Happy reading >3 Terima kasih ya :) Sehat-sehat kalian semuanya!!!
“Ma!” “Mending kamu langsung istirahat, Mama lagi malas berdebat sama kamu!” Bima mendengus lantas melangkahkan kakinya dengan tergesa menuju ke kamar. “Aaaahhhhh.” Bima berteriak sejadi-jadinya, barang-barang yang ada di kamarnya menjadi sasaran empuk kemarahannya, “Kenapa hidup aku jadi berantakan gini, sih! Istri jadi pembangkang, punya Mama kerjaannya ngoceh mulu. Lama-lama stres aku!” *** “Ma, Kia mau papa baru!” “Kia, kok gitu sih ngomongnya sayang?” “Aku nggak suka sama Papa Bima! Dia jahat!” “Sutss! Jangan kenceng-kenceng ngomongnya.” Jihan ketakutan jika orang tuanya mendengar “Tapi kan bener, Ma. Temen-temen aku yang lain Papanya baik-baik semua, aku kan cuma mau Papa yang nganterin aku sekolah tiap hari, mau aku kenalin ke temen-temen dan nggak marahin Mama terus.” “Sayang, Papa Bima baik kok, dia lagi capek aja kan Papa Bima banyak kerjaan di kantor jadi kalau udah nggak capek pasti Papa Bima bakalan sayang banget sama Kia,” bual Jihan. “Mama serius?” “Iya, saya
“Ke mana lu?” “Mau jemput istri gua sama anaknya.” “Baik-baik, lu!” *** “Setelah sampai rumah, Mas mau ngobrol hal penting sama kamu.” “Mau ngobrol apa, Mas?” “Ini penting jadi lebih baik cuma kita saja yang dengar,” ucapnya sambil melirik ke arah Kiara. “Pa! Kata Mama Papa udah jadi baik ya?” “Maksudnya?” “Kata Mama, Papa jadi jahat karena Papa capek iya kan?” Bima kikuk, “Ha? E ….” “Cuma itu yang bisa aku lakuin buat anak aku, lagian kamu juga bersalah dalam hal ini.” “Kia udah boleh panggil Papa lagi kan? Papa Bima udah mau jadi Papa aku lagi kan?” Jihan hanya menatap Bima datar, Bima berbalik menatap Jihan. “Emm iya boleh,” jawabnya datar. Jihan tampak terheran namun di sisi lain ia merasa senang, “Kamu kenapa, Mas?” “Emang kenapa?” “Aneh aja! Bukannya kamu benci kalau Kiara manggil kamu Papa lagian kamu nggak mau nganggep Kiara sebagai anak.” “Kamu ini maunya apa sih? Mas udah berusaha buat jadi lebih baik lagi, emangnya kamu nggak seneng?” “Ya nggak gitu, aneh
“Gimana? Ini penawaran aku yang terakhir.” “Jaminan apa yang bisa buat aku percaya sama omongan kamu, Mas?” “Kamu bisa pegang omongan aku, kalau kamu memang tidak percaya sama omongan aku kita akan membuat kesepakatan di atas materai.” Jihan tampak mulai yakin dengan rayuan Bima, “Aku harap kamu memang benar-benar bisa pegang omongan kamu Mas … tapi ….” “Tapi apa?” “Bagaimana dengan Mama? Aku khawatir melihat sikap Mama selama ini yang selalu turut campur dengan urusan rumah tangga kita dan Mama sangat jelas menunjukkan sikapnya kalau dia nggak suka sama anak aku Kiara,” ungkapnya ragu. “Urusan itu gampang, Mama aku dan kamu kita bertiga akan sama-sama membuat kesepakatan di atas materai … jadi tidak ada yang dirugikan sampai kita bertiga tidak ada yang melanggar kesepakatan, gimana?” Jihan tampak sangat mempertimbangkan ucapan Bima, ia takut keputusannya itu akan berpengaruh besar terhadap dirinya dan anaknya di masa depan. “Kamu masih ragu? Ingat ini penawaran terakhir, Mas t
Pagi-pagi sekali Hendra sudah bersiap membeli semua bahan yang diperlukan Aisyah untuk berjualan, ia sudah tampak kemas dengan catatan kecil di tangannya yang berisikan list bahan yang harus dibeli. “Banyak sekali, Mas. Untuk stok istri di rumah ya?” cetus seorang pedagang sayur. Hendra tersenyum tipis, “Untuk calon, buk.” “Walah, semoga segera dihalalkan, ya.” “Amin. Ini total semuanya berapa?” “53 ribu semuanya.” Hendra merogoh kantongnya, “Ini, buk.” “Iya, ini kembaliannya. Makasi, ya.” “Sama-sama, mari buk.” Tangan dokter itu sudah tampak penuh dengan tentengan belanjaan, ia segera melangkah menuju mobil. “Hah, akhirnya. Bumbu-bumbu, sayuran, daging, ikan, penyedap semuanya emm … oke sudah lengkap semuanya.” Hendra lekas mengendarai mobilnya menuju ke rumah Aisyah “Assalamualaikum, Aisyah.” “Waalaikumsalam, eh … kamu!” Tak disangka yang membukakan pintu adalah pak Ahmad “Eh bapak.” Segera meraih tangan pak Ahmad untuk bersalaman “Ngapain kamu ke sini?” tanyanya ketus.
