“Kamu yang rajin ya di sekolahnya sayang!” ucapnya pada Kiara. “Iya, Ma. Kia berangkat dulu ya.” “Hati-hati ya sayang, love you!” Kiara pun pergi ke sekolah dengan mengendarai jasa transportasi. “Eh, lihat tuh! Yang dulunya orang kaya, yang biasanya anaknya pergi ke sekolah naik mobil eh sekarang malah naik ojek!” ucap ibu-ibu yang sedang menenteng tas belanja. “Hus, jangan suka gitu bu nggak baik!” “Tapi kan saya berbicara fakta, bu! Mungkin aja ini balasan dari Tuhan soalnya kalau saya lihat-lihat dari mereka tuh emang nggak ada yang bener, si Bima tukang selingkuh, ibunya suka ngehina menantunya dan istrinya Bima yang sekarang makanya dia bisa nikah sama Bima kan hasil dari ngerebut suami orang si Aisyah itu,” tukasnya meyakinkan. “Ah masa sih, bu? Saya nggak percaya bisa sampai segitunya!” Ibu berbaju motif bunga-bunga itu masih belum percaya dan meragukan omongan ibu bertubuh gempal itu. “Ih, ibunya nggak gaul, sih! Mentang-mentang orang baru di sini, tapi haru
“Bu kita ke rumah sakit, ya!” tukas Aisyah khawatir. “Ibu baik-baik aja, Nak,” kekehnya. Sedari tadi bu Asih tetap memberikan respon yang sama. “Bu, nggak ada salahnya kan kita periksa dulu! Aisyah khawatir ada apa-apa sama kesehatan Ibu!” “Ibu nggak sakit kok, paling cuma kecapean aja. Kamu nggak usah khawatir Ya!” Bu Asih masih sangat keras kepala, Aisyah sangat mengkhawatirkan kondisinya. Seminggu ini kondisi bu Asih tampak sangat mengkhawatirkan pasalnya kondisi suhu tubuhnya naik turun dan setiap malam ia selalu menggigil serta mengeluh sakit kepala. Namun, apa daya dari semenjak kondisi itu hingga sekarang bu Asih enggan diajak ke rumah sakit hanya untuk sekadar memeriksa kesehatannya. “Terus sekarang Aisyah harus gimana, Bu? Aisyah nggak mungkin diem aja lihat Ibu kayak gini.” Aisyah hanya bisa menyandarkan dirinya di kursi sembari memandangi ibunya itu yang tengah berbaring di ranjang. “Kamu nggak perlu ngapa-ngapain, Ibu baik-baik aja, kok. Lagian kan Ibu ka
***“Arka mana Ya? Kamu nggak ngajak Arka ke sini?”“Arka aku titipin ke Mama Bu, kasian kalau Arka dibawa bolak-balik,” jelasnya. Suap demi suap makanan masuk ke mulut bu Asih, Aisyah begitu telaten merawat ibunya yang sedang sakit.“Kalau Ibu habis makan, Aisyah lapin badan Ibu ya! Biar segeran dikit … badan Ibu udah nggak dingin lagi atau ada merasa anget?”“Kayaknya sih udah nggak Ya, Ibu udah ngerasa lebih baikan!” ucapnya yakin.“Syukurlah kalau emang Ibu udah ngerasa baikan, ya sudah Aisyah siapin air angetnya dulu ya!” Aisyah beranjak dari ranjang menuju dapur untuk menghangatkan air. Meskipun bu Asih keras kepala tentu saja sebagai seorang anak, Aisyah tetap melaksanakan kewajibannya merawat ibunya yang sedang sakit. Seharian ini, wanita itu fokus merawat ibunya sedangkan Arkanza ia titipkan ke mertuanya. Beruntung sekali ia selalu dikelilingi oleh orang-orang baik termasuk keluarga terdekatnya yang selalu sedia membantu dirinya.“Alhamdulilah Ibu udah
**“Iya sayang, sabar ya! Ibu lagi jagain Nenek Asih, kita doain biar Neneknya Arka cepat sembuh ya!” ucap Yani pada Arkanza. Yani terlihat begitu menikmati peran barunya menjadi seorang nenek bagi Arkanza Narendra, apa lagi bayi itu terlihat sangat menggemaskan dengan pipinya yang bulat dan penuh membuat siapa saja yang bersamanya betah berlama-lama menatap wajahnya yang lucu.