Hai readers >3 Sehat selalu ya! Happy reading love >3
“Iya Mas Hendra saya setuju, eh maksudnya aku. Gitu kan?” Hendra tertawa melihat kelucuan Aisyah dan sedikit merasa canggung. “Kamu ini bisa saja.” “Terima kasih ya Hen untuk semuanya.” “Ehmm, siapa?” Aisyah tersipu malu, “Maksudnya Mas Hendra, makasi ya.” “Gitu dong, sama-sama Aisyah.” *** Hari ini rasanya seperti hari baru untuk Aisyah, ia kini jauh lebih bahagia ketimbang dengan Aisyah yang sebelumnya. Kedatangan Hendra ke dalam hidupnya telah merubah banyak hal, terlebih lagi keluarga dokter itu sangat menerima keadaan Aisyah dengan baik tanpa memandang masa lalu Aisyah seperti apa, hal tersebut membuat Aisyah merasa beruntung karena ia akhirnya bisa bebas dari bayang-bayang masa lalunya yang kelam. “Bu, Aisyah mau ke rumah sakit dulu ya,” ucapnya sembari menenteng tas kecil berisi kotak makanan. “Ngapain Ya?” “E-e, Aisyah mau bawain makanan ke Mas Hendra.” “Aduh, udah panggil Mas aja nih!” godanya. “Ibu! Aisyah malu.” “Ya udah, tapi hati-hati ya. Nanti ke
“Ya sudah kamu istirahat dulu. Bu, tolong temanin Aisyah dulu!” Pak Ahmad merasa khawatir dengan kondisi Aisyah, namun ia masih berperang dengan pikirannya tentang pernyataan anaknya. “Jika memang ini benar, sudah sangat keterlaluan Hendra berani mempermainkan anak saya!” Dokter Hendra menunggu tugasnya di rumah sakit selesai, pria itu menunggu dengan perasaan gelisah pasalnya tadi Aisyah pergi begitu saja dengan wajah kesal. “Gimana keadaannya Yaya Bu?” “Yaya udah istirahat, kasian dia Pak sepertinya Yaya syok berat.” “Hah, ada-ada saja cobaan pada anak kita padahal Bapak baru saja melihat wajahnya bahagia sekarang harus melihatnya menangis lagi.” “Kira-kira, apakah benar Hendra berbuat demikian ya Pak? Ibu takut, kasian Aisyah kalau harus melewati masa seperti ini lagi,” tuturnya gelisah. “Sejauh yang Bapak tau, rasanya tidak mungkin nak Hendra akan berbuat seperti itu sekarang kita tunggu saja penjelasan dari dia semoga saja ini hanya kesalah pahaman.” “Amin.”
Pada akhirnya kepercayaan di antara keduanya lah yang menang, meski demikian karena hal tersebut Aisyah kembali menaruh rasa ragu di hatinya. Hendra dan sahabatnya memiliki hubungan yang sangat dekat, Aisyah khawatir hubungan persahabatan Hendra dan Sintia akan menganggu hubungan antara dia dan Hendra. “Oh iya Aisyah, besok kamu mau ikut Mas ke Jakarta?” “Ke Jakarta? Ngapain Mas?” “Pengen ngajak kamu ke rumah aja, sekalian pendekatan biar kamu sedikit terbiasa.” “Tapi Mas lama nggak? Kan aku harus jagain kedainya juga.” “Sebentar aja, mau kan temenin Mas? Mumpung dapat libur gantian tugas.” “Iya Mas, tapi aku minta izin dulu sama Bapak dan Ibu boleh kan?” “Tenang aja masalah izin Mas udah minta izin duluan sama bapak dan ibu.” “Gercep banget ya Mas.” *** “Udah siap semuanya?” “Hati-hati di jalan ya, Hendra tolong jagain Aisyahnya ya ibu takut perutnya udah makin gede aja.” “Ibu ini lucu sekali, lupa ya calon mantunya kita ini dokter jadi dia sudah pasti lebih paham.” “Tena
