Kiki mendesah lega kala panggilan kepada Sila diangkat. Kiki pun langsung tengok kanan dan kiri untuk memastikan keadaan jika bossnya tidak akan keluar di waktu dekat. Kiki langsung berdeham sebelum tanya-tanya tentang si dakjal.
“Mbak,” panggilnya sedikit berbisik.
“Siapa nih?”
“Kiki, emang nomer gue dihapus, ya?”
“Eh elo, Ki, sorry tadi nggak lihat ke layar langsung geser aja gitu, ada apaan? Tumbenan telepon masih pagi begini. Ada info apa di Ansell? Ada gosip baru, ya?” tebak Sila dengan begitu antusias yang bisa Kiki tebak dari suara di telepon.
“Ck! Lo mah belum apa-apa tanya gosip.” Kiki merasa kesal sendiri dengan ibu satu anak ini. Meski demikian pun ia tetap tak bisa pergi jauh dari yang namanya Sila. “Eh, Mbak, emang si dakjal ada kerjasama gitu ya sama Ansell?”
“Eh serius lo?”
“Eh gue tanya malahan lo yang kayak kaget gitu,&rdqu
Hari ini tak terasa Kiki sudah melewati hari pertama kerja dengan begitu baik. Semua file yang sudah selesai dikerjakan pun sudah ia taruh di meja kerja milik Mirza sesuai intruksinya. Kiki yang pulang kerja dijemput Ryan pun langsung meminta pulang ke apartemen meski suaminya itu meminta makan malam terlebih dulu sebelum sampai ke apartemen. Namun, tetap saja namanya perempuan akan selalu menang dengan jurus andalannya. Ngambek. Dan pada akhirnya kini Kiki sudah berada di apartemen terkhususnya di atas ranjang sambil senyam-senyum menatapi ponselnya.“Kamu senyam-senyum sama siapa, sih?” tanya Ryan. Kakinya melangkah ke arah lemari untuk mengambil kaus santai karena dirinya habis mandi. Bahkan ia mengingat jika sepanjang jalan pulang pun istrinya fokus dan sibuk sama ponsel. “Sayang,” tegurnya kala pertanyaan dirinya tak direspon.“Hmmm.”“Sibuk banget, ya?”Kiki langsung menghentikan tarian jemari di atas
Merasa pertanyaan Ryan akan menjadi boomerang nantinya, Kiki langsung melepaskan pelukan dan menuntun Ryan masuk ke ruang tv. Kiki menyuruh Ryan duduk dengan posisi rileks dan dirinya pun ikutan duduk di depan sambil menyandarkan kepalanya di dada bidang milik suaminya itu.“Kamu tu—““Aku pengin mesra-mesraan sama kamu, Mas.”“Tumben.”“Emang nggak boleh?”“Ya, boleh dong. Cuma tumben aja gitu.”“Menebus kesalahanku tadi yang udah cuekin kamu.”“Oh ….”Hening.Baik Ryan maupun Kiki kini sama-sama terdiam. Keduanya sama-sama tengah berpikir untuk mencari tema obrolan selanjutnya. Namun, Ryan masih penasaran dengan pertanyaan yang diskip oleh Kiki tadi.“Tadi kerja gimana?” terpaksa Ryan menanyakan kembali karena merasa penasaran dengan kegiatan istrinya di kantor baru. Dan, Ryan merasa ada yang tidak
“Pelan-pelan, Mas,” rancau Kiki.“Tanggung sayang bentar lagi mau keluar.”“Awh … Mas, aku udah mau keluar lagi.”“Tahan, kita keluar bareng.”“Nggak bisa udah nggak tahan.”Mengetahui istrinya tak bisa menahan sedikit lagi saja membuat Ryan langsung bekerja begitu keras. Ia pun menambah tempo genjotannya itu hingga tak lama lagi mereka berdua benar-benar akan mencapai titik klimaks.Deru napas tak beraturan milik mereka berdua pun begitu menggema di ruangan yang terasa sangat begitu panas ini.“Huft!” Ryan terus membuang napasnya kala sudah berhasil mencapai titik kepuasan. Ia menatap wajah istrinya yang begitu kuyu karena banjir keringat di mana-mana. Tangannya pun langsung mengusap kening Kiki dengan lembut. “Makasih ya sayang berkat kamu aku nggak jadi solo,” katanya sambil mencium kening yang basah akibat keluar keringat barusan