“Tapi … kamu tidak merasa kapok kan dengan sikap Bapak yang sedikit keras denganmu?” Hendra tersenyum tipis, “Sama sekali tidak bu.” “Syukurlah, terima kasih ya nak. Semenjak kamu datang ibu jadi penuh syukur karena masih bisa melihat anak ibu ceria lagi tidak murung, sejak kejadian itu Aisyah selalu menyalahkan dirinya dan ibu selalu khawatir dengan kondisi anak ibu ke depannya,” tuturnya berlinang air mata. “Bu, ibu tidak perlu berterima kasih pada saya karena sesungguhnya saya tidak berbuat banyak akan hal itu. Anak ibu Aisyah, adalah sosok yang kuat makanya dia bisa seperti sekarang ini.” Asih meraih tangan Hendra dan menggenggamnya erat, “Nak Hendra, tolong jagain Aisyah, ya … kalau memang nak Hendra serius dengan anak ibu tolong jangan pernah sakiti dia, Aisyah sudah terlalu capek jika harus melewati kondisi seperti itu lagi.” Hendra menatap bu Asih dalam, “Bu, saya pasti akan jaga anak ibu sebaik-baiknya saya menjaga diri saya sendiri, terima kasih sudah memberikan saya kep
“Pokoknya Bapak nggak mau tau! Kalau sampai anak kesayangan Bapak itu kenapa-napa awas saja nanti, lihat saja apa yang bakalan Bapak lakuin!” Tak lama kemudian, dokter Hendra ke luar dari ruangan pemeriksaan. “Kondisi Aisyah gimana?” “Kondisi Aisyah baik-baik saja, pak bu.” Hendra berusaha bersikap tenang “Baik-baik saja gimana! Tadi anak saya pendarahan!” Pak Ahmad tampak sangat kesal “Pak, udah Pak. Ini di rumah sakit jangan buat keributan.” “Ini semua karena Ibu juga, Ibu selalu belain si Hendra ini!” “Pak, ini bukan waktunya buat salah-salahan, yang terpenting kan sekarang kondisi Aisyah baik-baik saja.” “Apanya yang baik Bu? Ibu kan udah lihat sendiri tadi, Aisyah pendarahan Bu.” “Pak, kondisi Aisyah sekarang baik-baik saja. Aisyah hanya butuh istirahat yang cukup.” “Pak, nak Hendra ini seorang dokter jadi dia lebih paham dari kita tentang kesehatan.” “Terus aja belain orang ini, kalau sampai anak Bapak kenapa-napa Ibu juga ikut tanggung jawab.” Suasana menjadi semakin
Bima sudah kemas mengenakan pakaian yang rapi khas dengan kemeja putihnya. “Kamu siap-siap sekarang!” “Kita mau ke mana, Mas?” “Dokter kandungan.” “Ha?” “Kamu nggak usah kaget gitu! Lupa ya sama kesepakatan kita?” “E-e iya, Mas sebentar.” Jihan bergegas bersiap, sementara itu Kiara sedang asyik berlari-lari di halaman. “Kia, sini sebentar.” “Iya Pa.” Bocah itu segera menghampiri Bima “Mama sama Papa mau pergi sebentar, kamu sama Nenek di rumah ya!” “Nggak mau! Aku mau ikut Mama!” kekehnya. “Sutss! Sebentar aja kok, e-e gini deh nanti kalau udah mau pulang Papa beliin mainan gimana?” bujuknya. Mata bocah itu seketika berbinar, “Mainan? Serius Pa! Emm Papa nggak bohong, kan?” tanyanya meyakinkan. “Iya serius, tapi asal Kia mau diem di rumah sama Nenek dan jangan nakal nanti pasti Papa bakal beliin mainan.” “Yeye, oke Kia di rumah aja, janji ya, Pa!” Masalah Kiara sudah ditangani Bima dengan mudah, pria arogan itu tinggal menunggu Jihan bersiap. “Lama banget sih kamu! Mau
