“Jadi, kamu dan Kenan akhirnya menikah. Kamu ingat tentang janjimu pada saya waktu itu, Hania?”
Hania hanya bisa tertunduk, menatap tangannya sendiri yang sejak tadi saling berpilin. Beberapa menit lamanya ia duduk di sini untuk mendengarkan Pak Rahwana yang berdiri dekat jendela berbicara.
Banyak hal.
Di mana semuanya hanya tentang keluarga Prince.
Hal yang sebenarnya sudah Hania ketahui dari Kenan. Selama bertahun-tahun bekerja dengannya, bukan hal yang aneh bukan jika ia tahu tentang seluk-beluk keluarga ini?
Seberapa kaya, seberapa besar pengaruhnya, atau bahkan seberapa luas jangkauan bisnis mereka. Ah! Hania sudah hafal semua tentang keluarga Prince. Dari hal yang diketahui oleh umum, bahkan yang menjadi rahasia.
“Ya. Saya masih ingat.”
Bagaimana mungkin Hania tak ingat akan ancaman Pak Rahwana padanya. Kapan pastinya, itu terjadi setelah setahun bekerja dengan Kenan.
“Profesional, tegas, dan cerdas. Mungkin itu yang bisa saya simpulkan tentang kamu dari apa yang saya ketahui. Jadi, ingat baik-baik. Jika kamu tak mau nasibmu sama seperti bawahan Kenan sebelumnya, jangan pernah sekalipun membuat kesalahan. Sekecil apapun itu! Karena jika itu sampai terjadi, saya pun tak akan segan-segan membuat perhitungan denganmu. Kamu berjanji?”
“Ya! Saya berjanji tidak akan membuat kesalahan sekecil apapun!”
“Itu artinya kamu tak akan terkejut jika saya membuat perhitungan denganmu,” kata Pak Rahwana.
“Tapi, Pak,” lanjut Hania, “saya merasa tidak membuat kesalahan.”
Hania tahu bagaimana caranya bekerja sebagai asisten Kenan. Maka dari selama bertahun-tahun ia mati-matian melakukan yang terbaik untuk mendampingi atasan gilanya ini. Pokoknya tidak boleh ada kesalahan sekecil apapun yang akan merugikan Kenan, karena reputasi keluarga Prince pun dipertaruhkan di sana.
“Benarkah? Jadi menurutmu menikah dengan Kenan bukan kesalahan?”
“Maksud Pak Rahwana?”
“Asal kamu tahu saja. Saya tak pernah merestui pernikahan kalian kalau bukan karena ancaman Kenan. Dan itu semua adalah kesalahanmu! Ini kali pertama Kenan berani melawan saya hanya demi menikah dengan perempuan seperti kamu. Jadi, kamu tentu tahu konsekuensi macam apa yang akan kamu tanggung setelah ini!”
“Pak, sa—”
Hania sampai kesulitan berkata-kata setelah mendengarkan perkataan Pak Rahwana. Karena selama seminggu ini, dari acara lamaran bahkan sampai pernikahan, semuanya berjalan sangat lancar. Pak Rahwana sendiri juga menyempatkan hadir di acara penting tersebut.
Tapi, kenapa mendadak Pak Rahwana mengatakan hal demikian? Apa maksudnya ini?
“Bagaimana dengan Singapura? Rumah, gaji, pelayan, sampai akomodasi, semuanya yang kamu butuhkan akan kamu dapatkan. Segera gugat cerai Kenan setelah ini. Saya tak peduli apa alasannya. Yang terpenting kamu harus berpisah dengannya sekarang juga. Maka imbalan apapun yang kamu inginkan akan saya berikan. Bukankah itu sepadan?”
“Sa–”
Pintu terbuka dengan suara keras. Disusul oleh Kenan yang muncul dari baliknya.
“Sedang apa Papah di sini?!” teriak Kenan lantang.
Hania dan Pak Rahwana sama-sama mengalihkan pandangan pada Kenan.
“Ayo keluar!” Kenan mencengkeram lengan Hania, menariknya sekuat tenaga yang untungnya tak memberontak.