“Keadaan bu Asih gimana katanya?” tanyanya penasaran.“Belum tau Pa, kita juga belum ada nengok ke sana. Kita tunggu kabar dari Aisyah dulu, Mama juga belum berani bawa Arka ke sana soalnya kan bayi rentan terkena virus jadi lebih baik kita tunggu kabar saja dulu,” jelasnya khawatir.“Papa juga jadi ikut was-was kalau anak-anak belum ada ngabarin,” jelasnya.*“Assalamualaikum.”“Waalaikumsalam, eh Hendra Aisyah!” Akhirnya orang yang mereka nanti-nantikan datang juga.“Ayo masuk-masuk!” Yani mempersilahkan mereka berdua masuk. “Kalian berdua sudah makan?”“Sudah Ma!”“Syukurlah, gimana k
***“Kenapa kamu Mas? Dari tadi aku perhatiin liatin Arka sampai segitunya,” tukasnya penasaran. Tatapan Hendra pada Arkanza begitu dalam, entah apa yang ada di benak lelaki itu.“Mas seneng aja lihat mukanya yang masih polos banget … Mas jadi nggak sabar deh liat Arka makin gede, Mas ngajarin dia jalan, ngomong terus dia mulai nangis kalau aku godain …” ucapnya tanpa henti. Aisyah hanya menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar khayalan suaminya itu yang tampak begitu nyata, meski demikian Aisyah tetap mendengarkannya dengan saksama.“Nanti Mas bakalan buat dia manggil ayah lebih dulu!” ucapnya bersemangat.“Iya deh iya Mas, terserah kamu mau ngelakuin apa kita liat aja nanti!” ujar Aisyah terdengar menantang.“Ow, ternyata kamu tertarik juga join ya! Ayo siapa takut!” Perseteruan di antara suami istri itu terdengar begitu manis.“Biasanya kata orang-orang anak cowok itu akan lebih dekat dengan ibunya!” timpalnya.“Ah masak! Anak cowok itu kan sohib
“Mama mau ke luar dulu!”“Mau ke mana ma?”“Itu bukan urusan kamu!” sahutnya ketus. Jihan yang mendapatkan tanggapan yang demikian pun hanya acuh dan melanjutkan pekerjaan dapurnya. Wanita tua itu terlihat sangat bahagia, itu tampak dari wajahnya yang dipenuhi dengan senyum.*“Eh-eh jeng, kalian semua sudah tau nggak?” tanya wanita tua dengan bibir merah merona itu. Pertanyaan tersebut membuat sekumpulan orang itu merapat sedekat mungkin, kalimat itu seperti mengandung mantra yang sangat kuat saja.“Apa tuh jeng? Apa?” tanyanya antusias. Tampak sangat membutuhkan sebuah informasi baru.“Itu tuh, si Ajeng yang anaknya jadi tukang sales keliling itu!” jawabnya dengan menekuk muka.“Hah! Ajeng? Ajeng yang mana? Kita kan nggak punya teman dengan nama Ajeng yang anaknya jadi sales keliling!” bantahnya sembari mengingat.“Iya nih! Kita cuma tau Ajeng yang pakaiannya selalu modis dan perhiasannya yang selalu bikin kita iri, ya kali kita temenan sama Ajeng yang sepert
“Kamu kira saya bercanda dengan perkataan saya, hah! Kamu pikir saya takut sama kamu?” Emosi Ajeng tampak berapi-api. Jihan menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya yang dipenuhi dengan kerikil kecil serta debu yang menempel di tangannya akibat tersungkur di tanah.“Berani-beraninya mama memperlakukan aku seperti ini ya! Sampai kapan pun aku nggak bakalan pernah terima mama giniin aku!” Jihan sudah sampai di puncak emosinya. Jihan gegas berdiri dan mendekati Ajeng.“Mau apa kamu?” Wanita itu mengangkat tangan kanannya seraya menampar.“JIHAN!” pekik seorang lelaki.“Mas Bima?” Jihan terkejut.“Apa-apaan kamu? Berani-beraninya kamu memperlakukan Mama seperti itu saat aku lagi nggak di rumah!” ujarnya emosi.“Mas nggak tau aja kelakuan mama kayak apa pas Mas nggak ada di rumah! Dia tadi dorong aku sampai jatuh ke tanah Mas dan tadi mama kamu pulang-pulang buka pintu dengan keras sampai Kia kaget akhirnya nangis, kalau kamu nggak percaya tuh Kia masi