“Terus hasilnya gimana? Kalian berdua sehat-sehat kan?” “Kita belum tau hasilnya, Ma. Besok hasilnya baru keluar.” “Kalau anak Mama udah pasti sehat lah,” ucapnya dengan penuh kepercayaan diri. “Hasilnya bisa dilihat besok,” ujar Jihan. “Oh iya, Mama mau ngingetin satu hal sama kamu Jihan. Ingat ya! Meskipun kesepakatan ini sudah kita setujui kamu jangan tiba-tiba nggak tau diri gitu dong, kamu pikir beli ini itu nggak pakai uang? Kalau anak kamu nanti keterusan minta ini itu kan kasian suami kamu kerja terus capek.” “Oh ya, Mama juga jangan pernah lupa ya sama isi kesepakatan kita apa! Atau perlu aku ingetin? Ini urusan rumah tangga aku sama Bima Ma, jadi Mama nggak punya hak untuk mengatur semuanya kalau Mama melanggar sudah tau kan konsekuensinya apa?” “Ma! Udah dong Ma, Bima capek! Lagian mainan itu bukan Kiara yang minta tapi Bima yang janjiin ke dia, beli mainan doang nggak bakal buat Bima miskin,” tegas Bima. “Kok kamu jadi gini sih ke Mama?” “Ma, Bima cuma ngingetin ke
***“Nak, semoga kamu nggak dendam sama Ibu ya. Ibu ngelakuin ini demi kebaikan kamu, Ibu nggak mau kamu sampai tahu kelakuan Ayah kandung kamu seperti apa, Ibu takut kamu kecewa berat Nak.” Aisyah berpikir keras. Aisyah masih meratapi nasibnya serta anaknya, ia takut tentang ke depannya akan ada masalah yang datang hingga menyangkutpautkan masa lalunya kembali dengan Bima dan Aisyah tidak akan pernah rela bila Arkanza terlibat di dalamnya. Wanita itu takut jika anaknya akan memiliki ingatan kelam tentang kedua orang tuanya terutama sesosok ayahnya yang begitu keji terhadap ibunya dan dirinya.“Ayo Nak, kita pergi sebelum ayah kamu dateng.” Aisyah tampak berkemas, ia pergi membawa Arkanza.* Jantung Aisyah berdegup kencang, tangannya gemetar, keringat pun membasahi keningnya. Langkahnya tampak berat.“Hahhh, bismilah ya Nak semoga ini sudah memang keputusan yang baik buat kita semua.” Aisyah berusaha meyakinkan dirinya.“Ada yang bisa dibantu ibu?”“
***“Arka sayang, Ibu udah lama sekali nggak lihat wajah kamu ini! Ibu kangen Nak, Ibu khawatir sama kamu sayang. Kamu pasti selama ini haus banget ya Nak,” ucapnya penuh kasih. Setelah sekian lama, akhirnya Aisyah kembali merasakan kehangatan tubuh bayi mungilnya. Ia terpaksa tak menjalankan peran seorang ibu untuk beberapa waktu yang lumayan menyiksanya, wanita itu tampak sudah sangat lelah dengan kejadian yang telah terjadi. Sangat menguras emosi dan perasaan seorang ibu.“Nanti tunggu Ayah pulang ya Nak, kita jalan-jalan ke rumah Nenek semuanya sudah nungguin kamu di sana, mereka kangen sekali dengan kesayangan mereka. Kamu anak yang kuat sayang, terima kasih ya sudah bertahan sejauh ini, anak Ibu pintar sekali.”“Assalamualaikum,” ucap seseorang dibalik pintu.“Waalaikumsalam, eh Mas. Kamu udah pulang rupanya.”“Iya, Ya. Halo anak Ayah, Ayah kangen Nak!” ucapnya lembut.“Ganti pakaian dulu Mas, makanan udah aku siapin di meja.”“Iya sayang, makasi ya.” Akh
***“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, kasian sekali. Di mana keluarganya Ya Allah?”“Sudah berumur, seharusnya dijaga dengan baik! Anak-anaknya ke mana?”“Sepertinya ibu ini sudah bingung karena faktor umur, kasian sekali!” Di ujung jalan besar tampak terjadi insiden yang menggegerkan orang sekitar hingga menimbulkan kerumunan. Bercak darah berlumuran di jalan, sepertinya terjadi kecelakaan. Mobil ambulance dan polisi segera datang, kondisi korban sudah sangat memprihatinkan dilihat dari kondisi badannya sepertinya sudah tak bernyawa. Kepalanya terus mengeluarkan darah dan terdapat beberapa luka dibagian kaki serta tangannya, ia sudah tak sadarkan diri. Petugas segera melarikannya ke rumah sakit.