“Pikirkan tentang tawaran saya, Hania. Saya tunggu jawaban kamu besok pagi.” Pak Rahwana berseru keras. Tak peduli akan keberadaan Kenan atau bahkan apa tengah dilakukannya saat ini.
“Hania tak akan menerima tawaran apapun dari Papah!” Kenan menjawab yakin sambil menatap Hania yang tengah tertunduk lesu.
Setelahnya Kenan segera menarik Hania keluar dari kamar hotel itu. Tak sekalipun melepaskan cengkeramannya sampai keduanya tiba di kamar hotel lain.
Kenan menjejalkan Hania yang diam saja ke dalam kamar hotel tersebut. Tepat ketika itu sebuah suara memanggil nama Kenan. Bu Sinta tampak terengah-engah mendorong kursi rodanya menuju ke arah mereka.
Namun, Kenan hanya diam sebentar. Menatapnya sebentar. Lalu ia masuk ke dalam kamar itu dan menguncinya segera.
***
Baik Hania maupun Kenan, keduanya sama-sama bungkam. Lebih tepatnya, Kenan tak berani angkat suara. Melihat raut wajah Hania yang kusut saja sudah membuat ia enggan mengusik perempuan yang mendadak jadi pendiam itu.
“Apa yang kamu bicarakan dengan Papah tadi?” serbu Kenan memberanikan diri. Sudah tak ingin basa-basi lagi.
“Bukan hal penting.”
“Tawaran apa yang Papah berikan sama kamu agar kita bercerai? Pekerjaan? Jabatan? Uang? Rumah? Atau apa?”
“Pak!”
“Tolak semuanya! Saya bisa berikan apa yang Papah tawarkan. Kita tak perlu bercerai hanya demi tawaran Papah. Kita sudah menyepakati semuanya, bukan?”
“Sejak dulu, saya bercita-cita membangun sebuah keluarga harmonis dan hangat. Awalnya, saya bisa membayangkan hal itu saat bersama Alif. Tapi, tiba-tiba semua cita-cita itu musnah karena perselingkuhannya dengan Maya. Lalu, saya tersadar. Kalau cita-cita saya itu mungkin memang sangat mustahil. Bagaimana tidak? Keluarga saya saja tak seharmonis dan sehangat yang saya pikir. Saya sudah mengubur cita-cita itu sejak tahu Alif berselingkuh. Menikah atau tidak, saya tidak mengharapkan apapun selain masih bisa hidup.”
“Nia, sa–”
Terdengar isak yang perlahan Kenan dengar. Berhasil menghentikan mulutnya untuk melanjutkan kata-katanya. Ia melirik Hania sesekali yang tampak tengah menangkupkan dua tangan di wajah. Kenan perlahan berjalan mendekati perempuan itu, duduk tak jauh darinya.
“Hania… dengarkan saya. Sa—”
Tiba-tiba Hania menampakkan wajahnya yang sudah basah. Penuh air mata. Membisukan kembali Kenan dalam seketika. Bersamaan dengan emosinya yang perlahan meluap penuh amarah.
Ini kali pertama Kenan melihat Hania menangis.
“Pak Rahwana memberikan tawaran agar saya bisa memulai kehidupan baru di Luar Negeri. Menurut saya, itu setimpal dengan apa yang Pak Kenan janjikan.” Hania tersenyum tipis. “Ayah dan anak menganggap saya seperti barang dagangan. Beruntung sekali ternyata saya ini!” Ia terkekeh dengan air mata yang kembali mengucur.
“Sudah saya duga! Papah pasti melakukan segala cara untuk membuat kita bercerai.” Kenan mengepalkan tangannya erat. “Kamu tak perlu menerima tawaran itu!”
“Kenapa Pak Kenan gak jujur sejak awal kalau Pak Rahwana gak merestui pernikahan kita? Apa kedatangannya waktu itu ke kantor untuk membahas pernikahan kita?”
“Bukan urusanmu! Ini urusan saya dan Papah!”
“Tapi, gak perlu sampai segininya, Pak! Kita hanya menikah kontrak! Apa pentingnya melanjutkan pernikahan ini kalau memang Pak Rahwana gak merestui? Pak Kenan jangan berlebihan!”
