"Karena aku lelaki, bukankah kamu akan menikah dengan seorang lelaki?” jawabnya singkat, dengan ekspresi wajah yang tidak bisa ditebak.
Aku terdiam. Tiba-tiba teringat perkataanku tadi pagi waktu interview.
“Hmmm … satu lagi, apa kriteria orang yang akan menjadi suamimu?” pertanyaan terakhir waktu interview tadi mendadak terngiang-ngiang.
“Kriterianya dia harus seorang lelaki, Pak ….” Itulah jawaban sekenanya yang kuberikan pada Direktur Adireja Grup tadi pagi.
Apakah Tuhan semudah itu mengabulkan perkataanku. Baru pagi tadi kubilang akan menikah dengan seorang lelaki. Siang ini seseorang mengajak menikah dengan alasan karena dia seorang lelaki. Sepertinya perkataanku
“Ehmmm!” suara dehemannya membuatku gelagapan.Tatapan matanya langsung beradu tepat dengan kedua netraku yang sejak tadi memperhatikannya.Aku langsung menarik diri hendak kembali masuk ke kontrakanku. Namun suara bariton itu menghentikan langkahku.“Kapan orang tua kita bisa bertemu? Orang tuaku siap kapan saja, bahkan hari ini pun bisa!”“S-secepatnya!” Aku mendadak tergagap.Lupa sudah rasa penasaranku tentang laptop mahalnya. Kini fokusku beralih pada rencana itu kembali.Aku meninggalkannya tanpa berkata apa-apa lagi. Masuk ke dalam bangunan petakan tempat tinggalku dengan dada berdebar-debar.
Setelah induction training selesai, kami berkeliling. Bu Evita memperkenalkanku pada setiap divisi yang ada di perusahaan itu.Setelah mengantar Ajeng ke divisinya, Bu Evita mengantarku ke ruangan khusus direktur. Hanya ada kursi kosong di sana. Dia menunjukkan lemari-lemari file dan dokumen-dokumen yang nantinya akan berhubungan dengan pekerjaanku.Kemudian dia menunjukkan tempat dudukku yang berada pada satu kubikel khusus di dekat ruangan direktur.“Mbak Dinda, untuk sementara Pak Deva masih ada kesibukan di luar jadi mungkin belum bisa sering ke sini … selama itu pula, setiap tugas yang diberikan akan dikirimkan melalui email, ya!” ucap Bu Evita.“Baik, Bu! Terimakasih penjelasannya!” ucapku sambil mengangguk.Aku mendaratkan bokongku pada kursi empuk yang dikhususkan untuk sekretaris. Kusimpan tas ke atas meja. Kursi ini terasa sangat empuk dan sepertinya masih baru.
Aku setengah berlari dan memeluknya. Setelah puas memeluk mama, aku memeluk ayah sekilas. Lelaki itu berulang kali mengecup pucuk kepalaku.“Ayo, Ma!”Aku menarik lengan mama. Sementara wanita yang tadi memeluk mama sudah tidak terlihat sama sekali.“Ayo!” ucap Mama sambil menggandeng lenganku.“Ma, tadi siapa?” tanyaku menelisik.“Yang mana?” tanya mama.“Perempuan yang meluk Mama tadi?” tanyaku.“Eh, yang mana … mama gak meluk siapa-siapa?” ucapnya. Namun kutahu jika mama sedang menyembunyikan se
POV - DanesAku tengah duduk sambil menyandarkan tubuh pada jok mobil. Selembar ticket pesawat jurusan Singapura sejak tadi kuperhatikan.Bukan karena apa-apa. Namun ticket ini adalah bukti kalau kini calon istriku sudah resmi menjadi sekretaris pribadiku.Dinda yang memesankan reservasi ticket ini tanpa dia tahu, jika atasan yang menyuruhnya itu adalah aku.Hari pernikahan kami hanya tinggal hitungan hari. Aku tidak sabar ingin memberinya kejutan. Menunjukkan padanya tentang jati diriku. Namun apakah dia akan menerimanya? Sementara yang dicarinya adalah cinta dari lelaki biasa?Tiba-tiba terkenang sederet kisah bagaimana perjalananku akhirnya tiba pada titik ini. Menuju titik tertinggi sebuah hubungan yaitu mahligai p
