"Kamu tahu siapa laki-laki itu, Vin?" Baim mulai cemas. Vino menggeleng, tapi dia bilang tahu tempat tinggal laki-laki itu karena tak begitu jauh dari rumahnya. "Aku mau ke Jogja dulu, Vin. Lain kali aku ajak kamu ketemu laki-laki itu." Vino mengangguk lalu menepuk bahu Baim perlahan. Kepala Baim kembali berdenyut pusing. Masalah dengan Meira belum usai, berganti masalah baru yang tak kalah memusingkan. Baim benar-benar mengkhawatirkan keadaan Lina yang dia yakini tak baik-baik saja. "Aku harus menyelidiki semuanya!" ujar Baim lirih. Tanpa membuang waktu, dia pamit pada ibunya lalu melangkah tergesa ke mobil. Jarum jam nyaris menunjuk angka tiga sore hari saat Baim keluar dari rumahnya. Baru beberapa meter dari rumah, handphonenya bergetar. Baim menepikan mobil lalu mengambil handphone di saku celananya. Pesan dari Meira terkirim di aplikasi hijaunya. [Aku nggak menyangka saja kenapa kamu bisa percaya begitu saja jika aku selingkuh dengan Mas Arya. Ternyata, sepuluh tahun bersama
[Suamimu cabut gugatan, Mei. Biar Pak Benny yang urus perceraian kamu. Beliau akan ke rumah suamimu untuk mengurus masalah ini. Kamu tak perlu risau, semua akan beres dan kamu akan bebas dari lelaki tak bertanggungjawab sepertinya. Ohya, minggu ini papa nggak bisa ke Jogja. Ada urusan penting yang harus diselesaikan. Kamu hati-hati di sana. Salam buat Raka dan keluarganya ya] Meira baru saja membaca pesan dari papanya -- Adrian. Sudah Meira duga jika Baim akan membatalkan gugatannya, apalagi setelah dia tahu jika semua bukti perselingkuhan Meira dan Arya itu hanya fitnah belaka. Setelah membalas pesan dari papanya, Meira segera menyiapkan seragam sekolah untuk Aldo. Untuk camilan dan makan siang, semua sudah disiapkan pihak sekolah. Meira hanya membawakan susu dan camilan lain sebagai tambahan. Aldo terlihat begitu senang menjalani hari-harinya di sekolah itu meski pulang lebih sore dibandingkan sekolah pada umumnya. Namun, dia sering menceritakan tentang teman-temannya yang seru d
"Siang ini ke kantor Raka ya, Mei. Saya mau ajak dia makan siang di cafe langganan," ucap Sundari pada Meira yang masih sibuk membuatkan Dee segelas susu. "Baik, Bu. Nanti saya siapkan bekal buat Non Dee." Sundari manggut-manggut dengan senyum tipis. Entah apa yang direncanakan Sundari untuk anak sulungnya dan Meira, tapi binar di wajahnya tampak tak biasa-biasa saja.Meira menggendong Dee ke lantai bawah. Baru sampai sofa, terdengar keributan di garasi. Meira dan Sundari saling tatap lalu buru-buru melihat apa yang sebenarnya terjadi. Di garasi rumah Sundari yang luas itu, tampak seorang perempuan modis sedang berseteru dengan satpam baru di rumah itu. "Kamu satpam baru? Pantas nggak tahu siapa saya!" sentak perempuan itu sembari menunjuk-nunjuk laki-laki berseragam putih hitam di depannya. "Iya, Bu. Maaf, biar saya panggilkan ibu Sundari dulu," ujarnya sedikit gugup."Ada apa ini?" Sundari datang dengan tergesa ke pos satpam. Kedua orang itu pun menoleh bersamaan. Sundari cukup
