"Jadi, uang buat modal bengkel bapak itu dijambret, Sayang?" tanya Ken setelah mendengar cerita bapak mertuanya di ruang makan tadi. "Iya, Mas. Semua karena ibu. Dia bawa semua uang itu ke pasar buat beli perhiasan. Naas malah dijambret orang." Hanum kembali berdecak kesal. "Belum rezeki bapak, Sayang. Lain waktu aku belikan saja peralatan bengkel, jadi nggak kukasih dalam bentuk uang. Gimana?" tanya Ken lagi seolah tak ada penyesalan di hati karena mertuanya menyelewengkan amanahnya. Hanum menoleh lalu kembali menatap lekat suaminya. "Mas Ken nggak marah atau kecewa karena uang itu hilang begitu saja?" tanya Hanum geleng-geleng kepala. "Kecewa mungkin ada, Sayang. Tapi kalau marah, nggak lah. Mau gimana lagi? Konsepnya belum rezeki. Sekuat apapun digenggam juga bakal terlepas jua. Semoga saja uangnya digunakan sebaik-baiknya oleh penjambret itu." Ken mengusap puncak kepala istrinya lalu kembali tersenyum. "Kalau ibu nggak serakah, mungkin uang itu juga nggak akan hilang, Mas. Ba
Adzan subuh berkumandang. Ken sudah siap ke masjid dengan baju rapi dan sajadah yang tersampir di pundaknya. Hanum pun gegas beranjak dari ranjang lalu membereskan selimut, bantal dan tempat tidur yang sedikit berantakan. "Sayang, ke masjid dulu ya?" Ken tersenyum saat Hanum menoleh ke arahnya. "Iya, Mas. Hati-hati di jalan." "Assalamualaikum." "Wa'alaikumsalam, Mas," balas Hanum lagi sembari mengangguk pelan. Setelah pamit pada istrinya, Ken gegas keluar kamar. Seperti biasa, bapak mertuanya sudah menunggu di rumah keluarga. Kedua laki-laki itu berjalan beriringanenuju masjid yang tak terlalu jauh dari tempat tinggal mereka. Azziz sesekali juga ikut jamaah ke masjid, tapi kadang dia memilih sholat di rumah entah karena apa. "Mas, ngapain sih kamu bangunin aku sepagi ini?" Suara Rena terdengar dari kamarnya. Sepertinya dia baru bangun. "Sholat subuh, Dek. Ayo sama aku. Tadi aku kesiangan makanya nggak jamaah ke masjid," balas Azziz dengan volume suara lebih rendah dibandingkan
"Mau ke mana, Ren?" tanya Mawar saat melihat anak perempuan dan menantunya keluar dari kamar dengan dandanan rapi. "Mau ke dealer, Bu. Kami sudah sepakat ambil mobilnya hari ini," balas Rena begitu semringah. Dia yang sebelumnya ngomel-ngomel tak karuan hanya karena perkara secangkir kopi, akhirnya luluh setelah Azziz mengajaknya ke dealer untuk membeli mobil. Sesuai rencana, mahar uang dan emas itu akan digunakan untuk membeli mobil pilihan Rena. Kekurangannya akan diangsur tiap bulan. "Beneran mau beli mobil, Ren?" Mawar ikut semringahendengar kabar bahagia itu. Rena melipat tangan ke dada lalu tersenyum lebar. "Beneran dong, Bu. Nanti kita bisa jalan-jalan dan shopping kalau sudah ada mobil." Mawar mengangguk lalu menepuk pelan lengan anak kesayangannya. "Ibu bangga sama kalian berdua. Pokoknya ibu dukung. Jangan sampai kalah sama Hanum." Kali ini volume suara Mawar sedikit diturunkan karena tahu Hanum dan Ken masih di kamarnya. "Tenang saja, Bu. Mas Azziz nggak mungkin kalah