“Ah, sialan!” Bima kehilangan jejak Aisyah, perasaannya mulai tak karuan dan penuh dengan rasa penasaran. “Kamu kenapa Mas?” Jihan menyusul Bima karena terlalu lama. “Aisyah, aku tadi lihat Aisyah.” Bima tampak seperti orang kehilangan arah. Pandangan Jihan liar, ia memerhatikan setiap sudut taman. “Kamu sakit ya Mas?” tanyanya heran, melihat sikap Bima yang aneh. “Aku serius! Aku lihat dia tadi duduk di sini!” “Sebaiknya kita pulang aja Mas! Kamu aneh banget. Setelah sekian lama sejak perpisahan antara Bima dan Aisyah, akhirnya waktu kembali mempertemukan mereka dalam keadaan yang sudah sangat berbeda jauh dari kondisi sebelumnya saat mereka berdua masih bersama. “Ma! Aisyah Ma.” Bima mengadu kepada ibunya tentang apa yang ia lihat tadi di taman. “Dia kenapa?” tanyanya pada Jihan. “Nggak tau Ma, tadi katanya Mas Bima lihat Aisyah di taman. “Kamu kenapa sih masih nginget-nginget dia? Udahlah Bima!” “Tapi Bima serius Ma, tadi aku lihat di
“Bima nggak bisa tenang Ma! Gimana pun caranya aku harus nemuin Aisyah dan anak aku! Bima mau nuntut hak atas anak itu, kalau Aisyah bisa ketemu harapan Bima dan harapan Mama bakalan segera terwujud!” “Terus sekarang kamu mau gimana?” tanyanya ragu. Bima terdiam, ia sedang memikirkan cara. “Bima … Bima mau ke Surabaya ke kediaman Aisyah Ma,” tegasnya. “Kamu yakin?” “Sangat yakin! Apa pun itu demi anak aku,” ucapnya penuh dengan keyakinan. * Jihan termenung memandangi suaminya yang tengah berkemas untuk kepergiannya ke Surabaya. “Kamu yakin Mas mau ke Surabaya?” tanyanya sedih. Bima tetap acuh. “Kamu udah nggak sayang aku sama Kiara lagi? Kita baru aja mau memulai hidup bahagia dan sekarang kamu malah kayak gini Mas, setidaknya kalau kamu nggak kasihan sama aku, kamu bisa ngasi sedikit belas kasihanmu ke Kiara Mas. Aku nggak sanggung ngadepin pertanyaan Kiara nanti melihat Papanya yang mulai sayang ke dia sekarang tiba-tiba malah jadi kayak
“Saya ke sini hanya untuk anak saya! Katakan di mana Aisyah sekarang!” “Kamu nggak perlu tau anak saya di mana! Pergi kamu!” “Tolong pak! Saya mau cari anak saya, saya punya hak atas anak yang dikandung oleh Aisyah karena saya ayahnya!” tegasnya. “Hak kamu sudah hilang dari sejak kamu menolak anak itu! Dulu kamu menghina dia dan bahkan tidak mengakuinya sebagai anak kamu dan sekarang anggap saja kamu tidak pernah menikah dengan anak saya!” “Pergi kamu Bima, saya tidak sudi lihat wajah kamu di sini!” Bu Asih meradang. Mereka cekcok hingga menyebabkan keributan yang mengundang perhatian banyak orang. “Ingat ya Bima! Sampai saya masih bernapas di dunia ini jangan harap kamu bisa ketemu dengan cucu saya, camkan itu!” ucapnya, sembari mendorong Bima niat untuk segera mengusirnya. “Bapak dan ibu akan membayar semua ini karena berani memperlakukan saya seperti ini! Apa pun yang terjadi saya tidak akan menyerah untuk mengambil anak saya!” ancamnya. “Dan saya yang akan memas
“Pasti Ma! Pasti akan Bima lakukan demi mendapatkan anak aku!” Bima di tengah keputusasaannya untuk mendapatkan keturunan seketika merasa mendapat sebuah keberuntungan dengan kabar hamilnya Aisyah. Namun, ia ternyata lupa perbuatan keji seperti apa yang pernah ia perbuat pada Aisyah, rasa semangatnya untuk mendapatkan seorang anak berhasil memadamkan ingatan akan dosa-dosa yang pernah ia lakukan pada mantan istrinya itu.Sementara itu, pak Ahmad dan ibu Asih masih merasakan aura-aura emosi yang tersisa, mereka tidak pernah menyangka jika Bima akan berani kembali menampakkan dirinya setelah perbuatan kejinya yang sudah menolak keberadaan Aisyah dan anak yang dikandungnya.“Pak cepet telpon Aisyah! Ibu takut kalau Bima sampai menemukan keberadaan Aisyah di Jakarta,” sarannya panik.“Ibu sabar dulu! Tenangin diri dulu, jangan sampai Aisyah jadi ikutan panik.”“Maaf pak bu, yang tadi siapa ya? Soalnya dia nanya-nanya soal mbak Aisyah ada di mana.”“Dia mantan suaminya Aisyah,