“Ma, nenek kenapa diiket?” Bocah kecil itu bertanya dengan polosnya.“E-e, nenek lagi nakal sayang! Jadi harus diiket dulu, takutnya nenek lari-lari lagi ke jalan kan bahaya!”“Tapi Ma, kasian nenek.”“Kamu urusin dulu anak kamu itu! Aku mau nenangin diri dulu,” tukasnya lesu.“E, sayangnya Mama kamu udah baik-baik aja kan nggak takut lagi?”“Iya Ma, tadi Kia takut aja dan kaget karena suara pintunya kenceng banget!” jelasnya.“Bagus kalau gitu, anak Mama kan pemberani. Ya udah kamu main di bawah dulu ya sayang, Mama sama papa mau ngomong dulu, ya. Tapi, inget mainnya jangan lari-lari dulu kaki kamu masih belum bisa dipakek lari-larian.”“Iya Ma.” Kiara gegas menuruti perintah ibunya. Bima sudah terlihat termenung di sudut sofa sembari memegangi kepalanya dengan kedua tangannya.“Jadi sekarang gimana Mas?”“Kamu jangan banyak tanya dulu, aku lagi pusing!” sahutnya ketus.“Kamu pikir cuma kamu aja yang pusing Mas? Aku juga!”“Masalah satu belum selesai, sekarang
***“Nak, semoga kamu nggak dendam sama Ibu ya. Ibu ngelakuin ini demi kebaikan kamu, Ibu nggak mau kamu sampai tahu kelakuan Ayah kandung kamu seperti apa, Ibu takut kamu kecewa berat Nak.” Aisyah berpikir keras. Aisyah masih meratapi nasibnya serta anaknya, ia takut tentang ke depannya akan ada masalah yang datang hingga menyangkutpautkan masa lalunya kembali dengan Bima dan Aisyah tidak akan pernah rela bila Arkanza terlibat di dalamnya. Wanita itu takut jika anaknya akan memiliki ingatan kelam tentang kedua orang tuanya terutama sesosok ayahnya yang begitu keji terhadap ibunya dan dirinya.“Ayo Nak, kita pergi sebelum ayah kamu dateng.” Aisyah tampak berkemas, ia pergi membawa Arkanza.* Jantung Aisyah berdegup kencang, tangannya gemetar, keringat pun membasahi keningnya. Langkahnya tampak berat.“Hahhh, bismilah ya Nak semoga ini sudah memang keputusan yang baik buat kita semua.” Aisyah berusaha meyakinkan dirinya.“Ada yang bisa dibantu ibu?”“
***“Arka sayang, Ibu udah lama sekali nggak lihat wajah kamu ini! Ibu kangen Nak, Ibu khawatir sama kamu sayang. Kamu pasti selama ini haus banget ya Nak,” ucapnya penuh kasih. Setelah sekian lama, akhirnya Aisyah kembali merasakan kehangatan tubuh bayi mungilnya. Ia terpaksa tak menjalankan peran seorang ibu untuk beberapa waktu yang lumayan menyiksanya, wanita itu tampak sudah sangat lelah dengan kejadian yang telah terjadi. Sangat menguras emosi dan perasaan seorang ibu.“Nanti tunggu Ayah pulang ya Nak, kita jalan-jalan ke rumah Nenek semuanya sudah nungguin kamu di sana, mereka kangen sekali dengan kesayangan mereka. Kamu anak yang kuat sayang, terima kasih ya sudah bertahan sejauh ini, anak Ibu pintar sekali.”“Assalamualaikum,” ucap seseorang dibalik pintu.“Waalaikumsalam, eh Mas. Kamu udah pulang rupanya.”“Iya, Ya. Halo anak Ayah, Ayah kangen Nak!” ucapnya lembut.“Ganti pakaian dulu Mas, makanan udah aku siapin di meja.”“Iya sayang, makasi ya.” Akh
***“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, kasian sekali. Di mana keluarganya Ya Allah?”“Sudah berumur, seharusnya dijaga dengan baik! Anak-anaknya ke mana?”