Dengan gerakan pelan Kiki langsung menoleh ke samping dan melihat Mirza yang sedang mengeluarkan berbagai kotak makan di dalam paperbag.‘Apa dia bawa bekal dari rumah?’ batin Kiki.“Ayo sini, saya nggak akan habis makan segini banyaknya. Dari pada nanti nggak habis jadi mubazir,” ujarnya.Mendengar ucapan Mirza yang terus menerus mengajaknya makan bersama membuat Kiki langsung memegang dadanya yang terasa begitu deg-degan.“Tadi Mamaku bawain banyak makanan kalau nggak habis ngeri ngambek dianya,” ujar Mirza seolah-olah memberitahukan kepada Kiki soal makanan yang dibawanya.Berbeda dengan Kiki yang masih diam di tempat duduknya, dan kepalanya sedikit mengangguk paham apa yang dikatakan oleh Mirza.Melihat Mirza yang sudah menyiapkan semua makanan di atas meja membuat hati kecil Kiki langsung merasa tak enak. Ia pun mulai berdiri dari kursi dan berjalan pelan menuju ke arah sofa.Kiki saat ini masi
Selesai menerima telepon dari Ryan membuat Kiki mendesah lega, ia pun langsung memencet nomor telepon kantor Azekiel. Kiki menunggu panggilan dirinya diangkat sambil menatap ke arah pintu ruangan Mirza.“Selamat siang dengan Azekiel grup bisa dibantu,” kata salah satu resepsionis kantor Azekiel.“Siang, saya Shakira Intan Ayu perwakilan dari Ansell grup ingin berbicara dengan Tuan Melviano Azekiel saat ini apa bisa dihubungkan dengan beliau?”“Oh maaf Ibu, saat ini Tuan Melviano sedang tidak masuk kantor. Beliau sedang—““Sambungkan dengan sekertarisnya, ya,” potong Kiki cepat.“Baik, Bu.”Kiki pun akhirnya menunggu resepsionis Azekiel menyambungkan telepon dirinya dengan sekertaris baru. Tak membutuhkan waktu lama Kiki sudah mendengar sapaan dari seberang sana.“Selamat siang dengan Ghaitsaa Kamisila bisa dibantu?”“Halo Cilla, eh sorry Ghaitsa
Merasa akan ada perang dunia kesepuluh membuat Kiki meringis saat melihat tangannya digenggam oleh Mirza. Ia pun menatap ekspresi wajah suaminya yang sudah berubah menjadi merah.“Pak … Pak, aku mohon lepasin tangannya, soalnya nanti dia ngamuk.”“Biarkan saja.”“Tapi dia kalau ngamuk serem.”“Lebih serem mana sama genderewo?”Kiki mendengar suaminya disamakan genderewo pun langsung menoleh ke arah Mirza yang masih berdiri tegap di sampingnya. Bahkan ekspresi Mirza seperti laki-laki menantang untuk berkelahi.“Serem Ryan sih, Pak.”“Ya sudah kalau gitu kamu tenang aja.”“Tapi muka dia udah merah banget gitu, Pak.”“Belum ungu kan?”Lagi-lagi Kiki dibuat menoleh ke arah Mirza karena jawaban sang boss membuatnya ingin tertawa. Wajah kakunya ternyata menyimpan bakat untuk menjadi stan up comedi. Mana ada orang
Bandung, Jawa Barat.Beberapa hari kemudian.Sesuai dengan jadwal yang sudah mereka rencanakan jika weekend ini akan pergi ke Bandung. Lebih tepatnya akan menjenguk Rena di salah satu rumah sakit jiwa. Dari awal perjalanan hingga sudah berada di tol cipularang pun Ryan masih saja diam karena kesal mengetahui jika istrinya mengagumi laki-laki lain.Parahnya Kiki ngomong jujur di depan Ryan. Dan semua itu membuat Ryan mendiamkan Kiki beberapa hari belakangan.“Sayang, aaa,” kata Kiki saat menyuapkan kentang goreng yang sudah dibelinya tadi di mekdi melalui drive thru.“Lagi nyetir.”“Kan disuapin.”“Mau fokus.”Kiki yang tahu jika suaminya masih merajuk pun hanya mengembuskan napas kasar. Apalagi semenjak dirinya menjawab pertanyaan Ryan beberapa hari yang lalu.Lagian bagi Kiki sendiri jujur lebih baik dari pada dirinya sembunyi-bunyikan? Lagipula ia hanya sekadar kagu