Pov DindaPagi itu aku bangun kesiangan. Setelah mendapat ucapan selamat malam untuk pertama kalinya dari lelaki yang sebentar lagi akan menjadi suamiku cukup membuatku bisa tidur nyenyak. Berlebihan memang, tapi entah mengapa itu memang benar terjadi.Ah, mungkin inilah yang dinamakan cinta kadang tidak memakai logika. Hati mencari sendiri tempat berlabuhnya. Ucapku sambil menatap pantulan wajahku pada gawai.Kadang aku pun berpikir kelebihan apa yang dimiliki lelaki itu selain menang di ganteng dan postur tubuh. Kharismatik dan pekerja keras mungkin? Bisa jadi sih, yang jelas entahlah. Kadang aku sendiri tidak mengerti kenapa akhirnya aku memilih dia.Pagi ini terasa hambar. Duh, belum sehari ditinggal pergi sudah seperti i
Aku segera mengambil gawai dan mengusap layarnya. Kucari kontak yang sudah kuubah dengan nama panggilan sayangku untuknya---calon suamiku.Terdengar lebay, ya? Tapi terserah aku lah, yang calon istrinya kan aku. Segera kutempel pada daun telinga menunggu seseorang mengangkat panggilanku. Namun nihil. Bang Danesku sepertinya benar-benar marah. Apakah dia berpikir aku serendah itu?Kulakukan panggilan berulang tapi tetap tidak ada jawaban. Pijit lagi nomornya, tidak diangkat lagi. Berulang kali hingga beberapa menit waktuku habis untuk hal itu.Jemariku bergerak mengetik pesan dengan cepat. Sementara hatiku sudah terasa bergemuruh ingin meneriaki si kurang ajar Elha. Lihat saja nanti pulang. Akan kuberikan hadiah manis untuknya. Namun apa ya? Aku pun saat ini tidak bisa berpikir, b
“Bu, gak apa-apa … pakai saja ruangan ini … saya sebentar lagi akan menikah juga dan tidak mungkin tinggal di sini kho … tunggu sebentar, ya … saya bereskan barang-barang saya dulu!”Aku membuka kunci pintu kontrakan. Sebelum mengemasi barang, aku memikirkan tujuan ke mana aku akan pindahan. Tiba-tiba teringat Susan dan Tuti di kontrakan lama. Meskipun mereka menyebalkan tapi terkadang mereka cukup banyak membantu.Aku segera mengirimkan pesan pada mereka. Beruntung nomornya masih kusimpan. Tidak berapa lama Susan membalas. Alhamdulillah masih ada satu yang kosong katanya.Segera kumemesan mobil online. Tidak berapa lama mobil online yang kupesan datang. Bersamaan dengan Adzan maghrib aku berangkat meninggalkan tempat tinggal yang sudah mengikat
“Pak Rama berhenti membandingkan status … saya meninggikan dan menghormatinya sebagai calon imam saya … kenapa Bapak begitu tega hendak menjatuhkannya di hadapan semua orang? Apa salah dia pada Bapak?!” Jemari ini menggenggam erat jemari kokohnya. Aku hendak membuatnya yakin jika aku ingin selalu bersamanya. “Ck! Dinda … mungkin matamu sudah tertutup … entah ilmu apa yang dia gunakan sehingga kamu gak bisa membedakan mana berlian dan mana pecahan kaca?” umpat Dwi Rama. “Siapa yang Bapak maksud berlian? Siapa yang Bapak maksud pecahan kaca? Bapak tidak bisa semena-mena menilai orang dengan memandang kasta?” Aku hendak maju ke depan. Rasanya ingin berteriak-teriak memaki Dwi Rama. Namun Bang Danes menahan lenganku.