“Sepertinya ibu ini sudah bingung karena faktor umur, kasian sekali!” Di ujung jalan besar tampak terjadi insiden yang menggegerkan orang sekitar hingga menimbulkan kerumunan. Bercak darah berlumuran di jalan, sepertinya terjadi kecelakaan. Mobil ambulance dan polisi segera datang, kondisi korban sudah sangat memprihatinkan dilihat dari kondisi badannya sepertinya sudah tak bernyawa. Kepalanya terus mengeluarkan darah dan terdapat beberapa luka dibagian kaki serta tangannya, ia sudah tak sadarkan diri. Petugas segera melarikannya ke rumah sakit.“Ih, serem banget!” tukas orang yang lalu lalang.*“Apakah korban telah berhasil di identifikasi?”“Belum berhasil pak, kami cukup kesulitan karena tanda pengenal korban tidak ditemukan saat di lokasi kejadian. Namun, karena korban saat ditemukan mengenakan pakaian pasien kemu
“Bima!” Lelaki itu lekas memalingkan pandangannya, Aisyah menghampiri Bima-mantan suaminya.“Tega kamu Bima! Kamu pikir apa yang kamu lakukan ini sudah akan menguntungkan kamu? Sampai segitunya kamu terobsesi ingin memiliki dia, Arka itu darah daging kamu bisa-bisanya kamu nyakitin dia,” tukasnya kesal.“Gua nggak pernah nyakitin dia, lu yang rebut Arka dari gua Aisyah! Mungkin kalau lu nggak misahin gua dengan dia gua nggak bakalan berbuat nekat kayak gini!” bantahnya.“Apa? Aku nggak salah denger Bima? Bukan aku yang jauhin kamu tapi kamu yang nggak pernah mau nganggep dia sebagai anak kamu, kamu lupa ya gimana biadabnya kamu ngusir aku sama almarhum ayah aku saat itu … saat itu aku ngemis dihadapan kamu Bima! Tapi apa kata kamu dan keluarga kamu justru malah nuduh aku dan menghina aku, dan kamu malah memilih menikah dengan perempuan lain yang kamu anggap bakalan bisa ngasi kamu keturunan karena kamu nuduh aku mandul kan!” ucapnya geram.“Ya itu kan dulu! Karena aku mema
*“Jadi di sini kamu sembunyikan anak saya!” ucap Aisyah geram.“Sabar ya.” Hendra berusaha menenangkan. Polisi mengerahkan seluruh pasukannya untuk mengepung tempat persembunyian Bima, tentunya ini menjadi bagian yang sangat menegangkan mengingat lelaki bejat itu bisa saja nekat melakukan sesuatu yang bisa membahayakan nyawa Arkanza.TOK! TOK! TOK! Polisi berusaha mengetuk pintu rumah, mereka berharap Bima bisa ditangkap dengan mudah.“Permisi! Bapak Bima, kami ada urusan penting dengan anda!” Tampak seperti tak ada siapa pun di dalam rumah. Tidak ada suara sahutan seorang pun.“Permisi!” Polisi masih terus mencoba. Sementara itu di dalam rumah, Bima, Jihan dan Kiara tengah makan bersama di meja makan. Mereka rupanya mendengar suara sayup-sayup dari luar.“Siapa Mas? Perasaan seperti manggil nama kamu!” ucapnya penasaran.“Mana aku tau!”“Kamu buat masalah lagi ya? Atau kamu ada ngutang lagi? Jangan-jangan itu debt collector yang waktu
***“Gimana Mas?” tanya Aisyah penuh harap. Hendra terkulai, ia tampak lemas. Napasnya terengah-engah dengan keringat mengucur dari dahinya. Dokter itu kelelahan.“Nggak ketemu Ya, maafin Mas ya. Mas juga udah usaha keras buat nemuin anak kita,” jelasnya lesu.Aisyah menarik napas dalam, “Hah, gimana ya Mas? Aku juga bingung harus gimana lagi, aku tau kok Mas, Papa sama Mama juga udah usaha keras buat nemuin anak kita tapi aku juga nggak bisa bohong tentang perasaan aku.”Hendra meraih tubuh istrinya, ia memeluk tubuh Aisyah erat. Mereka berdua berakhir menangis bersama.Drrttt! Drrrttt! Drrrrt! [gawai Hendra berdering]Hendra gegas mengusap air matanya dan segera meraih gawainya.