Seharian aku tidak bersemangat melakukan apa pun. Tubuh ini entah kenapa malas diajak beraktivitas, bahkan hanya sekadar turun dari tempat tidur pun enggan. Ponsel juga berkali-kali berdering, tapi kuabaikan. Mata memilih terus memejam. Meskipun badan merasa sehat, aku terus saja mengantuk. Entah kenapa, baru kali ini aku merasakannya. Aku berusaha membuka mata saat mendengar suara derit pintu. Terlihat sosok Mas Danu di berjalan mendekat. "Nda, kamu dari habis sarapan, belum keluar kamar lagi. Ini sudah hampir Asar, kamu belum salat Zuhur, kan? Belum makan siang juga," ucapnya bersamaan dengan gerakan kecil di tempat tidur. Aku kembali membuka mata. Mas Danu sudah duduk di tepi tempat tidurku. Kemudian, dia mengusap lenganku dan kembali memanggil. Aku ingin sekali berkeluh kesah dengan Mas Danu, tapi rasanya sungkan sekarang. Meskipun aku tetap menganggapnya kakak, tapi rasanya sudah berbeda. Kami menjadi seolah-olah terpisah oleh sekat tak terlihat. Aku lantas bangkit karena me
Sungguh mengejutkan saat tiba-tiba Jihan menelepon. Dia meminta Mas Arsya membatalkan laporan serta tuntutan yang ditujukan untuknya. Mas Arsya memang belum cerita tentang kelanjutan dari kasus Jihan. Rupanya, hari Jumat pagi, Mas Arsya dengan Mama dan Papa sudah melapor ke pihak berwajib. Dan hari Sabtu ini, Jihan sudah dipanggil ke kantor polisi untuk memberikan keterangan meskipun statusnya belum menjadi tersangka. Aku bisa mendengarkan percakapan mereka karena Mas Arsya menyalakan loudspeaker. Jihan terdengar mengiba dan suaranya seperti menangis. Namun, Mas Arsya teguh pendirian dan tidak akan mundur. Sebagai sesama perempuan, ada sisi diriku yang tidak tega. Namun, saat mengingat apa yang Jihan lakukan kepada keluarga kecilku, itu sulit dimaafkan. "Kamu akan menerima akibat lebih buruk jika tidak mencabut laporan itu, Mas Arsya!" ucap Jihan dan itu terdengar seperti sebuah ancaman. Mas Arsya pun tidak goyah. Dia berpikir, apa yang bisa dilakukan seseorang di dalam jeruji bes
PoV DanuAku bukan laki-laki seperti kebanyakan yang suka mempermainkan wanita. Amanda, dia gadis polos yang membuatku ingin selalu menjaganya. Sikap manjanya sama sekali tidak membuatku marah, tapi justru aku nantikan setiap saat. Kalau dia tidak bermanja, bisa dipastikan ada dua hal penyebabnya. Satu, ketika dia sakit, lalu yang kedua, ketika dia sedang marah. Saat aku akan lulus SMA, rasa terpendamku untuk gadis mungil itu tanpa sengaja ketahuan oleh Ibu. Beliau plllmelihat tulisan ungkapan cintaku untuk Amanda dalam salah satu buku milikku. Saat itu, Ibu tengah menata kamarku dan buku itu masih berada di bawah bantal, tempat yang sama saat malam harinya setelah kuisi lagi dengan kata hati. Ibu marah bukan main karena beliau memang menganggapku anak kandung sendiri, meskipun kenyataannya bukan. Beliau menghardik dan menegaskan jika rasaku itu salah. Hingga tiba saat kelulusan, aku memutuskan ikut dengan Surya, teman sekelas, bekerja di Kalimantan. Tujuan utama adalah untuk mengh
Waktu yang tidak kusuka akhirnya datang. Mas Arsya kembali ke Jakarta bersama orang tuanya. Padahal, masih ada jadwal penerbangan sore dan malam, tapi laki-laki itu menurut saat Papa dan Mama mengajaknya pergi siang hari. Berat? Pasti. Namun, aku tidak bisa berbuat banyak karena kandungan ini yang paling penting. Aku tidak ingin mengorbankan anak hanya untuk ego sendiri. Sebelum kondisi benar-benar pulih, aku harus terima dengan hubungan jarak jauh. Lagi pula, Mas Arsya berjanji selalu menghubungi saat senggang dan menengokku setiap akhir pekan. "Jaga hati, jaga diri, dan jaga baby," ucap Mas Arsya sebelum pergi. Dia juga memberiku ciuman di kening cukup lama. Aku yang tidak suka perpisahan, hanya diam sambil menahan genangan air di pelupuk mata. LDR itu sangat menyiksa. Hanya bisa berkabar lewat tulisan, suara, dan terkadang video. Namun, itu semua hanya sesaat menghilangkan rindu. Aku terus melihat taksi yang kian menjauh membawa Mas Arsya hingga menghilang di ujung jalan. Aku k