Suasana di luar rumah cukup heboh. Beberapa tetangga datang untuk melihat apa yang terjadi di rumah sederhana itu. Hanum yang sebelumnya terlelap pun mulai terjaga dari tidur siangnya. Dia mengerjap pelan lalu mendengarkan suara gaduh di halaman rumahnya. Jarum jam nyaris menunjuk angka dua saat Hanum terjaga. Dia menggeliat pelan lalu turun dari ranjang. Rasa penasaran pun muncul karena suara di luar semakin berisik. Sesekali terdengar tawa mereka. "Hebat sekali, Ren. Baru nikah seminggu sudah bisa beli mobil baru," ujar salah seorang ibu entah siapa namanya. "Resepsi di hotelnya jadi kan, Ren? Apa batal karena dananya sudah buat beli mobil?" "Nggak batal dong! Resepsi itu tetap digelar. Bukannya kamu sudah dapat undangannya? Kok nanya begitu?" tukas Rena sedikit kesal."Kupikir dibatalkan. Soalnya kaya nggak ada kabar lagi." "Makanya, lihat tanggalnya dong. Sudah jelas di situ tanggal berapa. Kalaupun aku kelihatannya nggak ngurusin ya memang semua sudah dihandle suamiku. Lagip
"Mau cash atau kredit yang penting bisa bayarnya, Bu. Ngapain repot coba? Rena kemarin dapat mahar banyak dari Azziz. Tabungannya juga lumayan, makanya semua dipakai buat beli mobil ini." Mawar menimpali. Dia tahu jika anak perempuannya benar-benar malas jika harus membahas soal pembelian mobil itu. Dia nggak suka jika nanti menjadi bahan olokan karena tahu mobilnya belum lunas, sementara gayanya sudah seperti bos besar. "Benar juga yang dikatakan Bu Mawar. Lagian repot amat sih Bu Maryam ini pakai tanya cash atau kredit segala. Kalaupun kredit, mereka juga bisa bayarnya. Rena sama Azziz kan kerja kantoran dengan gaji jutaan. Kalau cuma bayar cicilan mobil dua atau tiga juta mah kecil." Ibu lain menyahut. Ada yang hanya diam saja karena jengah melihat kesombongan Rena dan ibunya, tapi ada pula yang mengiyakan alasan Mawar. Terserah mau kredit atau cash, yang penting tak merepotkan mereka. Begitu pikirnya. "Mas ... ngapain di situ? Makan dulu sini," panggil Hanum saat melihat suami
"Sudah pernah ke Jogja, Dek?" tanya Ken setelah sampai di kota kelahirannya itu. Hanum menggeleng pelan. "Belum pernah?" tanya Laki-laki itu lagi. "Belum, Mas. Dulu saat SMA ada study tour ke Jogja saja Hanum nggak ikut karena nggak ada biaya. Hanum ini beneran perempuan rumahan, nggak pernah kemana-mana. Tiap hari paling ke sekolah, ke pasar, ke warung gitu-gitu doang. Makanya, pantaslah kalau Mbak Rena selalu nyebut Hanum perempuan kampungan. Memang kenyataannya begitu," balas Hanum dengan senyum tipis. Senyum yang menyimpan beragam kepahitan hidupnya. "Kasihan istriku ini. Sudah nggak apa-apa. Itu bagian dari masa lalu. Mulai sekarang, kamu akan kuajak jalan-jalan, belanja, makan-makan, pokoknya apapun yang kamu mau bilang saja ya?" balas Ken sembari mengusap pelan puncak kepala istrinya. Kedua mata Hanum kembali berkaca. Hanum berpikir, entah kebaikan apa yang pernah dilakukannya sampai bisa memiliki suami seperti Ken. Dia benar-benar tak menyangka jika lelaki yang sebelumnya
"Mas, apa masih jauh?" tanya Hanum saat Ken baru saja menyelesaikan obrolannya dengan klien via handphone. Ken menoleh lalu menggeleng pelan. "Sebentar lagi, Sayang. Mungkin sepuluh menitan. Kenapa?" tanya Ken menatap lembut wajah istrinya yang kini terlihat gusar. "Hanum deg-deg an, Mas," ujarnya lirih. Hanum menghela napas panjang. Jemarinya sibuk bermain dengan ujung tas selempangnya yang kecil. Pandangannya sesekali melirik ke luar jendela mobil, memperhatikan pepohonan yang berjajar rapi di sepanjang jalan menuju rumah Ken. Dia membuka sedikit kaca jendela. Kebetulan suasana sedikit mendung, membuat udara di luar terasa berbeda--lebih sejuk dan tenang. Namun, di dalam dirinya, suasana begitu bergejolak. Ini adalah pertama kalinya Hanum akan bertemu keluarga suaminya. "Sayang, jangan dibuat cemas atau takut. Percayalah, kamu pasti bakal suka sama mereka," kata Ken sambil melingkarkan lengan kanannya ke pinggang Hanum. "Hanum juga sudah berusaha tenang, Mas. Tapi,
