dan kaku. Baru kali ini ia benar-benar tidak nyaman berduaan saja dengan Bari. Seolah ini adalah dosa besar yang telah ia lakukan di belakang suaminya."Kamu sudah pesan makanan?" tanya Bari berbasa-basi sambil membolak-balik buku menu yang ada di depannya."Sudah, tapi hanya untukku," jawab Rumi pendek."Aku tidak begitu tahu keadaan perutmu saat ini, jadi aku hanya memesan makanan untukku," terangnya lagi sambil membetulkan posisi duduknya."Aku sudah makan, tetapi akan menjadi lapar kembali saat melihat kekasih hatiku yang semakin hari semakin cantik," puji Bari sambil mengusap pucuk kepala Rumi. Wanita itu me
Angkasa merasa hatinya mengembang karena bahagia, pikirannya melayang atas kekagumannya, dan fakta yang tidak dapat diganggu gugat, bahwa semua perasaan luar biasa sore ini disebabkan oleh seorang Rumi.Sebuah kesempurnaan rasa yang diberikan Tuhan lewat kecerobohan seorang Bari. Yah, Angkasa amat bersyukur atas perbuatan anaknya yang terlalu nekat untuk menghancurkan rumah tangganya.Pria dewasa itu tak hentinya bersyukur karena Tuhan menjaga Rumi untuknya dan menuntun dirinya berada di tempat yang hampir sama dengan Rumi. Angkasa merasa yakin dalam hatinya, bahwa Rumi memang Tuhan takdirkan untuknya.Sebuah kepuasan yang belum lama mereka lalui bersama, membuat Rumi kelelahan dan tertidur, namun Angkasa masih terus memandangi wajah istrinya dengan senang hati dan sesekali tersenyum. Angkasa mengusap rambutnya yang panjang dan sedikit berombak, menikmati napasnya yang hangat dan lembut, walau sedikit tercium aroma ikan te
Tiara menyentuh pipinya yang terasa panas. Tidak ada air mata kesedihan yang ada hanyalah sebuah kekesalan dan amarah yang menumpuk menjadi satu. Bari berjalan ke arah pintu, membuka pintu itu dengan lebar."Keluar! Gue bilang keluar!" bentaknya dengan amarah yang sama besarnya. Tiara berjalan menuju pintu, lalu berhenti tepat di depan lelaki itu; mantan calon adik iparnya."Harusnya otak kamu dipakai dengan benar. Semua ini terjadi karena kamu, bukan karena saya. Saya juga tidak mau hamil anak dari lelaki baji*gan seperti kamu, tapi saya juga gak mungkin menggugurkannya. Heh, syukurlah, Rumi selamat. Kamu memang tidak pantas mendapatkan cinta dari perempuan manapun!" Tiara berlalu keluar dari kamar Baru, lalu berjalan menuju lift.Brak!Bari membanting pintu dengan kasar."Sial! Sial! Kenapa harus dia yang hamil anakku Tuhan? Kenapa bukan Rumi?!"Bugh!Bugh!
Tiara sudah berada di dalam bus menuju Bali. Titisan air hujan yang membasahi jendela membuatnya tidak bisa menatap dengan jelas pemandangan di luar sana. Air turun dengan sangat deras dan pendingin bus yang ditumpanginya membuat seluruh tubuhnya menggigil.Tiara mengaitkan kembali risleting jaketnya, berusaha mengusir dingin yang menusuk tulangnya. Telapak tangannya ia letakkan di atas perut yang di dalamnya sudah ada janin yang berusia tiga bulan.Bayi yang ada karena kesalahannya dan juga seorang lelaki yang bernama Bari. Tidak seharusnya ia terpedaya dan tunduk pada lelaki yang sudah menjadi pacar adiknya itu. Perasaan yang semakin ia usir, maka semakin kuat.Malam itu, selepas salat magrib, Rumi mengetuk pintu kamarnya. Adiknya sudah berpakaian rapi seperti malam Minggu biasanya. Tentu saja akan berkencan dengan Bari."Ada apa?" tanya Tia
Hujan di luar semakin deras. Diselingi kilat dan guntur yang menggelegar. Lampu rumah padam dan Rumi merasa sangat was-was karena suaminya belum juga pulang. Ini sudah pukul sebelas malam dan suaminya tidak pernah pulang selarut ini tanpa memberi tahu.Lampu emergency besar hanya terpasang di tengah rumah, sedangkan untuk penerangan kamar, Rumi menggunakan lampu emergency kecil yang kini mulai redup. Mati lampu sudah sejak jam delapan tadi, sehingga sudah tiga jam lampu itu dipakai. Tentulah kelamaan dia akan redup. Untunglah bibik memberikan dua buah lilin berikut korek api, untuk berjaga-jaga saja jika lampu tak kunjung nyala.Rumi menghubungi suaminya, tetapi nomor itu tidak aktif. Ia semakin cemas dan khawatir. Rumi mengirimkan pesan pada mertuanya, menanyakan apakah ada Angkasa meneleponnya atau mungkin sedang berkunjung ke sana, tetapi mertuanya menjawab tidak ada.Angkasa masi
Dokter perusahaan tengah memeriksa keadaan Rumi yang masih berbaring lemas di sofa. Walau Angkasa masih dalam keadaan sangat marah pada istrinya, tetapi raut kekhawatirannya tidak bisa ditutupi. Tak sedetik pun pandangan itu beralih ke tempat lain, sebelum dokter selesai memeriksa istrinya. “Tekanan darahnya sangat rendah. Apa istri Pak Angkasa begadang beberapa hari ini? Atau melakukan pekerjaan berat?” tanya Dokter Husni. “Yah, sepertinya begadang, Dok,” jawab Angkasa menerka-nerka. “Saya berikan vitamin penambah darah ya dan usahakan jangan begadang lagi. Istri Pak Angkasa seperti orang tertekan. Lihatlah raut wajahnya. Semoga tidak ada masalah yang cukup serius ya, Pak,” kata Dokter Husni pada Angkasa. Lelaki setengah baya itu memberikan secarik kertas berisikan resep pada Angkasa, k