"Stop, Mbak! Dia bukan selingkuhan Mas Adrian, tapi anak kandungnya yang telah lama tinggal di panti asuhan!" ucap Sundari cepat membuat Erina membisu seketika. Meira menutup mulutnya dengan telapak tangan. Tak menyangka jika Sundari akan terang-terangan menceritakan soal itu pada Erina. "Apa maksudmu?!" sentak Erina kemudian. Dia masih tak percaya dengan apa yang dia dengar. "Apa maksudmu bilang begitu, heh?!" sentaknya lagi dengan suara bergetar. Erina maju selangkah demi selangkah ke arah Sundari yang masih bergeming di tempat. Dia tak takut menghadapi Erina yang benar-benarmenampakkan emosinya. "Meira Althafunnisa binti Rahmat Hidayat. Dia adalah anak Mas Adrian dengan almarhumah Mbak Siti. Bayi mungil yang terpaksa dititipkan ke panti asuhan 28 tahun silam karena Mas Adrian nggak mau melihatnya semakin tersiksa jika harus hidup bersamamu!" sentak Sundari tak mau kalah. Rasa hormat yang sebelumnya selalu dia perlihatkan pada Erina dan Adrian sebagai malaikat tak bersayap untu
"Kamu terlalu bo doh makanya bisa ditipu oleh Wicaksono. Dia enak-enakan di luar sana bersama perempuan lain, tak peduli dengan perasaanmu yang terluka karena ulahnya. Dan sekarang, kamu pasti semakin tak tenang setelah anak tirimu tinggal di sini bukan?" Erina tersenyum sinis sembari bersedekap. Di lantai atas, Vonny mendengarkan obrolan mereka sedari tadi. Dia hanya tersenyum mendengar perdebatan mereka di lantai bawah, tepatnya di ruang keluarga. Perempuan itu sengaja tak ikut campur. Dia hanya ingin menyaksikan bagaimana penolakan Erina pada Meira. Melihat Meira tertunduk lesu dengan wajah ditekuk seperti itu membuat rasa berbeda di batin Vonny. Dia bahagia melihat perempuan yang sudah menghancurkan pertunangannya itu terluka. "Siapa bilang? Aku biasa saja bahkan bisa menerima kehadiran Vonny di sini. Sejauh apapun melangkah, Vonny tetaplah anak dari suamiku. Aku akan tetap menghargai kehadirannya karena itu sebagai bukti baktiku pada suami. Aku tak seegois kamu, Erina. Kamu ta
Erina bercucuran darah di trotoar, sementara pengemudi mobil melesat entah ke mana. Raka dan Meira pun buru-buru membawa wanita paruh baya itu ke dalam mobil. Mereka akan ke rumah sakit Pratama Husada yang tak terlalu jauh dari rumah Wicaksono. "Assalamualaikum, Mei. Kamu nggak apa-apa kan?" Sundari begitu khawatir. Dia masih mengurus Dee yang baru saja bangun. "Wa'alaikumsalam, Bu. Alhamdulillah saya nggak apa-apa, Bu. Bu Erina pingsan dan tadi tertabrak mobil. Sekarang kami dalam perjalanan ke rumah sakit Pratama Husada." Meira sedikit gugup menjelaskan. "Ya Allah. Innalilahi wa innailaihi rojiun. Semoga Mbak Erina lekas membaik. Ibu nggak bisa ikut ya, Mei. Di rumah jagain Dee takutnya rewel kalau dititipin ke Yuni. Kasihan dia." "Iya, Bu. Maaf kalau tadi nggak izin dulu. Pak Raka buru-buru membawa Bu Rina ke mobil." "Nggak apa-apa, Mei. Memang seharusnya kamu sama Raka. Semoga saja Mbak Rina nggak kenapa-kenapa. Hati-hati ya, Mei. Kalau ada apa-apa kabari segera." Meira meng
"Golongan darah saya AB, Sus. Ambil dari saya saja bisa?" Meira berujar lirih. Perawat itu pun mengangguk lalu meminta Meira menunggu karena dia akan menyiapkan alat dan tempat untuk transfusi darahnya. "Kamu yakin, Mei? Nggak apa-apa? Sehat kan?" Pertanyaan Raka membuat Meira kembali menoleh. Keduanya saling tatap lagi, tapi kali ini Raka yang salah tingkah. Dia buru-buru mengalihkan pandangan karena tak ingin Meira salah sangka dengan kekhawatirannya. "Ma-- maaf." "InsyaAllah saya baik-baik saja, Pak." Meira mengangguk pelan lalu tersenyum tipis. Raka menghela napas. Dia berusaha tenang meski dalam hati etap saja mengkhawatirkan keadaan Meira. Dia takut jika baby sitter anaknya itu kenapa-kenapa. Raka tak ingin melihatnya sakit karena itu akan berpengaruh pada Dee juga. Kedekatan Dee dan Meira membuat keduanya seperti ibu dan anak. Hal itu pula yang membuat Raka merasa sangat beruntung dan berhutang budi pada Meira yang mau mengorbankan waktu dan tenaganya untuk menjaga Dee, pa