“Sekarang kamu mau apa Mas?” tanya Jihan meminta kepastian. “Mau apa gimana maksud kamu?” “Kamu masih pura-pura buta ya Mas, dengan kondisi aku dan Kiara!” Bima menghela napas panjang, “Huh, duh. Tolong lah Jihan kamu jangan mulai cari ribut lagi!” keluhnya. “Mas! Gimana aku nggak ribut mulu, saat kondisi kamu sendiri memprihatinkan kayak gini kamu malah sibuk nyari keberadaan Aisyah yang nggak jelas itu!” protesnya. “Kamu jangan berani-beraninya menyinggung masalah itu ya! Itu urusan aku, jadi kamu jangan pernah ikut campur!” Mereka berdua terus saja berseteru. “Mas, sadar Mas! Meskipun nanti kamu berhasil menemukan Aisyah, aku bisa jamin kalau dia bakalan nolak kamu, apa lagi sampai tau kalau kamu mau ngerebut anak dia. Memangnya Mas nggak sadar dulu Mas nggak mau mengakui kalau Aisyah sedang hamil?” Pandangan Bima seketika liar, seakan-akan ia tidak mau menerima kenyataan perbuatannya yang sebenarnya terdahulu. “Aku nggak peduli tanggapan dia seperti apa, yang p
***“Nak, semoga kamu nggak dendam sama Ibu ya. Ibu ngelakuin ini demi kebaikan kamu, Ibu nggak mau kamu sampai tahu kelakuan Ayah kandung kamu seperti apa, Ibu takut kamu kecewa berat Nak.” Aisyah berpikir keras. Aisyah masih meratapi nasibnya serta anaknya, ia takut tentang ke depannya akan ada masalah yang datang hingga menyangkutpautkan masa lalunya kembali dengan Bima dan Aisyah tidak akan pernah rela bila Arkanza terlibat di dalamnya. Wanita itu takut jika anaknya akan memiliki ingatan kelam tentang kedua orang tuanya terutama sesosok ayahnya yang begitu keji terhadap ibunya dan dirinya.“Ayo Nak, kita pergi sebelum ayah kamu dateng.” Aisyah tampak berkemas, ia pergi membawa Arkanza.* Jantung Aisyah berdegup kencang, tangannya gemetar, keringat pun membasahi keningnya. Langkahnya tampak berat.“Hahhh, bismilah ya Nak semoga ini sudah memang keputusan yang baik buat kita semua.” Aisyah berusaha meyakinkan dirinya.“Ada yang bisa dibantu ibu?”“
***“Arka sayang, Ibu udah lama sekali nggak lihat wajah kamu ini! Ibu kangen Nak, Ibu khawatir sama kamu sayang. Kamu pasti selama ini haus banget ya Nak,” ucapnya penuh kasih. Setelah sekian lama, akhirnya Aisyah kembali merasakan kehangatan tubuh bayi mungilnya. Ia terpaksa tak menjalankan peran seorang ibu untuk beberapa waktu yang lumayan menyiksanya, wanita itu tampak sudah sangat lelah dengan kejadian yang telah terjadi. Sangat menguras emosi dan perasaan seorang ibu.“Nanti tunggu Ayah pulang ya Nak, kita jalan-jalan ke rumah Nenek semuanya sudah nungguin kamu di sana, mereka kangen sekali dengan kesayangan mereka. Kamu anak yang kuat sayang, terima kasih ya sudah bertahan sejauh ini, anak Ibu pintar sekali.”“Assalamualaikum,” ucap seseorang dibalik pintu.“Waalaikumsalam, eh Mas. Kamu udah pulang rupanya.”“Iya, Ya. Halo anak Ayah, Ayah kangen Nak!” ucapnya lembut.“Ganti pakaian dulu Mas, makanan udah aku siapin di meja.”“Iya sayang, makasi ya.” Akh
***“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, kasian sekali. Di mana keluarganya Ya Allah?”“Sudah berumur, seharusnya dijaga dengan baik! Anak-anaknya ke mana?”