Hanum duduk dengan kedua tangannya di pangkuan, menggenggam erat ujung kerudungnya. Di hadapannya, suami dan mama mertuanya berbincang santai, sementara kakak iparnya, Raka, sesekali menyisipkan komentar. Meira pun tak mau kalah. Terkadang dia ikut menimpali obrolan. Semua terasa begitu hangat dan menyenangkan. Namun, kedatangan lelaki dengan rambut nyaris penuh uban itu membuat Hanum kembali diterpa gelisah. Dia bertubuh tegap dengan kemeja putih yang masih rapi meski seharian dipakai bekerja. Wajahnya tegas, dengan alis tebal dan sorot mata yang tajam. Hanum langsung menunduk sedikit, mencoba menghindari tatapannya."Papa," sapa Ken sambil berdiri. "Sudah pulang?" sambungnya sembari mencium punggung tangan papanya. Wicaksono, papanya Ken pun mengangguk kecil. Sorot matanya masih tertuju pada Hanum. Wajahnya tetap datar, tak ada senyuman, membuat Hanum semakin merasa terintimidasi."Ini Hanum, Pa," lanjut Ken, memperkenalkan. "Istri aku."Wicaksono berjalan mendekat, berdiri tegak
"Bapak beneran mau pisah sama ibu?" tanya Hanum saat sarapan dengan bapaknya. Pagi ini, Mawar buru-buru pergi ke rumah adiknya karena akan ada syukuran kecil-kecilan. Dia diminta untuk bantu-bantu beberes rumah dan memasak. "Bapak capek, Num. Kamu tahu sendiri bagaimana perangai ibu dan kakakmu itu. Mereka nggak pernah menghargai bapak." Rudy meneguk segelas air bening di gelas yang disiapkan Hanum lalu meletakkan kembali ke meja. "Hanum tahu, Pak. Tapi, apa nggak ada kesempatan lain untuk mereka?" tanya Hanum lagi. Hanum paham betul bagaimana perasaan bapaknya. Selama ini dia dan bapaknya memang selalu mengalah dalam hal apapun. Mereka tak suka debat dan ribut, makanya lebih memilih diam atau mengalah. Namun, semakin lama memang rasanya semakin jengah karena Rena dan ibunya tak pernah introspeksi. Mereka sama-sama keras kepala dan selalu merasa paling benar. "Bapak butuh seseorang di hari tua. Bukannya dulu bapak mengizinkan Hanum dan Mas Ken pindah dari sini kapan pun? Bapak j
"Saya mau bercerai dengan Rena, Pak, Bu. Maaf kalau saya nggak bisa melanjutkan pernikahan ini. Saya menyerah," ucap Azziz setelah beberapa hari tak pulang ke rumah. Jelas tak pulang karena barang-barangnya pun sudah dibawa pergi. Dia kembali ke rumah orang tuanya. Meski dipaksa ibunya untuk bertahan dan memperbaiki hubungannya dengan Rena, tapi Azziz tak peduli. Keputusannya sudah bulat untuk berpisah. Baginya, kesalahan Rena sudah cukup fatal dan dia tak ingin membuang waktu untuk memberi kesempatan lagi. "Pernikahan kalian baru setengah tahun, masih seumur jagung. Apa nggak ada kesempatan kedua untuk Rena, Ziz?" Rudy bertanya dengan tenang. Dia menatap menantunya lekat, sementara Azziz lebih memilih menunduk. Bukan karena takut, tapi dia segan menatap balik bapak mertuanya itu. "Maafkan saya, Pak. Saya menyerah. Tak sanggup mendidik Rena lebih baik. Maaf kalau saya sangat mengecewakan bapak. Maaf juga karena saya sudah menyakiti kedua anak bapak," ucap Azziz masih dengan menundu