“Ih, serem banget!” tukas orang yang lalu lalang.*“Apakah korban telah berhasil di identifikasi?”“Belum berhasil pak, kami cukup kesulitan karena tanda pengenal korban tidak ditemukan saat di lokasi kejadian. Namun, karena korban saat ditemukan mengenakan pakaian pasien kemu
“Bima!” Lelaki itu lekas memalingkan pandangannya, Aisyah menghampiri Bima-mantan suaminya.“Tega kamu Bima! Kamu pikir apa yang kamu lakukan ini sudah akan menguntungkan kamu? Sampai segitunya kamu terobsesi ingin memiliki dia, Arka itu darah daging kamu bisa-bisanya kamu nyakitin dia,” tukasnya kesal.“Gua nggak pernah nyakitin dia, lu yang rebut Arka dari gua Aisyah! Mungkin kalau lu nggak misahin gua dengan dia gua nggak bakalan berbuat nekat kayak gini!” bantahnya.“Apa? Aku nggak salah denger Bima? Bukan aku yang jauhin kamu tapi kamu yang nggak pernah mau nganggep dia sebagai anak kamu, kamu lupa ya gimana biadabnya kamu ngusir aku sama almarhum ayah aku saat itu … saat itu aku ngemis dihadapan kamu Bima! Tapi apa kata kamu dan keluarga kamu justru malah nuduh aku dan menghina aku, dan kamu malah memilih menikah dengan perempuan lain yang kamu anggap bakalan bisa ngasi kamu keturunan karena kamu nuduh aku mandul kan!” ucapnya geram.“Ya itu kan dulu! Karena aku mema
*“Jadi di sini kamu sembunyikan anak saya!” ucap Aisyah geram.“Sabar ya.” Hendra berusaha menenangkan. Polisi mengerahkan seluruh pasukannya untuk mengepung tempat persembunyian Bima, tentunya ini menjadi bagian yang sangat menegangkan mengingat lelaki bejat itu bisa saja nekat melakukan sesuatu yang bisa membahayakan nyawa Arkanza.TOK! TOK! TOK! Polisi berusaha mengetuk pintu rumah, mereka berharap Bima bisa ditangkap dengan mudah.“Permisi! Bapak Bima, kami ada urusan penting dengan anda!” Tampak seperti tak ada siapa pun di dalam rumah. Tidak ada suara sahutan seorang pun.“Permisi!” Polisi masih terus mencoba. Sementara itu di dalam rumah, Bima, Jihan dan Kiara tengah makan bersama di meja makan. Mereka rupanya mendengar suara sayup-sayup dari luar.“Siapa Mas? Perasaan seperti manggil nama kamu!” ucapnya penasaran.“Mana aku tau!”“Kamu buat masalah lagi ya? Atau kamu ada ngutang lagi? Jangan-jangan itu debt collector yang waktu
***“Gimana Mas?” tanya Aisyah penuh harap. Hendra terkulai, ia tampak lemas. Napasnya terengah-engah dengan keringat mengucur dari dahinya. Dokter itu kelelahan.“Nggak ketemu Ya, maafin Mas ya. Mas juga udah usaha keras buat nemuin anak kita,” jelasnya lesu.Aisyah menarik napas dalam, “Hah, gimana ya Mas? Aku juga bingung harus gimana lagi, aku tau kok Mas, Papa sama Mama juga udah usaha keras buat nemuin anak kita tapi aku juga nggak bisa bohong tentang perasaan aku.”Hendra meraih tubuh istrinya, ia memeluk tubuh Aisyah erat. Mereka berdua berakhir menangis bersama.Drrttt! Drrrttt! Drrrrt! [gawai Hendra berdering]Hendra gegas mengusap air matanya dan segera meraih gawainya.“Ha-halo,” jawabnya terbata.