“Sepertinya ibu ini sudah bingung karena faktor umur, kasian sekali!” Di ujung jalan besar tampak terjadi insiden yang menggegerkan orang sekitar hingga menimbulkan kerumunan. Bercak darah berlumuran di jalan, sepertinya terjadi kecelakaan. Mobil ambulance dan polisi segera datang, kondisi korban sudah sangat memprihatinkan dilihat dari kondisi badannya sepertinya sudah tak bernyawa. Kepalanya terus mengeluarkan darah dan terdapat beberapa luka dibagian kaki serta tangannya, ia sudah tak sadarkan diri. Petugas segera melarikannya ke rumah sakit.“Ih, serem banget!” tukas orang yang lalu lalang.*“Apakah korban telah berhasil di identifikasi?”“Belum berhasil pak, kami cukup kesulitan karena tanda pengenal korban tidak ditemukan saat di lokasi kejadian. Namun, karena korban saat ditemukan mengenakan pakaian pasien kemu
“Bima!” Lelaki itu lekas memalingkan pandangannya, Aisyah menghampiri Bima-mantan suaminya.“Tega kamu Bima! Kamu pikir apa yang kamu lakukan ini sudah akan menguntungkan kamu? Sampai segitunya kamu terobsesi ingin memiliki dia, Arka itu darah daging kamu bisa-bisanya kamu nyakitin dia,” tukasnya kesal.“Gua nggak pernah nyakitin dia, lu yang rebut Arka dari gua Aisyah! Mungkin kalau lu nggak misahin gua dengan dia gua nggak bakalan berbuat nekat kayak gini!” bantahnya.“Apa? Aku nggak salah denger Bima? Bukan aku yang jauhin kamu tapi kamu yang nggak pernah mau nganggep dia sebagai anak kamu, kamu lupa ya gimana biadabnya kamu ngusir aku sama almarhum ayah aku saat itu … saat itu aku ngemis dihadapan kamu Bima! Tapi apa kata kamu dan keluarga kamu justru malah nuduh aku dan menghina aku, dan kamu malah memilih menikah dengan perempuan lain yang kamu anggap bakalan bisa ngasi kamu keturunan karena kamu nuduh aku mandul kan!” ucapnya geram.“Ya itu kan dulu! Karena aku mema
*“Jadi di sini kamu sembunyikan anak saya!” ucap Aisyah geram.“Sabar ya.” Hendra berusaha menenangkan. Polisi mengerahkan seluruh pasukannya untuk mengepung tempat persembunyian Bima, tentunya ini menjadi bagian yang sangat menegangkan mengingat lelaki bejat itu bisa saja nekat melakukan sesuatu yang bisa membahayakan nyawa Arkanza.TOK! TOK! TOK! Polisi berusaha mengetuk pintu rumah, mereka berharap Bima bisa ditangkap dengan mudah.“Permisi! Bapak Bima, kami ada urusan penting dengan anda!” Tampak seperti tak ada siapa pun di dalam rumah. Tidak ada suara sahutan seorang pun.“Permisi!” Polisi masih terus mencoba. Sementara itu di dalam rumah, Bima, Jihan dan Kiara tengah makan bersama di meja makan. Mereka rupanya mendengar suara sayup-sayup dari luar.“Siapa Mas? Perasaan seperti manggil nama kamu!” ucapnya penasaran.“Mana aku tau!”“Kamu buat masalah lagi ya? Atau kamu ada ngutang lagi? Jangan-jangan itu debt collector yang waktu
***“Gimana Mas?” tanya Aisyah penuh harap. Hendra terkulai, ia tampak lemas. Napasnya terengah-engah dengan keringat mengucur dari dahinya. Dokter itu kelelahan.“Nggak ketemu Ya, maafin Mas ya. Mas juga udah usaha keras buat nemuin anak kita,” jelasnya lesu.Aisyah menarik napas dalam, “Hah, gimana ya Mas? Aku juga bingung harus gimana lagi, aku tau kok Mas, Papa sama Mama juga udah usaha keras buat nemuin anak kita tapi aku juga nggak bisa bohong tentang perasaan aku.”Hendra meraih tubuh istrinya, ia memeluk tubuh Aisyah erat. Mereka berdua berakhir menangis bersama.Drrttt! Drrrttt! Drrrrt! [gawai Hendra berdering]Hendra gegas mengusap air matanya dan segera meraih gawainya.