Letupan dari butiran jagung yang dibakar itu menambah suasana ramai malam ini. Selepas Isya, Mas Danu mengundang para remaja masjid dan beberapa teman seusia kami di desa ini ke rumah. Halaman rumah Ayah penuh dengan anak muda. Ada yang bermain gitar sambil berdendang, ada yang sibuk mengipasi arang agar baranya tidak mati, ada pula yang asyik mengobrol. Drink jar ukuran besar yang tadi penuh terisi teh panas, kini tinggal setengah. Semuanya larut dalam suasana malam yang bertabur bintang dan jagung bakar. "Seneng, kan?" tanya Mas Danu. Dia menghampiriku yang duduk sendiri di atas gelaran tikar. Aku yang sedang mengunyah jagung bakar, hanya menanggapi dengan anggukan. Aku sudah mengabiskan dua buah jagung bakar dan sekarang yang ketiga. Rasanya mulut ini tidak mau berhenti mengunyah. Lagi pula, aku sengaja belum makan malam tadi. "Nda," panggil laki-laki yang sudah duduk di samping. "Apa?" sahutku tanpa menoleh. Aku masih asyik melihat anak-anak remaja yang bersenda gurau sambil
Aku beringsut, berdiri, lalu melangkah mundur. Hati ini begitu sakit mendengar pengakuan Mas Danu meskipun dalam igauan. Aku seperti adik tidak tahu diri yang membiarkan kakaknya terluka tanpa memberikan obat. Namun, bagaimana cara untuk menyembuhkan lara Mas Danu pun aku tidak tahu. Mulut laki-laki yang masih terpejam itu terus bergumam dengan gerak kepala seperti orang gelisah. Namun, aku bingung harus berbuat apa. Aku juga seperti ikut merasakan sakit yang Mas Danu alami. "Nak, kenapa?"Aku terkesiap saat Ibu bertanya seraya menepuk bahuku. Aku menggeleng kasar sambil menahan air yang hampir tumpah dari pelupuk mata. Dada ini pun kembang-kempis menahan sesak yang tiba-tiba datang. Ibu tanpa bertanya lagi, langsung memelukku. Mungkin beliau paham dengan apa yang kurasakan. Aku pun tergugu dalam hangatnya dekapan Ibu tanpa peduli jika dikatakan cengeng. Inilah rasaku yang sebenarnya ingin tumpah setiap melihat Mas Danu. Laki-laki berstatus kakak untukku itu memang setiap hari sel
Seperti kata pepatah, Dunia hanya selebar daun kelor. Kali ini aku mengalami dan menyetujui pepatah itu. Di depan mata, sekarang berdiri perempuan yang sempat aku curigai. Dokter Fahira tersenyum ramah dan terlihat begitu cantik dengan pashmina hijau yang senada dengan gamisnya. Aku masih ternganga, sedangkan Mas Danu langsung menyambut dengan semringah dam mempersilakan masuk. Apa mereka sudah saling kenal? "Datang juga kamu, Rim. Ini, kakak sepupu yang kamu maksud?" Mas Danu berbicara dengan perempuan di samping Dokter Fahira. "Nda, kenalin. Ini, Rima yang akan bantu kita di EO." Mas Danu memperkenalkanku dengan perempuan bernama Rima. Lantas, mereka saling bermain mata, seperti memberi kode. "Ini, Kak Fahira. Dia kakak sepupuku sekaligus customer pertama kita. Oh iya, sepertinya, Kak Fahira sudah kenal dengan adiknya Danu, ya?" jelas Rima. Aku mengangguk seraya tersenyum canggung. Customer? Lalu, kenapa Dokter Fahira bisa ada di Jogja?"Boleh saya ajak Manda bicara berdua?" ta
"Nggak ada jodoh-jodohan, ya, Nda! Aku nggak suka!" bentak Mas Danu. Seketika, aku terdiam menahan nyeri yang tiba-tiba datang di hati. Mas Danu baru kali ini membentakku seperti itu. "Maaf, aku nggak bermaksud membentak, tapi tolong jangan pernah berpikir ke sana. Jangan berpikir kalau aku nggak bahagia. Masmu ini selalu bahagia asal kamu selalu tersenyum."Aku tidak lagi menanggapi dan memilih diam. Entahlah, aku bingung bagaimana cara menghadapi Mas Danu. Aku hanya ingin dia bisa bahagia, bukan tersiksa dengan rasa terhadapku. Mas Danu menghindariku sejak kami pulang dari rumah sakit. Dia sama sekali tidak memperlihatkan batang hidungnya di depanku. Kata Ibu, dia tidur di kantor malam ini. Mungkinkah rencanaku menjodohkannya itu membuatnya marah? Bukankah dia yang memintaku mencarikan jodoh saat acara bakar jagung malam itu? Hingga malam mulai larut, aku menjadi sulit tidur meskipun rasa mengatuk sangat menguasai. Pikiran ini selalu tertuju pada Mas Danu. Bahkan, video call dar