Entah sejauh apa kakinya melangkah. Tapi untuk saat ini Kiki merasa tenang karena jauh dari Ryan. Ia duduk di salah satu sebuah taman rumah sakit sambil memandang segala aktifitas pasien di sana.“Kembang? Hihi kembang jadi ironman.”Mendengar suara di sampingnya membuat Kiki terkejut. Ia ingin tertawa jika keadaan tak seperti ini. Apalagi seorang laki-laki yang duduk di sampingnya terus mengoceh yang terkadang kalau didengar dalam keadaan baik akan membuat siapapun tertawa.“Ah cintaku memang dahsyat seperti odading.”Melihat laki-laki yang terus mengoceh duduk mendekatinya membuat Kiki semakin menggeser ke samping hingga mentok. Apalagi laki-laki itu membawa sebuah bunga dan diserahkan untuknya.“Untukmu kasih yang selalu bersinar menyinari dunia.”Kiki hanya meringis dirayu orang gila macam ini. Ia pun sedikit ragu menerima bunga itu. Bahkan Kiki melihat laki-laki itu langsung bertepuk tangan saat buang
Merasa bingung membuat Adeeva lebih memilih untuk segera pergi ke kamar mandi dan berdandan secantik mungkin. Saat sedang memoleskan lipstik, telinganya mendengar suara bel dipencet. Adeeva sudah menduga jika itu adalah Alex. Buru-buru Adeeva segera melanjutkan kegiatan dandan-nya dan segera keluar kamar untuk membuka pintu.Namun, saat sedang berjalan menuju ke arah pintu. Bundanya sudah lebih cepat membuka dan Adeeva bisa menangkap suara seseorang yang memang tidak asing di telinganya. Adeeva berdeham pelan sebelum keluar menuju ruang tamu.Saat yang bersamaan, tamu itu masuk karena bundanya mempersilakan. Dan di saat itu pula Adeeva melihat tatapan mata tajam dari bundanya yang memberikan peringatan karena pria yang diceritakan Adeeva sebagai kekasih atau selingkuhan di Barcelona itu benar-benar datang.“Hai Alex, apa kabar?” sapa Adeeva sambil tersenyum ramah.“Baik. Senang bertemu denganmu. Aku pikir tidak bisa menemukanmu. Untung s
Drrt. Drrt. Drrt.Adeeva langsung meraba-raba ke arah sembarang untuk mencari ponselnya. Apalagi ia semalam sudah menghabiskan waktu telepon berjam-jam dengan Baim. Ya, hubungan Adeeva dan Baim saat ini mulai semakin dekat juga intens. Terlebih Adeeva selalu berbinar dan senang jika sudah membahas soal Ayesha. Dan, Baim pun sudah mengetahui konflik atau keadaan Adeeva yang tidak bisa memiliki anak hingga memperboleh Ayesha untuk dianggap sebagai anak-nya. Baim merasa prihatin mendengar kisah Adeeva yang dicampakkan oleh pria bule itu. Baginya, pria seperti itu sangatlah tidak gentleman.“Halo.”“Morning,” sapa seseorang di seberang telepon sana. Adeeva yang terkejut langsung segera membuka matanya. Ia melotot tak percaya jika yang menelepon saat ini adalah Alex.Dengan susah payah, Adeeva mencoba menjawab sapaan Alex. Ia berdeham pelan dan menelan ludahnya susah payah agar kerongkongannya tidak terasa kering.“A-
Adeeva pun terkejut saat memahami ucapan Kiki. Dia langsung terpekik hingga membuatnya meloncat dari atas kasur yang membuat Kiki semakin bingung.“Bunda, seriusan Adeeva tidak ada hubungan apa-apa sama dia. Kami profesional aja sebagai pemilik kafe dan customer. Bunda ingatkan kalau Adeeva pernah cerita jika ada customer menyebalkan? Nah dia itu customernya—yang ternyata klien Ayah.”“Kok dunia bisa sesempit ini, sih?” komentar Kiki menanggapi.Adeeva pun hanya mengangkat kedua bahunya tidak tahu. Ia langsung berjalan mendekat ke arah ranjang dan duduk di depan Kiki.“Kata Ayah dia duda anak satu. Istrinya meninggal saat lahiran. Katanya pendarahan gitu, Bun. Adeeva ngelihat anaknya itu kasihan banget. Anaknya padahal cantik banget, Bun. Nasib dia malang banget enggak bisa melihat dan merasakan sesosok Ibu.”“Siapa sih nama itu customer?” tanya Kiki, penasaran.“Baim.”