“Ha-halo,” jawabnya terbata.“Halo, selamat siang. Dengan bapak Hendra?”“Siang, iya dengan saya sendiri. Ada apa ya Pak?”“Baik, bapak Hendra kami dari kepolisian maksud menelpon bapak izin memberitahukan informasi terkait pencarian putra bapak!” jelasnya.DEG!!! Dada Hendra terasa b
***“HAH! BERISIK!” pekik Jihan keras. Wanita itu merasa muak mendengar tangis Arkanza tanpa henti. “Bisa diam nggak sih! Gua itu udah pusing mikirin urusan rumah sama bapak lu yang sampai sekarang nggak pulang-pulang, lu nggak usah lagi nambahin beban gua ya!” Jihan tampak stress, penampilannya awut-awutan. Seharian dia hanya menaruh perhatian penuh pada Arkanza karena takut dengan ancaman Bima jika ia pulang ke rumah.“Ma, aku lapar! Aku mau makan, Ma!” rengeknya.“Sabar sayang, Mama lagi sibuk ini!” sahutnya sembari sibuk menenangkan Arkanza yang tangisnya makin keras.“Mama nggak sayang sama aku lagi! Katanya adik itu bukan adik aku tapi Mama lebih sayang sama dia, dari tadi sama adik itu mulu!” keluhnya merasa tak dipedulikan. Jihan yang mendengar perkataan anaknya yang demikian lantas tertegun, ia tak menyangka jika ia harus menempatkan anaknya mengalami perasaan demikian. Tubuhnya melemas, wanita itu tak berdaya.“Sayang, maafin Mama Nak. Ini semua salah
***“Mas, aku udah nggak berdaya lagi. Ini sudah delapan hari berlalu tapi Arka anak kesayangan aku nggak ketemu-ketemu. Apa Arka baik-baik aja Mas?” Aisyah tampak sedikit putus asa.“Aisyah, Mas tau kalau kamu khawatir dan juga rindu dengan Arka … kita semua juga merasakan hal yang sama. Kita usaha kuat dan sabar dulu ya, Mas yakin Arka pasti ketemu dan baik-baik aja sekarang.”“Mas, kok kamu bisa setenang ini sih Mas?” tanyanya. Sepertinya Aisyah sedikit kesal dengan suaminya itu karena Hendra tampak begitu tenang di tengah keresahan Aisyah yang sudah memuncak.“Aisyah sayang, meskipun kamu lihat Mas tenang itu semua tidak seperti apa yang kamu pikirkan. Mas hanya sedang berusaha kuat untuk kamu dan tentunya buat anak kita juga … seperti yang Mas bilang tadi kita semua sedang merasakan hal yang sama. Kamu percaya kuasa Allah kan? Kita serahkan semuanya sama yang di atas, kita mohon petunjuk dan memohon agar Arkanza segera ditemukan,” ucap Hendra berusaha menenangkan. Dalam kondisi in
“Terus aja kamu ungkit-ungkit!”“Ya kan emang kenyataannya kayak gitu! Kenapa kamu mau nyangkal yang jelas-jelas udah faktanya?” Bima pergi ke kamar begitu saja, ia tampak seperti orang yang kalah berdebat.**TOK! TOK! TOK! Jihan menggedor pintu kamar dengan keras.“Kenapa sih kamu berisik banget dari tadi? Kalau Arka bangun gimana? Aku udah susah payah nidurin dia!” Bima tampak kesal.“Enak banget ya kamu Mas, kerjaannya cuma leyeh-leyeh doang di rumah. Kerja enggak, bantu beres-beresin rumah juga enggak!”“Jaga ya mulut kamu Jihan, aku kan lagi ngerawat anak aku!”“Alasan kamu itu aja ya Mas, kayak nggak ada yang lain, perasaan kalau anak kamu itu nangis juga ujung-ujungnya kamu manggil aku kan. Mending besok kamu kerja deh Mas, ini beras udah mau habis! Kalau kita kayak gini terus lama-lama bisa mati kepalaran di sini. Mending kita balik aja ke rumah yang dulu, setidaknya kalau kita mati masih mati dengan tenang di rumah mewah bukan di kontrakan kumuh ini!”