“Ha-halo,” jawabnya terbata.“Halo, selamat siang. Dengan bapak Hendra?”“Siang, iya dengan saya sendiri. Ada apa ya Pak?”“Baik, bapak Hendra kami dari kepolisian maksud menelpon bapak izin memberitahukan informasi terkait pencarian putra bapak!” jelasnya.DEG!!! Dada Hendra terasa b
***“HAH! BERISIK!” pekik Jihan keras. Wanita itu merasa muak mendengar tangis Arkanza tanpa henti. “Bisa diam nggak sih! Gua itu udah pusing mikirin urusan rumah sama bapak lu yang sampai sekarang nggak pulang-pulang, lu nggak usah lagi nambahin beban gua ya!” Jihan tampak stress, penampilannya awut-awutan. Seharian dia hanya menaruh perhatian penuh pada Arkanza karena takut dengan ancaman Bima jika ia pulang ke rumah.“Ma, aku lapar! Aku mau makan, Ma!” rengeknya.“Sabar sayang, Mama lagi sibuk ini!” sahutnya sembari sibuk menenangkan Arkanza yang tangisnya makin keras.“Mama nggak sayang sama aku lagi! Katanya adik itu bukan adik aku tapi Mama lebih sayang sama dia, dari tadi sama adik itu mulu!” keluhnya merasa tak dipedulikan. Jihan yang mendengar perkataan anaknya yang demikian lantas tertegun, ia tak menyangka jika ia harus menempatkan anaknya mengalami perasaan demikian. Tubuhnya melemas, wanita itu tak berdaya.“Sayang, maafin Mama Nak. Ini semua salah
***“Mas, aku udah nggak berdaya lagi. Ini sudah delapan hari berlalu tapi Arka anak kesayangan aku nggak ketemu-ketemu. Apa Arka baik-baik aja Mas?” Aisyah tampak sedikit putus asa.“Aisyah, Mas tau kalau kamu khawatir dan juga rindu dengan Arka … kita semua juga merasakan hal yang sama. Kita usaha kuat dan sabar dulu ya, Mas yakin Arka pasti ketemu dan baik-baik aja sekarang.”“Mas, kok kamu bisa setenang ini sih Mas?” tanyanya. Sepertinya Aisyah sedikit kesal dengan suaminya itu karena Hendra tampak begitu tenang di tengah keresahan Aisyah yang sudah memuncak.“Aisyah sayang, meskipun kamu lihat Mas tenang itu semua tidak seperti apa yang kamu pikirkan. Mas hanya sedang berusaha kuat untuk kamu dan tentunya buat anak kita juga … seperti yang Mas bilang tadi kita semua sedang merasakan hal yang sama. Kamu percaya kuasa Allah kan? Kita serahkan semuanya sama yang di atas, kita mohon petunjuk dan memohon agar Arkanza segera ditemukan,” ucap Hendra berusaha menenangkan. Dalam kondisi in
“Terus aja kamu ungkit-ungkit!”“Ya kan emang kenyataannya kayak gitu! Kenapa kamu mau nyangkal yang jelas-jelas udah faktanya?” Bima pergi ke kamar begitu saja, ia tampak seperti orang yang kalah berdebat.**TOK! TOK! TOK! Jihan menggedor pintu kamar dengan keras.“Kenapa sih kamu berisik banget dari tadi? Kalau Arka bangun gimana? Aku udah susah payah nidurin dia!” Bima tampak kesal.“Enak banget ya kamu Mas, kerjaannya cuma leyeh-leyeh doang di rumah. Kerja enggak, bantu beres-beresin rumah juga enggak!”“Jaga ya mulut kamu Jihan, aku kan lagi ngerawat anak aku!”“Alasan kamu itu aja ya Mas, kayak nggak ada yang lain, perasaan kalau anak kamu itu nangis juga ujung-ujungnya kamu manggil aku kan. Mending besok kamu kerja deh Mas, ini beras udah mau habis! Kalau kita kayak gini terus lama-lama bisa mati kepalaran di sini. Mending kita balik aja ke rumah yang dulu, setidaknya kalau kita mati masih mati dengan tenang di rumah mewah bukan di kontrakan kumuh ini!”