Adeeva merasa canggung saat ini. Bahkan lidahnya terasa kelu untuk mengucapkan kata perpisahan. Maksudnya akan pamit pulang. Alhasil ia hanya diam mematung saja saat ini. Hingga akhirnya Baim langsung berdeham pelan dan menyuruhnya duduk.“Silakan duduk, saya enggak mau membuat seorang tamu kakinya keram karena terlalu lama berdiri.”Adeeva tersenyum, dan segera duduk. “Terima kasih.”“Hm.”Bahkan kini Baim ikut duduk di seberang Adeeva. Ia membuang muka saat Adeeva ingin menatapnya. Entah kenapa ia menjadi salah tingkah sendiri seperti ini. Bahkan Baim sudah berkali-kali berdeham untuk menetralkan rasa gugup yang dirasakannya.Tak lama, Bi Surti turun dari lantai atas. Bibirnya mengulas senyum tipis melihat interaksi yang sangat begitu kaku itu.“Bi,” panggil Baim.“Iya, ada apa? Tadi Ibu Ziva hebat banget lho bisa membuat Ayesha tertawa. Dia sepertinya nyaman digendongan Ibu Adee
Pada akhirnya Adeeva pun menerima permintaan dari sang ART itu untuk masuk ke rumah yang didesain ala mediterania. Awalnya Adeeva menolak karena ingin langsung pulang saja. Namun, melihat sang ART yang begitu memohon membuat Adeeva terpaksa mengiyakan.“Kalau boleh tahu nama Ibu siapa?” tanya ART itu dengan sopan.“Oh, nama saya Adeeva Putri Anggara, tapi panggil saja Adeeva.”“Nama yang cantik. Hampir mirip sama mamanya Ayesha, ya.”Adeeva mengerut bingung saat mendengar ucapan itu. Adeeva enggak paham kenapa ART ini seperti gencar sekali menjodohkan dirinya dengan bos-nya itu. Padahal baru juga bertemu.“Ibu Adeeva mau minum apa?” tanya ART itu, sambil menaruh bayi gembul itu ke sebuah bouncher. Adeeva yang melihat bayi itu merasa gemas sendiri. Bawaannya pengin gigit pipi yang tampak tembam itu.“Apa aja, tapi air putih saja.”“Kalau begitu saya permisi dulu mau ambi
Sudah hampir seminggu ini Adeeva tidak melihat sesosok Baim datang ke kafenya. Apalagi pertemuan terakhir dia dengan Baim berlangsung tidak baik. Entah kenapa Adeeva menjadi kepikiran saat ini.“Zia, pelanggan aneh itu enggak ke sini?”Zia menggeleng pelan. “Udah hampir semingguan ini dia enggak datang, Kak. Bahkan sore pun tidak datang.”Adeeva yang memang berjaga pagi hingga siang saja tidak tahu kondisi kafe di sore hingga malam hari. Karena Adeeva harus menemani grandma-nya di rumah. Adeeva ingin lebih banyak menghabiskan waktu bersama sang grandma. Akan tetapi hari ini ia sengaja berjaga sampai tutup kafe karena merasa penasaran dengan pria bernama Baim itu.“Apa dia malu mau datang ke sini lagi setelah tahu kalau aku anaknya dari pemilik kafe?” gumam Adeeva, menerka-nerka. “Tapikan kalau emang suka makan di sini tinggal datang aja seperti biasa. Enggak usah pikirin soal keributan kemarin dong. Ih engga