"Mas ...." Panggilan itu kembali terdengar. Raka menghela napas panjang saat melihat perempuan itu sudah berdiri tak terlalu jauh dari tempat duduknya. "Ngapain kamu di sini, Mas?" tanyanya lagi."Bukan urusanmu," balas Raka singkat sembari melirik Dahlia yang mendadak salah tingkah. "Mama sakit?" "Nggak. Ibunya Meira yang sakit." Akhirnya Raka sedikit menjelaskan. "Ibunya?" Kedua alis perempuan itu nyaris tertaut. Dahlia belum paham siapa yang dimaksud ibu oleh mantan suaminya itu."Sudahlah. Nggak perlu kepo." Raka mengalihkan pandangan sembari menghela napas panjang. "Istrinya Pak Adrian, Mbak." Kini, Meira yang membalas pertanyaan Dahlia. Perempuan itu pun manggut-manggut lalu tersenyum tipis saat Raka tak sengaja menoleh. "Aku mau ketemu Dee, Mas. Dua minggu ini aku ingin rutin menjenguknya setiap hari."Raka tercekat, begitu pula Meira yang cukup kaget mendengar kabar itu. Nyaris empat bulan bekerja sebagai pengasuh Dee, jangankan menjenguknya sekadar menanyakan kabar gadi
"Saya mau bercerai dengan Rena, Pak, Bu. Maaf kalau saya nggak bisa melanjutkan pernikahan ini. Saya menyerah," ucap Azziz setelah beberapa hari tak pulang ke rumah. Jelas tak pulang karena barang-barangnya pun sudah dibawa pergi. Dia kembali ke rumah orang tuanya. Meski dipaksa ibunya untuk bertahan dan memperbaiki hubungannya dengan Rena, tapi Azziz tak peduli. Keputusannya sudah bulat untuk berpisah. Baginya, kesalahan Rena sudah cukup fatal dan dia tak ingin membuang waktu untuk memberi kesempatan lagi. "Pernikahan kalian baru setengah tahun, masih seumur jagung. Apa nggak ada kesempatan kedua untuk Rena, Ziz?" Rudy bertanya dengan tenang. Dia menatap menantunya lekat, sementara Azziz lebih memilih menunduk. Bukan karena takut, tapi dia segan menatap balik bapak mertuanya itu. "Maafkan saya, Pak. Saya menyerah. Tak sanggup mendidik Rena lebih baik. Maaf kalau saya sangat mengecewakan bapak. Maaf juga karena saya sudah menyakiti kedua anak bapak," ucap Azziz masih dengan menundu
"Apa maksudmu ngomong begitu? Oh, kamu juga seperti mereka yang mengira kakakmu gila? Perlu obat penenang, perlu ke psikiater atau psikolog segala, begitu, Num?!" sentak Mawar membuat Hanum mundur selangkah. Meski tanpa suara, Ken semakin mengeratkan genggaman tangannya untuk menenangkan Hanum. "Kamu senang kan sekarang lihat Rena seperti itu? Puas sudah membuatnya seperti ini?!" tukas Mawar lagi. "Membuat Mbak Rena seperti ini, Bu? Maksud ibu apa menuduh Hanum begitu?!" Hanum membela diri. Dia tak terima difitnah sedemikian rupa oleh ibu tirinya itu, apalagi di depan banyak orang. "Bukannya Mbak Rena yang awalnya membuat hidup Hanum hancur? Dia yang berkhianat. Kenapa sekarang ibu justru menyalahkan Hanum? Nggak salah sasaran kan, Bu?" Hanum mulai berani membela dirinya lagi. Ken menoleh, lalu mengangguk pelan. Dia mendukung keberanian istrinya. Sudah cukup lama diam dan mengalah, waktunya untuk unjuk gigi karena mengalah pun percuma, mereka tak pernah peduli akan hal itu. "Lih