“Lalu kenapa kalau kita menikah kontrak? Toh kita sudah sah menikah baik secara hukum dan agama. Mau kamu bilang ini hanya menikah kontrak, kamu dan saya tetap suami-istri yang sah! Dan kamu pikir saya akan semudah itu menceraikan kamu?”
Kenan benar-benar ingin marah. Bukan hanya pada keluarga Hania atau tawaran Pak Rahwana pada Hania, tapi juga pada dirinya sendiri.“Jangan harap! Silakan lakukan segala cara untuk bercerai dari saya, maka saya pun akan melakukan segala cara untuk mempertahankan pernikahan ini. Kita tak akan semudah itu untuk bercerai!”
Hania menggebrak pintu apartemen dengan wajah murka. Matanya dengan cepat menyelidik ke setiap sudut ruangan yang tampak kacau balau sebelum terakhir dia meninggalkan tempat ini karena terpaksa. “Maya! Di mana kamu?” teriak Hania lantang.Tujuannya kembali ke apartemen ini bukan untuk kembali tinggal di sini, melainkan untuk mencari Maya yang ia curigai sudah menyebarkan surat perjanjian nikah kontraknya dengan Kenan ke publik.Ya. Publik tiba-tiba gempar oleh selebaran surat perjanjian nikah kontraknya dengan Kenan yang sudah batal itu. Tersebar dengan cepat memenuhi berbagai media sosial. Bahkan sampai masuk berita gosip selebriti, padahal Kenan maupun Hania bukanlah publik figur!Nihil! Tak ada siapapun di tempat ini yang Hania duga sebagai tempat keberadaan Maya. Tersangka utama yang membuat kerusuhan seperti ini. Kalau bukan dia, memang siapa lagi yang berani membuat Hania selalu dalam kesulitan?Seolah apa yang selama ini Hania korbankan, tak cukup memuaskan Maya. Ada saja hal
“Karena aku mencintaimu, Hania! Aku menyukaimu! Aku jatuh cinta padamu! Aku ingin kamu menjadi milikku!”Kenan berteriak lantang sekencang-kencangnya, meledakkan segala hal yang selama ini dipendamnya. Tak perlu ditanya lagi seperti apa berisiknya jantungnya sekarang.Tapi, melihat Hania yang diam saja, muncul perasaan khawatir. Ini bukan reaksi yang ia harapkan!Setidaknya, katakan sesuatu! Menampakkan raut wajah terkejut sekaligus bahagia misalnya.Tapi, ini?Ekspresi Hania begitu datar. Bibir terkatup rapat dengan tatapan setajam singa yang tengah berhadapan dengan rivalnya. Apakah ungkapan Kenan barusan seperti sebuah bom berbahaya sampai Hania harus bereaksi demikian?Kenan berdecak sebal. “Kamu ini benar-ben–”“Kalau perkataan Mas itu benar, untuk apa Mas menerima tawaran Putri?” Hania menarik salah satu sudut bibirnya. “Untuk membuat aku cemburu?” serangnya sengit.Melihat Kenan yang diam saja, Hania tahu jika tebakannya tak meleset. Apalagi hal ini sempat suaminya itu singgun
“Bagaimana pendapatmu?” tanya Kenan sesaat setelah Putri menghilang dari pandangannya. Diliriknya Hania yang tak banyak bicara sejak mereka tiba di tempat ini. Hania membuang nafas sebelum menjawab pertanyaan itu tanpa sedikitpun menoleh pada Kenan.“Pendapat apa?” balas Hania sambil melemparkan pandangan kembali ke arah lapangan golf. Baginya, pemandangan yang didominasi warna hijau itu lebih menyenangkan dipandang daripada bersitatap sedetik saja dengan Kenan.Entahlah. Rasanya Hania enggan sekali melihat Kenan sekarang.“Tentang pernikahan kontrak Mas dengan Putri. Kamu tidak akan berpendapat apapun? Atau bertanya apapun misalnya?”Sungguh! Jika boleh jujur, isi kepala Hania sekarang benar-benar kosong. Ia tak tahu harus berbuat apa selain ingin segera pergi atau menghilang dari hadapan Kenan. “Gak ada,” jawab Hania singkat sambil melepaskan genggaman tangan Kenan yang terasa melonggar. Ada sedikit perasaan kesal setelahnya. Hania tiba-tiba melangkah menuju beberapa anak tangga,