"Apa maksudmu ngomong begitu? Oh, kamu juga seperti mereka yang mengira kakakmu gila? Perlu obat penenang, perlu ke psikiater atau psikolog segala, begitu, Num?!" sentak Mawar membuat Hanum mundur selangkah. Meski tanpa suara, Ken semakin mengeratkan genggaman tangannya untuk menenangkan Hanum. "Kamu senang kan sekarang lihat Rena seperti itu? Puas sudah membuatnya seperti ini?!" tukas Mawar lagi. "Membuat Mbak Rena seperti ini, Bu? Maksud ibu apa menuduh Hanum begitu?!" Hanum membela diri. Dia tak terima difitnah sedemikian rupa oleh ibu tirinya itu, apalagi di depan banyak orang. "Bukannya Mbak Rena yang awalnya membuat hidup Hanum hancur? Dia yang berkhianat. Kenapa sekarang ibu justru menyalahkan Hanum? Nggak salah sasaran kan, Bu?" Hanum mulai berani membela dirinya lagi. Ken menoleh, lalu mengangguk pelan. Dia mendukung keberanian istrinya. Sudah cukup lama diam dan mengalah, waktunya untuk unjuk gigi karena mengalah pun percuma, mereka tak pernah peduli akan hal itu. "Lih
"Kenapa kamu bisa begini, Ren?!" Mawar setengah berteriak saat melihat anak kesayangannya mengobrak-abrik beberapa barang di ruang tamu. Para tetangga tak berani mendekat karena Rena begitu kesetanan setelah motor dan mobilnya diangkut dealer. Azziz pun memilih pergi entah kemana. Sepertinya dia benar-benar malas melihat istrinya yang sulit diatur dan kelewat batas. "Menantu kesayangan ibu itu sudah menghancurkan hidupku. Apa laki-laki seperti itu yang menurut ibu terbaik dan layak dipertahankan?!" sentak Rena dengan mata memerah. Dia mengusap kasar kedua pipinya yang basah air mata. "Tak ada asap kalau tak ada api, Rena! Azziz begitu setelah melihatmu--Mawar tak melanjutkan kalimatnya. Di melirik sekitar yang masih banyak tetangga. Sekesal dan semarah apapun pada anaknya, Mawar masih berusaha menutupi aibnya di depan banyak orang. Dia juga tak ingin nama baik anak perempuannya makin tercemar. "Bukannya ibu bilang kalau tak ada asal kalau tak ada api? Sama halnya denganku, Bu. Ak
"Oh, ternyata kalian di rumah?!" tukas Rena saat melihat Ken dan Hanum duduk santai di teras belakang. Hanum menoleh, begitu pula dengan Ken. Mereka sengaja keluar kamar karena tak ingin terus mendengarkan pertengkaran Rena dan Azziz. Namun, sepertinya Rena tetap salah paham."Iya, Mbak. Kami memang di rumah sejak--"Sengaja menguping pertengkaranku dengan Mas Azziz? Sengaja nggak bawa mobil supaya aku nggak tahu kalau kalian di rumah?!" tuduhnya berapi-api. "Apaan sih, Mbak! Jangan asal nuduh. Ngapain juga aku sengaja nguping obrolan kalian. Nggak penting banget dan kaya kurang kerjaan!" Hanum tak mau kalah. Sekarang dia memang mulai berani membela diri bahkan tak segan menangkis tangan Rena jika dia mulai berani macam-macam. Hanum tak selemah dulu. "Halah! Kamu pasti senang kan lihat rumah tanggaku hancur berantakan? Bangga kamu ya, Num! Sekarang kamu bisa hidup mapan, sementara aku malah seperti ini," sindir Rena sembari melipat tangan ke dada. Hanum beranjak dari kursi. Ken b
"Berhari-hari nggak pulang, apa harus seperti ini sikapmu sama istri sendiri?!" sentak Rena lagi sembari membuka pintu utama dengan kasar lalu membantingnya. Ken yang akan beranjak dari tepi ranjang pun mengurungkan niatnya. Hanum menarik lengan suaminya agar duduk kembali. Mereka sepakat untuk tak ikut mencampuri urusan rumah tangga Rena dan Azziz. Membiarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Kecuali jika ada kekerasan, barulah mereka akan turun tangan. "Istri? Kamu masih begitu luwes menyebut diri sendiri sebagai istri, Ren? Setelah apa yang kamu lakukan selama ini, hah?!" sentak Azziz dengan mata memerah. "Apa seperti itu sikap seorang istri yang wajib dinafkahi, diberikan kasih sayang, cinta dan diperjuangkan hidupnya? Kamu nggak buta dan nggak tuli kan? Namamu sudah buruk di mata banyak orang setelah video itu viral, Rena. Sadar!" bentak Azziz lagi sembari memukul meja ruang tengah. Beberapa barang di atas meja itu berhamburan ke lantai. Di dalam kamar, Hanum mengucap