"Kenapa kamu bisa begini, Ren?!" Mawar setengah berteriak saat melihat anak kesayangannya mengobrak-abrik beberapa barang di ruang tamu. Para tetangga tak berani mendekat karena Rena begitu kesetanan setelah motor dan mobilnya diangkut dealer. Azziz pun memilih pergi entah kemana. Sepertinya dia benar-benar malas melihat istrinya yang sulit diatur dan kelewat batas. "Menantu kesayangan ibu itu sudah menghancurkan hidupku. Apa laki-laki seperti itu yang menurut ibu terbaik dan layak dipertahankan?!" sentak Rena dengan mata memerah. Dia mengusap kasar kedua pipinya yang basah air mata. "Tak ada asap kalau tak ada api, Rena! Azziz begitu setelah melihatmu--Mawar tak melanjutkan kalimatnya. Di melirik sekitar yang masih banyak tetangga. Sekesal dan semarah apapun pada anaknya, Mawar masih berusaha menutupi aibnya di depan banyak orang. Dia juga tak ingin nama baik anak perempuannya makin tercemar. "Bukannya ibu bilang kalau tak ada asal kalau tak ada api? Sama halnya denganku, Bu. Ak
"Oh, ternyata kalian di rumah?!" tukas Rena saat melihat Ken dan Hanum duduk santai di teras belakang. Hanum menoleh, begitu pula dengan Ken. Mereka sengaja keluar kamar karena tak ingin terus mendengarkan pertengkaran Rena dan Azziz. Namun, sepertinya Rena tetap salah paham."Iya, Mbak. Kami memang di rumah sejak--"Sengaja menguping pertengkaranku dengan Mas Azziz? Sengaja nggak bawa mobil supaya aku nggak tahu kalau kalian di rumah?!" tuduhnya berapi-api. "Apaan sih, Mbak! Jangan asal nuduh. Ngapain juga aku sengaja nguping obrolan kalian. Nggak penting banget dan kaya kurang kerjaan!" Hanum tak mau kalah. Sekarang dia memang mulai berani membela diri bahkan tak segan menangkis tangan Rena jika dia mulai berani macam-macam. Hanum tak selemah dulu. "Halah! Kamu pasti senang kan lihat rumah tanggaku hancur berantakan? Bangga kamu ya, Num! Sekarang kamu bisa hidup mapan, sementara aku malah seperti ini," sindir Rena sembari melipat tangan ke dada. Hanum beranjak dari kursi. Ken b
"Berhari-hari nggak pulang, apa harus seperti ini sikapmu sama istri sendiri?!" sentak Rena lagi sembari membuka pintu utama dengan kasar lalu membantingnya. Ken yang akan beranjak dari tepi ranjang pun mengurungkan niatnya. Hanum menarik lengan suaminya agar duduk kembali. Mereka sepakat untuk tak ikut mencampuri urusan rumah tangga Rena dan Azziz. Membiarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Kecuali jika ada kekerasan, barulah mereka akan turun tangan. "Istri? Kamu masih begitu luwes menyebut diri sendiri sebagai istri, Ren? Setelah apa yang kamu lakukan selama ini, hah?!" sentak Azziz dengan mata memerah. "Apa seperti itu sikap seorang istri yang wajib dinafkahi, diberikan kasih sayang, cinta dan diperjuangkan hidupnya? Kamu nggak buta dan nggak tuli kan? Namamu sudah buruk di mata banyak orang setelah video itu viral, Rena. Sadar!" bentak Azziz lagi sembari memukul meja ruang tengah. Beberapa barang di atas meja itu berhamburan ke lantai. Di dalam kamar, Hanum mengucap
"Sayang, aku punya sesuatu," ujar Ken saat masuk ke kamarnya. Hanum sudah ada di kamar sejak satu jam sebelumnya. Dia tengah menikmati senja di kamar sembari membaca novel online favoritnya. "Punya apa, Mas?" tanya Hanum saat menoleh ke arah pintu. Ken tersenyum lalu menyerahkan benda kecil ke tangan Hanum. "Apa ini, Mas?" tanya Hanum lagi sembari membolak-balik benda kecil itu. Ken duduk di tepi ranjang sembari menatap lekat istrinya yang terlihat penasaran dengan benda di tangannya. "Perekam suara ya, Mas?" tebaknya kemudian. Ken tersenyum lalu mengangguk. "Benar, Sayang. Itu alat perekam suara," balas laki-laki itu yakin. Hanum manggut-manggut lalu menatap suaminya. "Apa ada rekaman suaranya di dalam?" Lagi-lagi Ken mengangguk. "Suara siapa, Mas?" tanya Hanum lagi. Ken mengambil kembali alat perekam mini itu lalu menyambungkannya dengan USB di laptop. Hanum mendengarkan isi percakapan yang terekam di sana. "Suara Mbak Rena?" lirihnya seolah bertanya pada diri sendiri. Ken