Adeeva menatap bingung ke arah pria itu. Bahkan saat pria itu telepon dengan seseorang menggunakan bahasa sunda membuat Adeeva hanya mengerutkan kening bingung. Pasalnya ia tidak tahu arti yang diucapkan pria yang entah siapa namanya.Setelah selesai berbicara. Pria itu langsung berbalik badan dan menatap Adeeva sengit. Karena ia sudah pasti akan menang dari cewek tengil di depannya ini.“Kita tunggu sebentar lagi pemilik kafe ini akan datang,” ucapnya dengan gaya watados-nya.Adeeva semakin mengerutkan kening bingung kala mendengar ucapan ngawur pria itu. Pemilik kafe-nya ia sendiri. Memangnya menunggu siapa? Apa menunggu ayah Ryan?“Oh ya? Memang siapa nama pemilik kafe ini?” tantang Adeeva, jemawa.“Tentu Pak Ryan Anggara.”“Hahaha, itu Ayah saya.”“Halah, ngaku-ngaku kamu. Bawahan aja bisa belagu begini, ya. Anaknya Pak Ryan itu di luar negeri ikut suaminya. Masa anaknya
Mau tidak mau saat ini Adeeva maju sendiri untuk melayani customer aneh itu. Adeeva sudah siap mendengarkan semua menu pesanan dari mulutnya. Namun, sudah berdiri sekitar sepuluh menitan tidak ada ucapan apapun dari mulut pria itu yang membuat Adeeva dongkol.“Bapak mau pesan apa?” tanya Adeeva kemudian.Tetap saja Adeeva hanya didiamkan oleh pria itu. Dia lebih sibuk membolak-balik buku menu dan dilakukannya berulang yang membuat kepala Adeeva terburu mengebul mengeluarkan asap putih.“Ekhem! Bapak ingin pesan apa? Dari tadi saya perhatikan kalau Bapak hanya membolak-balik buku menu tanpa mau memesan.”Adeeva terkejut kala pria itu justru menaruh buku menu dan berdiri menghadap ke tubuh Adeeva yang tingginya benar-benar lumayan. Adeeva saja sedada pria itu hingga membuatnya langsung mendongak.“Pelayan cerewet! Kemarin-kemarin saja tidak ada kamu suasana kafe ini aman. Saya pikir kamu dipecat hingga saya merasa lega.
Selesai berdiskusi soal harta warisan milik Marinka. Kini Adeeva sudah memutuskan dengan sangat bulat jika seluruh harta yang dimilikinya akan ia sumbangkan ke sebuah yayasan. Awalnya, pengacara itu terus membujuk Adeeva untuk terus meneruskan dan mengelola, namun mengingat kata-kata Leonel yang menyakitkan membuatnya benar-benar bulat untuk menyerahkan ke tempat yang tepat. Lagipula jika harta itu diberikan pahala akan mengalir ke Marinka bukan? Dan, Adeeva akan hidup tenang di negaranya sendiri.Selesai urusan harta warisan selesai, Adeeva segera mengurus tiket penerbangan ke Indonesia. Ia tidak sudi menghadiri acara pernikahan sang mantan itu. Adeeva ngeri nanti di sana harga dirinya akan diinjak-injak oleh Leonel ataupun Elizabeth.Entah kenapa sejak pertemuan terakhirnya di depan pintu kamar hotel dengan Alex, pria itu mendadak tidak bisa dihubungi. Padahal Adeeva hanya ingin pamit pergi pulang ke Indonesia. Entah kenapa pria-pria di sini semuanya membuat hati Ade