“Halo, selamat siang. Dengan bapak Hendra?”“Siang, iya dengan saya sendiri. Ada apa ya Pak?”“Baik, bapak Hendra kami dari kepolisian maksud menelpon bapak izin memberitahukan informasi terkait pencarian putra bapak!” jelasnya.DEG!!! Dada Hendra terasa b
***“HAH! BERISIK!” pekik Jihan keras. Wanita itu merasa muak mendengar tangis Arkanza tanpa henti. “Bisa diam nggak sih! Gua itu udah pusing mikirin urusan rumah sama bapak lu yang sampai sekarang nggak pulang-pulang, lu nggak usah lagi nambahin beban gua ya!” Jihan tampak stress, penampilannya awut-awutan. Seharian dia hanya menaruh perhatian penuh pada Arkanza karena takut dengan ancaman Bima jika ia pulang ke rumah.“Ma, aku lapar! Aku mau makan, Ma!” rengeknya.“Sabar sayang, Mama lagi sibuk ini!” sahutnya sembari sibuk menenangkan Arkanza yang tangisnya makin keras.“Mama nggak sayang sama aku lagi! Katanya adik itu bukan adik aku tapi Mama lebih sayang sama dia, dari tadi sama adik itu mulu!” keluhnya merasa tak dipedulikan. Jihan yang mendengar perkataan anaknya yang demikian lantas tertegun, ia tak menyangka jika ia harus menempatkan anaknya mengalami perasaan demikian. Tubuhnya melemas, wanita itu tak berdaya.“Sayang, maafin Mama Nak. Ini semua salah
***“Mas, aku udah nggak berdaya lagi. Ini sudah delapan hari berlalu tapi Arka anak kesayangan aku nggak ketemu-ketemu. Apa Arka baik-baik aja Mas?” Aisyah tampak sedikit putus asa.“Aisyah, Mas tau kalau kamu khawatir dan juga rindu dengan Arka … kita semua juga merasakan hal yang sama. Kita usaha kuat dan sabar dulu ya, Mas yakin Arka pasti ketemu dan baik-baik aja sekarang.”“Mas, kok kamu bisa setenang ini sih Mas?” tanyanya. Sepertinya Aisyah sedikit kesal dengan suaminya itu karena Hendra tampak begitu tenang di tengah keresahan Aisyah yang sudah memuncak.“Aisyah sayang, meskipun kamu lihat Mas tenang itu semua tidak seperti apa yang kamu pikirkan. Mas hanya sedang berusaha kuat untuk kamu dan tentunya buat anak kita juga … seperti yang Mas bilang tadi kita semua sedang merasakan hal yang sama. Kamu percaya kuasa Allah kan? Kita serahkan semuanya sama yang di atas, kita mohon petunjuk dan memohon agar Arkanza segera ditemukan,” ucap Hendra berusaha menenangkan. Dalam kondisi in
“Terus aja kamu ungkit-ungkit!”“Ya kan emang kenyataannya kayak gitu! Kenapa kamu mau nyangkal yang jelas-jelas udah faktanya?” Bima pergi ke kamar begitu saja, ia tampak seperti orang yang kalah berdebat.**TOK! TOK! TOK! Jihan menggedor pintu kamar dengan keras.“Kenapa sih kamu berisik banget dari tadi? Kalau Arka bangun gimana? Aku udah susah payah nidurin dia!” Bima tampak kesal.“Enak banget ya kamu Mas, kerjaannya cuma leyeh-leyeh doang di rumah. Kerja enggak, bantu beres-beresin rumah juga enggak!”“Jaga ya mulut kamu Jihan, aku kan lagi ngerawat anak aku!”“Alasan kamu itu aja ya Mas, kayak nggak ada yang lain, perasaan kalau anak kamu itu nangis juga ujung-ujungnya kamu manggil aku kan. Mending besok kamu kerja deh Mas, ini beras udah mau habis! Kalau kita kayak gini terus lama-lama bisa mati kepalaran di sini. Mending kita balik aja ke rumah yang dulu, setidaknya kalau kita mati masih mati dengan tenang di rumah mewah bukan di kontrakan kumuh ini!”