Dua hari setelah penyelidikan diam-diam Hanum dan Ken di butik Clarissa, Ken duduk di warung kopi kecil dengan Bara. Pria berkacamata itu tampak serius sambil mengeluarkan benda kecil seukuran kancing dari tasnya."Ini alat perekam suara. Ukurannya kecil banget, bisa kamu selipin di tas, mobil atau kantong celana mereka. Baterainya tahan tiga hari, dan otomatis nyimpan suara kalau ada pembicaraan di radius 3 meter," ujar Bara menjelaskan. Ken mengangguk."Pas banget. Kita cuma butuh satu rekaman jelas buat Hanum tahu pasti niat buruk mereka berdua. Hanum masih nggak percaya kalau kakak tirinya bisa sejahat itu, sampai sekongkol dengan perempuan yang ingin menghancurkan rumah tangga kami." Ken menghela napas. "Soal foto-foto di hotel gimana, Bro? Kamu nggak langsung seret Rissa ke penjara?" tanya Bara sembari menatap Ken serius. "Sebenarnya aku masih kasih dia kesempatan untuk berubah, Bar. Aku masih lihat kebaikan mamanya selama ini dan hubungan kekerabatan kami. Tapi kalau dia maki
Malam itu, Hanum duduk di ruang tengah sambil menatap layar ponsel. Ken duduk di sebelahnya sembari menyeruput teh hangat buatan istrinya. Potongan bolu terhidang di piring kecil sebagai pendamping. "Mbak Rena bilang mau ke butik bareng Clarissa, Mas. Tapi butik mana?" Hanum bergumam sambil membuka media sosial milik saudara tirinya itu. "Mbak Rena itu orangnya narsis. Biasanya dia update story tiap lima menit. Meski perempuan di sampingnya sengaja diblur, tapi Hanum yakin itu Rissa." Hanum kembali berujar lirih. Ken ikut melongok."Apa ada yang aneh, Sayang?" tanya Ken sembari menikmati sepotong bolu. Hanum menggulir layar ponselnya."Lihat deh, Mas. Tiga puluh menit lalu, Mbak Rena upload video di mobil bareng Clarissa. Meski wajahnya diblur, Hanum yakin itu style Rissa. Captionnya itu makin membuat Hanum bertanya-tanya," ujar Hanum lagi. "Memangnya dia bikin caption apa, Sayang?" Lagi-lagi Ken terlihat cukup tenang dan tak sepanik Hanum."Dia bilang persiapan untuk kejutan spesi
"Sayang, kamu siap?" Ken berseru dari ruang tamu sambil merapikan kerah kemejanya. Rambutnya disisir rapi ke samping, dan aroma parfumnya menyusup masuk ke kamar.Hanum keluar dari kamar sambil tersenyum, membawa tas tangan kecil warna krem yang matching dengan gamis biru lembut yang dikenakannya."Siap! Kamu ganteng banget hari ini, Mas," godanya sambil menyentuh dagu Ken pelan. Ken nyengir. "Harus dong. Istri aku cantik, masa suaminya nggak pantes disandingin. Memangnya cuma hari ini aja gantengnya? Hari biasanya buruk rupa ya?" balas Ken sembari menjawil balik dagu istrinya. Hanum tertawa kecil dan mereka pun keluar rumah menuju mobil Ken yang terparkir di halaman. Rencananya mereka ingin jalan-jalan sekalian belanja di mall. Angin siang ini menampar wajah mereka, tapi suasana hati keduanya hangat. Keduanya masuk ke mobil dan memasang seat belt masing-masing. Perjalanan ke mall tak membutuhkan waktu lama. Sekitar setengah jam mereka sudah sampai mall yang dituju. Di mall, mereka