Genggaman tangan Kenan terasa tak nyaman. Ingin sekali Hania menepisnya kasar, namun berkali-kali perasaan itu ia enyahkan. “Kamu hanya istri kontraknya, Nia!” Kalimat itu terus bergulir di kepalanya sekarang. Seperti pengingat akan semua tindakan yang hendak Kenan lakukan setelah ini, bukanlah hal penting untuk ia pedulikan.Termasuk ketika keduanya harus menemui Putri di lapangan golf ini sekarang. Bermaksud untuk membahas kelanjutan dari tawaran Putri yang ingin menjadi istri kedua Kenan. Hania tak berhenti menyadarkan dirinya bahwa posisinya saat ini sama sekali tak penting bagi Kenan, apalagi jika sampai ikut campur urusannya terlalu dalam.“Kamu hanya perlu memberikan Kenan anak dan setelah itu bercerai, Nia. Jangan pedulikan dia memiliki istri satu atau bahkan lebih. Itu bukan urusanmu!” batin Hania berbisik tak henti.Sambil menikmati secangkir teh hangat, sesekali mengalihkan pandangan ke arah hamparan rumput hijau yang membentang sejauh mata memandang, Hania lekat memperha
Tahu begini, Hania tak perlu menerima tawaran Kenan.Cara pria itu memegang pisau saat memotong wortel mirip seperti bocah kecil yang baru pertama kali menyentuh alat-alat dapur. Teledor, ceroboh, dan menimbulkan kecemasan bagi siapa saja yang melihatnya. Belum lagi, potongan wortel itu melebihi ukuran yang Hania inginkan. “Mas, wortelnya potong dadu. Bukannya segede jempol orang dewasa. Susah mateng dan gak bisa ditelan sekaligus nantinya.” Keluh Hania. Kali saja Kenan mendengar usulannya ini dan segera memperbaiki kesalahannya karena ia benar-benar merasa gemas sekali ingin mengusir Kenan dari sini.“Yang penting kepotong, kan? Ada kok masakan yang pake wortel utuh tanpa dipotong.” Balas Kenan tampak tak terima. Ia sedikit pun tidak menoleh pada Hania yang sedang menatapnya tajam. Tetap fokus memotong sisa wortel yang ada.“Tapi, ukurannya gak sesuai masakan yang mau aku buat, Mas.”“Buat masakan sesuai ukuran yang Mas buat aja kalau gitu.”Hania memijit pelipis. Kepalanya menda
“Kertas apa itu yang ada di tangan kamu?”Alif menelan salivanya dalam-dalam sambil meremas ujung-ujung kertas yang sangat ingin ia lenyapkan detik ini juga.“Ah! Ini–” Alif memutar otaknya untuk mencari jawaban. Ia tak ingin Maya melihat apa yang dilihatnya saat ini. “Aku butuh untuk mencatat sesuatu. Tadi ada beberapa kertas berserakan di lantai. Kupikir ini kertas yang tak Hania akan pakai. Isinya juga,” Alif mengacungkan sekilas kertas itu, “sudah aku baca dan bukan hal penting. Kamu tidur lagi saja, May.”Terburu-buru Alif keluar dari kamar. Lega karena Maya tak sampai melihat secara langsung isi kertas yang sekarang ada di tangannya.Tak mau melakukan keteledoran yang sama, Alif segera melipat beberapa lembar kertas itu dan menyembunyikannya di saku lagi. Ia terduduk di sofa sambil mengingat-ingat isi kertas yang berhasil ia baca sebagian.“Pernikahan kontrak? Apa mungkin Hania dan Pak Kenan menikah kontrak?” gumam hatinya.Berulang kali ia mencoba tak mempercayai isi kertas itu