"Sayang, aku punya sesuatu," ujar Ken saat masuk ke kamarnya. Hanum sudah ada di kamar sejak satu jam sebelumnya. Dia tengah menikmati senja di kamar sembari membaca novel online favoritnya. "Punya apa, Mas?" tanya Hanum saat menoleh ke arah pintu. Ken tersenyum lalu menyerahkan benda kecil ke tangan Hanum. "Apa ini, Mas?" tanya Hanum lagi sembari membolak-balik benda kecil itu. Ken duduk di tepi ranjang sembari menatap lekat istrinya yang terlihat penasaran dengan benda di tangannya. "Perekam suara ya, Mas?" tebaknya kemudian. Ken tersenyum lalu mengangguk. "Benar, Sayang. Itu alat perekam suara," balas laki-laki itu yakin. Hanum manggut-manggut lalu menatap suaminya. "Apa ada rekaman suaranya di dalam?" Lagi-lagi Ken mengangguk. "Suara siapa, Mas?" tanya Hanum lagi. Ken mengambil kembali alat perekam mini itu lalu menyambungkannya dengan USB di laptop. Hanum mendengarkan isi percakapan yang terekam di sana. "Suara Mbak Rena?" lirihnya seolah bertanya pada diri sendiri. Ken
Dua hari setelah penyelidikan diam-diam Hanum dan Ken di butik Clarissa, Ken duduk di warung kopi kecil dengan Bara. Pria berkacamata itu tampak serius sambil mengeluarkan benda kecil seukuran kancing dari tasnya."Ini alat perekam suara. Ukurannya kecil banget, bisa kamu selipin di tas, mobil atau kantong celana mereka. Baterainya tahan tiga hari, dan otomatis nyimpan suara kalau ada pembicaraan di radius 3 meter," ujar Bara menjelaskan. Ken mengangguk."Pas banget. Kita cuma butuh satu rekaman jelas buat Hanum tahu pasti niat buruk mereka berdua. Hanum masih nggak percaya kalau kakak tirinya bisa sejahat itu, sampai sekongkol dengan perempuan yang ingin menghancurkan rumah tangga kami." Ken menghela napas. "Soal foto-foto di hotel gimana, Bro? Kamu nggak langsung seret Rissa ke penjara?" tanya Bara sembari menatap Ken serius. "Sebenarnya aku masih kasih dia kesempatan untuk berubah, Bar. Aku masih lihat kebaikan mamanya selama ini dan hubungan kekerabatan kami. Tapi kalau dia maki
Malam itu, Hanum duduk di ruang tengah sambil menatap layar ponsel. Ken duduk di sebelahnya sembari menyeruput teh hangat buatan istrinya. Potongan bolu terhidang di piring kecil sebagai pendamping. "Mbak Rena bilang mau ke butik bareng Clarissa, Mas. Tapi butik mana?" Hanum bergumam sambil membuka media sosial milik saudara tirinya itu. "Mbak Rena itu orangnya narsis. Biasanya dia update story tiap lima menit. Meski perempuan di sampingnya sengaja diblur, tapi Hanum yakin itu Rissa." Hanum kembali berujar lirih. Ken ikut melongok."Apa ada yang aneh, Sayang?" tanya Ken sembari menikmati sepotong bolu. Hanum menggulir layar ponselnya."Lihat deh, Mas. Tiga puluh menit lalu, Mbak Rena upload video di mobil bareng Clarissa. Meski wajahnya diblur, Hanum yakin itu style Rissa. Captionnya itu makin membuat Hanum bertanya-tanya," ujar Hanum lagi. "Memangnya dia bikin caption apa, Sayang?" Lagi-lagi Ken terlihat cukup tenang dan tak sepanik Hanum."Dia bilang persiapan untuk kejutan spesi